Beranda

Senin, 02 November 2020

Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha di Indonesia


 Materi Lanjutan

Sejarah Indonesia Pada Masa Hindu-Budha Yang Wajib KamuTahu - Pegud

 

Kerajaan Mataram Kuno

 a. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno

Pada abad ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram diterangkan dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh. Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut, sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi. Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.

b. Kehidupan Politik

Pada mulanya yang berkuasa di Mataram adalah Dinasti Sanjaya. Bukti adanya kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah dapat diketahui dari Prasasti Canggal yang ditemukan di kaki Gunung Wukir, Magelang. Prasasti CAnggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya dengan berangka tahun berbentuk candrasengkala berbunyi srutiindriyarasa atau tahun 654 Saka=732 M berhuruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta. Isi pokok Prasasti Canggal adalah pendirian sebuah lingga di Bukit Stirangga buat keselamatan rakyatnya.  Petunjuk lain tentang Sanjaya adalah Prasasti Mantyasih atau Prasasti Kedu yang dibuat oleh Raja Balitung. Prasasti itu menyebutkan bahwa Sanjaya adalah raja pertama (wangsakarta) dengan ibu kota kerajaannya di Mdang ri Poh Pitu. Dalam prasasti itu juga disebutkan raja-raja yang pernah memerintah, seperti berikut:

1) Sanjaya;                                          6) Pikatan;

2) Panangkaran;                                  7) Kayuwangi;

3) Panunggalan;                                  8) Watuhumalan;

4) Warak;                                            9) Balitung.

5) Garung;

 Prasasti Dinoyo di Jawa Timur tahun 706 menyebutkan adanya Raja Gajayana yang mendirikan tempat pemujaan Dewa Agastya (perwujudan Siwa sebagai Mahaguru ) diwujudkan pula dalam bentuk lingga. Di sampimg itu, juga didirikan Candi Badut dengan berlanggam candi Jawa Tengah. Prasasti Kalasan tahun 778 M menyebutkan bahwa keluarga Syailendra berhasil membujuk Panangkaran untuk mendirikan bangunan suci buat Dewi Tara (istri Buddha) dan sebuah biara untuk para pendeta. Panangkaran juga menghadiahkan Desa Kalasan kepada sanggha. Pada Prasasti Balitung yang berangka tahun 907 M disebutkan nama keluarga raja-raja keturunan Sanjaya memuat nama Panangkaran. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada waktu itu Dinasti Sanjaya dan Sailendra sama-sama berperan di Jawa Tengah.

 Dinasti Sanjaya di bagian utara dengan mendirikan candi Hindu, seperti Gedong Sanga di Ungaran, Candi Dieng di DataranTinggi Dieng. Adapun Dinasti Syailendra dibagian selatan dengan mendirikan candi Buddha, seperti Borobudur, Mendut, dan Kalasan. Dalam Prasasti Kelurak (di daerah Prambanan) tahun 782 disebutkan tentang pembuatan Arca Manjusri sebagai perwujudan Buddha, Dharma, dan Sanggha yang dapat disamakan dengan Brahma, Wisnu, dan Siwa. Mungkin sekali bangunan sucinya ialah Candi Lumbung yang terletak di sebelah utara Prambanan. Raja yang memerintah pada waktu itu ialah Indra. Pengganti Indra yang terkenal ialah Smaratungga yang dalam pemerintahannya mendirikan Candi Borobudur tahun 824.

 Di bawah pemerintahan putri Smaratungga, yakni Pramodhawardani Dinasti Syailendra dan Sanjaya menjadi satu karena perkawinnya dengan Rakai Pikatan yang kemudian membangun candi-candi Buddha dan Hindu. Misalnya, Candi Plaosan yang merupakan candi Buddha banyak disebut nama Sri Kahulunan Sri Pikatan dapat diartikan nama Sri Kahulunan adalah gelar Pramodhawardani. Rakai Pikatan mendirikan candi Hind yakni Candi Prambanan (Loro Jonggrang) yang sangat megah. Dengan dibangunnya candi Hindu dan Buddha yang berdekatan menggambarkan adanya kerukunan beragama di Bumi Mataram. Pada tahun 856 terjadi perubahan besar di Jawa Tengah, Balaputra Dewa (adik Pramodhawardani) yang pusat di pegunungan selatan yang terkenal dengan Istana Ratu Boko berusaha untuk merebut kekuasaan. Namun, ia malah tersingkir dari Jawa Tengah dan akhirnya melarikan diri ke Sumatra (menjadi raja di Sriwijaya). Jawa Tengah kemudian sepenuhnya diperintah oleh Dinasti Sanjaya. Raja terakhirnya Raja Wawa dan digantikan Empu Sendok yang kemudian memindahkan pusat pemerintahannya ke Jawa Timur.

 c. Kehidupan Sosial Ekonomi

Kehidupan ekonomi masyarakat bertumpu pada pertanian. Kondisi alam bumi Mataram yang tertutup dari dunia luar sulit untuk mengembangkan aktivitas perekonominan dengan pesat. Pada masa Raja Balitung aktivitas perhubungan dan perdagangan dikembangkan lewat Sungai Bengawan Solo. Pada Prasasti Wonogiri (903) disebutkan bahwa desadesa yang terletak di kanan-kiri sungai dibebaskan dari pajak dengan catatan harus menjamin kelancaran lalu-lintas lewat sungai tersebut.

 d. Kehidupan Agama dan Kebudayaan

Bumi Mataram diperintah oleh Dinasti Sanjaya dan Dinasti Sailendra. Dinasti Sanjaya beragama Hindu dengan pusat kekuasaannya di utara. Hasil budayanya berupa candi-candi, seperti Gedong Sanga dan Kompleks Candi Dieng. Sebaliknya, Dinasti Sailendra beragama Bundha dengan pusat kekuasaannya di daerah selatan. Hasil budayanya , seperti Candi Borobudur, Mendut, dan Pawon. Semula terjadi perebutan kekuasan, namun kemudian terjalin persatuan ketika terjadi perkawinan antara Pikatan (Sanjaya) beragama Hindu dengan Pramodhawardhani (Sailendra) beragama Buddha. Sejak itu agama Hindu dan Buddha hidup berdampingan secara damai. Hal ini menunjukkan betapa besar jiwa toleransi bangsa Indonesia. Toleransi ini merupakan salah sifat kepribadian bangsa Indonesia yang wajib kita lestarikan agar tercipta kedamaian, ketenteraman dan kesejahteraan.

 

Kerajaan Medang Mataram (Dinasti Isyana)

 a. Pusat pemerintahan

Pada masa pemerintahan Raja Wawa, diperkirakan ibu kota Mataram sempat dipindahkan ke Medang (925 M), tepatnya di sekitar daerah Purwodadi, Semarang. Kerajaan Mataram pada masa itu dikenal dengan sebutan Medang Kamulan, seperti tercantum dalam prasasti Canggal yang menyebut kata-kata Medang i bhumi Mataram. Raja Wawa kemudian digantikan oleh menantunya, Mpu Sindok, yang memindahkan seluruh Kerajaan Medang ke Jawa Timur dan menyebut kerajaannya dengan nama Medang Mataram. Ibu kota kerajaan ini terletak di Watan Mas, sekitar muara Sungai Brantas.

 Alasan Mpu Sindok memindahkan Medang Mataram ke Jawa Timur adalah

1) untuk menghindari bahaya gunung berapi,

2) menjauhkan diri dari ancaman Sriwijaya, serta

3) tanah di Jawa Timur lebih subur untuk pertanian dan baik pula untuk perdagangan.

 Dalam perkembangannya, wilayah Medang Mataram meliputi daerah Nganjuk sebelah barat, Pasuruan, Surabaya, dan Malang.

 b. Sumber sejarah

Beberapa prasasti yang mengungkapkan keberadan Medang Mataram sebagai berikut.

1) Prasasti Tengaran (933 M) menyebutkan bahwa Mpu Sindok memerintah bersama istrinya, Sri Wardani Pu Kbin (Rakryan Bawang).

2) Prasasti Lor (939 M) dekat Nganjuk, berisi perintah membuat candi bernama Jayamrata dan Jayastambo di desa Anyok Lodang untuk memeringati kemenangan Mpu Sindok.

3) Prasasti Bangil berisi pembuatan candi untuk pemakaman ayahanda Mpu Sindok dan sang permaisuri, Rakryan Bawang.

4) Prasasti Kalkuta (1041) yang dikeluarkan Airlangga.

 c. Perkembangan politik

Raja-raja yang terkenal dari Medang Mataram sebagai berikut.

 1) Raja Mpu Sindok

Raja ini bergelar Mpu Sindok Sri Isyanatunggadewa. Ia adalah pendiri dinasti Isyana. Sebagai pendiri dinasti, Mpu Sindok pulalah yang meletakkan dasar-dasar kerajaan di Jawa Timur. Setelah Mpu Sindok wafat, penggantinya tidak ada yang cukup mampu sehingga Medang Mataram mengalami masa suram.

 2) Raja Dharmawangsa

Semula raja ini sempat memajukan perekonomian Medang Mataram dengan menguasai beberapa daerah pantai milik Sriwijaya. Sempat juga menyerang Bali dan Sukadana (Kalimantan). Akan tetapi, pada tahun 1016 ketika tengah menikahkan putrinya dengan Airlangga, kerajaan ini diserang oleh Raja Wurawari dari Wengker. Dalam peristiwa yang disebut Pralaya Medang ini, Raja Dharmawangsa beserta beberapa kerabat istana wafat.

 3) Raja Airlangga

Ketika terjadi Pralaya Medang, Airlangga dan pengikut setianya, Narottama, berhasil lari dan bersembunyi di lereng Gunung Kelud. Setelah berhasil mengalahkan Raja Wurawari, Airlangga kembali ke Medang dan naik takhta menggantikan Dharmawangsa (1019). Gelarnya Sri Maharaja Rake Halu Lokeswaram Dharmawangsa Airlangga. Ia kemudian memindahkan ibu kota Medang Mataram ke Kahuripan pada tahun 1037.

Airlangga mengeluarkan prasasti Kalkuta (1041) yang isinya:

a) menguraikan silsilah Airlangga (Airlangga adalah putra Raja Udayana dari Bali),

b) kisah peristiwa penyerangan Raja Wurawari dari Wengker,

c) kisah pelarian Airlangga ke Bukit Wonogiri diikuti Narottama,

d) pendirian pertapaan di Pucangan, dan

e) peperangan Airlangga dengan Raja Wurawari.

 Usaha-usaha Airlangga mengembalikan Kerajaan Medang Mataram (selanjutnya dikenal pula sebagai Kerajaan Kahuripan) sebagai berikut.

a) Menguasai Sriwijaya dengan mengawini putri dari Sriwijaya yang melahirkan Samarawijaya dan Panji Garasakan.

b) Membangun bendungan Waringin Sapto.

c) Membangun pelabuhan Kambang Putih di Tuban.

 Agama yang dipeluk Airlangga adalah Hindu Wisnu, tampak dari arca-arca yang ditemukan di candi Belahan, di mana Airlangga dipatungkan sebagai Wisnu yang tengah mengendarai Ganda. Kesusastraan pada masa pemerintahan Airlangga cukup maju. Antara lain yang terkenal adalah kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa (1030) dan kitab Calon Arang (anonim). Sebelum mengundurkan diri dari takhta, Airlangga membagi dua wilayah kerajaannya. Tugas membagi dua kerajaan ini dengan adil diserahkan kepada Mpu Baradha. Mpu Baradha terkenal karena kesaktiannya. Wilayah Kahuripan dibagi menjadi Jenggala/Kahuripan/Singasari yang diberikan kepada Panji Garasakan dan Panjalu/Kediri/Daha yang diberikan kepada Samarawijaya. Batas kedua kerajaan adalah Gunung Kawi, sebelah utara Gunung Kawi adalah milik Kerajaan Panjalu dan sebelah selatan Gunung Kawi adalah wilayah Kerajaan Jenggala.

 Alasan pembagian kerajaan ini adalah sebab Putri Mahkota, Sri Sanggramawijaya tidak bersedia menjadi raja dan memilih menjadi pertapa. Itulah sebabnya Airlangga membangun pertapaan di Penanggungan. Dalam pertapaannya di Penanggungan tersebut, Sri Sanggramawijaya mendapat gelar Dewi Kilisuci. Untuk menghindari pertengkaran antara kedua putra selir, Panji Garasakan dan Samarawijaya, Airlangga memerintahkan Kahuripan (Medang Mataram) dibagi dua. Namun, setelah Airlangga wafat, peperangan tetap terjadi dan dimenangkan oleh Panjalu (Kediri) dipimpin Jayabaya.

 

Kerajaan Kediri

 a. Berdirinya Kerajaan Kediri

Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M). Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu, begitu Raja Airlangga wafat, terjadilah peperangan antara kedua bersaudara tersebut. Panjalu dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 – 1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga, yaitu Garuda Mukha.

 b. Perkembangan politik

Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari Kediri. Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan Jenggala.

 Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.

1) Raja Jayabaya (1135 M – 1159 M)

Raja Jayabaya menggunakan lencana kerajaan berupa lencana Narasingha. Kemenangannya atas peperangan melawan Jenggala diperingatinya dengan memerintahkan Mpu Sedah menggubah kakawin Bharatayudha. Karena Mpu Sedah tidak sanggup menyelesaikan kakawin tersebut, Mpu Panuluh melanjutkan dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Pada masa pemerintahannya ini, Kediri mencapai puncak kejayaan.

 2) Raja Sarweswara (1159 – 1169 M)

Pengganti Jayabaya adalah Raja Sarweswara. Tidak banyak yang diketahui mengenai raja ini sebab terbatasnya peninggalan yang ditemukan. Ia memakai lencana kerajaan berupa Ganesha.

 3) Raja Kameswara (1182 – 1185 M)

Selama beberapa waktu, tidak ada berita yang jelas mengenai raja Kediri hingga munculnya Kameswara. Pada masa pemerintahannya ini ditulis kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap raja, serta kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Alung. Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga dan Wretasancaya berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno.

 4) Raja Kertajaya (1185 – 1222 M)

Pada masa pemerintahan Kertajaya, terjadi pertentangan antara para brahmana dan Raja Kertajaya. Hal ini terjadi karena para brahmana menolak menyembah raja yang menganggap dirinya sebagai dewa. Para brahmana lalu meminta perlindungan pada Ken Arok. Kesempatan ini digunakan Ken Arok untuk memberontak terhadap Kertajaya. Pada tahun 1222 M terjadi pertempuran hebat di Ganter dan Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya.

 c. Kehidupan sosial masyarakat

Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun 1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat bersih dan rapi. Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau. Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian, peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.

 Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.

1) Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.

2) Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).

3) Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi atau masyarakat wiraswasta.Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung persediaan makanan.

 

d. Kehidupan Kebudayaan, Khususnya Sastra

Di bidang kebudayaan, khususnya sastra, masa Kahuripan dan Kediri berkembang pesat, antara lain sebagai berikut.

1) Pada masa Dharmawangsa berhasil disadur kitab Mahabarata ke dalam bahasa Jawa Kuno yang disebut kitab Wirataparwa. Selain itu juga disusun kitab hukum yang bernama Siwasasana.

2) Di zaman Airlangga disusun kitab Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa.

3) Masa Jayabaya berhasil digubah kitab Bharatayudha oleh Empu Sedah dan Empu Panuluh. Di samping itu, Empu Panuluh juga menulis kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya.

4) Masa Kameswara berhasil ditulis kitab Smaradhahana oleh Empu Dharmaja. Kitab Lubdaka dan Wertasancaya oleh Empu Tan Akung.

 

 

Kerajaan Singasari

 a. Kehidupan politik

Dalam kitab Pararaton disebutkan bahwa Ken Angrok atas perintah Berihiang menyerang Kediri pada tahun 1222, dan berhasil mengalahkan Kertajaya. Ken Angrok selanjutnya mendirikan kerajaan Singhasari pada tahun 1222 M (abad ke-13 M) dengan pusat pemerintahannya di sekitar Kota Malang (Jawa Timur). Sesuai dengan kepercayaan masyarakat pada aman itu, dalam kitab Pararaton dikisahkan bahwa Ken Angrok adalah anak Dewa Brahma. Atas bantuan pendeta Lohgawe, Ken Angrok bekerja pada akuwu (bupati) Tumapel (Malang) yang bernama Tunggul Ametung. Tidak menutup kemungkinan, Ken Angrok itu ada hubungannya dengan Tunggul Ametung,

Sebagaimana diketahui, ayah dari Ken Angrok masih dipertanyakan, yang ada hanya legenda tentang siapa ayah Ken Angrok. Ketika bekerja di sana, Ken Angrok menjalin hubungan asmara dengan istri muda Tunggul Ametung yang bernama Ken Dedes. Kemudian Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, lalu menikahi Ken Dedes yang sedang hamil, dan sekaligus menjadi Akuwu Tumapel yang baru.

1) Ken Arok (1222–1227).

Setelah berhasil mengalahkan Kertajaya, Ken Arok mendirikan Kerajaan Singasari dan berkuasa selama lebih kurang lima tahun, yaitu dari tahun 1222 sampai tahun 1227. Ken Arok yang menjadi Raja Singasari dengan gelar Sri Ranggah Rajasa Sang Amurwabumi.  Munculnya Ken Arok sebagai raja pertama Singasari menandai munculnya suatu dinasti baru, yakni Dinasti Rajasa (Rajasawangsa) atau Girindra (Girindrawangsa). Ken Arok hanya memerintah selama lima tahun (1222–1227). Pada tahun 1227 Ken Arok dibunuh oleh seorang suruhan Anusapati (anak tiri Ken Arok). Ken Arok dimakamkan di Kegenengan dalam bangunan Siwa–Buddha.

 2) Anusapati (1227–1248).

Dengan meninggalnya Ken Arok maka takhta Kerajaan Singasari jatuh ke tangan Anusapati. Dalam jangka waktu pemerintahaannya yang lama, Anusapati tidak banyak melakukan pembaharuan-pembaharuan karena larut dengan kesenangannya menyabung ayam. Peristiwa kematian Ken Arok akhirnya terbongkar dan sampai juga ke Tohjoyo (putra Ken Arok dengan Ken Umang). Tohjoyo mengetahui bahwa Anusapati gemar menyabung ayam sehingga diundangnya Anusapati ke Gedong Jiwa ( tempat kediamanan Tohjoyo) untuk mengadakan pesta sabung ayam. Pada saat Anusapati asyik menyaksikan aduan ayamnya, secara tiba-tiba Tohjoyo menyabut keris buatan Empu Gandring yang dibawanya dan langsung menusuk Anusapati. Dengan demikian, meninggallah Anusapati yang didharmakan di Candi Kidal.

 3) Tohjoyo (1248)

Dengan meninggalnya Anusapati maka takhta Kerajaan Singasari dipegang oleh Tohjoyo. Namun, Tohjoyo memerintah Kerajaan Singasari tidak lama sebab anak Anusapati yang bernama Ranggawuni berusaha membalas kematian ayahnya. Dengan bantuan Mahesa Cempaka dan para pengikutnya, Ranggawuni berhasil menggulingkan Tohjoyo dan kemudian menduduki singgasana.

 4) Ranggawuni (1248–1268)

Ranggawuni naik takhta Kerajaan Singasari pada tahun 1248 dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardana oleh Mahesa Cempaka (anak dari Mahesa Wongateleng) yang diberi kedudukan sebagai ratu angabhaya dengan gelar Narasinghamurti. Ppemerintahan Ranggawuni membawa ketenteraman dan kesejahteran rakyat Singasari. Pada tahun 1254, Wisnuwardana mengangkat putranya yang bernama Kertanegara sebagai yuwaraja (raja muda) dengan maksud mempersiapkannya menjadi raja besar di Kerajaan Singasari. Pada tahun 1268 Wisnuwardanameninggal dunia dan didharmakan di Jajaghu atau Candi Jago sebagai Buddha Amogapasa dan di Candi Waleri sebagai Siwa.

 5) Kertanegara (1268–-1292).

Kertanegara adalah Raja Singasari terakhir dan terbesar karena mempunyai cita-cita untuk menyatukan seluruh Nusantara. Ia naik takhta pada tahun 1268 dengan gelar Sri Maharajadiraja Sri Kertanegara. Dalam pemerintahannya, ia dibantu oleh tiga orang mahamentri, yaitu mahamentri i hino, mahamentri i halu, dan mahamenteri i sirikan. Untuk dapat mewujudkan gagasan penyatuan Nusantara, ia mengganti pejabat-pejabat yang kolot dengan yang baru, seperti Patih Raganata digantikan oleh Patih Aragani. Banyak Wide dijadikan Bupati di Sumenep (Madura) dengan gelar Aria Wiaraja.

 Setelah Jawa dapat diselesaikan, kemudian perhatian ditujukan ke daerah lain. Kertanegara mengirimkan utusan ke Melayu yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu 1275 yang berhasil menguasai Kerajaan Melayu. Hal ini ditandai dengan pengirimkan Arca Amogapasa ke Dharmasraya atas perintah Raja Kertanegara. Selain menguasai Melayu, Singasari juga menaklukan Pahang, Sunda, Bali, Bakulapura (Kalimantan Barat), dan Gurun (Maluku). Kertanegara juga menjalin hubungan persahabatan dengan raja Champa,dengan tujuan untuk menahan perluasaan kekuasaan Kubilai Khan dari Dinasti Mongol. Kubilai Khan menuntut raja-raja di daerah selatan termasuk Indonesia mengakuinya sebagai yang dipertuan. Kertanegara menolak dengan melukai nuka utusannya yang bernama Mengki. Tidakan Kertanegara ini membuat Kubilai Khan marah besar dan bermaksud menghukumnya dengan mengirimkan pasukannya ke Jawa.

 Mengetahui sebagian besar pasukan Singasari dikirim untuk menghadapi serangan Mongol maka Jayakatwang (Kediri) menggunakan kesempatan untuk menyerangnya. Serangan dilancarakan dari dua arah, yakni dari arah utara merupakan pasukan pancingan dan dari arah selatan merupakan pasukan inti. Pasukan Kediri dari arah selatan dipimpin langsung oleh Jayakatwang dan berhasil masuk istana dan menemukan Kertanagera berpesta pora dengan para pembesar istana. Kertanaga beserta pembesar-pembesar istana tewas dalam serangan tersebut.

 Ardharaja berbalik memihak kepada ayahnya (Jayakatwang), sedangkan Raden Wijaya berhasil menyelamatkan diri dan menuju Madura dengan maksud minta perlindungan dan bantuan kepada Aria Wiraraja. Atas bantuan Aria Wiraraja, Raden Wijaya mendapat pengampunan dan mengabdi kepada Jayakatwang. Raden Wijaya diberi sebidang tanah yang bernama Tanah Tarik oleh Jayakatwang untuk ditempati. Dengan gugurnya Kertanegara maka Kerajaan Singasari dikuasai oleh Jayakatwang. Ini berarti berakhirnya kekuasan Kerajaan Singasari. Sesuai dengan agama yang dianutnya, Kertanegara kemudian didharmakan sebagai Siwa––Buddha (Bairawa) di Candi Singasari. Arca perwujudannya dikenal dengan nama Joko Dolog yang sekarang berada di Taman Simpang, Surabaya.

 b. Kehidupan Sosial Ekonomi

Ketika Ken Arok menjadi Akuwu di Tumapel, ia berusaha meningkatkan kehidupan sosial masyarakatnya. Terjaminnya kehidupan sosial masyarakat Tumapel mengakibatkan bergabungnya daerah-daerah di sekitarnya. Perhatian Ken Arok bertambah besar ketika ia menjadi raja di Singasari. Dengan demikian, rakyat hidup dengan aman dan damai untuk mencapai kesejahteraannya. Akan tetapi, ketika masa pemerintahan Anusapati, kehidupan sosial masyarakat Siongasari kurang mendapatkan perhatian. Baru pada masa pemerintahan Wisnuwardana, kehidupan sosial masyarakatnya teratur baik.Rakyat hidup dengan tentram dan damai. Begitu juga masa pemerintahan Kertanegara. Dalam kehidupan ekonomi, rakyat Kerajaan Singasari hidup dari pertanian, pelayaran, dan perdagangan.

 c. Kehidupan Kebudayaan

Kehidupan kebudayaan masyarakat Singasari dapat diketahui dari peninggalan candi-candi dan patung-patung yang berhasil dibangunnya. Candi hasil peninggalan Singasari, di antaranya adalah Candi Kidal, Candi Jago, dan Candi Singasari. ADapun arca atau patung hasil peninggalan Kerajaan Singasari, antara lain Patung Ken Dedes sebagai perwujudan dari Prajnyaparamita lambang kesempurnaan ilmu dan Patung Kertanegara dalam wujud Patung Joko Dolog.

 

 Kerajaan Majapahit

 Kerajaan Majapahit terletak di sekitar Sungai Brantas dengan pusatnya di daerah Mojokerto. Majapahit merupakan puncak keyajaan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dan merupakan kerajaan Hindu terbesar Indonesia. Majapahit disebut juga sebagai Negara Kesatuan Kedua. Tahukah kalian, faktor-faktor yang mendorong lahirnya kerajaan Majapahit menjadi kerajan besar?

 a. Kehidupan Politik

 1) Raden Wijaya (1292–1309)

Kerajaan Majapahit lahir dalam suasana perubahan besar dalam waktu yang singkat. Pada tahun 1292 Kertanegara gugur oleh pengkhianatan Jayakatwang, Singasari hancur dan digantikan oleh Kediri. R. Wijaya terdesak oleh serangan tentara Jayakatwang di medan utara dan berhasil melarikan diri serta mendapat perlindungan dari Kepala Desa Kudadu. Selanjutnya, ia berhasil menyeberang ke Madura minta perlindungan dan bantuan kepada Bupati Sumenep, Aria Wiraraja. Atas saran dan jaminan Aria Wiraraja, R. Wijaya mengabdikan diri kepada Jayakatwang dan memperoleh tanah di Desa Tarik yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Majapahit.

 Tentara Kubilai Khan sebanyak 200.000 orang dibawah pimpinan Shih Pie, Ike Mase, dan Kau Shing datang untuk menghukum Kertanegara. R. Wijaya bergabung dengan tentara Cina dan mengadakan serangan ke Kediri karena Cina tidak mengetahui terjadinya perubahan kekuasaan di JawaTimur. Setelah R. Wijaya dengan bantuan tentara Kubilai Khan berhasil mengalahkan Jayakatwang, ia menghantam tentara asing tersebut. Serangan mendadak yang tidak terkira sebelumnya, memaksa tentara Kubilai Khan meninggalkan Jawa Timur terburu-buru dengan sejumlah besar korban. Akhirnya, R. Wijaya dinobatkan menjadi raja pertama Kerajaan Majapahit dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana (1292–1307).

 Untuk menjaga ketenteraman kerajaan maka R. Wijaya mengadakan konsolidasi dan mengatur pemerintahan. Orang-orang yang pernah berjasa dalam perjuangan diberi kedudukan dalam pemerintahan. Misalnya, Aria Wiraraja diberi tambahan wilayah di Lumajang sampai dengan Blambangan, Desa Kudadu dijadikan desa perdikan (bebas pajak dan mengatur daerahnya sendiri). Demikian juga teman seperjuangannya yang lain, diberi kedudukan, ada yang dijadikan menteri, kepala wilayah dan sebagainya. Untuk memperkuat kedudukannya, kempat putri Kertanegara dijadikan istrinya, yakni Dewi Tribhuanaeswari, Dewi Narendraduhita, Dewi Prajnaparamita dan Dewi Gayatri. Tidak lama kemudian tentara Singasari yang ikut Ekspedisi Pamalayu di bawah pimpinan Kebo Anabrang kembali membawa dua putri boyongan, yakni Dara Petak dan Dara Jingga. Dara Petak diambil istri oleh R. Wijaya, sedangan Dara Jingga kawin dengan keluarga raja yang mempunyai anak bernama Adiytawarman. Dialah yang kelak menjadi raja di Kerajaan Malayu.

 Demikianlah usaha-usaha yang dilakukan oleh R. Wijaya dalam upaya mengatur dan memperkuat kekuasaan pada masa awal Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1309 R. Wijaya meninggal dunia dan didharmakan di Candi Simping (Sumberjati, Blitar) dalam perwujudan Harihara (Siwa dan Wisnu dalam satu arca).

 2) Jayanegera (1309–1328).

R. Wijaya kemudian digantikan oleh putranya Kalagemet dengan gelar Jayanegara (1309–1328), putra R. Wijaya dengan Dara Petak. Pada masa ini timbul kekacauan di Majapahit karena pemerintahan Jayanegara yang kurang berbobot dan adanya rasa tidak puas dari pejuang-pejuang Majapahit semasa pemerintahan R. Wijaya. Kekacauan di Majapahit itu berupa pemberontakan yang dapat membahayakan negara, seperti berikut.

 a)  Pemberontakan Rangga Lawe (1309) yang berkedudukan di Tuban tidak puas karena ia mengharapkan dapat menjadi patih di Majapahit, sedangkan yang diangkat adalah Nambi.

b) Pemberontakan Lembu Sora (1311) karena hasutan Mahapati yang merupakan musuh dalam selimut Jayanegara.

c) Pemberontakan Nambi (1316) karena ambisi ayahnya Aria Wiraraja agar Nambi menjadi raja. Semua pemberontakan tersebut dapat dipadamkan.

d) Pemberontakan Kuti (1319) merupakan pemberontakan yang paling membahayakan karena Kuti dapat menduduki istana kerajaan dan Jayanegara terpaksa menyingkir ke Bedander. Namun, pasukan Bayangkari kerajaan di bawah pimpinan Gajah Mada berhasil merebut kembali istana. Jayanegara dapat kembali ke istana lagi dan berkuasa hingga tahun 1328. Sebagai penghargaan atas jasa jasanya, Gajah Mada kemudian diangkat menjadi patih di Kahuripan dan kemudian di Daha.

 3) Tribhuanatunggadewi (1328–1350)

Pada tahun 1328 Jayanegara wafat. Ia tidak mempunyai putra sehingga takhta kerajaan diserahkan kepada Gayatri. Oleh karena Gayatri telah menjadi bhiksuni maka yang tampil adalah putrinya, Bhre Kahuripan yang bertindak sebagai wali ibunya. Bhre Kahuripan bergelar Tribhuanatunggadewi. Pemerintahan Tribhuanatunggadewi masih dirongrong pemberontakan, yakni pemberontakan Sadeng dan Keta. Namun, pemberontakan tersebut berhasil dihancurkan oleh Gajah Mada. Sebagai tanda penghargaan, pada tahun 1333 Gajah Mada diangkat sebagai Mahapatih Majapahit menggantikan Arya Tadah yang sudah tua. Pada waktu penobatannya, Gajah Mada mengucapkan "Sumpah Palapa" (Tan Amukti Palapa). Isinya, Gajah Mada bersumpah tidak akan makan enak (palapa) sebelum seluruh Nusantara berada di bawah kekuasaan Majapahit. Dalam usaha menyatukan seluruh Nusantara, Gajah Mada dibantu oleh Empuu Nala dan Adiytawarman. Mula-mula mereka menaklukkan Bali (1334). Selanjutnya, satu per satu kerajaan-kerajaan di Nusantara berhasil dipersatukan.

