Beranda

Sabtu, 22 Februari 2025

Mencicip Sejarah Tebu di Lampung

Sudahkah anda mencicip manisnya makanan dan minuman hari ini? Dari gula kita dapat merasa manisnya makanan dan minuman itu. Hari ini, gula banyak diproduksi dari hasil pengolahan tebu. Kedekatan masyarakat Indonesia dengan tebu telah terjalin sejak era lampau. Di era kolonial pembukaan perkebunan tebu marak dilakukan untuk keperluan ekspor. Lalu seperti apakah dunia perkebunan tebu Lampung di era kolonial? 

Oleh: Adi Setiawan

 

Persebaran Perkebunan Tebu di Lampung

(Sumber: disbun.lampungprov.go.id) 

Saat ini, daerah Lampung tercatat sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki produksi tebu terbesar di Indonesia. Secara nasional produksi tebu Lampung menduduki posisi kedua setelah Jawa Timur dan nomor satu di Pulau Sumatra. Perkebunan tebu di Lampung, dikelola oleh perusahaan milik negara ataupun milik swasta yang tersebar di beberapa kabupaten. Luas perkebunan tebu di Lampung tahun 2023 lalu berada pada angka 141.200 hektare.  

Melansir dari disbun.lampungprov.go.id bahwa kabupaten yang memiliki luas areal perkebunan tebu terbesar berada di Kabupaten Way Kanan. Dengan luas 14.455 ha dan kapasitas produksi sekitar 97.850 ton per tahun.  Sementara itu, Kabupaten Lampung Tengah menempati posisi pertama produksi gula di Lampung. Berdasarkan data statistik tahun 2020, perkebunan tebu di Provinsi Lampung tersebar di Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Tulang Bawang Barat. 

Perkebunan tebu di Lampung dikembangkan secara besar-besar di era pemerintahan Presiden Soeharto. Dua perusahaan gula didirikan di Lampung, yakni Gunung Madu Plantations (GMP) dan PT Gula Putih Mataram. Hasilnya dengan keberadaan perusahaan gula di Lampung itu, turut meramaikan bisnis gula di Indonesia. 

Sementara itu di era kolonial, perkebunan tebu dan perusahaan gula banyak terfokus di Jawa. Terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Digulirkannya program tanam paksa dan sistem ekonomi pintu terbuka di era kolonial telah mendorong industri gula saat itu. Produksi gula kemudian di ekspor ke Belanda, selain untuk keperluan di Indonesia. Indonesia saat itu mencatatkan sebagai produsen gula terbesar kedua setelah Kuba. 

Berbeda halnya dengan di Jawa, F.A.W Miquel dalam Flora van Nederlandsch Indië (1860:78) menjelaskan bahwa tebu merupakan tanaman budidaya yang umum di Sumatera, namun produksi gula untuk ekspor tidak seberapa dibandingkan dengan produksi gula di Jawa. Tebu umumnya ditanam di sekitar pemukiman penduduk saat itu. Belum dilakukan penanaman tebu dengan lahan yang luas sebagaimana yang ada di Pulau Jawa. 

Satu titik sejarah perkebunan tebu era kolonial di Indonesia, ternyata juga terdapat di Lampung. Walaupun pamornya kalah terkenal dengan perkebunan tebu di Pulau Jawa, namun keberadaannya menarik untuk diingat kembali. 

Berdasarkan catatan dari Broersma (1916:152) bahwa tanaman tebu nampaknya sudah lama ditanam di Lampung. Terutama di daerah hulu Sungai Way Seputih, sekitar Sungai Way Sekampung, Kalianda, dan Sungai Rebang. Umumnya masayarakat menanam tebu untuk keperluan pribadi. Tebu diolah dengan cara digiling menggunakan penggilingan tangan sederhana. Sari tebu hasil penggilingan kemudian direbus hingga mengental menjadi gula. Sayangnya, penanaman tebu ini menurut Broersma mengalami penurunan produksinya di tahun 1855.

 

Berita Perkebunan Tebu di Lampung

(Sumber: De Nieuwe Vorstenlanden, 10 Juni 1925) 

Penelitian tahun 1910 tentang kondisi tanah di Lampung, menunjukan cocok digunakan untuk budidaya tebu. Kemudian percobaan pembukaan perkebunana tebu yang lebih luas terjadi pada tahun 1924 oleh pengusaha V. Blommesteyn melalui Perusahaan Kedaton. 

Pada De Nieuwe Vorstenlanden (10 Juni 1925) dengan artikel berjudul Suikerriet in Lampong  menyebutkan bahwa V. Blommesteyn adalah pengusaha yang memiliki pengalaman dalam dunia perkebunan. Sebelumnya ia telah mengusahakan budidaya karet di Lampung. Penanaman tebu ini merupakan salah satu hal yang coba ia usahakan selain karet. Musabab percobaan ini adalah melihat pasang surut tanaman karet. Oleh karena itu, penanaman tebu menjadi alternatif pilihan agar dunia perkebunan tetap dapat berkembang saat itu. Percobaan penanaman tebu ditahap awal ini memiliki luas lahan 250 bau. Juga direncanakan pembangunan pabrik kecil untuk mengolah hasil tebu itu. 

Kemudian percobaan penanaman tebu di Lampung juga pernah diajukan oleh Handelsvereniging Amsterdam. Perusahaan ini mengajukan permohonan yang sangat besar untuk tanah di Lampung, seluas 75 ribu bau pada tahun 1924 (De Sumatra post, 10 Juni 1925).

Produksi Tebu di Indonesia

(Sumber: Kementan, 2022) 

Kabar mengenai percobaan perkebunan tebu di Lampung di era kolonial memang kalah pamor dengan tanaman perkebunan lain. Di tahun 1930an hingga 1940an tanaman karet, sawit dan kopi tetap mendominasi perkebunan-perkebunan di Lampung. Hasil perdagangan tanaman tersebut selalu melengkapi laporan perdagangan di Indonesia kala itu. Sementara pamor perkebunan tebu di Lampung barulah nampak semenjak era Orde Baru berkuasa di Indonesia.

Berdasarkan laporan Kementan (2022:32), secara statistik tahun 2020 produksi gula di Lampung menunujukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah mencapai 335,41 ribu ton atau 45,81% dari produksi gula di Provinsi Lampung. Berikutnya adalah Kabupaten Tulang Bawang dengan produksi 195,23 ribu ton gula hablur (26,67%), Kabupaten Way Kanan sebesar 165,27 ribu ton (22,57%), Kabupaten Lampung Utara 35 ribu ton (4,78%), dan Kabupaten Tulang Bawang Barat 1,23 ribu ton (0,17%). 

Referensi:

 

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Sumatra post, 10 Juni 1925

De Nieuwe Vorstenlanden, 10 Juni 1925

disbun.lampungprov.go.id

F.A.W Miquel. 1860. Flora van Nederlandsch Indië. Amsterdam: Friet Fleisciier

Kementan. 2022. Outlook Komoditas Perkebunan Tebu. Jakarta: Kementan

Sabtu, 08 Februari 2025

Labuhan Maringgai: Arus Niaga di Pesisir Timur Lampung

Labuhan Maringgai sebagai satu daerah di Lampung Timur yang terkenal dengan hasil baharinya. Di daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa ini juga menjadi salah satu destinasi wisata pantai di Lampung. Lalu seperti apakah sepak terjang Labuhan Maringgai dalam urusan niaga di masa lalu?

Oleh: Adi Setiawan 

Suasana Labuhan Maringgai Tahun 1929

(Sumber: Nationaal Museum, 1927) 

Sejak dahulu, daerah Lampung memainkan peranan dalam perdagangan lada hitam di Nusantara. Keberadaan lada hitam menjadi bagian dalam kehidupan ekonomi masyarakat Lampung. Tanaman lada ditanam di daerah-daerah pedalaman. Saat panen lada tiba, pedagang saat itu lazim menggunakan perahu sebagai sarana angkut antar pulau di Nusantara. Oleh karena itu timbulah berbagai bandar perdagangan lada di Lampung. Terkhusus di daerah timur Lampung, bandar perdagangan terdapat di beberapa tempat seperti di Jabung tepi aliran Way Sekampung, dan Labuhan Maringgai di terletak di pesisir pantai timur Lampung. Selain itu bandar-bandar tersebut, Sukadana juga memainkan peranan dalam perniagaan lada hitam di Lampung.

Sementara itu di dalam Verzameling Van Voorschriften Ten Dienste Van Havenmeesters En Als (1915:152) disebutkan bahwa Labuhan Maringgai sebagai salah satu pelabuhan laut di Lampung, selain daripada pelabuhan Kotaagung, Telukbetung, Kalianda dan Cabang.

Secara khusus di pesisir pantai timur Lampung, Labuhan Maringgai merupakan pelabuhan laut yang memiliki pengaruh dalam ekspor lada hitam ke luar Lampung. Peran serupa juga dilakukan oleh Cabang di muara Way Seputih, dan Menggala di Way Tulangbawang di bagian timur Lampung. Labuhan Maringgai menjadi titik keberangkatan bagi beberapa perahu dagang, yang melakukan perjalanan melalui laut ke Jawa (Broesma, 1916:117).

Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië 1917-1939, menjelaskan bahwa selama musim panen lada Labuhan Maringgai menjadi ramai. Hasil panen lada diangkut ke Batavia dengan perahu-perahu besar dari pelabuhan ini. Sementara itu, lewat pelabuhan ini pula komoditas seperti minyak bumi, beras, pernak-pernik, kain dan barang-barang lainnya dari Jawa dikirim ke Lampung. Komoditas lain yang juga dikirim ke Lampung melalui Labuhan Maringgai adalah kerbau (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 21 Desember 1933).

Jumlah Pengiriman Lada Lampung

(Sumber: De Locomotief, 17 Desember 1927)

Adapun contoh jumlah lada yang dikirim melalui Labuhan Maringgai pada tahun 1907, Labuhan Maringgai bersama dengan Cabang dan Jabung mencatatkan pengiriman lada sebesar 1.260.000 kg dengan nilai sebesar 503.000 gulden (Rapport Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumatra 1910-1911).

Kemudian pada tahun 1927, pengiriman lada berjumlah 522.322 kg. Jumlah tersebut dikirim ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Labuhan Maringgai bersama dengan Kalianda, Menggala, Telukbetung dan Kotaagung tercatat sebagai daerah pengiriman lada ke luar Lampung, baik itu ke Pulau Jawa maupun Singapura (De Locomotief, 17 Desember 1927).

Sebagai daerah pesisir, Labuhan Maringgai juga merupakan sumber hasil bahari terutama ikan laut. Masyarakat di Labuhan Maringgai biasanya menangkap ikan di dekat pantai dengan jaring kecil saat cuaca baik. Perikanan ini menghasilkan hasil bulanan sebesar 30 hingga 40 gulden kotor. Penangkapan ikan yang lebih besar di Labuhan Maringgai dilakukan oleh orang-orang dari Jawa, sebagian besar dari Indramayu. Hasil tangkapan ikan juga dijual ke daerah pedalaman seperti Sukadana (Broesma, 1916:217).

Lebih jauh, Broesma menggambarkan kondisi masyarakat di Labuhan Maringgai sebagai bandar perdagangan memiliki keragaman dalam hal suku.  Menurut Broesma (1916:287) jumlah penduduk di Labuhan Maringgai adalah 639 jiwa. Penduduknya sangat beragam, terdiri atas 60 kepala keluarga orang Lampung, 1 orang Palembang, 42 orang Jawa, dan 41 orang Bugis. Laporan Broesma ini sepertinya menggambarkan jumlah penduduk salah satu kampung di Labuhan Maringgai.

Sementara menurut Uitkomsten Der In De Maand 1920 atau hasil sensus tahun 1920 Onderdistrik Labuhan Maringgai yang merupakan satu daerah di bawah pemerintahan Onderafdeling Sekampung, memiliki jumlah 10.330 jiwa ditambahkan warga Tionghoa sebanyak 62 jiwa.

Referensi:

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Locomotief, 17 Desember 1927

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië 1917-1939

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 21 Desember 1923

Rapport Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumatra 1910-1911

Uitkomsten Der In De Maand 1920

Verzameling Van Voorschriften Ten Dienste Van Havenmeesters En Als 1915

Rabu, 05 Februari 2025

Bekri: Lintasan Sejarah Perkebunan dan Kereta Api

 Bekri adalah salah satu kecamatan di bawah Kabupaten Lampung Tengah. Tinggalan kolonial Belanda nampak tersisa di Bekri. Pertama, tinggalan perkebunan sawit yang kini dikelola oleh PTPN VII dan kedua berupa tinggalan stasiun kereta api. Terdapat pula bangunan rumah bergaya indis di sini.

Oleh: Adi Setiawan


                                                                               Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938) 

Berbicara mengenai sejarah Lampung, nyatanya memiliki berbagai macam ruang sejarah. Terdapat sejarah ekonomi dan transportasi yang menarik untuk ditelisik. Era kolonial di Lampung, pemerintah Belanda banyak membuka perusahaan perkebunan atau onderneming. Onderneming-onderneming itu diantaranya adalah Onderneming Pesawaran, Onderneming Wai Awi, Onderneming Wai Berulu, Onderneming Horong, Onderneming Wai Lima, Onderneming Kedondong, Onderneming Wai Semah, Onderneming Wai Halim, Onderneming Wai Ratai, Onderneming Wai Sekampung, Onderneming Wai Tuba dan Onderneming Bekri. Onderneming di Lampung ini memiliki komoditas utama yang dibudidayakan adalah kelapa sawit, karet dan kopi.

Sisi lain yang membuat menarik dari sejarah Lampung adalah keberadaan jaringan kereta api yang menghubungkan Lampung dengan Palembang. Moda transportasi kereta api menjadi pilihan, selain mobil dalam pengangkutan manusia maupun barang. Sejak era kolonial, daerah Lampung telah dibangun belasan stasiun kereta api.

Satu daerah yang memiliki kaitan dengan perkembangan perkebunan dan moda transportasi kereta api itu adalah Bekri. Hingga saat ini keberadaan perkebunan sawit dan stasiun kereta api di Bekri masih eksis. Bahkan letak antara perkebunan sawit Bekri dan Stasiun Bekri ini saling berdekatan, ini membuat nuansa kesejarahan di Bekri semakin terasa. Selain Stasiun Bekri, terdapat pula satu stasiun lagi yakni Stasiun Rengas yang berada di Kampung Bangunsari.

Secara administratif, Bekri adalah daerah yang berbentuk kecamatan di bawah Kabupaten Lampung Tengah saat ini. Kecamatan Bekri terdiri dari 8 kampung, yaitu Kesumadadi, Sinar Banten, Goras Jaya, Kesuma Jaya, Rengas, Bangun Sari, Binjai Agung, dan Kedatuan. Dari kedelapan kampung tersebut Kampung Kesumadadi merupakan pusat kegiatan pemerintahan yang ada di kecamatan Bekri.


                                                                                     Peta Kecamatan Bekri

(Sumber: BPS Lampung Tengah, 2024) 

Pada literatur tinggalan kolonial, nama Bekri lazim ditemui. Terutama menyangkut perkebunan dan stasiun kereta api. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas ekonomi dan kemasyarakatan di Bekri berkembang di era kolonial. Bekri menjadi salah satu urat ekonomi di Lampung kala itu.

Onderneming Bekri

Onderneming Bekri berdiri pada tahun 1919, dan memiliki luas wilayah lebih dari 4.200 hektar, termasuk tanah yang belum dikelola yang luasnya 2.240 hektar. Onderneming Bekri dikelola oleh NV Landbouw Maatschappij Bekri, yang didirikan di Den Haag. Onderneming Bekri memfokuskan pada kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit. Pada tahun 1919, penaman sawit dilakukan, rencananya dalam dua tahun penanaman sawit dapat selesai dilakukan. Pola tanam yang berbeda digunakan di Onderneming Bekri, yakni di antara barisan pohon kelapa sawit akan ada barisan kopi sebagai penanaman selingan (Nederlandsch-Indisch Rubbertijdschrift, 1 November 1919).

Detail penanaman sawit di Onderneming Bekri dijelaskan pada De Oliepalm: Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm In Nederlandsch-Indië (1924), penanaman sawit pada tahun 1919-1920 seluas 97 hektar, kemudian pada tahun 1920-1921 seluas 225,3 hektar dan tahun 1921-1922 seluas 387,7 hektar. Pada tahun 1923. Onderneming Bekri memproduksi sejumlah 10.888 kg minyak sawit dan 3.629 kg inti sawit. 

Pada tahun 1932, produksi minyak sawit dari Onderneming Bekri sejumlah 1.530.000 kg. Dan menjadi satu-satunya onderneming yang memberikan sumbangan terbesar bagi produksi sawit di Lampung (Notulen van De Conferentie Met De Hoofden van Gewestelijk Best, 1932).

Kemudian produksi buah sawit dari Onderneming Bekri pada tahun 1937 mencapai 3.801.500 kg, atau sekitar 1800 kg per hektar. Bahkan pengelola kemudian memperluas lahan perkebunan seluas 150 hektar pada tahun 1938 (De Indische Courant, 28 September 1938).


                                         Kunjungan Gub. Jenderal Van Starkenborgh di Onderneming Bekri

(Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, 6 Oktober 1938)

Onderneming yang pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Starkenborgh ini memiliki sistem angkut buah sawit ke pabrik pengolahan dengan menggunakan kerata api. Pengolahan buah sawit di Onderneming Bekri sebagaimana dijelaskan oleh Soerabaijasch Handelsblad (28 September 1938), melewati serangkaian tahapan yang dimulai dengan mengukus buah sawit dan perendaman. Tahap berikutnya adalah melepaskan buah sawit dari tandannya. Kemudian buah dipisahkan dari bahan berserat dan sampah. Setelah buah memasuki mesin pemecah, di mana biji melewati pipa berputar, dari sana biji terlempar dengan kuat ke dinding bagian dalam silinder mesin pemecah. Setelah daging buah sawit terpisah dari cangkangnya, barulah dilanjutkan dengan pengolahan minyak sebenarnya dari buah sawit.


                                                         Pengangkutan Sawit di Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938) 

Hasil pengolahan minyak sawit dari Onderneming Bekri ini kemudian dikirim ke Oosthaven atau Pelabuhan Panjang. Di pelabuhan ini minyak ditampung dalam tangki-tangki sebelum dikirim ke Eropa menggunakan kapal. Instalasi tangki milik Onderneming Bekri di Oosthaven memiliki kapasitas penyimpanan 1.100 ton minyak sawit.


                                               Perkebunan Sawit dan Pengolahannya di Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938)

 

Di Onderneming Bekri seorang pekerja di bidang ekstraksi minyak sawit diberikan gaji awal sekitar 350 gulden. Setelah berhasil melewati masa percobaan selama tiga bulan gajinya ditingkatkan menjadi 400 gulden (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 5 Mei 1927).


                                       Stasiun Pompa Minyak Sawit Milik Onderneming Bekri di Oosthaven

(Sumber: Wereldmuseum) 

Onderneming Bekri yang menjadi roda ekonomi, telah menjadi ruang berkumpulnya para pekerja kelapa sawit. Oleh karena itu, muncul desakan agar pemerintah membuat kebijakan mendirikan sekolah di Bekri. Hal ini sebagai cara agar anak-anak yang tinggal di Onderneming Bekri dapat mendapat layanan pendidikan. Jumlah anak di Bekri yang memenuhi syarat usia sekolah sekitar 22 anak. Hal itu sesungguhnya telah melebihi syarat yang dibuat pemerintah yang mempersyaratkan minimal murid berjumlah 15 agar sekolah dapat didirikan.

Dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië (2 Oktober 1939), pemerintah tidak langsung menunjukan kepastian mengenai pembukaan sekolah di Bekri. Adapun respon pemerintah adalah akan melakukan survei terlebih dahulu guna melihat kondisi yang sebenarnya di Bekri dan sekitarnya akan kebutuhan sekolah. Barulah setelah melihat hasil survei kemudian sekolah didirikan di Onderneming Bekri.


                                                                                Sekolah di Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938) 

Pada laporan yang diterbitkan oleh N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam tahun 1938, terdapat potret aktivitas sekolah di Onderneming Bekri. Nampak seorang guru yang mengajarkan ilmu matematika kepada sekumpulan murid. Sekolah ini nampak dibangun dari dinding kayu, berlantai tanah dan terdapat beberapa meja dan sebuah papan tulis.

Saat ini, selain tinggalan pabrik pengolahan minyak sawit yang masih dijumpai, juga terdapat tinggalan rumah-rumah bergaya arsitektur indis yang dapat mudah ditemukan di sekitar area pabrik pengolah sawit Bekri. Dengan ciri yang khas berupa pintu dan jendela yang besar, tembok yang dilapisi batu alam memberikan pertanda mengenai lintasan sejarah tempo dulu di Bekri.

Stasiun Bekri

Stasiun Bekri merupakan salah satu stasiun aktif yang beroperasi di wilayah Divisi Regional (Divre) 4 Tanjungkarang yang menghubungkan Tanjungkarang-Palembang. Letak Stasiun Bekri diantara Stasiun Rengas dan Stasiun Haji Pemanggilan.

De Indische Courant (28 September 1938) memberitakan bahwa Stasiun Bekri yang menjadi jalur kereta api tujuan Palembang berada tepat di perbatasan antara areal perkebunan perusahaan Bekri. Kereta ekspres ke Palembang melintas setiap hari melalui stasiun ini.

Letak Stasiun Bekri dengan pabrik pengolahan sawit serta rumah pegawai perkebunan saling berhadapan. Hal ini memberikan gambaran bahwa keberadaan Stasiun Bekri di masa lampau erat kaitannya dalam proses pengangkutan minyak sawit menuju Oosthaven.

Pada Voorwaarden van Vervoer en Tarieven, Zuid Sumatra Staatsspoorwege (1 Januari 1931) dijelaskan bahwa terdapat tarif yang mesti dibayarkan penumpang dengan tujuan daerah-daerah di Sumatera bagian selatan. Sebagai contoh tarif kereta api dari Stasiun Bekri menuju Kertapati sebesar 347 gulden. Kemudian tarif jarak pendek yang menghubungkan Stasiun Bekri dengan Stasiun Rejosari dan Stasiun Natar masing-masing sejumlah 26 dan 29 gulden. Sementara itu dalam Dienstregeling van Den Loop Der Treinen tahun 1930 dijelaskan keberangkatan kereta api dari Stasiun Bekri pada pukul 08.30, 11.29 dan 14.19.

Melansir dari stasiun.kereta.id saat ini Stasiun  Bekri memiliki tiga jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus dan jalur 3 yang merupakan sepur belok panjang (long siding) untuk memuat rangkaian kereta api.

Stasiun Rengas

Selain keberadaan Stasiun Bekri, terdapat pula tinggalan stasiun lain yang bernama Stasiun Rengas. Stasiun ini tergolong sebagai setasiun kecil, yang terletak antara Kabupaten Lampung Tengah dengan Kabupaten Pesawaran.


                                                                             Jaringan Rel Kereta Api di Lampung

(Sumber: PT Kereta Api Indonesia, 2019)

Bataviaasch Nieuwsblad (23 Februari 1927) memberitakan perjalanan dengan kereta api dari Teluk Betung ke Palembang. Diberitakan bahwa antara Tegineneng dan Bekri melewati stasiun darurat, yang terdiri dari gerbong barang bekas, yang rangkanya telah dilepas. Ini adalah Stasiun Rengas.

Referensi:

Bataviaasch Nieuwsblad 23 Februari 1927

BPS Lampung Tengah, 2024

De Indische Courant, 28 September 1938

De Oliepalm: Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm In Nederlandsch-Indië, 1924

Dienstregeling van Den Loop Der Treinen, 1930

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 2 Oktober 1939

N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938

Nederlandsch-Indisch Rubbertijdschrift, 1 November 1919

Notulen van De Conferentie Met De Hoofden van Gewestelijk Best, 1932

stasiun.kereta.id,

Soerabaijasch Handelsblad 28 September 1938

Voorwaarden van Vervoer en Tarieven, Zuid Sumatra Staatsspoorwege, 1 Januari 1931