KOLONISASI DAN TRANSMIGRASI
DI UJUNG SUMATRA
Oleh: Adi
Setiawan
Pembangunan saluran irigasi/ledeng (potensilampung.com)
Masa lalu umat manusia memang unik, karena hanya sekali terjadi dan tak mungkin terulang kembali. Lahir,
perkembangan, dan kematian silih berganti memberikan nuansa sedih bahagia dalam
diri manusia. Inilah fenomena yang selalu menyertai hingar bingar kehidupan
manusia. Namun sangat sedikit dari manusia yang mampu melakukan interpretasi
masa lalunya kemudian menarik pelajaran berharga dari setiap penggal peristiwa
yang pernah terjadi. Sebenarnya sungguh berharga nilai pelajaran yang patut
diambil dari setiap peristiwa itu.
Adanya masyarakat tentu tidak dapat dilepaskan
dari ruang mereka hidup. Dari mulai lahir, tumbuh, hingga wafat pasti memerlukan ruang atau tempat.
Hingga aspek ruang adalah salah satu aspek penting dalam suatu peristiwa.
Pada masa lalu, saat negara
ini dijajah oleh Belanda, ada satu kebijakan yang terkait dengan hubungan
manusia dengan ruang mereka tinggal. Atas dasar kepadatan penduduk di Jawa,
pemerinah kolonial mencanangkan satu program pemindahan penduduk keluar Jawa
yang disebut kolonisasi. Kebijakan yang merupakan dorongan dari Kaum Etisi
seperti van Deventer itu mewujudkan perpindahan penduduk dari Jawa ke Sumatra
untuk pertama kali di masa kekuasaan Belanda. Setelah Belanda hengkang dari
Indonesia kebijakan pemindahan penduduk dari daerah yang dirasa memiliki
kepadatan penduduk ke daerah yang berpenduduk jarang masih tetap dilakukan
pula.
Pemindahan penduduk oelah Belanda keluar Jawa
pertama kali terjadi pada tahun 1905. Kolonisasi perdana ini berhasil
memindahkan masyarakat dari Karesidenan Kedu ke dearah Lampung. Merasa
berhasil, Belanda kemudian melanjutkan program kolonisasinya di Lampung hingga
sebelum Jepang mencengkram Indonesia.
Maka sejak tahun 1905 itu mulai muncul
pembukaan hutan belantara menjadi pemukiman dan lahan bercocok tanam. Melalui
analisis wilayah, dari beberapa daerah kolonisasi tersebut ada yang
diperuntukan untuk lahan perkebunan dan lahan pertanian. Untuk mendorong
program kolonisasi tersebut Belanda juga membangun sarana irigasi guna mengairi
sawah-sawah yang baru dicetak oleh para kolonis.
Di awal lahirnya wilayah kolonisasi, dapat
digambarkan pemukiman dibuat seadanya memanfaat tumbuhan yang ada, seperti
ilalang dan kayu. Perjuangan kolonis dalam membuka hutan kemudian berbuah
setelah hutan tersebut disulap menjadi lahan bercocok tanam. Ada yang menanam
padi, jagung, singkong, dan sebagainya.
Keberhasilan itu kemudian menjadi alat bagi
pemerintah kolonial untuk menjadikannya sebuah iklan. Melalui foto-foto
keberhasilan warga kolonis di Lampung, pemerintah kolonial melakukan kampanye
kepada penduduk di Jawa untuk mau berpindah ke Lampung. Ajakan Belanda tersebut
kemudian mengalami keberhasilan. Maka dalam tahap selanjutnya mulai dibuka
lahan-lahan baru.
Salah satu wilayah kolonisasi yang berkembang
kala itu adalah wilayah kolonisasi Gedong Dalam yang kemudian berubah menjadi
Kawedanaan Metro yang mencakup empat asisten kewedanaan yakni asisten
kewedanaan Trimurjo, asisten kewedanaan Pekalongan, asisten kewedanaan
Batanghari, dan asisten kewedanaan Sekampung.
Wilayah kolonisasi ini oleh pemerintah kolonial
sengaja dikembangkan menjadi areal persawahan, untuk mendukung itu pemerintah
Belanda membangun Bendungan Argo Guruh serta membangun saluran irigasi, masyarakat kolonis menyebutnya
ledeng. Sarana pengairan yang dibangun sejak tahun 1935 tersebut masih dapat
dilihat keberadaannya hingga kini. Keunikan lain dari kolonisasi di Kawedanaan
Metro juga adanya penomoran setiap kampung yang disebut bedeng. Dalam catatan
sejarah di Kawedanaan Metro terdiri atas 70 bedeng. Penyebutan desa dengan
bedeng juga tak dapat ditinggalkan hingga saat ini.
Perkembangan kolonisasi yang kemudian berganti
dengan istilah transmigrasi pasca kemerdekaan Indonesia telah mengubah hutan
belantara di daerah Sekampung, Marga Tiga, Bumi Agung dan sekitarnya menjadi
daerah pemukiman dan pertanian yang berkembang pesat. Adanya program pemindahan
penduduk tersebut kemudian juga berdampak terhadap terjadinya interaksi antara
Suku Lampung dengan suku-suku pendatang.
Perpindahan penduduk di wilayah-wilayah yang
disebutkan di atas sebenarnya telah terjadi sebelum adanya program transmigrasi
ataupun kolonisasi. Perpindahan swadaya yang dilakukan penduduk juga telah
terjadi sejak zaman perkembangan Islam di Lampung. Hal ini sebagimana yang
terjadi di daerah Gedung Wani, telah terjadi pergerakan penduduk dengan
menyusuri sungai. Dengan mengikuti alur sungai tersebut, sebuah rombongan
kemudian membuka hutan yang kemudian diubah menjadi pemukiman yang disebut
Gedung Wani. Dari pemaparan di atas kita dapat menyimpulkan
bahwa sejak masa awal sampai kemerdekaan Indonesia, daerah Lampung telah
menjadi wilayah tujuan perpindahan manusia. Hal tersebut turut memperkaya khazanah sejarah di
daerah Lampung.
TENTANG
PENULIS
Adi Setiawan lahir di Lampung pada 08 Desember
1992. Penulis menyelesaikan sarjana pendidikan sejarah pada Universitas
Muhammadiyah Metro. Saat ini penulis adalah tenaga pengajar mata pelajaran
sejarah di SMA Negeri 1 Sekampung, Lampung Timur. Di luar aktivitas mengajar
penulis mendalami hobi dalam dunia tulis-menulis baik artikel maupun karya
ilmiah terkait dengan ilmu sejarah. Penulis
dapat dihubungi WA: 0857 8318 0235 dan IG: adi_abuuwais.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar