Pada 1956, melalui UU No. 6 Tahun 1956 pemerintah Indonesia membentuk Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) dengan tugas pokok: Membimbing perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; Memberi pertimbangan kepada pemerintah dalam hal kebijaksanaan ilmu pengetahuan. Pemerintah Indonesia pada tahun 1962 membentuk Departemen Urusan Riset Nasional (DURENAS) dan menempatkan MIPI di dalamnya dengan tugas tambahan membangun dan mengasuh beberapa Lembaga Riset Nasional. Pada 1966 pemerintah merubah DURENAS menjadi Lembaga Riset Nasional (LEMRENAS). Pemerintah pada Agustus 1967 membubarkan LEMRENAS dan MIPI melalui SK Presiden RI No. 128 Tahun 1967.
Kemudian pemerintah membentuk Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berdasarkan Keputusan MPRS No. 18/B/1967. LIPI bertugas menampung seluruh tugas LEMRENAS dan MIPI, dengan tugas pokok membimbing perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berakar di Indonesia agar dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan rakyat Indonesia pada khususnya dan umat manusia pada umumnya; mencari kebenaran ilmiah di mana kebebasan ilmiah, kebebasan penelitian serta kebebasan mimbar diakui dan dijamin, sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945; mempersiapkan pembentukan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (sejak 1991 tugas pokok ini selanjutnya ditangani oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi dengan Keppres No. 179 Tahun 1991 sesuai amanat Undang-Undang No. 8/1990 tentang AIPI).
Selain lembaga-lembaga penelitian peninggalan Belanda, pemerintah juga mendirikan lembaga-lembaga penelitian lain, di antaranya adalah Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN), Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Standardisasi Nasional. Sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia setelah merdeka terbagi menjadi dua dekade. Pada dekade pertama, yaitu tahun 1945-1960, bangsa Indonesia mulai mengerti arti teknologi produksi, walaupun masih dalam tingkat pasif dan penuh ketergantungan pada pihak luar negeri.
Hasil dari pengenalan ilmu pengetahuan teknologi untuk pertama kali yaitu pembangunan pabrik semen di Gresik, pabrik kertas di Blabak (Magelang), pabrik gelas dan kosmetik di Surabaya yang dibangun pada pertengahan dekade 1950-an. Pada dekade ke-2 yaitu pada tahun 1976 dengan mendirikan pabrik pesawat terbang di Bandung yang diberi nama Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) yang menggunakan teknologi yang lebih canggih lagi. Teknologi dari pabrik pesawat terbang ini mengacu pada teknologi di Jerman.
Selain lembaga-lembaga penelitian, teknologi di Indonesia juga mengalami perkembangan. Dalam bidang komunikasi, pemerintah RI membeli satelit yang diberi nama Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa (SKSD Palapa). Lembaga-lembaga siaran radio dan televisi juga mengalami perkembangan pesat sejak kemerdekaan Indonesia.
1. Nurtanio: Industri Dirgantara Nasional
Perkembangan teknologi di Indonesia sangat diuntungkan oleh Booming minyak yang terjadi pada tahun 1970-an. Booming minyak memberikan keuntungan tersendiri bagi pemerintah Indonesia, ketika pemerintah Orde Baru merancang alih teknologi tinggi, khususnya pembuatan industri pesawat terbang nasional. Perkembangan industri pesawat terbang berawal ketika Presiden Soeharto memanggil pulang ahli aeoronika lulusan Universitas Achen di Jerman, B.J. Habibie, pada tahun 1974. Suharto menugaskan Habibie untuk menyiapkan segala hal terkait pembangunan industri dirgantara nasional.
Untuk mendukung kerja B.J. Habibie, Presiden Soeharto menempatkan Habibie sebagai staf divisi pengembangan teknologi tinggi Pertamina. Posisi strategis ini membuat Habibie memperoleh kemudahan dalam pembiayaan (dana yang berlimpah dari booming minyak) sehingga mampu membiayai eksperimen teknologi tinggi yang dirancang Habibie. Di sisi lain hubungan Habibie dengan penguasa juga semakin dekat membuat kemudahan bagi Habibie dalam mengembangkan ide-idenya.
Habibie kemudian mengembangkan industri-industri strategis dengan mendirikan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai basis awal pengembangan industri strategis. Di BPPT inilah Habibie merancang dan mengembangkan berbagai industri strategis di Indonesia melalui Badan Perencana Industri Strategis (BPIS). Dari BPIS ini kemudian dikembangkan Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN) di Bandung, Perusahaan Armada Laut (PAL) di Surabaya dan Badan Tenaga Atom Nasional di Serpong. Industri strategis ini menghasilkan berbagai karya nyata, IPTN menghasilkan pesawat sebagai sarana transportasi udara di Indonesia dan PT PAL berhasil membuat berbagai kapal laut sebagai sarana transportasi laut.
Industri Pesawat Terbang Nurtanio yang bertempat di Bandung, mulai beroperasi pada tahun 1976. Dalam mengembangkan industri dirgantara ini Habibie menggandeng industri-industri pesawat terbang di Eropa di antaranya adalah MBB yang berkedudukan di Jerman dan CASA yang berkedudukan di Spanyol. Salah satu wujud dari kerja sama ini adalah diperolehnya lisensi pembuatan helikopter NBO-105 dan CN 235.
Pada awalnya IPTN hanya memperoleh penguasaan alih teknologi tinggi berdasarkan lisensi yang dimiliki. Tahap berikutnya IPTN diijinkan untuk merakit pesawat-pesawat tersebut di Indonesia. Setelah tahap perakitan berjalan dengan baik, tahap berikutnya pemberian izin untuk memproduksi komponen-komponen pesawat di Indonesia. Salah satu hasil dari IPTN adalah berhasil memproduksi berbagai jenis pesawat terbang antara lain NC-212- 100, Helikopter Nbell-412, NAS-332 Super Puma, CN 234, CN 235, CN 250 dan N2130.
2. Teknologi Komunikasi dan Transportasi
Perkembangan teknologi komunikasi di Indonesia tidak bisa lepas dari kebijakan komunikasi yang dikembangkan oleh pemerintah Orde Baru. Pada tahun 1976, tepatnya tanggal 16 Agustus, merupakan awal revolusi teknologi komunikasi di Indonesia ketika pemerintah Orde Baru mengembangkan sistem tekonologi komunikasi berbasis satelit untuk menghubungkan komunikasi di wilayah Indonesia yang luas. Indonesia merupakan salah satu yang mengembangkan satelit secara mandiri untuk komunikasi lokal, nasional dan internasional. Sistem komunikasi satelit yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dikenal dengan sebutan Sistem Komunikasi Satelit Domestik Palapa (SKSD Palapa).
Penamaan Palapa diambil dari sumpah yang dilakukan oleh Patih Gajah Mada dalam upaya menyatukan wilayah geografis Nusantara. Satelit inilah yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru dalam menyatukan wilayah Nusantara melalui komunikasi dan informasi. Pemanfaatan satelit ini mampu mengubah hubungan komunikasi di wilayah Indonesia dan juga di wilayah regional Asia Tenggara. Di Indonesia sendiri komunikasi telepon, telegrap dan teleks semakin lancar. Daya jangkau siaran TVRI dan RRI mampu menjangkau ke seluruh wilayah Indonesia. Pengembangan SKSD Palapa generasi awal dalam pengoperasiannya didukung dengan pembangunan 40 stasiun komunikasi di bumi yang tersebar di 26 provinsi di Indonesia dan 14 tempat-tempat strategis lainnya. Hal inilah yang menghubungkan komunikasi antarwilayah di Indonesia.
