Beranda

Minggu, 29 September 2024

Way Kambas: Kawasan Perlindungan Flora-Fauna Tertua di Lampung

Gajah dan badak adalah fauna berbadan besar yang saat ini masih ada di bumi dan mengalami nasib terancam kepunahan. Way Kambas adalah salah satu kawasan yang menjadi habitat bagi kedua satwa tersebut. Bagaimanakah sejarah keberadaan Way Kambas?

Oleh: Adi Setiawan

 

Pemberitaan Way Kambas dalam Deli Courant (Sumber: Deli Courant, 5 Juni 1937)

 

Mendengar Way Kambas, tentunya pembaca akan teringat pada suatu hutan yang menjadi rumah bagi satwa terbesar berbelalai panjang. Benar sekali, di mata masyarakat baik di Lampung maupun di Indonesia bahkan mancanegara, mengenal Way Kambas sebagai kawasan konservasi bagi gajah sumatera (elephas maximus). Gajah sumatera menjadi ikon khas yang dimiliki oleh daerah Lampung. Oleh karena itu keberlangsungan dan keberadaan gajah sumatera menjadi perhatian agar tetap lestari. Kawasan konservasi Way Kambas yang dikenal dengan nama Taman Nasional Way Kambas (TNWK) adalah kawasan hutan yang terdapat di sisi timur Provinsi Lampung, tepatnya di Kabupaten Lampung Timur.

Agus Prijono dalam Ekuilibrium Konservasi Menjaga Keseimbangan di Taman Nasional Way Kambas (2011:111), menjelaskan bahwa Way Kambas adalah satu-satunya wilayah perlindungan mamalia besar di pantai timur Sumatera bagian selatan. Taman nasional ini dibatasi Laut Jawa di sisi timur, sementara pemukiman mengepung di bagian barat, utara dan selatan. Tak pelak lagi, Way Kambas menjadi benteng alami terakhir bagi kehidupan liar di pantai timur Lampung.

                Selain gajah sumatera, Taman Nasional Way Kambas juga menjadi habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna. Hewan-hewan endemik Sumatera berhabitat di sini, seperti badak sumatera, tapir dan harimau sumatera. Wujud pengelolaan itu, di antaranya, berupa survei dan pemantauan berkala untuk mengetahui distribusi, dinamika populasi, serta sumber daya pendukung. Dari pemantauan, Balai Taman Nasional dan pihak terkait dapat menentukan bentuk tindakan pengelolaan konservasi spesies (Agus Prijono, 2011:111).

            Keberadaan Taman Nasional Way Kambas nyatanya pada hari ini bukan hanya memberikan dampak pada pelesterian flora dan fauna. Bagi masyarakat, Taman Nasional Way Kambas juga menjadi kawasan penelitian, edukasi dan wisata alam. Wisata alam Way Kambas dengan daya tarik utama menyaksikan gajah sumatera di habitat aslinya menjadi pengalaman berbeda yang didapatkan pengunjung. Oleh karena itu menjaga kelestarian Taman Nasional Way Kambas sudah menjadi tugas bersama, agar anak cucu kelak tetap dapat menyaksikan flora dan fauna khas tersebut.

            Berbicara mengenai pelestarian alam di Way Kambas, tentunya kita berangkat dari sejarah awal. Sebagai Taman Nasional tertua di Lampung, sejarah Way Kambas sangat menarik juga untuk ditelusuri. Sebenarnya sejak kapan Way Kambas mulai dijadikan kawasan konservasi alam?

Menelusuri dari Deli Courant yang terbit pada 5 Juni 1937 dalam artikel berita berjudul Het “Way Kambas” Gebied In De Lampongsche Districten Wordt Beschermd menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Residen H.R. Rookmaker, diusulkan pembentukan cagar alam di Karesidenan Lampung. Pemerintah Hindia Belanda lantas mengeluarkan surat keputusan pembentukan cagar alam yang bernama Way Kambas pada tanggal 26 Januari 1937 Stbl 1937 Nomor 38. Penetapan Way Kambas sebagai kawasan konservasi disampaikan pula kepada Nederlandsche Commissie voor Internationale Natuur-bescherming (Dewan Komisi Konservasi Alam Internasional Belanda).

Penetapan Way Kambas sebagai cagar alam sekaligus menambah jumlah cagar alam di Pulau Sumatera. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan Cagar Alam Berbak di Jambi dan Taman Nasional Gayo dan Alas. Way Kambas saat itu adalah kawasan hutan yang memang masih terjaga keasriannya. Daerah Way Kambas masih jarang dijamah oleh manusia. Deli Courant (5-6-1937) mengabarkan bahwa di perbatasan utara cagar alam Way Kambas terdapat sebuah desa kecil dengan penduduk berjumlah 111 yang tinggal di rumah panggung. Aktivitas yang biasa dilakukan oleh penduduk adalah memancing ikan.  

 

Taman Nasional Way Kambas (Sumber: Agus Prijono, 2011:21)


Pada pemberitaan lainnya dari Deli Courant dijelaskan bahwa secara umum kondisi alam di Way Kambas dataran rendah berbukit-bukit dan rawa-rawa. Rawa ini sebagian besar kering pada musim kemarau, namun tergenang air pada musim hujan sehingga tidak dapat diakses sama sekali. Gajah adalah satwa khas yang mendiami kawasan ini, badak bercula, siamang, owa dan lutung juga melengkapi keanekaragaman fauna.

Penetapan Way Kambas sebagai cagar alam, sesungguhnya sebagai langkah konservasi guna melindungi gajah sumatera dan badak sumatera dari perburuan liar. Perburuan gajah dan badak untuk dimanfaatkan gading dan cula pada zaman itu memang sudah ada. Sehingga kondisi ini dirasa akan memberikan dampak buruk apabila tidak dilakukan pengawasan secara ketat dari pemerintah. Terlebih adanya dukungan dari para pegiat konservasi yang juga menyerukan pemantauan yang efektif terhadap spesies hewan-hewan tersebut.

Konflik antara gajah dengan manusia yang sering ditemui saat ini di kawasan Taman Nasional Way Kambas sesungguhnya bukan hal yang baru. Ternyata pada zaman kolonial, konflik gajah dengan manusia telah terjadi. Gajah seringkali masuk dalam area perkebunan penduduk. Penduduk biasanya menyelamatkan diri dengan memukul kaleng, berteriak atau menyalakan kembang api untuk menghalau gajah-gajah tersebut. Pemerintah saat itu juga menerjunkan polisi lapangan guna membantu penduduk dalam menghalau gajah dari pemukiman dan perkebunan penduduk.

 

Gajah Sumatera di Way Kambas (Sumber: jasling.menlhk.go.id)


Perkembangan Way Kambas sebagai kawasan konservasi terus berlanjut pada masa pemerintahan Republik Indonesia. Pada tahun 1978, kawasan Way Kambas ditetapkan oleh Menteri Pertanian sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Status Way Kambas dari Kawasan Pelestarian Alam (KPA) pernah diubah menjadi Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Hingga kemudian, tepatnya pada tanggal 1 April 1989 bertepatan dengan Pekan Konservasi Nasional di Kaliurang Yogyakarta, dideklarasikan sebagai Kawasan Taman Nasional Way Kambas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 444/Menhut-II/1989 dengan luas 130,000 ha.

Keberadaan Way Kambas bukan hanya sekedar warisan lingkungan hidup bagi masyarakat di Lampung. Pentinhnya keberadaan kawasan konservasi Way Kambas saat ini telah diakui sebagai kawasan Taman Warisan ASEAN (ASEAN Heritage Park). Penetapan ini menjadikan Taman Nasional Way Kambas sebagai Taman Warisan ASEAN ke-4 di Indonesia atau ke-36 di Asia Tenggara. Keberadaan Way Kambas saat ini tentu bukan hanya sekedar hutan yang menjadi rumah bagi flora dan fauna khas sumatera saja. Lebih dari itu keberadaan Way Kambas dengan berbagai perkembangnnya menjadi suatu nilai sejarah konservasi alam dan interaksi antara alam dengan manusia di Lampung.