Beranda

Kamis, 02 Januari 2025

Pertanian Padi di Lampung Era Kolonial

Dewasa ini daerah Lampung tercatat sebagai penghasil padi terbesar ke 6 di Indonesia dan peringkat kedua di Pulau Sumatra. Adapun jumlah produksi beras di Lampung pada tahun 2024 mencapai 1.545.296,21 ton. Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Mesuji dan Tulang Bawang merupakan daerah-daerah lumbung padi terbesar di Lampung. Lalu seperti apakah pertanian padi di Lampung masa kolonial?

Oleh: Adi Setiawan


Panen Padi di Dekat Metro

(Sumber: KITLV, 1935)

Perkembangan dunia pertanian padi di Lampung, diupayakan melalui sistem pertanian persawahan yang didukung oleh keberadaan bendungan. Bendungan di Lampung ada yang berukuran besar dan kecil. Adapun bendungan terbesar adalah Bendungan Batu Tegi di Tanggamus.

Pemanfaatan sungai untuk mensuplai pengairan sawah, secara masif mulai berlaku pada masa kolonial. Pemerintah kolonial yang menjalankan salah satu program Politik Etis yakni irigasi, melakukan program pengairan sawah dengan tujuan peningkatan produksi beras.

Adapun beberapa bendungan di Lampung yang dibangun di era kolonial seperti Bendung Argo Guruh yang membendung Sungai Way Sekampung. Bendung Argo Guruh yang tercatat selesai pembangunannya pada tahun 1935 ini, mengairi persawahan di kawasan Trimurjo, Metro, Pekalongan, Batanghari, Sekampung, Punggur dan Kotagajah. Bendungan lain yang dibangun pada masa kolonial adalah Bendung Way Padangratu dan Bendung Way Tebu.

Keberadaan bendung-bendung tersebut sebagai upaya membantu produksi pertanian di daerah kolonisasi. Daerah kolonisasi yang umumnya adalah masayarakat Jawa diusahakan sebagai petani padi. Maka keberadaan bendungan dan saluran irigasi di dalamnya sangat diperlukan.


Tempat Pembibitan Padi di Dekat Metro

(Sumber: KITLV, 1935) 

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat agraris yang cenderung mengupayakan pertanian padi. Saat dilaksanakannya progran kolonisasi dan transmigrasi bagi orang-orang Jawa ke Lampung, pertanian padi tetap menjadi pilihan utama dalam kegiatan bercocok tanam.

Berdasarkan pemberitaan Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië tanggal 15 Maret 1939, setidaknya di tahun 1939 sebanyak 5.500 keluarga Jawa pindah ke Lampung. Kedatangan para kolonis ini lantas disambut dengan pembukaan sawah-sawah baru dengan fasilitas irigasi. Selain mengusahakan pertanian padi di sawah, beberapa kolonis juga mengusahakan padi darat atau padi gogo.


Panen Padi Di Menggala

(Sumber: KITLV, 1935)

 

Dikenalkannya sistem kolonisasi bawon di Lampung juga menjadi indikator bahwa pertanian padi menjadi hal yang intensif dilakukan oleh kolonis dari Jawa tersebut. Sistem bawon sendiri banyak dilakukan di wilayah kolonisasi seperti wilayah kolonisasi di Soekadana dan Kota Agung, di mana para tani Jawa dapat memperoleh upah panen yang baik dari bawon pada pemotongan padi (De Avondpost, 23 Februari 1936).

Pertanian padi di Lampung di era kolonial memiliki lahan yang cukup luas, sebagai contoh luasan sawah yang dialiri air dari Bendung Argo Guruh di wilayah kolonisasi Sukadana seluas 10.000 bau pada tahap awal pengoperasian bendung. Luasan sawah yang dialiri air ini kemudian diperluas hingga mencapai 70.000 bau.

Gambaran kondisi pertanian padi di Lampung juga dijelaskan oleh Sjamsu, bahwa luas tanah pertanian seluruh kolonisai dikeresidenan Lampung dalam tahun 1939 ada 27.703 ha. Dari jumlah tersebut tanah pertanian di Sukadana saja ada 11.072 ha. Pengasilan padi dalam tahun 1939 di kolonisasi Sukadana antara lain dari sawah 17 sampai 58kw/ha atau rata- rata 23 kw/ha, dari ladang bekas alanag-alang ada antara 13 sampai 45 kw/ha atau rata-rata 23 kw/ha dan dari ladang bekas hutan ada antara 13 sampai 49 kw/ha atau rata rata 30 kw/ha.

 

Panen Padi Pertama di  Metro

(Sumber: KITLV, 1935)

Produksi beras yang cukup besar di Lampung saat itu, selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan di daerah beberapa hasil produksi juga dikirim ke luar pulau. Daerah pertema yang menjadi tujuan penjulan beras dari Lampung adalah Jakarta. Pengiriman beras dari Lampung ke Batavia terjadi pada tahun 1936. Beras dari Lampung memiliki kualitas yang dikenal bagus oleh masyarakat Batavia. Beras itu dihargai 3,30 gulden hingga 3,40 gulden per pikul (De Locomotief, 24 April 1936).

Referensi:

Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië, 15 Maret 1939

De Avondpost, 23 Februari 1936

De Locomotief, 24 April 1936

Sjamsu, M., A. 1960. Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955. Djambatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar