Gajah
dan badak adalah fauna berbadan besar yang saat ini masih ada di bumi dan
mengalami nasib terancam kepunahan. Way Kambas adalah salah satu kawasan yang
menjadi habitat bagi kedua satwa tersebut. Bagaimanakah sejarah keberadaan Way
Kambas?
Oleh:
Adi Setiawan
Pemberitaan
Way Kambas dalam Deli Courant (Sumber: Deli Courant, 5
Juni 1937)
Mendengar
Way Kambas, tentunya pembaca akan teringat pada suatu hutan yang menjadi rumah
bagi satwa terbesar berbelalai panjang. Benar sekali, di mata masyarakat baik
di Lampung maupun di Indonesia bahkan mancanegara, mengenal Way Kambas sebagai
kawasan konservasi bagi gajah sumatera (elephas maximus). Gajah sumatera
menjadi ikon khas yang dimiliki oleh daerah Lampung. Oleh karena itu
keberlangsungan dan keberadaan gajah sumatera menjadi perhatian agar tetap
lestari. Kawasan konservasi Way Kambas yang dikenal dengan nama Taman Nasional Way
Kambas (TNWK) adalah kawasan hutan yang terdapat di sisi timur Provinsi Lampung,
tepatnya di Kabupaten Lampung Timur.
Agus
Prijono dalam Ekuilibrium Konservasi Menjaga Keseimbangan di Taman Nasional
Way Kambas (2011:111), menjelaskan bahwa Way Kambas adalah satu-satunya
wilayah perlindungan mamalia besar di pantai timur Sumatera bagian selatan.
Taman nasional ini dibatasi Laut Jawa di sisi timur, sementara pemukiman
mengepung di bagian barat, utara dan selatan. Tak pelak lagi, Way Kambas
menjadi benteng alami terakhir bagi kehidupan liar di pantai timur Lampung.
Selain gajah sumatera, Taman Nasional Way Kambas juga menjadi habitat bagi ribuan spesies flora dan fauna. Hewan-hewan endemik Sumatera berhabitat di sini, seperti badak sumatera, tapir dan harimau sumatera. Wujud pengelolaan itu, di antaranya, berupa survei dan pemantauan berkala untuk mengetahui distribusi, dinamika populasi, serta sumber daya pendukung. Dari pemantauan, Balai Taman Nasional dan pihak terkait dapat menentukan bentuk tindakan pengelolaan konservasi spesies (Agus Prijono, 2011:111).
Keberadaan Taman
Nasional Way Kambas nyatanya pada hari ini bukan hanya memberikan dampak pada
pelesterian flora dan fauna. Bagi masyarakat, Taman Nasional Way Kambas juga
menjadi kawasan penelitian, edukasi dan wisata alam. Wisata alam Way Kambas
dengan daya tarik utama menyaksikan gajah sumatera di habitat aslinya menjadi
pengalaman berbeda yang didapatkan pengunjung. Oleh karena itu menjaga
kelestarian Taman Nasional Way Kambas sudah menjadi tugas bersama, agar anak
cucu kelak tetap dapat menyaksikan flora dan fauna khas tersebut.
Berbicara mengenai pelestarian alam
di Way Kambas, tentunya kita berangkat dari sejarah awal. Sebagai Taman
Nasional tertua di Lampung, sejarah Way Kambas sangat menarik juga untuk
ditelusuri. Sebenarnya sejak kapan Way Kambas mulai dijadikan kawasan
konservasi alam?
Menelusuri
dari Deli Courant yang terbit pada 5 Juni 1937 dalam artikel berita berjudul Het
“Way Kambas” Gebied In De Lampongsche Districten Wordt Beschermd
menyebutkan bahwa pada masa pemerintahan Residen H.R. Rookmaker, diusulkan
pembentukan cagar alam di Karesidenan Lampung. Pemerintah Hindia Belanda lantas
mengeluarkan surat keputusan pembentukan cagar alam yang bernama Way Kambas
pada tanggal 26 Januari 1937 Stbl 1937 Nomor 38. Penetapan Way Kambas sebagai
kawasan konservasi disampaikan pula kepada Nederlandsche Commissie voor
Internationale Natuur-bescherming (Dewan Komisi Konservasi Alam Internasional
Belanda).