 4) Hayam Wuruk (1350–1389)

Pada tahun 1350 Gayatri wafat sehingga Tribhuanatunggadewi turun takhta dan digantikan oleh putranya, yakni Hayam Wuruk dengan gelar Rajasanegara. Pada masa pemerintahannya bersama Patih Gajah Mada, Kerajaan Majapahit mencapai masa kejayaannya. Pemerintahan terlaksana secara teratur, baik di tingkat pusat (ibu kota), tingkat menengah (vasal), dan tingkat desa. Sistem pemerintahan daerah (tingkat menengah dan desa) tidak berubah, sedangkan di tingkat pusat diatur sebagai berikut:

a) Dewan Saptap Prabu, merupakan penasihat raja yang terdiri atas kerabat keraton dengan jabatan rakryan i hino, rakryan i halu, dan rakryan i sirikan.

b) Dewan Pancaring Wilwatikta, merupakan lembaga pelaksana pemerintahan (lembaga eksekutif) semacam dewan menteri yang terdiri atas rakryan mahapatih, rakryan tumenggung, rakryan demung, rakryan rangga, dan rakryan kanuruhan.

c) Dewan Nayapati (lembaga yudikatif) yang mengurusi peradilan.

d) Dharmadyaksa, lembaga yang mengurusi keagamaan terdiri atas Dharmadyaksa ring Kasaiwan untuk agama Hindu dan Dharmadyaksa ring Kasogatan untuk agama Buddha. Dengan demikian, pada masa Majapahit penganut agama Hindu dan Buddha dapat hidup berdampingan, rukun dan damai. Bhineka tunggal ika tan hana dharmamangrawa inilah semboyan rakyat Majapahit dalam menciptakan persatuan dan kesatuan sehingga muncul sebagai kerajaan besar di Nusantara.

 Di tingkat tengah terdapat pemerintah daerah yang dikepalai oleh seorang raja kecil atau bupati. Mereka dapat mengatur daerahnya secara otonom, tetapi setiap tahun berkewajiban datang ke ibu kota sebagai tanda tetap setia dan tunduk kepada pemerintah pusat Majapahit. Daerah-daerah demikian disebut mancanegara yang berarti negara (daerah) di luar daerah inti kerajaan. Jadi, untuk mengikat hubungan maka setiap tahun daerah taklukan harus mengirim upeti ke Majapahit. Di samping itu juga ada petugas Majapahit yang berkeliling ke daerah-daerah untuk melihat kedaan rakyatnya. Untuk memantau ketertiban dan keamanan dikirimlah duta nitiyasa (petugas sandi) ke seluruh Nusantara. Di tingkat bawah, terdapat pemerintahan desa yang dikepalai oleh seorang kepala desa. Pemerintahan dilakukan menurut hukum adat desa itu sendiri. Struktur pemerintahan desa masih asli dan kepala desa dipilih secara demokratis.

 Dengan kondisi pemerintahan yang stabil dan keamanan yang mantap, Sumpah Palapa Gajah Mada dapat diwujudkan. Satu per satu wilayah Nusantara dapat menyatu dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Dalam kitab Negarakrtagama secara jelas disebutkan daerah-daearah yang masuk wilayah kekuasaan Majapahit ialah Jawa, Sumatra, Tanjungpura (Kalimantan), Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, Papua, Semenanjung Malaka, dan daerahdaerah pulau di sekitarnya. Majapahit juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara yang jauh, seperi Siam, Champa dan Cina. Negara-negara tersebut dianggap sebagai mitreka satata (negara sahabat yang berkedudukan sama).

 Hayam Wuruk wafat pada tahun 1389 dan digantikan oleh putrinya Dyah Kusumawardhani yang didampingi oleh suaminya Wikramawardhana (1389–1429). Hayam Wuruk dengan isteri selir mempunyai anak Bhre Wirabhumi yang telah diberi kekuasaan sebagai penguasa daerah (bupati) di Blambangan. Akan tetapi, Bhre Wirabumi menuntut takhta Majapahit sehingga menimbulkan perang saudara (Perang Peregreg) tahun1401–1406. Pada akhirnya Bhre Wirabhumi kalah dan perang saudara tersebut mengakibatkan lemahnya kekuasaan Majapahit . Setelah Wikramawardhana meninggal (1429) takhtanya digantikan oleh Suhita yang memerintah hingga 1447. Sampai dengan akhir abad ke-15 masih ada raja-raja yang memerintah sebagai keturunan Majapahit , namun telah suram karena tidak ada persatuan dan kesatuan sehingga daerah-daerah jajahan satu demi satu melepaskan diri. Para bupati di pantai utara Jawa, seperi Demak, Gresik, dan Tuban telah menganut agama Islam sehingga satu per satu memisahkan diri dari Majapahit. Demikian juga daerah di luar Jawa mulai berani tidak mengirim upeti ke Majapahit sampai dengan Majapahit mengalami kemunduran dan akhirnya rutuh.

 Dengan demikian, faktor yang menyebabkan kemunduran Majapahit kalu disimpulkan, antara lain sebagai berikut.

a) Tidak ada lagi tokoh-tokoh yang kuat di pusat pemerintahan yang dapat mempertahankan kesatuan wilayah sepeninggal Gajah Mada dan Hayam Wuruk.

b) Terjadinya perang saudara (Paregreg).

c) Banyak daerah-daerah jajahan yang melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit.

d) Masuk dan berkembangnya agama Islam.

Setelah mengalami kemunduran, akhirnya Majapahit runtuh. Dalam hal ini ada dua pendapat:

a) Tahun 1478, yakni adanya serangan Girindrawardana dari Kediri. Peristiwa tersebut diberi candrasengkala "hilang sirnakertaning bhumi" yang berarti tahun 1400 Saka/1478 M.

b) Tahun 1526, yakni adanya serangan tentara dari Demak di bawah pimpinan Raden Patah. Serangan Demak ini menandai berakhirnya kekuasaan Hindu di Jawa.

 

b. Kehidupan Sosial Ekonomi

Kehidupan sosial masa Majapahit aman, damai, dan tenteram. Dalam kitab Negarakrtagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk melakukan perjalanan keliling ke daerah-daerah untuk mengetahui sejauh mana kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Perlindungan terhadap rakyat sangat diperhatikan. Demikian juga peradilan, dilaksanakan secara ketat; siapa yang bersalah dihukum tanpa pandang bulu. Dalam kehidupan ekonomi, masyarakat Majapahit hidup dari pertanian dan perdagangan. Prasarana perekonomian dibangun, seperti jalan lalu lintas sungai dan pelabuhan. Pelabuhan yang besar, antara lain di Surabaya, Gresik, dan Tuban. Barang dagangan yang diperjual-belikan, antara lain beras, rempah-rempah, dan kayu cendana.

 c. Kehidupan Kebudayaan

Dalam kondisi kehidupan yang aman dan teratur maka suatu masyarakat akan mampu menghasilkan karya-karya budaya yang bermutu tinggi. Hasil budaya Majapahit dapat dibedakan sebagai berikut.

1) Candi

Banyak candi peninggalan Majapahit, seperti Candi Penataran (di Blitar), Candi Brahu, Candi Bentar (Waringin Lawang), Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, dan bangunan-bangunan kuno lainnya, seperti Segaran dan Makam Troloyo (di Trowulan).

2) Kesusanteran           

Zaman Majapahit bidang sastra sangat berkembang. Hasil sastranya dapat dibagi menjadi zaman Majapahit Awal dan Majapahit Akhir.

a) Sastra Zaman Majapahit Awal

(1)   Kitab Negarakrtagama, karangan Empu Prapanca. Isinya tentang keadaan kota Majapahit, daerah-daearah jajahan, dan perjalananan Hayam Wuruk keliling ke daerah-daerah.

(2)   Kitab Sotasoma, karangan Empu Tantular. Di dalam kitab ini terdapat ungkapan yang berbunyi "Bhinneka tunggal ika tanhana dharma mangrawa" yang kemudian dipakai sebagai motto negara kita.

(3) Kitab Arjunawijaya karangan EmpuTantular. Isinya tentang raksasa yang dikalahkan oleh Arjuna Sasrabahu.

(4) Kitab Kunjarakarna, tidak diketahui pengarangnya.

 b) Sastra Zaman Akhir Majapahit

(1) Kitab Pararaton, isinya menceritakan riwayat raja-raja Singasari dan Majapahit.

(2) Kitab Sudayana, isinya tentang Peristiwa Bubat.

(3) Kitab Sorandakan, isinya tentang pemberontakan Sora.

(4) Kitab Ranggalawe, isinya tentang pemberontakan Ranggalawe.

(5) Kitab Panjiwijayakrama, isinya riwayat R.Wijaya sampai dengan menjadi Raja Majapahit.

(6) Kitab Usana Jawa, isinya tentang penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Aryadamar.

(7) Kitab Tantu Panggelaran, tentang pemindahan gunung Mahameru ke Pulau Jawa oleh Dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.

 

d. Kehidupan Hukum

Majapahit di masa pemerintahan Hayam Wuruk dan Patih Gajah Mada, telah diciptakan hukum/perundangan-undangan Majapahit. Kitab hukum/perundangan-undangan Majapahit ini disebut Kutaramanawa yang termuat dalam dua piagam, yakni Piagam Bendasari (tidak bertarihk) dan Piagam Trowulan (bertarihk 1358). Kitab Kutaramanawa terdiri atas 275 pasal, namun dalam terjemahannya hanya disajikan 272 pasal karena satu pasal rusak dan yang dua lainnya merupakan ulangan pasal yang sejenis. Kitab perundang-undangan ini meliputi hukum pidana dan perdata dan disusun dalam 20 (dua puluh ) bab.

 Proses pengadilan, semua keputusan dalam pengadilan diambil atas nama raja yang disebut Sang Amawabhumi, artinya orang yang mempunyai/menguasai negara. Dalam soal pengadilan, raja dibantu oleh dua orang dharmadhyaksa, yakni Dharmadhyaksa ring Kasaiwan dan Dharmadhyaksa ring Kasogatan, yakni kepala agama Siwa dan kepala agama Buddha. Kedudukan dharmadhyaksa sama dengan hakim tinggi. Mereka dibantu oleh lima upapatti (pembantu).

 

Kerajaan Buleleng dan Kerajaan Dinasti Warmadewa di Bali

Menurut berita Cina di sebelah timur Kerajaan Kalingga ada daerah Po-li atau Dwa-pa-tan yang dapat disamakan dengan Bali. Adat istiadat di Dwa-pa-tan sama dengan kebiasaan orang-orang Kaling. Misalnya, penduduk biasa menulisi daun lontar. Bila ada orang meninggal, mayatnya dihiasi dengan emas dan ke dalam mulutnya dimasukkan sepotong emas, serta diberi bau-bauan yang harum. Kemudian mayat itu dibakar. Hal itu menandakan Bali telah berkembang. Dalam sejarah Bali, nama Buleleng mulai terkenal setelah periode kekuasaan Majapahit. Pada waktu di Jawa berkembang kerajaan-kerajaan Islam, di Bali juga berkembang sejumlah kerajaan. Misalnya Kerajaan Gelgel, Klungkung, dan Buleleng yang didirikan oleh I Gusti Ngurak Panji Sakti, dan selanjutnya muncul kerajaan yang lain. Nama Kerajaan Buleleng semakin terkenal, terutama setelah zaman penjajahan Belanda di Bali. Pada waktu itu pernah terjadi perang rakyat Buleleng melawan Belanda. Pada zaman kuno, sebenarnya Buleleng sudah berkembang.

 Pada masa perkembangan Kerajaan Dinasti Warmadewa, Buleleng diperkirakan menjadi salah satu daerah kekuasaan Dinasti Warmadewa. Sesuai dengan letaknya yang ada di tepi pantai, Buleleng berkembang menjadi pusat perdagangan laut. Hasil pertanian dari pedalaman diangkut lewat darat menuju Buleleng. Dari Buleleng barang dagangan yang berupa hasil pertanian seperti kapas, beras, asam, kemiri, dan bawang diangkut atau diperdagangkan ke pulau lain (daerah seberang). Perdagangan dengan daerah seberang mengalami perkembangan pesat pada masa Dinasti Warmadewa yang diperintah oleh Anak Wungsu. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya kata-kata pada prasasti yang disimpan di Desa Sembiran yang berangka tahun 1065 M.

 Kata-kata yang dimaksud berbunyi, “mengkana ya hana banyaga sakeng sabrangjong, bahitra, rumunduk i manasa...

Artinya, andai kata ada saudagar dari seberang yang datang dengan jukung bahitra berlabuh di manasa...”

 Sistem perdagangannya ada yang menggunakan sistem barter, ada yang sudah dengan alat tukar (uang). Pada waktu itu sudah dikenal beberapa jenis alat tukar (uang), misalnya ma, su dan piling. Dengan perkembangan perdagangan laut antar pulau di zaman kuno secara ekonomis Buleleng memiliki peranan yang penting bagi perkembangan kerajaan-kerajaan di Bali misalnya pada masa Kerajaan Dinasti Warmadewa.

 

Kerajaan Tulangbawang

Dari sumber-sumber sejarah Cina, kerajaan awal yang terletak di daerah Lampung adalah kerajaan yang disebut Bawang atau Tulang Bawang. Berita Cina tertua yang berkenaan dengan daerah Lampung berasal dari abad ke-5, yaitu dari kitab Liu-sung-Shu, sebuah kitab sejarah dari masa pemerintahan Kaisar Liu Sung (420–479). Kitab ini di antaranya mengemukakan bahwa pada tahun 499 M sebuah kerajaan yang terletak di wilayah Nusantara bagian barat bernama P’u-huang atau P’o-huang mengirimkan utusan dan barang-barang upeti ke negeri Cina. Lebih lanjut kitab Liu-sung-Shu mengemukakan bahwa Kerajaan P’o-huang menghasilkan lebih dari 41 jenis barang yang diperdagangkan ke Cina. Hubungan diplomatik dan perdagangan antara P’o-huang dan Cina berlangsung terus sejak pertengahan abad ke-5 sampai abad ke-6, seperti halnya dua kerajaan lain di Nusantara yaitu Kerajaan Ho-lo-tan dan Kan-t’o-li.

 Dalam sumber sejarah Cina yang lain, yaitu kitab T’ai-p’inghuang-yu-chi yang ditulis pada tahun 976–983 M, disebutkan sebuah kerajaan bernama T’o-lang-p’p-huang yang oleh G. Ferrand disarankan untuk diidentifikasikan dengan Tulang Bawang yang terletak di daerah pantai tenggara Pulau Sumatera, di selatan sungai Palembang (Sungai Musi). L.C. Damais menambahkan bahwa lokasi T’o-lang P’o-huang tersebut terletak di tepi pantai seperti dikemukakan di dalam Wu-pei-chih, “Petunjuk Pelayaran”. Namun, di samping itu Damais kemudian memberikan pula kemungkinan lain mengenai lokasi dan identifikasi P’o-huang atau “Bawang” itu dengan sebuah nama tempat bernama Bawang (Umbul Bawang) yang sekarang terletak di daerah Kabupaten Lampung Barat, yaitu di daerah Kecamatan Balik Bukit di sebelah utara Liwah. Tidak jauh dari desa Bawang ini, yaitu di desa Hanakau, sejak tahun 1912 telah ditemukan sebuah inskripsi yang dipahatkan pada sebuah batu tegak, dan tidak jauh dari tempat tersebut dalam waktu beberapa tahun terakhir ini masih ditemukan pula tiga buah inskripsi batu yang lainnya.

 

Kerajaan Kota Kapur

Dari hasil penelitian arkeologi yang dilakukan di Kota Kapur, Pulau Bangka, pada tahun 1994, diperoleh suatu petunjuk tentang kemungkinan adanya sebuah pusat kekuasaan di daerah itu sejak masa sebelum munculnya Kerajaan Sriwijaya. Pusat kekuasaan ini meninggalkan temuan-temuan arkeologi berupa sisa-sisa sebuah bangunan candi Hindu (Waisnawa) terbuat dari batu bersama dengan arca-arca batu, di antaranya dua buah arca Wisnu dengan gaya seperti arca-arca Wisnu yang ditemukan di Lembah Mekhing, Semenanjung Malaka, dan Cibuaya, Jawa Barat, yang berasal dari masa sekitar abad ke-5 dan ke-7 masehi. Sebelumnya di situs Kota Kapur selain telah ditemukan sebuah inskripsi batu dari Kerajaan Sriwijaya yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), telah ditemukan pula peninggalan-peninggalan yang lain di antaranya sebuah arca Wisnu dan sebuah arca Durga Mahisasuramardhini. Dari peninggalan-peninggalan arkeologi tersebut nampaknya kekuasaan di Pulau Bangka pada waktu itu bercorak Hindu-Waisnawa, seperti halnya di Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat.

 Temuan lain yang penting dari situs Kota Kapur ini adalah peninggalan berupa benteng pertahanan yang kokoh berbentuk dua buah tanggul sejajar terbuat dari timbunan tanah, masing-masing panjangnya sekitar 350 meter dan 1200 meter dengan ketinggian sekitar 2–3 meter. Penanggalan dari tanggul benteng ini menunjukkan masa antara tahun 530 M sampai 870 M. Benteng pertahanan tersebut yang telah dibangun sekitar pertengahan abad ke-6 tersebut agaknya telah berperan pula dalam menghadapi ekspansi Sriwijaya ke Pulau Bangka menjelang akhir abad ke-7. Penguasaan Pulau Bangka oleh Sriwijaya ini ditandai dengan dipancangkannya inskripsi Sriwijaya di Kota Kapur yang berangka tahun 608 Saka (=686 Masehi), yang isinya mengidentifikasikan dikuasainya wilayah ini oleh Sriwijaya. Penguasaan Pulau Bangsa oleh Sriwijaya ini agaknya berkaitan dengan peranan Selat Bangsa sebagai pintu gerbang selatan dari jalur pelayaran niaga di Asia Tenggara pada waktu itu. Sejak dikuasainya Pulau Bangka oleh Sriwijaya pada tahun 686 maka berakhirlah kekuasaan awal yang ada di Pulau Bangka.