Penyusun: Adi Setiawan
1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama)
Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang menggunakan
kesempatan pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Banyak di
antara mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga-lembaga yang
dibentuk Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan
K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Mereka
dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. Putera merupakan sebuah organisasi
yang dibentuk Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat Indonesia
untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi Sekutu.
Ir.
Soekarno selalu menyisipkan penanaman jiwa dan semangat nasionalisme,
pentingnya persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang dengan risiko apa
pun untuk menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, kebijakan pemerintah
Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk perjuangan. Para pemimpin
Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk rasa persatuan dan
kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin Indonesia tidak bodoh untuk dibohongi
oleh Jepang.
2.
Perjuangan Bawah Tanah
Perjuangan
bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia.
Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa
instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya
terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan
mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka.
Kelompok-kelompok perjuang tersebut, antara lain:
a.
Kelompok Sukarni
Sukarni
adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang,
ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad
Yamin. Sukarni menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara
lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto
Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan
cita-cita kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan mengungkapkan
kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.
b.
Kelompok Ahmad Subarjo
Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang
menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung
Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa
Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok
Ahmad Subarjo, Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama
Indonesia Merdeka”. Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa
Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme
kepada para pemuda Indonesia.
c.
Kelompok Sutan Syahrir
Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan
nasional, yang pada zaman Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di
Irian Jaya, kemudian dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada
masa pendudukan Jepang, Syahrir berjuang diam-diam dengan cara menghimpun
teman-teman sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia
Belanda.
d. Kelompok Pemuda
Pada
masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang
terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi
Kedokteran) dan kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan
Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar
tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa.
Organisasi ini merupakan wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa
Jepang dan menyusun pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam
perjuangannya, kelompok pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok
yang lain, yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan Kelompok
Syahrir. Tokoh-tokoh Kelompok Pemuda yang terkenal antara lain: Chaerul
Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A.
Ratulangi, dan Syarif Thayeb.
3.
Perlawanan Angkat Senjata
a.
Perlawanan di Cot Plieng, Aceh
Perlawanan
di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama pemuda.
Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat rakyat
sedang melaksanakan shalat Subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat
digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang, pedang, dan
rencong. Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara Jepang berhasil
dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil
dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan
sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.
b.
Perlawanan di Tasikmalaya, Jawa Barat
Perlawanan
di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal Mustofa.
Perlawanan ini terkait dengan tidak bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk
melakukan Seikeirei, memberikan penghormatan kepada Kaisar
Jepang. Dalam pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk seperti itu sama saja dengan
memberikan penghormatan lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal
tersebut terkarang karena dianggap menyekutukan Tuhan. Pemerintahan Jepang
kemudian mengutus seseorang untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak
berhasil karena dihadang rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut
memberitahukan peristiwa tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena
tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari
setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil
ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya
dikuburkan di daerah Ancol, dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.
c.
Perlawanan di Indramayu
Daerah
Jawa Barat lainnya adalah di Indramayu dan Loh Bener serta Sindang di daerah
Pantai Utara Jawa Barat dekat Cirebon. Perlawanan itu dipimpin oleh H.
Madriyas. Perlawanan ini dilatar belakangi oleh kewajiban menyetor hasil padi dan pelaksanaan romusha Perlawanan ini pun berhasil dipatahkan oleh tentara Jepang.
d. Perlawanan PETA di Blitar
Di
Blitar, perlawanan meletus pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Shodanco
Supriyadi, Muradi, Suparyono, Sunanto, Sudarmo, dan Halir. Supriyadi
adalah Komandan Pleton I, Kompi III dari Batalyon II pasukan Peta di Blitar.
Sejak pukul 03.00 WIB pasukannya sudah melancarkan serangan hebat dan tentara
Jepang terdesak. Namun, pasukan Supriyadi mampu dikalahkan setelah bala bantuan
Jepang yang sangat besar datang. Kurang lebih 70 tentara Peta diajukan pada
pengadilan militer Jepang untuk diadili. Supriyadi sendiri dalam proses
pengadilan tidak disebut-sebut. Ia dinyatakan hilang.
e. Perlawanan Tengku Abdul Hamid
Di Aceh perlawanan meletus di daerah Pandreh Kabupaten Berena.
Pemimpinnya adalah seorang perwira Giyugun yang bernama Tengku Abdul
Hamid. Ia bersama 20 pleton pasukan melarikan diri dari asrama Giyugun,
kemudian bergerilya di daerah pegunungan. Untuk menangkapnya, Jepang menyandera
keluarganya. Dengan cara itu, Tengku Abdul Hamid tertangkap dan pasukannya pun
bubar.
Sementara itu Di Gumilir, Cilacap perlawanan dipimpin oleh seorang komandan regu bernama Khusaeri. Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun setelah bala bantuan datang Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa Barat, pun meletus perlawanan dari para personil Peta yang juga dapat dilumpuhkan.
e. Perlawanan Rakyat Papua
Pada 1943, rakyat Papua melakukan perlawanan terhadap Jepang. Perlawanan
rakyat Papua tersebut diawali dengan kemunculan gerakan Koreri di Biak.
Pasalnya, selama berkuasa di Biak, Jepang melakukan hal-hal kejam. Rakyat Biak
dijadikan budak, dipukuli, dan dianiaya secara keji. Rakyat Papua yang merasa
Jepang sudah berperilaku seenaknya pun melakukan perlawanan di bawah pimpinan L
Rumkorem. Gerakan Koreri adalah gerakan yang menjadi wujud kekecewaan rakyat
Papua atas tindakan Jepang dengan basis perlawanan di Biak. Dalam perlawanan
ini, rakyat Papua yang melawan secara gerilya sebenarnya banyak yang menjadi
korban. Namun, mereka tidak menyerah. Rakyat Papua tetap gigih melakukan
perlawanan sampai akhirnya Jepang kewalahan dan hengkang dari Biak. Biak pun
menjadi daerah bebas dan merdeka pertama di Indonesia dari penjajahan Jepang.
Selain itu juga terjadi perlawanan di daerah Sarmi. Jepang masuk ke daerah
Sarmi pada sekitar 1942. Awalnya, kedatangan mereka disambut dengan baik oleh
masyarakat setempat. Namun, pada akhirnya, sambutan baik rakyat dibalas dengan
kekecewaan dan penderitaan. Pasalnya, Jepang kerap melakukan penindasan yang
kejam terhadap penduduk Sarmi. Warga Sarmi dikerahkah untuk mengerjakan proyek
pembangunan jalan raya dan lapangan udara oleh Jepang. Agar pembangunannya
cepat selesai, Jepang memerlukan banyak tenaga kerja dan menjerumuskan rakyat
Sarmi ke dalam kerja paksa (romusha). Semua tindakan yang dilakukan Jepang saat
itu membuat penduduk Sarmi geram dan akhirnya mulai melakukan perlawanan.
Perlawanan rakyat Papua di Sarmi diperkirakan terjadi pada 1944. Perlawanan
dilakukan di lima pos milik Jepang, yaitu Hollandia, Sarmi, Biak, Numfor, dan
Sausafor.
Dari kelima pos tersebut, diketahui ada sekitar 2.119 tentara Jepang yang
dibunuh oleh penduduk Papua. Di tengah masa perlawanan, Sekutu kembali ke
Indonesia dan berusaha menendang keberadaan Jepang di Tanah Air. Rakyat Papua
yang masih menyimpan dendam terhadap Jepang pun ikut membantu Sekutu melawan
pasukan dari negeri Sakura tersebut. Pada akhirnya, Jepang berhasil ditaklukkan
dan perlahan-lahan mulai meninggalkan daerah Sarmi. Bahkan, sebagian besar
barang-barang milik tentara Jepang juga ditinggalkan.
Perlawanan rakyat Papua terhadap Jepang juga meluas hingga ke Pulau
Yapen Selatan. Dengan dipimpin oleh Nimrod, rakyat Papua terus berusaha memukul
mundur pasukan Jepang dari Pulau Yapen. Ketika itu, Jepang juga terlibat dalam
perang Asia Pasifik. Sekutu, yang mengetahui perlawanan rakyat Papua saat itu,
turut membantu dengan menyuplai senjata. Sayangnya, meski rakyat Papua juga
mendapat bantuan dari Sekutu, Nimrod ditangkap oleh Jepang.
Menurut catatan sejarah, Nimrod dihukum pancung oleh Jepang agar rakyat
Papua merasa takut. Namun, kejadian itu tidak melemahkan kekuatan rakyat Papua.
Setelah Nimrod gugur, muncul pemimpin baru, yaitu Silas Papare. Bersama dengan
Silas Papare, rakyat Papua terus melawan Jepang. Masih di sekitar
tahun yang sama, yaitu antara 1944-1945, perlawanan rakyat Papua terhadap
Jepang juga terjadi di Tanah Besar, daratan Papua. Perlawanan ini dipimpin oleh
Simson. Sekutu juga masih ikut membantu rakyat Papua dengan memberikan pasokan
senjata. Melalui kerja sama antara rakyat Papua dengan Sekutu, pasukan Jepang
berhasil diusir, terutama setelah rakyat Papua melakukan taktik perang gerilya.
f. Perlawanan rakyat Kalimantan
Tidak tahan dengan kekejaman Jepang, pada akhir 1944, orang-orang Dayak
mulai melancarkan serangan. Meski berhasil membunuh beberapa orang Jepang,
perlawanan mereka belum memberikan hasil yang berarti. Bahkan perlawanan rakyat
dibalas oleh Jepang dengan akibat-akibat yang sangat buruk. Pada awal 1945,
orang-orang Dayak di daerah hulu Kapuas di pedalaman Kalimantan Barat bangkit
melawan Jepang. Pasukan Jepang yang sibuk menghadapi pendaratan pasukan Sekutu pun
menjadi kelabakan. Bahkan kegarangan orang Dayak dalam bertempur membuat banyak
prajurit Jepang melarikan diri ke hilir. Hal itu membuat orang-orang Dayak
semakin berani memasuki Pontianak dengan membawa senjata tajam, termasuk
senapan, tombak, parang, dan sumpit.
Salah satu tokoh perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang adalah Pang
Suma, yang mulai melancarkan aksinya pada pertengahan Februari 1945. Hingga 13
Mei 1945, kondisi di Kalimantan Barat kian memburuk, terutama setelah
kedatangan mandor perusahaan kayu Jepang, Osaki. Selain kejam, Osaki memaksa
ingin menikahi gadis Dayak. Apabila niatnya itu ditolak, ia mengancam akan
membunuh ayah gadis itu. Pada akhirnya, Pang Suma memenggal Osaki dan membakar
satu perusahaan ekspedisi yang dikelola komandan Kempeitai Kaisu Nagatani di
Meliau.
Selain itu, pimpinan perusahaan kayu lainnya di Niciran, Soetsoegi, juga
dipenggal. Peristiwa ini semakin membakar semangat orang-orang Dayak untuk
melakukan perlawanan. Gerakan perlawanan pun berkembang luas ke segenap rumpun
Dayak di hulu, pesisir, dan pedalaman Kapuas hingga Melawai, Barito, dan
Mahakam. Sementara itu, Jepang yang semakin panik segera mengerahkan pasukannya
dan terjadilah pertempuran hebat antara laskar Pang Suma dan militer Jepang di
Meliau. Sayangnya, Pang Suma gugur di medan perang bersama sebagian pasukannya
dan perlawanan berhasil dipadamkan Jepang. Kendati demikian, harapan rakyat
Kalimantan untuk mengusir Jepang terkabul. Pasalnya, tiga bulan setelah
kematian Pang Suma, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Referensi: Diolah dari berbagai sumber.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar