Beranda

Minggu, 29 Maret 2020

KOLONISASI DAN TRANSMIGRASI DI UJUNG SUMATRA


KOLONISASI DAN TRANSMIGRASI
DI UJUNG SUMATRA

Oleh: Adi Setiawan

Metro, Kota Kolonisasi yang Maju | potensilampung.com 
Pembangunan saluran irigasi/ledeng (potensilampung.com)

Masa lalu umat manusia memang unik, karena hanya sekali terjadi dan tak mungkin terulang kembali. Lahir, perkembangan, dan kematian silih berganti memberikan nuansa sedih bahagia dalam diri manusia. Inilah fenomena yang selalu menyertai hingar bingar kehidupan manusia. Namun sangat sedikit dari manusia yang mampu melakukan interpretasi masa lalunya kemudian menarik pelajaran berharga dari setiap penggal peristiwa yang pernah terjadi. Sebenarnya sungguh berharga nilai pelajaran yang patut diambil dari setiap peristiwa itu.

Adanya masyarakat tentu tidak dapat dilepaskan dari ruang mereka hidup. Dari mulai lahir, tumbuh, hingga wafat pasti memerlukan ruang atau tempat. Hingga aspek ruang adalah salah satu aspek penting dalam suatu peristiwa.

Pada masa lalu, saat negara ini dijajah oleh Belanda, ada satu kebijakan yang terkait dengan hubungan manusia dengan ruang mereka tinggal. Atas dasar kepadatan penduduk di Jawa, pemerinah kolonial mencanangkan satu program pemindahan penduduk keluar Jawa yang disebut kolonisasi. Kebijakan yang merupakan dorongan dari Kaum Etisi seperti van Deventer itu mewujudkan perpindahan penduduk dari Jawa ke Sumatra untuk pertama kali di masa kekuasaan Belanda. Setelah Belanda hengkang dari Indonesia kebijakan pemindahan penduduk dari daerah yang dirasa memiliki kepadatan penduduk ke daerah yang berpenduduk jarang masih tetap dilakukan pula.

Pemindahan penduduk oelah Belanda keluar Jawa pertama kali terjadi pada tahun 1905. Kolonisasi perdana ini berhasil memindahkan masyarakat dari Karesidenan Kedu ke dearah Lampung. Merasa berhasil, Belanda kemudian melanjutkan program kolonisasinya di Lampung hingga sebelum Jepang mencengkram Indonesia.

Maka sejak tahun 1905 itu mulai muncul pembukaan hutan belantara menjadi pemukiman dan lahan bercocok tanam. Melalui analisis wilayah, dari beberapa daerah kolonisasi tersebut ada yang diperuntukan untuk lahan perkebunan dan lahan pertanian. Untuk mendorong program kolonisasi tersebut Belanda juga membangun sarana irigasi guna mengairi sawah-sawah yang baru dicetak oleh para kolonis.

Di awal lahirnya wilayah kolonisasi, dapat digambarkan pemukiman dibuat seadanya memanfaat tumbuhan yang ada, seperti ilalang dan kayu. Perjuangan kolonis dalam membuka hutan kemudian berbuah setelah hutan tersebut disulap menjadi lahan bercocok tanam. Ada yang menanam padi, jagung, singkong, dan sebagainya.

Keberhasilan itu kemudian menjadi alat bagi pemerintah kolonial untuk menjadikannya sebuah iklan. Melalui foto-foto keberhasilan warga kolonis di Lampung, pemerintah kolonial melakukan kampanye kepada penduduk di Jawa untuk mau berpindah ke Lampung. Ajakan Belanda tersebut kemudian mengalami keberhasilan. Maka dalam tahap selanjutnya mulai dibuka lahan-lahan baru.

Salah satu wilayah kolonisasi yang berkembang kala itu adalah wilayah kolonisasi Gedong Dalam yang kemudian berubah menjadi Kawedanaan Metro yang mencakup empat asisten kewedanaan yakni asisten kewedanaan Trimurjo, asisten kewedanaan Pekalongan, asisten kewedanaan Batanghari, dan asisten kewedanaan Sekampung.

Wilayah kolonisasi ini oleh pemerintah kolonial sengaja dikembangkan menjadi areal persawahan, untuk mendukung itu pemerintah Belanda membangun Bendungan Argo Guruh serta membangun saluran  irigasi, masyarakat kolonis menyebutnya ledeng. Sarana pengairan yang dibangun sejak tahun 1935 tersebut masih dapat dilihat keberadaannya hingga kini. Keunikan lain dari kolonisasi di Kawedanaan Metro juga adanya penomoran setiap kampung yang disebut bedeng. Dalam catatan sejarah di Kawedanaan Metro terdiri atas 70 bedeng. Penyebutan desa dengan bedeng juga tak dapat ditinggalkan hingga saat ini.

Perkembangan kolonisasi yang kemudian berganti dengan istilah transmigrasi pasca kemerdekaan Indonesia telah mengubah hutan belantara di daerah Sekampung, Marga Tiga, Bumi Agung dan sekitarnya menjadi daerah pemukiman dan pertanian yang berkembang pesat. Adanya program pemindahan penduduk tersebut kemudian juga berdampak terhadap terjadinya interaksi antara Suku Lampung dengan suku-suku pendatang.

Perpindahan penduduk di wilayah-wilayah yang disebutkan di atas sebenarnya telah terjadi sebelum adanya program transmigrasi ataupun kolonisasi. Perpindahan swadaya yang dilakukan penduduk juga telah terjadi sejak zaman perkembangan Islam di Lampung. Hal ini sebagimana yang terjadi di daerah Gedung Wani, telah terjadi pergerakan penduduk dengan menyusuri sungai. Dengan mengikuti alur sungai tersebut, sebuah rombongan kemudian membuka hutan yang kemudian diubah menjadi pemukiman yang disebut Gedung Wani. Dari pemaparan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa sejak masa awal sampai kemerdekaan Indonesia, daerah Lampung telah menjadi wilayah tujuan perpindahan manusia. Hal tersebut turut memperkaya khazanah sejarah di daerah Lampung.


TENTANG PENULIS

Adi Setiawan lahir di Lampung pada 08 Desember 1992. Penulis menyelesaikan sarjana pendidikan sejarah pada Universitas Muhammadiyah Metro. Saat ini penulis adalah tenaga pengajar mata pelajaran sejarah di SMA Negeri 1 Sekampung, Lampung Timur. Di luar aktivitas mengajar penulis mendalami hobi dalam dunia tulis-menulis baik artikel maupun karya ilmiah terkait dengan ilmu sejarah. Penulis dapat dihubungi WA: 0857 8318 0235 dan IG: adi_abuuwais.

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar