Beranda

Selasa, 29 Mei 2018

BARTER DI NEGERI SINGA : Kisah Perjuangan Laksamana John Lie


BARTER DI NEGERI SINGA
Kisah Perjuangan Laksamana John Lie
Oleh : Adi Setiawan
Guru Sejarah SMAN 1 Sekampung Lampung Timur 
email: adiabuuwais@gmail.com
 

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 tidak bisa secara langsung membersihkan Indonesia dari bangsa penjajah. Belanda sebagai bagian dari Sekutu yang memenangi Perang Dunia II masih berkeinginan untuk menguasai kembali wilayah Indonesia. Kehadiran Belanda di wilayah Republik, berdampak pada buruk bagi Indonesia terlebih setelah Belanda melakukan blokade perdagangan RI ke luar negeri. Belanda memberlakukan blokade terhadap kapal-kapal Indonesia yang akan mengirim komoditas ekspor. Hal ini tentu berdampak pada keuangan Indonesia yang sangat dibutuhkan dalam pertempuran melawan Belanda.

Pemerintah mengerti, jika keadaan tersebut tidak segera dicari solusinya, maka sumber daya pendukung tentara RI akan hilang dan ini akan berdampak pada melemahnya kekuatan angkatan perang Indonesia. Blokade Belanda di laut yang menghubungkan Indonesia Singapura kemudian disikapi dengan melakukan penyelundupan oleh pemerintah. Sedapat mungkin hasil bumi khususnya dari Sumatera dapat dijual di Singapura guna ditukar barang-barang dan peralatan penunjang perang.

Maka pemerintah Indonesia mengutus Laksamana Muda John Lie untuk mengamankan pelayaran kapal yang mengangkut komoditas ekspor Indonesia untuk diperdagangkan di luar negeri dalam rangka mengisi kas negara yang saat itu masih tipis.  Misi melawan blokade laut Belanda dilakukan Joh Lie dengan kapal menggunakan kapal Niaga milik L. Watson pengusaha dari AS. Awal tahun 1947, ia pernah memandu kapal yang membawa karet 800 ton untuk diserahkan kepada Kepala Perwakilan RI di Singapura, Utoyo Ramelan. Dengan adanya Agresi Militer I 21 Juli 1947 dia tidak dapat kembali ke Indonesia dan memilih bergabung dengan Kepala Perwakilan Pertahanan RI Bagian Luar Negeri Mayor Ali Djayeng Prawiro (Sugeng Rahayu 2011:24). 

Secara rutin dia melakukan operasi menembus blokade Belanda untuk mengirimkan karet atau hasil bumi lain dibawa ke Singapura guna dibarter dengan senjata dan obat-obatan. Senjata yang diperoleh lalu diserahkan kepada pejabat Republik yang ada di Sumatera. Daerah operasinya cukup luas, meliputi Singapura, Penang, Bangkok, Rangoon, Manila dan New Delhi. Seperti Bupati Riau sebagai sarana perjuangan melawan Belanda. Perjuangan mereka tidak ringan karena selain menghindari patroli Belanda, juga harus menghadang gelombang samudera yang relatif besar untuk ukuran kapal yang mereka gunakan. Dalam melakukan operasi ini, John Lie menggunakan kapal ML–366 berbobot 60 Ton miliknya, dinamakan the Outlaw (Sugeng Rahayu 2011:24).

  Penyelundupan yang dilakukan Laksamana John Lie, paling sedikit sebanyak 15 kali. Pernah saat membawa 18 drum minyak kelapa sawit, ia ditangkap perwira Inggris. Di pengadilan Singapura ia dibebaskan karena tidak terbukti melanggar hukum. Ia pernah mengalami peristiwa menegangkan saat membawa senjata semi otomatis dari Johor ke Sumatera dengan menggunakan kapal yang menyamar menggunakan bendera Inggris, dihadang pesawat terbang patroli maritim Belanda. Dengan menggunakan morse John Lie mengatakan bahwa, kapalnya sedang kandas. Dua penembak, seorang berkulit putih dan seorang lagi berkulit gelap mungkin berasal dari Maluku, mengarahkan senjata ke kapal mereka. Tidak diketahui apa sebabnya, komandan tidak mengeluarkan perintah tembak. Pesawat itu lalu meninggalkan the Outlaw tanpa insiden, mungkin persediaan bahan bakar menipis sehingga mereka segera pergi (Sugeng Rahayu 2011:25).

Setelah menyerahkan senjata kepada Bupati Usman Effendi dan komandan batalyon Abusamah, mereka kemudian mendapat surat resmi dari syahbandar bahwa kapal the Outlaw adalah milik Republik Indonesia dan diberi nama resmi PPB 58 LB. Seminggu kemudian John Lie kembali ke Port Swettenham di Malaya untuk mendirikan naval base yang menyuplai bahan bakar, bensin, makanan, senjata, dan keperluan lain bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia (Sugeng Rahayu 2011:25). 

Antara kurun waktu 1947 hingga 1949, John Lie bersama awak kapalnya berhasil memasok sejumlah besar senjata, amunisi dan obat-obatan kepada para pejuang dan rakyat di Sumatera. Keberhasilan the Outlaw berulangkali menerobos blokade Belanda di Selat Malaka menggemparkan dunia lewat siaran radio BBC dan All Indian. Oleh radio BBC the Outlaw dijuluki sebagai “The Black Speedboat” karena kemampuannya beroperasi di malam hari tanpa penerangan dan tidak pernah tertangkap Belanda (Wang Xiang Jun 2010:92).

Adanya berita-berita yang disiarkan oleh radio BBC mengenai penyelundupan yang dilakukan kapal the Outlaw tersebut, sempat membuat Belanda geram. Namun dari pihak Indonesia berita keberhasilan kapal the Outlaw adalah berita yang senantiasa didengar para pejuang diplomatik Indonesia seperti Sjahrir, KH Agus Salim, LN Palar dan Soedjatmiko di PBB, para diplomat Indonesia mendapat tambahan “amunisi” untuk memperkuat argumen mereka bahwa Republik Indonesia masih tetap eksis dan sekaligus menggugurkan provokasi Belanda yang menuduh bahwa mereka hanyalah “sekumpulan gerombolan dan kaum ekstrimis” (Sugeng Rahayu 2011:25).

Pelayaran yang dilakukan Laksamana John Lie beserta awak kapalnya telah memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perjuangan bangsa Indonesia. John Lie dan para awak kapal the Outlaw telah menunjukan semangat juang, walaupun dengan keterbatasan dan bahaya besar karena kecintaannya pada kemerdekaan Indonesia tetap mereka lakukan.   

Referensi :

Jun, Wang Xiang. 2010.  Orang-Orang China Yang Mempengaruhi Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Solomon


Majalah Veteran 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar