BARTER DI NEGERI SINGA
Kisah Perjuangan Laksamana John Lie
Kisah Perjuangan Laksamana John Lie
Oleh : Adi Setiawan
Guru Sejarah SMAN 1 Sekampung Lampung Timur
email: adiabuuwais@gmail.com
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus
1945 tidak bisa secara langsung membersihkan Indonesia dari bangsa penjajah.
Belanda sebagai bagian dari Sekutu yang memenangi Perang Dunia II masih
berkeinginan untuk menguasai kembali wilayah Indonesia. Kehadiran Belanda di
wilayah Republik, berdampak pada buruk bagi Indonesia terlebih setelah Belanda
melakukan blokade perdagangan RI ke luar negeri. Belanda memberlakukan blokade
terhadap kapal-kapal Indonesia yang akan mengirim komoditas ekspor. Hal ini
tentu berdampak pada keuangan Indonesia yang sangat dibutuhkan dalam
pertempuran melawan Belanda.
Pemerintah mengerti, jika keadaan tersebut tidak
segera dicari solusinya, maka sumber daya pendukung tentara RI akan hilang dan
ini akan berdampak pada melemahnya kekuatan angkatan perang Indonesia. Blokade
Belanda di laut yang menghubungkan Indonesia Singapura kemudian disikapi dengan
melakukan penyelundupan oleh pemerintah. Sedapat mungkin hasil bumi khususnya
dari Sumatera dapat dijual di Singapura guna ditukar barang-barang dan peralatan
penunjang perang.
Maka pemerintah Indonesia mengutus Laksamana Muda
John Lie untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor
Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara
yang saat itu masih tipis. Misi melawan
blokade laut Belanda dilakukan Joh Lie dengan kapal menggunakan kapal Niaga
milik L. Watson pengusaha dari AS. Awal tahun 1947, ia pernah memandu kapal
yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di
Singapura, Utoyo Ramelan. Dengan adanya Agresi Militer I 21 Juli 1947 dia tidak
dapat kembali ke Indonesia dan memilih bergabung dengan Kepala Perwakilan
Pertahanan RI Bagian Luar Negeri Mayor Ali Djayeng Prawiro (Sugeng Rahayu
2011:24).
Secara rutin dia melakukan operasi menembus blokade
Belanda untuk mengirimkan karet atau hasil bumi lain dibawa ke
Singapura guna dibarter dengan senjata dan obat-obatan. Senjata yang diperoleh lalu
diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera. Daerah operasinya
cukup luas, meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila dan New Delhi.
Seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan
mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang
gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan.
Dalam melakukan operasi ini, John Lie menggunakan kapal ML–366 berbobot 60 Ton
miliknya, dinamakan the Outlaw (Sugeng Rahayu 2011:24).
Penyelundupan yang dilakukan Laksamana John Lie, paling
sedikit sebanyak 15 kali. Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia
ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan Singapura ia dibebaskan karena tidak
terbukti melanggar hukum. Ia pernah mengalami peristiwa menegangkan saat membawa
senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatera dengan menggunakan kapal yang menyamar
menggunakan bendera Inggris, dihadang pesawat terbang patroli maritim Belanda. Dengan menggunakan morse John Lie mengatakan
bahwa, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang
lagi berkulit gelap mungkin berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal
mereka. Tidak diketahui apa sebabnya, komandan tidak mengeluarkan perintah
tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin
persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka segera pergi (Sugeng Rahayu
2011:25).
Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman
Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka kemudian mendapat surat resmi
dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia
dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port
Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai
bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan
kemerdekaan Indonesia (Sugeng Rahayu 2011:25).
Antara kurun waktu 1947 hingga 1949, John Lie
bersama awak kapalnya berhasil memasok sejumlah besar senjata, amunisi dan
obat-obatan kepada para pejuang dan rakyat di Sumatera. Keberhasilan the
Outlaw berulangkali menerobos blokade Belanda di Selat Malaka menggemparkan
dunia lewat siaran radio BBC dan All Indian. Oleh radio BBC the
Outlaw dijuluki sebagai “The Black Speedboat” karena kemampuannya
beroperasi di malam hari tanpa penerangan dan tidak pernah tertangkap Belanda
(Wang Xiang Jun 2010:92).
Adanya berita-berita yang disiarkan oleh radio BBC
mengenai penyelundupan yang dilakukan kapal the Outlaw tersebut, sempat
membuat Belanda geram. Namun dari pihak Indonesia berita keberhasilan kapal the
Outlaw adalah berita yang senantiasa didengar para pejuang diplomatik Indonesia
seperti Sjahrir, KH Agus Salim, LN Palar dan Soedjatmiko di PBB, para diplomat Indonesia
mendapat tambahan “amunisi” untuk memperkuat argumen mereka bahwa Republik Indonesia
masih tetap eksis dan sekaligus menggugurkan provokasi Belanda yang menuduh
bahwa mereka hanyalah “sekumpulan gerombolan dan kaum ekstrimis” (Sugeng Rahayu
2011:25).
Pelayaran yang dilakukan Laksamana John Lie beserta
awak kapalnya telah memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan bangsa
Indonesia. John Lie dan para awak kapal the Outlaw telah menunjukan
semangat juang, walaupun dengan keterbatasan dan bahaya besar karena
kecintaannya pada kemerdekaan Indonesia tetap mereka lakukan.
Referensi :
Jun,
Wang Xiang. 2010. Orang-Orang China
Yang Mempengaruhi Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Solomon
Majalah
Veteran