Pengembangan satelit SKSD Palapa ini mendudukan Indonesia menjadi negara berkembang pertama yang memanfaatkan satelit untuk komunikasi domestiknya yang mengintegrasikan komunikasi di seluruh wilayah Nusantara. Penerapan komunikasi satelit ini mampu memperkuat dan meningkatkan berbagai aspek persatuan di wilayah nusantara. Salah satu hal yang paling nyata adalah meningkatnya kualitas komunikasi publik seperti peningkatan kualitas penerimaan penyiaran televisi dan radio di seluruh Indonesia hingga ke tingkat desa. Peningkatan jaringan komunikasi ini tentunya bukan hanya sebatas untuk keperluan masyarakat umum, namun dimanfaatkan juga oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) untuk meningkatakan komunikasi di tubuh ABRI sebagai lembaga pertahanan dan keamanan nasional. Hal ini mampu merekatkan persatuan wilayah Indonesia. Satelit komunikasi yang dikembangkan Indonesia pada awalnya adalah Satelit Palapa A dan Satelit Palapa B.
Satelit Palapa tersebut wilayah cakupannya mencapai seluruh wilayah Indonesia, ASEAN dan Papua Nugini. Sehingga yang menikmati manfaat Satelit Palapa ini bukan hanya Indonesia, namun juga negara-negara tetangga Indonesia di wilayah ASEAN dan Papua Nugini dengan menyewa transponder satelit kepada pemerintah Indonesia, sehingga bisa menambahkan penghasilan pemerintah. Generasi pertama Satelit Palapa (Palapa A dan Palapa B) beroperasi hingga tahun 1983. Kemudian pemerintah meluncurkan satelit generasi kedua yaitu B1 dan B2 dan diikuti oleh generasi-generasi berikutnya hingga C1 dan C2 kemudian digantikan dengan satelit Telkom1.
Selain teknologi komunikasi, pemerintah Indonesia juga mengembangkan sarana dan prasarana transportasi darat. Salah satunya adalah pembangunan jalan bebas hambatan atau dikenal dengan sebutan jalan tol. Pembangunan jalan bebas hambatan pertama yang dilakukan oleh pemeritah adalah pembangunan Jalan Tol Jakarta-Bogor dan Ciawi yang dikenal dengan nama Jalan Tol Jagorawi. Jalan ini mampu mempercepat transportasi Jakarta ke Bogor dan juga ke Ciawi dan Puncak. Dalam rangka memperlancar perhubungan dan pertumbuhan ekonomi baik di Jawa maupun di luar Jawa dibangun jalan trans dan jalan tol.
Di Sumatra selain dibangun jalan trans Sumatra juga dibangun jalan tol yang menghubungkan pelabuhan Belawan dan Kota Medan. Di Jawa dibangun jalan tol Jakarta-Merak dan jalan Tol Jakarta Cikampek. Di Sulawesi juga dibangun jalan tol yang mengubungkan pelabuhan Makasar dan Mandar. Pada tahun 1987, pemerintah juga membangun jalan tol dalam kota yang menghubungkan Cawang-Tanjung Priok. Pembangunan jalan tol ini memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh anak bangsa, Tjokorde Raka Sukawati, yaitu teknologi Sosro Bahu.
Teknologi tersebut memudahkan pembangunan jalan tol yang berada di jalur macet. Karena dalam pembuatan pilar-pilar jalan tol layang dibangun segaris dengan jalan dan diputar melintang jalan setelah pilar-pilar tersebut kering. Teknologi Sosro Bahu menjadi kebanggaan nasional, dengan teknologi tersebut dibangunlah jalan-jalan tol di luar negeri yang memanfaatkan teknologi tersebut. Jalan tol luar negeri yang memanfaatkan teknologi tersebut adalah Amerika Serikat, Malaysia, Filipina, Thailand Singapura serta Korea. Pembangunan jalan tol terus dikembangkan oleh pemerintah, sehingga panjang tol yang dimiliki Indonesia mencapai 553.418 km pada tahun 1997 baik dikelola oleh Jasa Marga maupun oleh swasta.
