Beranda

Rabu, 01 Januari 2025

1 Januari 1949: Respons Masyarakat Metro (Lampung Tengah) terhadap Serangan Belanda di Pelabuhan Panjang

1 Januari 1949 adalah hari bersejarah dalam sejarah revolusi fisik alias mempertahankan kemerdekaan di Lampung. Di tanggal yang sama muncul gagasan pembentukan pemerintahan darurat jika daerah Metro dikuasai oleh Belanda.

Oleh: Adi Setiawan


Tugu Pos Komando Tentara Revolusi di Rejoagung, Batanghari

(Sumber: Dok. Pribadi)


Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II dilakukan terhadap ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta. Serangan tersebut memaksa pemerintahan pusat di Yogyakarta terhenti. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta beberapa tokoh Republik di asingkan Belanda ke luar Pulau Jawa. Melalui sebuah instruksi Mr. Syafruddin Prawiranegara yang tengah berada di Sumatra Barat segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Layaknya di daerah lain, di Lampung juga terjadi agresi militer oleh Belanda. Serangan Belanda terhadap Lampung mulai terjadi di tanggal 1 Januari 1949. Pada hari itu Belanda mulai melakukan serangan terhadap Pelabuhan Panjang guna mendaratkan pasukannya. Usaha Belanda menguasi ibukota Karesidenan Lampung disambut dengan tembakan dari darat oleh ALRI dan diikuti dengan pembumihangusan objek-objek penting sebagai langkah antisipasi terhadap pergerakan Belanda.

Pergerakan pasukan Belanda yang awalnya hanya di Pelabuhan Panjang kemudian mulai menguasai Teluk Betung dan Tanjung Karang. Serangan Belanda kemudian dilanjutkan dibeberapa daerah lain di Lampung. Di daerah Metro, serangan Belanda di Lampung kemudian direspon dengan menggelar pertemuan atau rapat.

Tak banyak orang tahu pada tanggal 1 Januari 1949 saat hari beranjak gelap terjadi sebuah rapat bersejarah di Gedung PU Metro. Rapat itu terlaksana tidak terlepas dari ide R. Soekarso, ia merupakan Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU) Metro. Pada sumber lain disebutkan bahwa rapat terjadi atas usulan dari Wedana Metro, Idris Reksoatmodjo.

Pada rapat itu berkumpulah para pemimpin di Kawedanaan Metro, ada pimpinan pemerintahan, pimpinan tentara, pimpinan berbagai partai politik, pimpinan laskar rakyat serta badan-badan perjuangan. Mereka berkumpul sebagai langkah mengambil ‘ancang-ancang’ menghalau serangan Belanda di Metro. Karena sebelumnya, Belanda telah berhasil memaksa pemerintahan Karesidenan Lampung mundur keluar kota. Menghadapi kenyataan itu, pemerintahan di Metro berusaha untuk mengambil strategi menghadapi gerak laju pasukan Belanda.

Rapat dimulai sekitar pukul 19.00 WIB dan berlangsung sekitar 4 jam itu dihadiri tokoh-tokoh penting di Lampung Tengah, diantaranya adalah: 

  1. Zainabun Djayasinga (Bupati Lampung Tengah)
  2. Idris Reksoatmodjo (Wedana Metro)
  3. R. Soeroto (Camat Trimurjo/Koordinator Kawedanan)
  4. Dastro Gondowardoyo (Lurah Metro)
  5. Wirjohardjo (Dinas Pertanian)
  6. R. Soekarso (Kepala PU Metro)
  7. Suleman (Komisaris Polisi)
  8. Arif Mahya (Pimpinan Hisbullah)
  9. Imam Mangkudun (Pimpinan Masyumi)
  10. Tajudin (Pimpinan Sabillilah)
  11. Surowinoto
  12. Dirdjopawiro
  13. Kiyai Kayad (Kepala Jawatan Agama0
  14. Slamet (Kepala Jawatan Penerangan)
  15. Dokter Kasmir
  16. Kapten Harun Hadimarto (Perwira Distrik Militer)
  17. Letda Sutrasno (Bintara Onder Distrik Militer)
  18. Komandan CPM Serma Yahya Murad)
  19. Hardjo Wasito (Pendeta)
  20. R. Soedarsono (Pimpinan Laskar Rakyat)

 

Mengutip buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung hasil rapat memutuskan bahwa seluruh aparat pemerintah, tentara dan rakyat melakukan perlawanan total terhadap serangan Belanda, kapan pun Belanda datang ke Lampung Tengah. Pemerintah Darurat dibentuk di luar kota, bila Belanda masuk ke Metro. Gedung-gedung pemerintah dan pasar dibumihanguskan termasuk diantaranya rumah Bupati dan rumah Wedana Metro (kecuali rumah sakit, masjid, gereja, serta sekolah). Pemerintahan Darurat dipersiapkan di sayap kiri di desa Rejoagung (Bedeng 49) di bawah pimpinan Idris Reksoatmodjo dengan lindungan PDM (Perwira Distrik Militer) di desa Adiwarno (Bedeng 45) di bawah pimpinan Kapten Harun Hadimarto. Pertahanan di sayap kanan dikoordinir di desa Wonosari (Bedeng 35) di bawah pimpinan R. Soedarsono.

Perlu diketahui bahwa pada masa revolusi fisik, Lampung Tengah merupakan daerah pertahanan di bawah Komado Front Utara yang berpusat di Kotabumi. Waktu itu beberapa kota strategis di Lampung Tengah selalu menjadi incaran Belanda karena mempunyai letak strategis. Karena itu pemerintah bersama rakyat berusaha mempertahankan Kawedanan Metro dari serangan Belanda. Nyatanya memang benar selepas pasukan Belanda menguasai Teluk Betung dan Tanjungkarang, mereka kemudian melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah lain di Lampung. Belanda masuk ke Metro melalui Tegineneng pada tanggal 3 Januari 1949. Adapun pasukan Belanda yang melakukan penyerbuan ke Metro berjumlah kurang lebih satu pleton.

R. Soekarso
(Sumber: Dok. Pribadi)

R. Soedarsono menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso bahwa pertempuran menghadapi pasukan Belanda tidak seimbang, karena saat itu pasukan Republik yang disiagakan mengahadapi serangan Belanda hanya berjumlah satu regu pasukan. Metro akhirnya jatuh ke tangan pasukan Belanda. Karena Metro telah dikuasai oleh Belanda maka sesuai dengan hasil rapat 1 Januari 1949 dilakukan pemerintahan darurat di luar kota serta diiringi koordinasi pertahanan dengan Komando Front Utara Kapten Nurdin. Maka perlawanan gerilya dan aksi sabotase dilakukan oleh Kapten Harun Hadimarto bersama pasukan Batalyon Tempur Front Utara diantaranya Pasukan Bursyah, Pasukan Masno Asmono, Pasukan Suripno, Pasukan Surotomo, Pasukan Barmo dan Pasukan Haryanto. Sejak tanggal 3 Januari 1945, pertempuran kecil-kecilan atau istilahnya tembak lari, taktik perang gerilya berkecamuk di Kawedanan Metro.

Menyadari bahwa pergerakan pasukan Belanda di Kawedanan Metro yang mulai meluas, maka dilakukan evaluasi terhadap strategi dan taktik menghadapinya. R. Soedarsono dalam artikelnya menuliskan bahwa: Berkumpulah pejuang sipil dan militer di desa 49 (Rejoagung) di rumah pak Sartono mantan lurah. Untuk evaluasi dan menentukan sikap. Hadirlah diantara yang saya ingatpada waktu pertemuan itu Raden Idris Reksoatmodjo, Mayor (Harun) Hadimarto, Letnan II Sutrisno, R. Soedarsono, Letnan Muda Soerotom, Camat Metro, Arifin Samil, Camat R. Soeroto, Soerowinoto, Dirjoprawiro, Agus Ganda Saputra, Kapten R. Soemarto, Letnan Soepardi, Lurah Bedeng 44, 45, 46, 47, 49 dan beberapa orang yang tidak kami ingat lagi.

Demikianlah memori R. Soedarsono menyangkut dengan rapat yang dilakukan pada tanggal 7 Januari 1949 itu. Pada sumber lain bahwa rapat tersebut juga dihadiri oleh R. Soekarso. Mengenai hasil rapat diputuskan pembentukan Pemerintahan Darurat dengan susunan sebagai berikut:

  1. Idris Reksoatmodjo (Bupati Perang)
  2. Arifin Samil (Penghubung dengan Pemerintahan Darurat di Sukoharjo, Pringsewu)
  3. R. Soeroto (Penghubung dengan Seluruh Camat di Kawedanan Metro)
  4. R. Soekarso dan Agus Ganda Saputra (Bagian Penerangan dan Agitasi Propaganda)
  5. R. Soedarsono (Penggerak Pemuda dan Laskar)
  6. Soerowinoto (Ketua Bagian Logistik)
  7. Dirjoprawiro (Wakil Ketua Bagian Logistik)

Seluruh camat di Kawedanan Metro menjadi camat perang dan diwajibkan memberikan bantuan.

Begitulah hasil pembentukan Pemerintahan Darurat guna menjaga eksistensi pemerintahan Republik Indonesia di Metro khususnya dan di Lampung Tengah pada umumnya. Pada perkambangan selanjutnya markas atau pusat Pemerintahan Darurat terpaksa harus berpindah-pindah untuk menghindari serangan pasukan Belanda. Pemindahan markas awalnya masih berada di wilayah Kawedanan Metro, namun kemudian terpaksa harus dipindahkan ke Kawedanan Sukadana dan Kawedanan Gunung Sugih.

 Referensi:

 R. Soedarsono. Tt. Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso

 

Supangat. 1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku I. Bandar Lampung: DHD Angkatan 45

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar