Beranda

Senin, 23 Januari 2023

Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang

Penyusun: Adi Setiawan

Empat Serangkai (Sumber: Ruang Guru)


1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama)

Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang menggunakan kesempatan pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga-lembaga yang dibentuk Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Mereka dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. Putera merupakan sebuah organisasi yang dibentuk Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat Indonesia untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi Sekutu.

Ir. Soekarno selalu menyisipkan penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang dengan risiko apa pun untuk menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk perjuangan. Para pemimpin Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin Indonesia tidak bodoh untuk dibohongi oleh Jepang.

 

2. Perjuangan Bawah Tanah

Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka. Kelompok-kelompok perjuang tersebut, antara lain:

a. Kelompok Sukarni

Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad Yamin. Sukarni menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan mengungkapkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.

b. Kelompok Ahmad Subarjo

Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Subarjo, Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”. Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda Indonesia.

c. Kelompok Sutan Syahrir

Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan nasional, yang pada zaman Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya, kemudian dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir berjuang diam-diam dengan cara menghimpun teman-teman sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda.


d. Kelompok Pemuda

Pada masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa. Organisasi ini merupakan wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa Jepang dan menyusun pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam perjuangannya, kelompok pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain, yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh Kelompok Pemuda yang terkenal antara lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb.


3. Perlawanan Angkat Senjata

a. Perlawanan di Cot Plieng, Aceh

Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong. Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.

b. Perlawanan di Tasikmalaya, Jawa Barat

Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan tidak bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk melakukan Seikeirei, memberikan penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk seperti itu sama saja dengan memberikan penghormatan lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal tersebut terkarang karena dianggap menyekutukan Tuhan. Pemerintahan Jepang kemudian mengutus seseorang untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak berhasil karena dihadang rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut memberitahukan peristiwa tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya dikuburkan di daerah Ancol, dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.

c. Perlawanan di Indramayu

Daerah Jawa Barat lainnya adalah di Indramayu dan Loh Bener serta Sindang di daerah Pantai Utara Jawa Barat dekat Cirebon. Perlawanan itu dipimpin oleh H. Madriyas. Perlawanan ini dilatar belakangi oleh kewajiban menyetor hasil padi dan pelaksanaan romusha Perlawanan ini pun berhasil dipatahkan oleh tentara Jepang.


d. Perlawanan PETA di Blitar

Di Blitar, perlawanan meletus pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi, Muradi, Suparyono, Sunanto, Sudarmo, dan Halir. Supriyadi adalah Komandan Pleton I, Kompi III dari Batalyon II pasukan Peta di Blitar. Sejak pukul 03.00 WIB pasukannya sudah melancarkan serangan hebat dan tentara Jepang terdesak. Namun, pasukan Supriyadi mampu dikalahkan setelah bala bantuan Jepang yang sangat besar datang. Kurang lebih 70 tentara Peta diajukan pada pengadilan militer Jepang untuk diadili. Supriyadi sendiri dalam proses pengadilan tidak disebut-sebut. Ia dinyatakan hilang.

e. Perlawanan Tengku Abdul Hamid

Di Aceh perlawanan meletus di daerah Pandreh Kabupaten Berena. Pemimpinnya adalah seorang perwira Giyugun yang bernama Tengku Abdul Hamid. Ia bersama 20 pleton pasukan melarikan diri dari asrama Giyugun, kemudian bergerilya di daerah pegunungan. Untuk menangkapnya, Jepang menyandera keluarganya. Dengan cara itu, Tengku Abdul Hamid tertangkap dan pasukannya pun bubar.

Sementara itu Di Gumilir, Cilacap perlawanan dipimpin oleh seorang komandan regu bernama Khusaeri. Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun setelah bala bantuan datang Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa Barat, pun meletus perlawanan dari para personil Peta yang juga dapat dilumpuhkan.


e. Perlawanan Rakyat Papua

Pada 1943, rakyat Papua melakukan perlawanan terhadap Jepang. Perlawanan rakyat Papua tersebut diawali dengan kemunculan gerakan Koreri di Biak. Pasalnya, selama berkuasa di Biak, Jepang melakukan hal-hal kejam. Rakyat Biak dijadikan budak, dipukuli, dan dianiaya secara keji. Rakyat Papua yang merasa Jepang sudah berperilaku seenaknya pun melakukan perlawanan di bawah pimpinan L Rumkorem. Gerakan Koreri adalah gerakan yang menjadi wujud kekecewaan rakyat Papua atas tindakan Jepang dengan basis perlawanan di Biak. Dalam perlawanan ini, rakyat Papua yang melawan secara gerilya sebenarnya banyak yang menjadi korban. Namun, mereka tidak menyerah. Rakyat Papua tetap gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya Jepang kewalahan dan hengkang dari Biak. Biak pun menjadi daerah bebas dan merdeka pertama di Indonesia dari penjajahan Jepang.

Selain itu juga terjadi perlawanan di daerah Sarmi. Jepang masuk ke daerah Sarmi pada sekitar 1942. Awalnya, kedatangan mereka disambut dengan baik oleh masyarakat setempat. Namun, pada akhirnya, sambutan baik rakyat dibalas dengan kekecewaan dan penderitaan. Pasalnya, Jepang kerap melakukan penindasan yang kejam terhadap penduduk Sarmi. Warga Sarmi dikerahkah untuk mengerjakan proyek pembangunan jalan raya dan lapangan udara oleh Jepang. Agar pembangunannya cepat selesai, Jepang memerlukan banyak tenaga kerja dan menjerumuskan rakyat Sarmi ke dalam kerja paksa (romusha). Semua tindakan yang dilakukan Jepang saat itu membuat penduduk Sarmi geram dan akhirnya mulai melakukan perlawanan. Perlawanan rakyat Papua di Sarmi diperkirakan terjadi pada 1944. Perlawanan dilakukan di lima pos milik Jepang, yaitu Hollandia, Sarmi, Biak, Numfor, dan Sausafor.

Dari kelima pos tersebut, diketahui ada sekitar 2.119 tentara Jepang yang dibunuh oleh penduduk Papua. Di tengah masa perlawanan, Sekutu kembali ke Indonesia dan berusaha menendang keberadaan Jepang di Tanah Air. Rakyat Papua yang masih menyimpan dendam terhadap Jepang pun ikut membantu Sekutu melawan pasukan dari negeri Sakura tersebut. Pada akhirnya, Jepang berhasil ditaklukkan dan perlahan-lahan mulai meninggalkan daerah Sarmi. Bahkan, sebagian besar barang-barang milik tentara Jepang juga ditinggalkan. 

 Perlawanan rakyat Papua terhadap Jepang juga meluas hingga ke Pulau Yapen Selatan. Dengan dipimpin oleh Nimrod, rakyat Papua terus berusaha memukul mundur pasukan Jepang dari Pulau Yapen. Ketika itu, Jepang juga terlibat dalam perang Asia Pasifik. Sekutu, yang mengetahui perlawanan rakyat Papua saat itu, turut membantu dengan menyuplai senjata. Sayangnya, meski rakyat Papua juga mendapat bantuan dari Sekutu, Nimrod ditangkap oleh Jepang.

Menurut catatan sejarah, Nimrod dihukum pancung oleh Jepang agar rakyat Papua merasa takut. Namun, kejadian itu tidak melemahkan kekuatan rakyat Papua. Setelah Nimrod gugur, muncul pemimpin baru, yaitu Silas Papare. Bersama dengan Silas Papare, rakyat Papua terus melawan Jepang.  Masih di sekitar tahun yang sama, yaitu antara 1944-1945, perlawanan rakyat Papua terhadap Jepang juga terjadi di Tanah Besar, daratan Papua. Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Sekutu juga masih ikut membantu rakyat Papua dengan memberikan pasokan senjata. Melalui kerja sama antara rakyat Papua dengan Sekutu, pasukan Jepang berhasil diusir, terutama setelah rakyat Papua melakukan taktik perang gerilya.

f. Perlawanan rakyat Kalimantan 

Tidak tahan dengan kekejaman Jepang, pada akhir 1944, orang-orang Dayak mulai melancarkan serangan. Meski berhasil membunuh beberapa orang Jepang, perlawanan mereka belum memberikan hasil yang berarti. Bahkan perlawanan rakyat dibalas oleh Jepang dengan akibat-akibat yang sangat buruk. Pada awal 1945, orang-orang Dayak di daerah hulu Kapuas di pedalaman Kalimantan Barat bangkit melawan Jepang. Pasukan Jepang yang sibuk menghadapi pendaratan pasukan Sekutu pun menjadi kelabakan. Bahkan kegarangan orang Dayak dalam bertempur membuat banyak prajurit Jepang melarikan diri ke hilir. Hal itu membuat orang-orang Dayak semakin berani memasuki Pontianak dengan membawa senjata tajam, termasuk senapan, tombak, parang, dan sumpit. 

Salah satu tokoh perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang adalah Pang Suma, yang mulai melancarkan aksinya pada pertengahan Februari 1945. Hingga 13 Mei 1945, kondisi di Kalimantan Barat kian memburuk, terutama setelah kedatangan mandor perusahaan kayu Jepang, Osaki. Selain kejam, Osaki memaksa ingin menikahi gadis Dayak. Apabila niatnya itu ditolak, ia mengancam akan membunuh ayah gadis itu. Pada akhirnya, Pang Suma memenggal Osaki dan membakar satu perusahaan ekspedisi yang dikelola komandan Kempeitai Kaisu Nagatani di Meliau. 

Selain itu, pimpinan perusahaan kayu lainnya di Niciran, Soetsoegi, juga dipenggal. Peristiwa ini semakin membakar semangat orang-orang Dayak untuk melakukan perlawanan. Gerakan perlawanan pun berkembang luas ke segenap rumpun Dayak di hulu, pesisir, dan pedalaman Kapuas hingga Melawai, Barito, dan Mahakam. Sementara itu, Jepang yang semakin panik segera mengerahkan pasukannya dan terjadilah pertempuran hebat antara laskar Pang Suma dan militer Jepang di Meliau. Sayangnya, Pang Suma gugur di medan perang bersama sebagian pasukannya dan perlawanan berhasil dipadamkan Jepang. Kendati demikian, harapan rakyat Kalimantan untuk mengusir Jepang terkabul. Pasalnya, tiga bulan setelah kematian Pang Suma, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

 

Referensi: Diolah dari berbagai sumber.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar