Beranda

Minggu, 29 Mei 2022

Sekampung Punya Cerita Bagian 2 Fragmen Keramik Asing di Bedeng 63-Sekampung


 

Oleh:

Adi Setiawan

Perkenalan penulis dengan Situs Tridadi-Balong Jero berawal dari sebuah buku berjudul Sumatra Silang Budaya, yang di dalam terdapat pembahasan khusus mengenai tinggalan sejarah pada Daerah Aliran Sungai (DAS) Way Sekampung. Sungai Way Sekampung merupakan salah satu sungai besar yang ada di Lampung. Bagian hilir sungai ini berada bagian bukit barisan selatan Sumatra dan bermuara di Laut Jawa. Di beberapa titik pada DAS Way Sekampung terdapat temuan-temuan budaya manusia masa lalu. Salah satu titik temuan adalah Situs Tridadi-Balong Jero yang berada di Bedeng 63 Desa Trimulyo, Kecamatan Sekampung, Kabupaten Lampung Timur.

Pada buku berjudul Sumatra Silang Budaya, diinformasikan bahwa dalam sebuah ekskavasi berhasil ditemukan beberapa fragmen keramik Tiongkok yang diduga berasal dari zaman Dinasti Ming. Selain keramik Tiongkok juga berhasil ditemukan fragmen gerabah.

Dari literatur inilah kemudian membawa penulis bersama pecinta sejarah lainnya untuk berkunjung ke situs ini. Berbekal titik koordinat yang terdapat dalam buku Sumatra Silang Budaya, kami dengan yakin dapat menumekan situs ini. Keyakinan ini kemudian semakin terang setelah mendapat petunjuk dari seorang kolega di Trimulyo, ditambah dengan kemurahan penduduk sekitar yang senang hati mengantar kami ke situs ini.

Situs Tridadi-Balong Jero berjarak kurang lebih 25 km dari Kota Metro. Dari pusat Kecamatan Sekampung dapat ditempuh lewat rute Lapangan Sekampung-Bedeng 58-Bedeng 61A-Bedeng 63. Atau lewat rute Lapangan Sekampung-Bedeng 66-Bedeng 67-Bedeng 62-Bedeng 63.

Situs ini berada di area perkebunan sawit milik warga. Situs yang juga terdapat temuan manik-manik ini berada persis di sebalah kiri aliran Sungai Way Sekampung. Di area kebun sawit, fragmen gerabah dan keramik asing tersebar. Jika kita jeli pecahan-pecahan gerabah dan keramik ini juga terdapat pada jalan setapak yang sering dilalui oleh warga.

Benda-benda bersejarah ini terangkat kepermukaan karena memang sebelum menjadi perkebunan sawit area ini merupakan lahan bercocok tanam palawija. Sehingga adanya aktivitas pengolahan lahan membuat fragamen yang sebelumnya terbenam kemudian terangkat kepermukaan.

Temuan fragmen gerabah yang kami peroleh berupa gerabah polos tanpa hiasan. Sedangkan untuk keramik asing yang dijumpai di situs ini memiliki beberapa motif seperti motif tumbuh-tumbuhan dan binatang.

Keberadaan Situs Tridadi-Balong Jero ini memberikan suatu gambaran bahwa wilayah Kecamatan Sekampung di masa lampau telah memiliki peradaban umat manusia. Setidaknya dari adanya temuan fragmen keramik asing maupun gerabah dapat menunjukan bahwa telah ada aktivitas kehidupan, pemukiman ataupun kegiatan ekonomi di sekitar aliran Sungai Way Sekampung.

Selasa, 24 Mei 2022

Kala Lada Lampung Menjadi 'Amunisi' Perang

Cerita Lada dan Suburnya Tanah Lampung 

Tanaman Lada

(Sumber: Panennews.com)

 Oleh:

Adi Setiawan

 

Hari-hari terakhir ini jika kita membuka media sosial banyak sekali informasi, baik itu tentang seminar, webinar, perlombaan atau tulisan yang terkait dengan Jalur Rempah Nusantara. Menghidupkan kembali Jalur Rempah Nusantara merupakan suatu langkah strategis dalam membangkitkan semangat kebangsaan dan bernegara. Maka menyampaikan informasi tentang rempah menjadi suatu hal yang perlu terus dilakukan kepada masayarakat.

