Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bioskop ini menarik warga Metro dan sekitarnya untuk menonton gambar bergerak. Jauh di masa lampau, ternyata kehadiran masyarakat dari Jawa ke Lampung juga dipengaruhi oleh sebuah film. Film itu berjudul Tanah Sabrang. Lantas bagaimanakah pengaruh film tersebut hingga membuat orang Jawa mau berpindah ke Lampung?
Oleh: Adi Setiawan
(Sumber: vanstarkenburg.com)
Pada
tahun 1938, Mannus Franken mensutradarai pembuatan film berjudul “Tanah
Sabrang: Land Aan de Overkant, Landbouwklonisatie en Wayang” atau
dalam Bahasa Indonesia berarti “Tanah Sabrang: Mendarat di Sisi Lain, Kolonisasi
Pertanian dan Wayang.” Film yang kemudian lebih dikenal dengan Tanah Sabrang
ini merupakan film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Jawa yang berada di
daerah kolonisasi. Film yang diproduksi oleh Sindikat Perfilman Hindia Belanda
(Algemeen Nederlandsch Indisch
Filmsyndicaat/ANIF) ini menjadi
salah satu media propaganda oleh pemerintah kolonial kepada masyarakat di Pulau
Jawa agar tertarik mengikuti program kolonisasi atau transmigrasi.
Program kolonisasi yang dicanangkan oleh pemerintah
kolonial menargetkan pemindahan penduduk dari Jawa ke Pulau Sumatra, Kalimantan
dan Sulawesi. Program kolonisasi merupakan usaha pemerataan penduduk yang
dilakukan oleh pemerintah saat itu, sebagai bagian dari Politik Etis. Pasalnya
populasi penduduk di Jawa semakin padat, oleh karena itu pemindahan penduduk
menjadi kebijakan yang dianggap menjadi solusi dalam mengurangi kepadatan
penduduk di Pulau Jawa.
Program kolonisasi pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah
kolonial dengan membawa masyarakat dari Jawa ke daerah Gedong Tataan, di
Karesidenan Lampung. Kolonisasi di tahap awal ini, pemerintah secara
terorganisir menyiapkan lahan yang akan digunakan sebagai pemukiman dan
pertanian. Tidak hanya itu pemerintah juga menyiapkan biaya pemberangkatan bagi
para kolonis. Begitupun setelah mereka sampai di Lampung, kolonis ini diberikan
bekal secukupnya.
Selain program kolonisasi yang biayanya disubsidi oleh
pemerintah, sistem lain yang digunakan saat itu adalah sistem kolonisasi bawon.
Dalam sistem ini, pemerintah mendatangkan kolonis ke Lampung dengan tujuan agar
mereka bekerja kepada kolonis yang lebih awal datang. Kolonis baru ini bekerja
memanen padi atau membawon. Hasil dari upah membawon digunakan untuk keperluan
hidup, sambil mereka membuka dan mengolah lahan garapan. Dengan sistem ini
pemerintah dapat menekan biaya yang dikeluarakan untuk para kolonis baru.
Artikel Berita tentang Tanah
Sabrang
(Sumber: Het Vaderland, 11 Agustus 1940)
Menariknya selain dengan menggunakan sistem bawon agar
penduduk Jawa mau berpindah ke Lampung. Pemerintah kala itu juga berusaha
melakukan propaganda lewat berbagai media, seperti foto, buku, selebaran dan
film. Dengan media itu, pemerintah kolonial berusaha meyakinkan masyarakat di
Pulau Jawa bahwa kondisi tanah kolonisasi dapat memberikan kesejahteraan hidup.
Film Tanah Sabrang merupakan sebuah film yang menjadi alat propaganda dan media
untuk menarik hati orang Jawa untuk mau membangun hidup di tanah seberang. Film Tanah Sabrang memberikan
gambaran mengenai perekrutan kolonis baru dari desa-desa di Jawa Tengah. Juga
ditampilkan tentang kehidupan para kolonis tersebut, termasuk di kehidupan
kolonis di daerah kolonisasi Sukadana. Film ini dibuat tanpa dukungan
pemerintah, hanya atas nama pemerintah. Skenarionya sendiri berasal dari Mannus
Franken dan A. Jonkers. Proses pembuatan film dilakukan dalam tanggungjawab
Mannus Franken dan Jan van der Kolk. Sementara agar film nampak lebih menarik
diberikan alunan musik yang direkam di bawah arahan RAA Danoesoegondo dan R.
Ng. Pringgohardana (De Locomotief, 24 Oktober 1939).
Mannus Franken
(Sumber: www.indonesianfilmcenter.com)
Tokoh
utama dalam film tersebut bernama Sokromo, sebuah nama yang memiliki padanan
Jansen dalam bahasa Belanda. Untuk peran ini, seorang lurah di desa Niten, yang
cukup menunjukkan bahwa dia bisa berakting untuk film tersebut. Dalam lakon,
Sokromo adalah pemuda yang hendak berhijrah bersama istri dan kedua anaknya.
Untuk itu Sokromo menemui lurah untuk membicarakan cara hijrah. Ia pun bertemu
dengan temannya, Kario yang juga ragu-ragu untuk mengikuti program kolonisasi.
Selain adegan tersebut, dalam film juga ditampilkan adegan wayang kulit. Tokoh semar ditampilkan dengan mata yang indah dan melihat seperti apa masa depan orang yang ragu-ragu di tanah sabrang. Permainan wayang dipilih sebagai salah satu bentuk ekspresi, karena bagaimanapun inilah yang paling berkesan bagi orang Jawa. Terlihat jelas bahwa pemerintah kolonial saat itu berusaha mengambil hati rakyat dengan menggunakan sosio-kultural yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Adegan lainnya adalah ditampilkan perjalanan besar kolonis ke tanah seberang, mulai dari proses kedatangan, pekerjaan, dan panen. Singkatnya, seluruh kehidupan di tanah kolonisasi ditampilkan dalam film ini (Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940).
(Sumber:
De Tij dan Maasbode)
Sementara
itu Het Nationale Dagblad, 16 April 1941 membuat kesimpulan atas film berbahasa
Jawa ini, sebagai berikut:
De film behandelt de geschiedenis van een jongen Javaanschen boer, die met vrouw en twee kinderen naar “Tanah Sabrang" koloniseert. In het nieuwe gebied aangekomen helpen zij eerst oudere kolonisten bij het binnenhalen van den oogst, waarmede zij zooveel verdienen, dat zij voldoende levensmiddelen hebben voor 5 tot 6 maanden. Daarna beginnen zij voor zichzelf. Hen stuk oerwoud wordt omgehakt en jlatgebrand en in de vruchtbare humuslaag wordt rijst gezaaid. Dit herhaalt zich eenige jaren, totdat de bodem minder vruchtbaar wordt en overgegaan moet worden tot natte rijstbouw. Inmiddels is het bedrijfje dan zoo gcgroeid, dat de kolonisten handen te kort komen, om de rijke oogst binnen tehalen, zoodat zij weer hulp noodig hebben van nieuw aangekomen kolonisten. Zoo komt het Javaansche gezin tot welvaart, dank zij het feit, dat zij den moed hadden naar “Tanah Sabrang" te trekken.
Terjemahan:
Film ini
berkisah tentang sejarah seorang petani muda Jawa yang menjadi kolonis di “Tanah Sabrang” bersama
istri dan kedua anaknya. Ketika mereka tiba di daerah baru, pertama-tama mereka
membantu kolonis lama untuk membawa hasil panen (membawon). Dengan usaha ini
kolonis baru ini menghasilkan banyak uang sehingga mereka memiliki dapat memenuhi
kebutuhan makanan untuk 5 sampai 6 bulan. Kemudian mereka memulai usaha mereka
sendiri. Kolonis baru ini mulai menebang hutan dan membakar. Mereka kemudian
menanam padi di lapisan humus yang subur. Hal ini berulang selama beberapa
tahun, hingga tanah menjadi kurang subur dan perlu beralih ke budidaya padi
basah. Hal itu membuat darah kolonisasi berkembang pesat sehingga para kolonis
lama kekurangan sumber daya untuk memanen hasil panen yang melimpah. Sehingga
mereka kembali membutuhkan bantuan dari kolonis yang baru tiba. Dengan demikian
keluarga Jawa menjadi sejahtera karena berani pergi ke "Tanah Sabrang".
Bagi
masyarakat pedesaan, tontonan berupa film sudah barang tentu menarik bagi
mereka. Ketika pemerintah menggelar acara pemutaran film Tanah Sabrang,
beribu-ribu orang antusias untuk menyaksikannya. Pemerintah kala itu memang
membuat sejenis tur berkeliling di desa-desa yang ada kabupaten/kota di Jawa
Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Pemutaran film dilakukan di alun-alun. Ketika
film ini diputar, bukan hanya rakyat biasa saja yang turut menyaksikan, pejabat
daerah pun turut di dalamnya. Hal itu seperti pemberitaan De Indische Courant
16 Mei 1939, menjelaskan bahwa film Tanah Sabrang telah diputar di Alun-alun
Nganjuk. Dihadiri ratusan warga serta pejabat Binnenlands Bestuur dan Bupati
setempat.
Berita Pemutaran Film di Nganjuk
(Sumber:
De Indische Courant, 16 Mei 1939)
Pemutaran
film yang sama juga terjadi Alun-alun Ambarawa. Antusiasme masyarakat Jawa
untuk menonton Tanah Sabrang ditunjukan dengan kerelaan berjalan berjam-jam
untuk dapat menyaksikan. Dalam pemberitaan Nederlandsch Dagblad, 22
Oktober 1940, cuaca hujan juga tidak menyurutkan warga Wonosobo untuk menonton.
Tercatat 20.000 orang datang menonton film tersebut.
Film
Tanah Sabrang bukan hanya menarik perhatian masyarakat Jawa saja, namun juga
Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Bersama
istri dan tamu undangan, Gubernur Jenderal diberitakan menyaksikan film Tanah Sabrang
di Batavia. Pertunjukan film di Batavia ini dibuka dengan pidato oleh Tuan
Kuneman, seorang anggota Dewan Hindia, dan ketua panitia. Bahkan film
propaganda ini juga turut diputar di Belanda yang menarik penonton orang-orang
Jawa di sana.
Dengan
propaganda film Tanah Sabrang pemerintah menargetkan 100.000 kolonis per
tahunnya. Pengiriman kolonis ke daerah transmigrasi kemudian ditujukan pada
pembukaan lahan-lahan pertanian baru. Terutama bagi warga Jawa yang akrab dengan
pola pertanian basah, pemerintah mengimbangi pembukaan sawah-sawah baru dengan
pembangunan sarana irigasi. Oleh karena itu pemerintah berharap dengan
penayangan film Tanah Sabrang, masyarakat Jawa akan tertarik untuk mengikuti
program transmigrasi. Pemerintah mengharapkan setelah menonton film, muncul
gambaran dalam benak orang Jawa bahwa di daerah baru mereka akan hidup makmur
seperti memiliki rumah, tanah pekarangan, lahan persawahan yang subur, dan
mereka dapat menikmati wayang sehingga mereka merasa seperti hidup di tanah
Jawa (Lindayanti, 2006:300).
(Sumber:
Algemeen Handelsblad, 30 November 1940)
Referensi
Algemeen
Handelsblad, 30 November
1940
De
Indische Courant,
16 Mei 1939
De
Locomotief,
24 Oktober 1939
Het
Nationale Dagblad,
16 April 1941
Nederlandsch
Dagblad,
22 Oktober 1940
Lindayanti. 2006. Menuju
Tanah Harapan: Kolonisasi Orang Jawa Di Bengkulu. Humaniora. Vol. 18.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar