Beranda

Sabtu, 30 November 2024

Dapur Umum Bedeng 44 di Masa Agresi

Kemerdekaan Indonesia yang terlepas dari penjajagan sejatinya adalah buah dari gotong royong dan persatuan semua elemen bangsa. Bangsa Indonesia bahu membahu guna mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang dengan tekad dan keterampilan yang dimiliki berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Adakalanya tokoh-tokoh pejuang berjuang dengan senjata, adapula yang berjuang dengan diplomasinya, termasuk mereka yang berjuang dengan memberikan harta benda serta tenaga. Hal itulah yang membuat kemerdekaan Indonesia terasa mendalam. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil jerih payah perjuangan bukan pemberiaan apalagi hasil mengemis dari pemerintah Jepang atau Sekutu.

Oleh: Adi Setiawan

Ilustrasi Dapur Umum di Masa Perang (Sumber: Vredeburg.id)

Perlawanan yang begitu heroik hampir terjadi di seluruh pelosok negeri bahkan dari pejuang yang berjuang di luar negeri. Semboyan merdeka atau mati senantiasa menggema dalam benak para pejuang. Bangsa Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 merupakan amanah yang harus tetap bersatu. Negara Indonesia yang telah dibentuk adalah suatu tekad yang tetap harus dipertahankan. Sekalipun Belanda mengajak sekutunya untuk kembali merebut tanah air Indonesia, para pejuang tak gentar menghadapi serangan mereka. 

Belanda yang bertekad memulihkan kekuasaannya di Indonesia, beramai-ramai melakukan serangan di berbagai pelosok negeri. Dari kota-kota besar hingga ke kampung-kampung, rakyat kian akrab dengan suara dentuman perang dan loreng-loreng seragam tentara Belanda. Belanda yang sepertinya sangat antusias merebut kembali Indonesia kemudian melancarkan aksi agresi militer. Tak hanya sekali saja, serangan besar-besaran itu mereka lakukan pada 21 Juli 1947 yang dikelanal dengan Agresi Militer Belanda I dan 19 Desember 1948 disebut Agresi Militer Belanda II. Kota-kota di Indonesia kemudian berubah menjadi ajang pertempuran. Begitupun di kampung-kampung tentara Belanda melakukan teror kepada panduduk, meminta penduduk buka suara menyebutkan persembunyian tentara Republik. Sekuat tenaga pemerintah, tentara dan penduduk bergotong royong menghadapi serangan macan loreng. 

Lampung, sebagai daerah di Sumatera yang paling dekat dengan Pulau Jawa juga menghadapi hal serupa. Serangan besar-besaran tentara Belanda terhadap Lampung terjadi pada akhir Desember 1948 hingga Januari 1949. Pada 1 Januari 1949, Angkatan Laut Belanda berhasil menguasai Pelabuhan Panjang. Mereka kemudian mendaratkan pasukan untuk menguasai Teluk Betung dan Tanjung Karang. Pemerintahan di Lampung kemudian diungsikan keluar daerah tersebut. Para pejabat pemerintah sipil dan militer berusaha mempertahankan kemerdekaan di Lampung. Sedapat mungkin para pejuang memberikan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Para pejuang di daerah telah bersiap menghadapi situasi apapun jika pasukan Belanda menyerang. 

Keberhasilan menguasai daerah Teluk Betung dan Tanjung Karang, kemudian mendorong pasukan Belanda bergerak lebih dalam. Di antara pasukan Belanda melakukan pergerakan ke daerah Tegineneng, berbelok ke kanan menuju Trimurjo. Tujuan mereka adalah Metro, satu daerah yang terbilang masih muda di tahun 1949 itu, namun memiliki nilai ekonomis dan strategis. Mengetahui pasukan Belanda berhasil menguasai Pelabuhan Panjang, para pejuang Republik berusaha mengambil langkah pencegahan. Hal yang dilakukan pejuang di Metro adalah melakukan rapat di Gedung PU Metro pada 1 Januari 1949 pukul 19.00 hingga 23.00 (Supangat dkk, 1994:407). 

Hasil rapat menyebut mengenai pembentukan pemerintahan darurat di luar Metro serta berbagai hal untuk mendukung pemerintahan. Para pejuang sepakat menempatkan Desa Rejoagung, Bedeng 49 di Batanghari sebagai tempat kedudukan Pemerintahan darurat Metro. Sejak Metro diduduki oleh Belanda tepatnya 3 Januari 1949, pertempuran mulai terjadi. Kondisi itu membuat para pejuang membuat berbagai strategi perlawanan. Desa-desa di sekitar Metro seperti Bedeng 49, 47, 45, 44, 43, 41, 38 di Batanghari dan Bedeng 35 di Pekalongan serta beberapa desa lain menjadi basis pertahanan pejuang. 

Menariknya perjuangan melawan Macan Loreng kala itu bukan hanya dilakukan oleh para tentara. Di Batanghari perjuangan juga dilakukan oleh warga sipil termasuk kaum wanita. Dengan koordinasi antara pemerintah daerah Metro dengan pemerintah-pemerintah desa dibuatlah dapur umum. Keberadaan dapur umum ini sangat penting dalam membantu penyediaan konsumsi para pejuang. Logistik yang diperlukan dalam dapur umum ini disiapkan oleh lurah atau kepala desa bersama warganya. Penduduk dengan sukarela memberikan bahan pangan yang dimiliki untuk membantu perjuangan saat itu. Hal ini tentu membuktikan bahwa rasa rela berkorban untuk negara hadir dalam diri penduduk kala itu. Mereka sadar bahwa keterlibat mereka dalam memberikan bahan pangan dan mengolahnya menjadi makanan adalah bagian dari perjuangan. 

Dapur umum yang ada dalam pemerintahan darurat Metro ini, salah satunya berada di Bedeng 44, Desa Telogorejo, Batanghari. Secara garis perjuangan Bedeng 44 memang menjadi bagian titik sentral dari pemerintahan darurat. Lokasinya dekat dengan Metro serta Bedeng 49 yang merupakan pos komando pemerintahan darurat. Salah seorang penggerak dapur umum di Bedeng 44 ini adalah RS Yudho Sukarto, Lurah Bedeng 44. Pada masa Agresi Militer Belanda II di Bedeng 44 ini menjadi daerah pertahanan pasukan Indonesia yang bergerilya menghadapi Belanda. 


Lurah RS Yudho Sukarto (Sumber: Dok. Penulis) 

Untuk mencukupi kebutuhan konsumsi para pasukan, Lurah RS Yudho Sukarto bersama dengan warganya mendirikan dapur umum untuk mengolah makanan. Dipilihnya lurah atau kepala desa guna mengkoordinir dapur umum ini menurut Baha Uddin dalam Rizal Hidayat (2022:34) karena pamong desa mempunyai pengaruh yang sangat kuat di masyarakat dan mempunyai bahan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pejuang maupun masyarakat. Dana dapur umum didapat dari berbagai macam sumber, seperti kas desa, sumbangan dari pejuang, sumbangan dari masyarakat, bahkan pinjaman dari beberapa orang.

 


Rumah Lurah RS Yudho Sukarto (Sumber: Dok. Penulis) 

 

Menurut penuturan Suhartono (71 tahun) dan Suciptanto (69) lokasi dapur umum di Bedeng 44 ini tersembunyi dan tidak mudah diketahui pasukan musuh. Warga secara sukarela memberikan bahan makanan baik itu ayam, kambing, beras dan lain-lain untuk diolah oleh ibu-ibu sekitar. Lokasi dapur umum di Bedeng 44 tidak jauh dari kediaman rumah Lurah RS Yudho Sukarto. Rumah ini saat itu juga dijadikan sebagai markas tentara. Jadi apabila tentara membutuhkan makanan mereka dapat langsung menuju dapur umum. 

Peran serta wanita sangat terlihat dalam dapur umum di Bedeng 44, mereka menyiapkan makanan bagi tentara yang jumlahnya ratusan prajurit. Oleh karena itu diketahui bahwa dalam perjuangan sampai di daerahpun peran serta kaum hawa tidak dapat diremehkan. Perjuangan nyatanya bukan hanya memanggul senjata namun juga menanak nasi sekalipun. Keberadaan dapur umum di kala perang ternyata juga menunjukan bahwa adanya solidaritas yang besar antara militer Indonesia dengan rakyat. Fakta lainya juga menunjukan bahwa kedudukan negara Indonesia memang dilandasi oleh keinginan bersama, termasuk oleh rakyat.

Perjuangan warga di Bedeng 44 selain menyediakan dapur umum, mereka juga terlibat dalam keanggotaan militer. Dalam hal ini pemuda bergabung dengan laskar pejuang guna membantu perlawanan menghadapi macan loreng. Di masa perang kemerdekaan, pasukan macan loreng kerap kali melakukan operasi di desa-desa sekitar Metro. Pada suatu ketika di tanggal 17 Mei 1949, pasukan Belanda memasuki Bedeng 44. Akibatnya terjadi insiden penembakan oleh Belanda terhadap dua orang anggota laskar di Bedeng 44. Dua orang anggota laskar tersebut adalah Parino dan Sawon, masing-masing tertembak pada bagian betis dan lutut. Namun syukur dalam insiden ini dua orang anggota laskar ini berhasil meloloskan diri. (Supangat dkk, 1994: 419). 

Perjuangan warga di Bedeng 44 ini tentu merupakan salah satu dari sekian banyak memori masyarakat Indonesia di zaman perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu di era modern ini kita wajib terus meneladani nilai-nilai perjuangan dalam membangun negeri ini. Bakti kita kepada bangsa dan negara dapat diwujudkan dengan hal apapun, selagi itu arif dan bermanfaat. Sebagaimana dahulu masyarakat berbakti kepada negara dengan menyumbangkan pikiran, harta dan tenaganya dalam menggerakan dapur umum.


Referensi:


Rizal Hidayat. Peran Dapur Umum Dalam Mendukung Perjuangan Masyarakat Dusun Kemusuk Pada Agresi Militer Belanda II1949. Karmawibangga: Historical Studies Journal, Vol: 04, No: 01, 2022: 30-40 

Supangat, dkk. 1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku II. DHD Angkatan 45: Bandar Lampung

 

Wawancara:

 

Suhartono (71 tahun), anak dari Lurah RS Yudho Sukarto pada 17 November 2024

Suciptanto (69), anak dari Lurah RS Yudho Sukarto pada 17 November 2024

 

 

Minggu, 03 November 2024

Serbuan Pasukan Jepang di Lampung Tahun 1942

Era pendudukan Jepang di Indonesia merupakan satu zaman yang penuh dengan penderitaan. Eksploitasi sumberdaya alam serta sumberdaya manusia begitu marak dilakukan pada zaman itu. Pelaksanaan romusha adalah salah satu bentuk upaya yang dilakukan oleh Jepang dengan mempekerjakan warga dalam berbagai proyek baik di Indonesia maupun di luar negeri. Perkembangan industri Jepang yang pesat, memaksa negeri matahari terbit ini untuk melakukan ekspansi dan eksploitasi sumberberdaya di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara. Wilayah Indonesia, termasuk daerah Lampung turut merasakan penindasan selama pendudukan Jepang antara tahun 1942-1945. Lantas bagaimanakah serbuan pasukan Jepang di Lampung tahun 1942?

 Oleh: Adi Setiawan


Peta Sumatera Selatan

    (Sumber: Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant, 28 Februari 1942)

 

           Secara resmi Jepang menguasai Indonesia lewat perundingan di Kalijati, Subang, Jawa Barat pada 8 Maret 1942. Kota-kota penting di Indonesia sebelumnya telah berhasil dikuasai oleh angkatan perang Jepang. Upaya yang dilakukan oleh tentara Sekutu tidak dapat membendung serangan pasukan Jepang yang cepat itu. Belanda akhirnya dengan berat hati meninggalkan Indonesia yang dikuasainya selama beratus-ratus tahun itu. Di Sumatera, Jepang berhasil menguasai kota-kota penting seperti Medan dan Palembang. Pendudukan atas Pulau Sumatera ini juga dimaksudkan oleh Jepang untuk dijadikan pangkalan pengawasan terhadap kapal kapal milik Sekutu di Samudra Hindia bagian barat juga sebagai daerah suplai bahan makanan, minyak bumi serta tenaga manusia guna keperluan bangunan perang sewaktu-waktu Jepang memerlukan (Depdikbud, 1981:154).

           Uur der Beproeving: Onze Marine in Den Strijd Tegen Japan, 1945:56 mengisahkan pertempuran antara Belanda dengan Jepang, salah satunya pertempuran yang terjadi di Palembang. Jepang mulai memasuki Palembang pada 14 Februari 1942. Belanda yang tetap ingin bertahan kemudian terlibat adu persenjataan dengan pasukan Jepang. Setelah dua hari pertempuran terus menerus, angkatan udara Belanda dan Sekutu mulai menyerah. Sisa-sisa angkatan udara harus terbang ke Pulau Jawa karena lapangan terbang di sekitar Palembang lama kelamaan hilang semua. Pasukan Sekutu merasa kewalan dengan serangan-serangan yang dilakukan oleh pasukan Jepang. Mereka kemudian memutuskan untuk bergerak menuju Pulau Jawa, meninggalkan medan tempur di Palembang. Banyak pasukan Belanda kemudian melarikan diri menuju Oosthaven atau Pelabuhan Panjang melalui jalur kereta api dan jalan raya untuk menyeberang ke Pulau Jawa. Dari Pelabuhan Panjang ini mereka berlayar ke Tanjung Priok. Dengan demikian pasukan Belanda dapat dikatakan benar-benar dipermalukan dalam pertempuran di Palembang ini.

            Akhirnya Kota Palembang secara resmi dikuasi Jepang pada 16 Februari 1942. Dampak selanjutnya, pasukan Jepang semakin leluasa untuk menguasai Sumatera Selatan. Pasukan Jepang yang terdiri atas angkatan darat dan angkatan laut berusaha menaklukan tempat-tempat strategis di Sumatera Selatan. Tak terkecuali Lampung, daerah yang berhadapan langsung dengan Selat Sunda, Laut Jawa dan Samudera Hindia ini dipandang sebagai wilayah strategis.

 


Berita Serangan Pasukan Jepang

(Sumber: Delftsche Courant: Nieuwsblad voor Delft en Delfland, 19 Februari 1942)

 

Untuk menaklukan wilayah Lampung, pasukan Jepang menyerbu dari beberapa arah. Delftsche Courant: Nieuwsblad voor Delft en Delfland, 19 Februari 1942 memberitakan bahwa barisan depan tentara Jepang di Palembang yang mendarat di Sumatera bergerak maju di sepanjang jalur kereta api hingga Teluk Betung. Dampaknya pasukan Jepang berhasil memutus jalur hubungan dari Sumatera menuju Jawa. Hal ini seperti dilaporkan oleh Haagsche Courant, 23 Februari 1942 “Pemutusan total hubungan antara Jawa dan Sumatra telah dicapai oleh pasukan Jepang. Formasi Jepang, yang maju ke selatan dari Palembang pada hari Sabtu, telah menduduki persimpangan kereta api penting Tanjungng Karang di sekitar Teluk Betung.”

 

             Berita Dampak Serangan Jepang

    (Sumber: Haagsche Courant, 23 Februari 1942)

           

Serbuan pasukan Jepang terhadap Lampung yang dilakukan dari arah utara membuat mereka dapat membereskan pasukan Belanda di daerah Tulung Buyut (Supangat dkk, 1994:99). Keberhasilan Jepang ini lantas mempermudah langkah mereka untuk menyerbu daerah lain di Lampung. Pasukan Jepang kemudian mulai bergerak ke menuju Kotabumi. Mereka kemudian bergerak ke Krui, Menggala, Metro dan Sukadana. Dari perairan laut, Jepang mengerahkan pasukannya untuk mengalahkan angkatan angkatan laut Belanda yang berjaga di sekitar Teluk Lampung dan Teluk Semangka. Dua perairan itu menjadi daerah strategis yang juga menjadi fokus utama dalam serbuannya di Lampung.

            Penaklukan daerah pesisir Lampung oleh pasukan Jepang itu ramai diberitakan oleh koran-koran berbahasa Belanda. Seperti dalam Leidsch Dagblad, 28 Februari 1942 dan Leeuwarder Courant, 28 Februari 1942 memberitakan serbuan pasukan Jepang di Kota Agung pada 23 Februari 1942. Pada serbuan ini Jepang berhasil memukul mundur angkatan laut Hindia Belanda di Teluk Semangka di ujung selatan Sumatera. Sebelumnya, pada tanggal 20 Februari 1942 Jepang telah berhasil menguasai Teluk Betung dan Tanjung Karang.

            Keberhasilan Jepang menaklukan pesisir Lampung ini menjadi salah satu kemenangan berharga di Sumatera. Karena dengan jatuhnya pesisir Lampung maka penguasaan Jepang atas Selat Sunda secara penuh telah terwujud. Termasuk yang tidak boleh dilupakan penguasaan Jepang atas Oosthaven, sebuah pelabuhan penting di Teluk Lampung (Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant, 28 Februari 1942). Setelah menguasai Lampung, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menetapkan daerah Lampung sebagai Karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen militer (Lampung Shu Co Kan) bernama Kolonel Kurita, dengan dibantu oleh seorang kepala kepolisian yang bernama Tsukabihara. Masyarakat di Lampung kemudian menerima segala bentuk kebijakan-kebijakan Jepang dalam berbagai bidang.

 

Referensi:

Delftsche Courant: Nieuwsblad voor Delft en Delfland, 19 Februari 1942

Haagsche Courant, 23 Februari 1942

Leidsch Dagblad, 28 Februari 1942

Leeuwarder Courant, 28 Februari 1942

Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant, 28 Februari 1942

Uur der Beproeving: Onze Marine in Den Strijd Tegen Japan, 1945

Depdikbud. 1981. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

Supangat, dkk. 1994. Sejarah Perkembangan Pemerintah di Lampung Buku II. Lampung: DHD Angkatan ‘45