Rempah sejatinya bukanlah sesuatu yang asing bagi masyarakat Indonesia. Sejak ratusan tahun lalu rempah menjadi bagian penting dalam kehidupan, baik untuk pengobatan, bumbu masakan dan komoditas komersial. Rempah dari Indonesia diperdagangkan hingga melintasi samudra. Masuk ke pelabuhan-pelabuhan di Asia dan Eropa.

Salah satu komoditas rempah yang diunggulkan dari Indonesia adalah lada. Tanaman dengan buah beraroma khas ini menjadi primadona para pedagang dari luar negeri. Mereka rela berlayar berbulan-bulan lamanya guna mendapatkan lada dari Indonesia. Pasalnya, harga lada  sejak abad 16 Masehi mengalami kelonjokan. Hingga rempah yang satu ini harganya kerap disandingkan dengan emas, lada pun disebut sebagai emas hitam.

Daerah penghasil lada terbaik di Indonesia salah satunya adalah Lampung. Di Lampung lada banyak dibudidayakan di daerah Way Sekampung, Way Semaka, Way Seputih dan Way Tulang Bawang sejak sebelum abad 16 Masehi. Tanaman ini merambat pada dahan dadap atau randu. Tersohornya lada Lampung pernah membuat perebutan antara Banten dengan Palembang. Kedua kerajaan ini berusaha untuk menanamkan pengaruhnya di Lampung guna mendapatkan hasil produksi lada. Begitupun saat VOC memonopoli perdagangan rempah Nusantara, mereka juga berusaha untuk menarik Lampung sebagai wilayah taklukannya.

Lada tetap menjadi komoditas penting di kala perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Lada menjadi bagian dari 'amunisi' dalam menghadapi pasukan Belanda. Tercatat bahwa guna melakukan peperangan mempertahankan kemerdekaan, biaya peperangan salah satunya adalah dari hasil penjualan lada. Sistem yang dilakukan pemerintah saat itu adalah dengan melakukan pinjaman kepada rakyat yang memiliki lada. Pada salah satu arsip mengenai pinjam meminjam lada dari rakyat Jabung, diterangkan bahwa telah terjadi peminjaman lada dengan jumlah 500 kg. Kemudian dalam arsip berbeda diterangkan telah terjadi peminjaman lada sejumlah 2.500 kg. Dalam buku Sejarah Revolusi Fisik di Provinsi Lampung disebutkan beberapa rakyat Jabung yang berjasa memberikan bantuan itu diantaranya Haji Abdul Majid, Mohamma Ali Gelar Dalom Sempurnajaya, Minak Ngegeduh dan Haji Umar. Hal itu menunjukan bahwa peran penting rakyat sekaligus lada yang mereka miliki dalam menjaga kekuatan pasukan Indonesia di zaman revolusi.

Komoditas lada dari Lampung bersama dengan karet dan kopi, beberapa kemudian  dijual hingga Singapura. Ketatnya blokade laut yang dilakukan Belanda antara tahun 1948-1949 menjadi tantangan tersendiri bagi pejuang untuk menyelundupkan hasil bumi itu ke Singapura. Hasil penjualan lada, karet dan kopi itu kemudian dibelikan peralatan perang seperti pakaian perang, senjata, amunis dan obat-obatan. Perlu diketahui bahwa selepas Perundingan Renville, daerah Lampung bersama dengan Aceh dan Jambi merupakan daerah yang masih nihil pengaruh tentara Belanda. Dari tiga daerah inilah, pemerintah berusaha mendapatkan dana guna menyokong perjuangan. Di Lampung dibentuk sebuah badan usaha yang bernama Usaha Lampung Trading Company atau ULTRACO yang dipimpin oleh Mayor Arief dibantu Letnan Muda Mukim. Melalui firma ini berhasil diselundupkan kopi, lada dan karet menggunakan kapal-kapal milik Tan Seng Beng ke Singapura.

Maka keberadaan lada di Lampung saat ini bukan hanya sekedar komoditas perkebunan belaka, namun jika kita menengok sejarahnya lada telah memiliki peranan dalam mengenalkan nama Lampung ke luar negeri. Begitupun saat zaman perang kemerdekaan, lada juga menjadi bagian penting di dalamnya.

Referensi:

Tim Penulis. Tt. Sejarah Revolusi Fisik di Provinsi Lampung. Bandar Lampung: Depdikbud.

Wardoyo, Heri dkk. 2008. 100 Tokoh Terkemuka Lampung, 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Bandar Lampung: Lampung Post