Rabu, 02 Juli 2025

Onderneming Redjosari: Jejak Perkebunan Kolonial di Natar

Natar dikenal sebagai daerah yang memiliki kawasan industri di Lampung. Beberapa perusahaan industri berdiri di sepanjang jalan lintas Sumatra, Natar ini. Mengenai industri, ternyata di masa lalu Natar juga menjadi daerah penghasil bahan mentah industri. Dalam hal ini adalah komoditas karet dan sawit yang dikelola oleh Onderneming Redjosari.

Oleh: Adi Setiawan

Sawit di Onderneming Redjosari

(Sumber:  Indië en Jong-Nederland, 1926) 

Di tengah bentang alam Sumatera bagian selatan, berdiri salah satu perusahaan perkebunan berpengaruh di Lampung pada masa kolonial, yakni Onderneming Redjosari. Didirikan pada tahun di awal abad 20 kurang lebih pada tahun 1908, perusahaan ini menjadi saksi dari ekspansi industri perkebunan yang dijalankan pemerintah kolonial Belanda. Dengan luas areal tanam mencapai 2.418 hektar, Redjosari menjelma menjadi perusahaan karet dan kelapa sawit terbesar kedua di Lampung. Ini bukan sekadar entitas bisnis, tetapi juga bagian penting dari lanskap sosial dan ekonomi di masa kolonial.

Onderneming Redjosari merupakan satu dari 53 onderneming atau perusahaan perkebunan besar yang tersebar di Sumatera. Total luas lahan onderneming di Sumatra ketika berkuasa Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mencapai 44.673 hektare. Dari jumlah tersebut, jenis tanaman yang dibudidayakan mencerminkan arah kebijakan kolonial dalam memaksimalkan ekspor hasil bumi. Adapun rincian dari lahan yang dikelola oleh seluruh onderneming tersebut mencakup:

  • Karet: 26.345 hektare
  • Kopi: 6.930 hektare
  • Campuran karet dan kopi: 2.444 hektare
  • Teh: 4.927 hektare
  • Kelapa sawit: 3.374 hektare
  • kina: 353 hektare
  • Fiber (serat): 300 hektare

Catatan ini tercantum dalam arsip surat kabar De Indische Courant tertanggal 17 Januari 1938 dan 3 Desember 1937. Dari data tersebut, terlihat jelas bahwa karet menjadi komoditas utama dalam orientasi pertanian kolonial, diikuti oleh kopi dan teh. Redjosari, dalam konteks ini, memainkan peranan vital sebagai pusat produksi karet dan sawit.

Keberadaan Onderneming Redjosari memberikan gambaran tentang bagaimana sistem ekonomi kolonial bekerja di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial memosisikan wilayah Lampung sebagai lumbung bahan mentah. Wilayah ini disulap menjadi sentra produksi karet dan sawit, hasil-hasil yang memiliki nilai jual tinggi di pasar dunia pada masa itu. Selain Redjosari, beberapa perusahaan lain yang memiliki fungsi serupa di Lampung, sebagai contoh adalah Onderneming Kedaton, Onderneming Pesawaran, dan Onderneming Bekri. Keberadaan onderneming-onderneming di Lampung itu menjadi bagian dari jaringan perusahaan yang menopang struktur ekonomi kolonial yang berorientasi pada ekspor.

Jhr. AJD van Suchtelen v.d Naere

Administrator Onderneming Redjosari

(Sumber:  Haagsche Courant, 1935) 

Salah satu aspek menarik dari sejarah Onderneming Redjosari adalah mekanisme perekrutan tenaga kerja. Dalam catatan TH.G.E. Hoedt (1930:123), dijelaskan bahwa perusahaan ini merekrut buruh-buruh dari Pulau Jawa, khususnya dari daerah padat penduduk seperti Kebumen dan Karanganyar. Pada tahun 1916, sejumlah besar keluarga direkrut untuk bekerja di Redjosari melalui sistem yang dikenal sebagai Perjanjian Bebas.

Perjanjian ini berlangsung selama enam bulan. Para kepala keluarga maupun pekerja lajang menandatangani kontrak kerja dengan imbalan berupa lahan kebun dan tempat tinggal setelah masa kontrak berakhir. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk membentuk komunitas tetap yang dapat sewaktu-waktu dimobilisasi kembali sebagai tenaga kerja. Dengan kata lain, sistem ini tidak hanya memfasilitasi kebutuhan jangka pendek perusahaan akan buruh, tetapi juga menciptakan bentuk kolonisasi perkebunan yang bersifat permanen. Fenomena ini merupakan bagian dari kebijakan besar kolonial Belanda yang dikenal sebagai kolonisasi atau pemindahan penduduk dari Jawa ke luar pulau demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri perkebunan. Strategi ini menjadi awal mula terbentuknya komunitas Jawa di banyak wilayah di Sumatera, termasuk Lampung.

Gambaran Onderneming Redjosari sebagai perusahaan bukan hanya terlihat dari luas lahannya, tetapi juga dari neraca keuangan yang dijalankan. Dalam laporan neraca per 31 Desember 1935 yang dimuat dalam De Telegraaf tanggal 10 Juni 1936, tercatat bahwa perusahaan memiliki total aset sebesar f 1.744.624 (gulden), dengan rincian sebagai berikut:

  • Aset perusahaan: f 25.296
  • Surat berharga: f 11.000
  • Inventaris kantor: f 1,-
  • Stok hasil panen karet tahun 1935: f 13.000
  • Berbagai debitur: f 120
  • Kas dan rekening pos: f 761
  • Saldo rugi: f 76.009
  • Modal: f 1.000.000
  • Cadangan pajak: f 41.541
  • Cadangan cuti personel Eropa: f 13.030
  • Cadangan personel pribumi: f 14.719
  • Dividen belum terkumpul: f 60
  • Berbagai kreditor: f 801.461 

Untuk memperkuat daya saing dan stabilitas usaha, Redjosari tergabung dalam sebuah sindikat perusahaan perkebunan. Dalam sindikat ini, para administrator perusahaan saling bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi dalam operasional sehari-hari.

Salah satu bukti dari aktivitas sindikat ini adalah Rapat Umum yang digelar pada 4 November 1939 di Tanjungkarang. Rapat ini dihadiri oleh berbagai perwakilan perusahaan, termasuk Jhr. AJD van Suchtelen v.d Naere, Administrator dari Onderneming Redjosari. Dalam pertemuan tersebut, dibahas sejumlah hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan perkebunan, serta berbagai solusi yang dapat diambil secara kolektif.

Meski zaman telah berganti, jejak Onderneming Redjosari masih dapat ditemukan hingga kini. Perusahaan ini tetap beroperasi dan kini berada di bawah manajemen PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN VII), salah satu BUMN yang mengelola aset-aset perkebunan warisan kolonial di Indonesia. Redjosari menjadi saksi bisu perubahan dari era kolonial ke era kemerdekaan.

Lebih dari sekadar perusahaan, Redjosari adalah bagian dari mosaik sejarah Indonesia, menggambarkan bagaimana kekuatan ekonomi kolonial membentuk struktur sosial, pola migrasi, dan perubahan lanskap agraria. Warisan ini, baik dalam bentuk aset fisik maupun jejak sosial, terus memengaruhi kehidupan masyarakat Lampung dan Indonesia hingga hari ini. Khususnya bagi masyarakat Natar, Lampung Selatan Onderneming Redjosari menjadi satu titik sejarah yang mewarnai kehidupan di masa lalu. 

Referensi:

De Indische Courant, 03 Desember 1937

De Indische Courant, 17 Januari 1938

De Telegraaf, 10 Juni 1936

TH.G.E., Hoedt. 1930. Indische Bergcultuurondernemingen Voornamelijk In Zuid-Sumatra. H. Veenman & Sons: Wageningen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Onderneming Redjosari: Jejak Perkebunan Kolonial di Natar

Natar dikenal sebagai daerah yang memiliki kawasan industri di Lampung. Beberapa perusahaan industri berdiri di sepanjang jalan lintas Sumat...

Populer