Pada tahun 2014 juga dibangun jalan tol di Papua yang menghubungkan kota Sorong-Manowari dan Jaya Pura- Merauke. Di Jawa juga dikembangkan jalan tol di Semarang, Surabaya dan juga Bandung (Cipularang). Jalan-jalan tol tersebut mampu menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lainnya lebih cepat. Selain teknologi Sosro Bahu, pembangunan jalan tol juga memanfaatkan teknologi Cakar Ayam. Teknologi ini merupakan penemuan anak bangsa, Sediyatmo. Penemuan teknologi Cakar Ayam Sedyatmo ini berawal permintaan bung Karno untuk mensukseskan Asian Games yang membutuhkan suplai listrik yang memadai. Untuk itu dibangun gardu listrik di wilayah Ancol yang merupakan rawa-rawa. Teknologi Cakar Ayam ini yang mampu membangun pondasi di wilayah rawa-rawa. Keberhasilan pembangunan gardu listrik dengan pondasi cakar ayam ini menjadi salah satu kunci sukses pelaksanaan Asian Games. Teknologi Cakar Ayam ini kemudian digunakan dalam membangun lapangan parkir pesawat di bandara Juanda Surabaya, dan di Bandara Polonia Medan. Teknologi cakar ayam semakin terkenal ketika pembangunan jalan tol menuju Bandara Sukarno Hatta yang berada di atas rawa-rawa.
3. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau merupakan upaya pemerintah dalam meningkatkan hasil pertanian melalui kebijakan modernisasi pertanian. Kebijakan ini secara nasional dan intens baru dilakukan pada masa Orde Baru. Namun kalau kita lihat apa yang dilakukan oleh Orde Baru, ide modernisasi pertanian pertama kali dilakukan oleh mahasiswa Fakultas Pertanian Universitas Indonesia pada 1960 dalam kegiatan Demonstrasi Masal (DEMAS). Demas merupakan suatu upaya untuk memaksimalkan hasil pertanian untuk memperoleh keuntungan yang tinggi dengan menerapkan prinsip-prinsip bertani modern pada sekelompok petani tradisional.
Dalam pelaksanaan modernisasi pertanian ini, program Demas ini menerapkan penggunaan varietas unggul, pupuk kimia, pestisida, perbaikan tata cara bertanam dan penyediaan sarana irigasi yang baik. Aktivitas tersebut dikenal sebagai Panca Usaha Tani. Pemerintah pada tahun 1964 kemudian memformulasikan program tersebut menjadi program pembangunan pertanian dengan nama Bimbingan Massal (Bimas).
Program Bimas yang merupakan pengembangan dari Demas aktivitasnya meliputi penyuluhan pertanian dan pemberian kredit modal kepada petani. Program penyuluhan pertanian Bimas tidak ditujukan kepada individuindividu petani, namun lebih ditujukan kepada kelompok tani. Kelompok tani inilah yang menjadi objek penyuluhan pertanian yang berisi informasi bagaimana cara bertani modern dan pemberian subsidi. Program Bimas ini menerapkan ekstensifikasi pertanian, yaitu usaha meningkatkan hasil pertanian dengan cara memperluas lahan pertanian baru, misalnya membuka hutan dan semak belukar, daerah sekitar rawa-rawa, dan daerah pertanian yang belum dimanfaatkan.
Selain itu, ekstensifikasi juga dilakukan dengan membuka persawahan pasang surut. Ekstensifikasi pertanian banyak dilakukan di daerah jarang penduduk seperti di luar Pulau Jawa, khususnya di beberapa daerah tujuan transmigrasi, seperti Sumatra, Kalimantan, dan Irian Jaya. Dalam upaya meningkatkan hasil pertanian lebih tinggi lagi, pemerintah Orde Baru mengembangkan program Bimas menjadi Intensifikasi Massal (Inmas) pada tahun 1969. Format pengembangan Inmas aktivitasnya hampir serupa dengan Bimas. Pemerintah Orde Baru melaksanakan Program Inmas sebagai program modernisasi pertanian berskala nasional. Target pelaksanaan Inmas adalah pengoptimalan produktivitas lahan dan kualitas hasil pertanian, terutama pertanian padi.
Untuk mensukseskan program ini pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi secara nasional terhadap pupuk dan pestisida, bibit unggul dan teknologi lainnya. Sistem pertanian yang dikembangkan pada pola ini adalah sistem intensifikasi pertanian, yaitu pengolahan lahan pertanian yang ada dengan sebaik-baiknya untuk meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan berbagai sarana. Intensifikasi pertanian banyak dilakukan di Pulau Jawa dan Bali yang memiliki lahan pertanian sempit.
Program intensifikasi pertanian pada awalnya menggunakan program Panca Usaha Tani, yang dikembangkan sebelumnya, kemudian dilanjutkan dengan program sapta usaha tani. Program sapta usaha tani meliputi kegiatan sebagai berikut:
• Pengolahan tanah yang baik
• Pengairan yang teratur
• Pemilihan bibit unggul
• Pemupukan
• Pemberantasan hama dan penyakit tanaman
• Pengolahan pasca panen
Dalam upaya meningkatkan hasil pertanian pemerintah melakukan penataan program Inmas menjadi Intensifikasi Khusus (Insus). Kalau Inmas titik tekannya pada penerapan panca usaha tani, sedangkan Insus menekankan peningkatan hasil dari setiap hektar sawahnya melalui sapta usaha tani yang penekakannya pada pengembangan teknologi pertanian. Walaupun program Insus mampu meningkatkan hasil yang cukup siginifikan, pada Pelita I hasil produksi padi mencapai 22.464.376 juta ton padi dari lahan seluas 8.508.598 hektar sawah pada Pelita V produksi padi mencapai angka 48.181 juta ton padi dari lahan seluas 11.021.800 hektar sawah, pemerintah terus berusaha meningkatkan hasil pertanian dengan mengubah program Insus menjadi Supra Insus.
Program ini mengembangkan teknologi pertanian yang sudah ada dengan penggunaan zat perangsang tumbuhan yang bertujuan meningkatkan hasil padi di setiap hektar sawahnya dan juga memfasilitasi kerja sama antarkelompok tani. Penerapan bibit unggul yang dilakukan oleh pemerintah mampu meningkatkan jumlah hasil panen di tiap hektarnya dan mampu memperpendek masa tanam padi. Jika sebelumnya setahun hanya dua kali panen, dengan program-program yang diterapkan oleh pemerintah mampu menjadi tiga kali panen setiap tahunnya.
Penggunaan bibit unggul yang ditopang teknologi hasil pertanian mampu meningkatkan jumlah hasil panen secara siginifikan. Keberhasilan ini ditopang oleh pengolahan lahan pasca panen yang menggunakan teknologi modern sehingga membutuhkan waktu yang lebih sedikit dibandingkan dengan pengelolaan konvensional. Penggunaan pestisida dalam pemberantasan hama mampu menurunkan jumlah hama pengganggu. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida mendorong peningkatan produktivitas lahan semakin tinggi sehingga hasil panen pun bertambah di setiap hektarnya.
Penggunaan teknologi dalam pengolahan pasca panen, terutama mesin pengolah gabah membuat gabah semakin cepat diolah menjadi beras dibandingkan dengan pengolahan tradisional. Hal ini berdampak pada orientasi pasar. Penggunaan mesin pengolah gabah menopang peningkatan stok beras nasional yang terus bertambah setiap tahunnya. Pengolahan gabah yang menggunakan mesin pengolah merupakan salah satu upaya mekanisasi pertanian. Mekanisasi merupakan usaha meningkatkan hasil pertanian dengan menggunakan mesin-mesin pertanian modern. Mekanisasi pertanian banyak dilakukan di luar Pulau Jawa yang memiliki lahan pertanian luas.