Penetapan
Way Kambas sebagai cagar alam sekaligus menambah jumlah cagar alam di Pulau
Sumatera. Sebelumnya pemerintah Hindia Belanda telah menetapkan Cagar Alam Berbak
di Jambi dan Taman Nasional Gayo dan Alas. Way Kambas saat itu adalah kawasan
hutan yang memang masih terjaga keasriannya. Daerah Way Kambas masih jarang
dijamah oleh manusia. Deli Courant (5-6-1937) mengabarkan bahwa di perbatasan
utara cagar alam Way Kambas terdapat sebuah desa kecil dengan penduduk
berjumlah 111 yang tinggal di rumah panggung. Aktivitas yang biasa dilakukan
oleh penduduk adalah memancing ikan.
Pada
pemberitaan lainnya dari Deli Courant dijelaskan bahwa secara umum kondisi alam
di Way Kambas dataran rendah berbukit-bukit dan rawa-rawa. Rawa ini sebagian
besar kering pada musim kemarau, namun tergenang air pada musim hujan sehingga
tidak dapat diakses sama sekali. Gajah adalah satwa khas yang mendiami kawasan
ini, badak bercula, siamang, owa dan lutung juga melengkapi keanekaragaman
fauna.
Penetapan
Way Kambas sebagai cagar alam, sesungguhnya sebagai langkah konservasi guna
melindungi gajah sumatera dan badak sumatera dari perburuan liar. Perburuan
gajah dan badak untuk dimanfaatkan gading dan cula pada zaman itu memang sudah
ada. Sehingga kondisi ini dirasa akan memberikan dampak buruk apabila tidak
dilakukan pengawasan secara ketat dari pemerintah. Terlebih adanya dukungan
dari para pegiat konservasi yang juga menyerukan pemantauan yang efektif
terhadap spesies hewan-hewan tersebut.
Konflik
antara gajah dengan manusia yang sering ditemui saat ini di kawasan Taman
Nasional Way Kambas sesungguhnya bukan hal yang baru. Ternyata pada zaman
kolonial, konflik gajah dengan manusia telah terjadi. Gajah seringkali masuk
dalam area perkebunan penduduk. Penduduk biasanya menyelamatkan diri dengan
memukul kaleng, berteriak atau menyalakan kembang api untuk menghalau
gajah-gajah tersebut. Pemerintah saat itu juga menerjunkan polisi lapangan guna
membantu penduduk dalam menghalau gajah dari pemukiman dan perkebunan penduduk.
Perkembangan
Way Kambas sebagai kawasan konservasi terus berlanjut pada masa pemerintahan
Republik Indonesia. Pada tahun 1978, kawasan Way Kambas ditetapkan oleh Menteri
Pertanian sebagai Kawasan Pelestarian Alam (KPA). Status Way Kambas dari Kawasan
Pelestarian Alam (KPA) pernah diubah menjadi Kawasan Konservasi Sumber Daya
Alam (KSDA). Hingga kemudian, tepatnya pada tanggal 1 April 1989 bertepatan
dengan Pekan Konservasi Nasional di Kaliurang Yogyakarta, dideklarasikan
sebagai Kawasan Taman Nasional Way Kambas berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor 444/Menhut-II/1989 dengan luas 130,000 ha.
Keberadaan
Way Kambas bukan hanya sekedar warisan lingkungan hidup bagi masyarakat di
Lampung. Pentinhnya keberadaan kawasan konservasi Way Kambas saat ini telah
diakui sebagai kawasan Taman Warisan ASEAN (ASEAN Heritage Park). Penetapan ini
menjadikan Taman Nasional Way Kambas sebagai Taman Warisan ASEAN ke-4 di
Indonesia atau ke-36 di Asia Tenggara. Keberadaan Way Kambas saat ini tentu
bukan hanya sekedar hutan yang menjadi rumah bagi flora dan fauna khas sumatera
saja. Lebih dari itu keberadaan Way Kambas dengan berbagai perkembangnnya
menjadi suatu nilai sejarah konservasi alam dan interaksi antara alam dengan manusia
di Lampung.