Pada program mekanisasi pertanian, tenaga manusia dan hewan bukan menjadi tenaga utama. Mekanisasi juga terkait dengan program pasca panen, yaitu pengolahan hasil panen. Selain program intensifikasi, ekstensifikasi, mekanisasi dikembangkan pula program diversifikasi pertanian, yaitu usaha penganekaragaman jenis usaha atau tanaman pertanian untuk menghindari ketergantungan pada salah satu hasil pertanian.
Diversifikasi pertanian dilakukan melalui dua cara, yaitu:
• Memperbanyak jenis kegiatan pertanian, misalnya seorang petani selain bertani juga beternak ayam dan beternak ikan.
• Memperbanyak jenis tanaman pada suatu lahan, misalnya pada suatu lahan selain ditanam jagung juga ditanam padi ladang.
Program pengembangan pertanian melalui Revolusi Hijau berdampak pada peningkatan hasil pertanian, terutama padi, membawa Indonesia menjadi negara swasembada beras pada tahun 1987. Keberhasilan swasembada ini merupakan dampak positif dari proses modernisasi pertanian dan merupakan salah satu prestasi yang dicapai Orde Baru. Selain membawa keberhasilan Indonesia menjadi negara penghasil swasembada beras, revolusi hijau juga membawa dampak terhadap kehidupan petani di tingkat lokal. Di antaranya menurunnya pendapatan buruh tani karena penggunaan teknologi modern, seperti traktor untuk pengolahan lahan siap tanam. Masuknya mesin pengolah padi, heuler, mengurangi juga pendapatan petani, mereka kehilangan pendapatan buruh penumbuk padi. Hal ini menyebabkan surplus ekonomi bagi petani kaya.
Di sisi lain Revolusi Hijau juga menguatkan sistem ekonomi uang dan semakin mengintegrasikan sistem ekonomi desa ke sistem ekonomi makro. Hasil pertanian sebagian di perjualbelikan di samping disimpan sebagai cadangan. Uang mulai mengalir ke pedesaan dan menghidupkan ekonomi di tingkat lokal. Untuk mempertahankan hasil pertanian yang ada, pemerintah juga menerapkan program rehabilitasi pertanian, yaitu usaha memperbaiki lahan pertanian yang semula tidak produktif atau sudah tidak berproduksi menjadi lahan produktif atau mengganti tanaman yang sudah tidak produktif menjadi tanaman yang lebih produktif.
Dalam rangka menjalankan kebijakan rehabilitasi pertanian, pemerintah menjalankan langkah-langkah:
• Memperluas, memperbaiki, dan memelihara jaringan irigasi di seluruh wilayah Indonesia.
• Menyempurnakan sistem produksi pertanian pangan melalui penerapan berbagai paket program yang diawali dengan program Bimbingan Massal (Bimas) pada tahun 1970, kemudian program intensifikasi massal (Inmas), Intensifikasi Khusus (Insus) dan Supra Insus yang bertujuan meningkatkan produksi pangan secara berkesinambungan.
• Membangun pabrik pupuk serta pabrik insektisida dan pestisida yang dilaksanakan untuk menunjang proses produksi pertanian.
Langkah lain yang dilakukan pemerintah dalam rangka meningkatkan hasil pertanian, antara lain:
• Membangun gudang-gudang, pabrik penggilingan padi, dan menetapkan harga dasar gabah.
• Memberikan berbagai subsidi dan insentif modal kepada para petani agar petani dapat meningkatkan produksi pertaniannya.
• Menyempurnakan sistem kelembagaan usaha tani melalui pembentukan kelompok tani dan Koperasi Unit Desa (KUD) di seluruh pelosok daerah yang bertujuan untuk memberikan motivasi produksi dan mengatasi hambatan-hambatan yang dihadapi para petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar