Natar dikenal sebagai daerah yang memiliki kawasan industri di Lampung. Beberapa perusahaan industri berdiri di sepanjang jalan lintas Sumatra, Natar ini. Mengenai industri, ternyata di masa lalu Natar juga menjadi daerah penghasil bahan mentah industri. Dalam hal ini adalah komoditas karet dan sawit yang dikelola oleh Onderneming Redjosari.
Oleh: Adi Setiawan
Sawit
di Onderneming Redjosari
(Sumber:
Indië en Jong-Nederland, 1926)
Di tengah bentang alam Sumatera bagian
selatan, berdiri salah satu perusahaan perkebunan berpengaruh di Lampung
pada masa kolonial, yakni Onderneming Redjosari. Didirikan pada tahun di awal
abad 20 kurang lebih pada tahun 1908, perusahaan ini menjadi saksi dari
ekspansi industri perkebunan yang dijalankan pemerintah kolonial
Belanda. Dengan luas areal tanam mencapai 2.418 hektar, Redjosari menjelma
menjadi perusahaan karet dan kelapa sawit terbesar kedua di Lampung. Ini bukan
sekadar entitas bisnis, tetapi juga bagian penting dari lanskap sosial dan
ekonomi di masa kolonial.
Onderneming Redjosari merupakan satu dari 53
onderneming atau perusahaan perkebunan besar yang tersebar di Sumatera. Total
luas lahan onderneming di Sumatra ketika berkuasa Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda mencapai 44.673 hektare. Dari jumlah tersebut, jenis tanaman yang
dibudidayakan mencerminkan arah kebijakan kolonial dalam memaksimalkan ekspor
hasil bumi. Adapun rincian dari lahan yang dikelola oleh seluruh onderneming
tersebut mencakup:
- Karet: 26.345 hektare
- Kopi: 6.930 hektare
- Campuran karet dan kopi: 2.444 hektare
- Teh: 4.927 hektare
- Kelapa sawit: 3.374 hektare
- kina: 353 hektare
- Fiber
(serat): 300 hektare
Catatan ini tercantum dalam arsip surat
kabar De Indische Courant tertanggal 17 Januari 1938 dan 3 Desember
1937. Dari data tersebut, terlihat jelas bahwa karet menjadi komoditas utama
dalam orientasi pertanian kolonial, diikuti oleh kopi dan teh. Redjosari, dalam
konteks ini, memainkan peranan vital sebagai pusat produksi karet dan sawit.
Keberadaan Onderneming Redjosari memberikan
gambaran tentang bagaimana sistem ekonomi kolonial bekerja di Hindia
Belanda. Pemerintah kolonial memosisikan wilayah Lampung sebagai lumbung bahan
mentah. Wilayah ini disulap menjadi sentra produksi karet dan sawit,
hasil-hasil yang memiliki nilai jual tinggi di pasar dunia pada masa itu. Selain
Redjosari, beberapa perusahaan lain yang memiliki fungsi serupa di Lampung,
sebagai contoh adalah Onderneming Kedaton, Onderneming Pesawaran, dan Onderneming
Bekri. Keberadaan onderneming-onderneming di Lampung itu menjadi bagian dari
jaringan perusahaan yang menopang struktur ekonomi kolonial yang berorientasi
pada ekspor.
Jhr.
AJD van Suchtelen v.d Naere
Administrator
Onderneming Redjosari
(Sumber: Haagsche Courant, 1935)
Salah satu aspek menarik dari sejarah
Onderneming Redjosari adalah mekanisme perekrutan tenaga kerja. Dalam catatan
TH.G.E. Hoedt (1930:123), dijelaskan bahwa perusahaan ini merekrut buruh-buruh
dari Pulau Jawa, khususnya dari daerah padat penduduk seperti Kebumen dan
Karanganyar. Pada tahun 1916, sejumlah besar keluarga direkrut untuk bekerja di
Redjosari melalui sistem yang dikenal sebagai Perjanjian Bebas.
Perjanjian ini berlangsung selama enam
bulan. Para kepala keluarga maupun pekerja lajang menandatangani kontrak kerja
dengan imbalan berupa lahan kebun dan tempat tinggal setelah masa kontrak
berakhir. Tujuan utama dari sistem ini adalah untuk membentuk komunitas tetap
yang dapat sewaktu-waktu dimobilisasi kembali sebagai tenaga kerja. Dengan kata
lain, sistem ini tidak hanya memfasilitasi kebutuhan jangka pendek perusahaan
akan buruh, tetapi juga menciptakan bentuk kolonisasi perkebunan yang bersifat
permanen. Fenomena ini merupakan bagian dari kebijakan besar kolonial Belanda
yang dikenal sebagai kolonisasi atau pemindahan penduduk dari Jawa ke luar
pulau demi memenuhi kebutuhan tenaga kerja industri perkebunan. Strategi ini
menjadi awal mula terbentuknya komunitas Jawa di banyak wilayah di Sumatera,
termasuk Lampung.
Gambaran Onderneming Redjosari sebagai perusahaan
bukan hanya terlihat dari luas lahannya, tetapi juga dari neraca keuangan yang dijalankan. Dalam laporan neraca per 31
Desember 1935 yang dimuat dalam De Telegraaf tanggal 10 Juni 1936,
tercatat bahwa perusahaan memiliki total aset sebesar f 1.744.624 (gulden),
dengan rincian sebagai berikut:
- Aset
perusahaan: f 25.296
- Surat
berharga: f 11.000
- Inventaris
kantor: f 1,-
- Stok
hasil panen karet tahun 1935: f 13.000
- Berbagai
debitur: f 120
- Kas dan
rekening pos: f 761
- Saldo
rugi: f 76.009
- Modal: f
1.000.000
- Cadangan
pajak: f 41.541
- Cadangan
cuti personel Eropa: f 13.030
- Cadangan
personel pribumi: f 14.719
- Dividen
belum terkumpul: f 60
- Berbagai kreditor: f 801.461
Untuk memperkuat daya saing dan stabilitas usaha, Redjosari tergabung dalam sebuah sindikat perusahaan perkebunan. Dalam sindikat ini, para administrator perusahaan saling bekerja sama untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi dalam operasional sehari-hari.
Salah satu bukti dari aktivitas sindikat
ini adalah Rapat Umum yang digelar pada 4 November 1939 di Tanjungkarang. Rapat
ini dihadiri oleh berbagai perwakilan perusahaan, termasuk Jhr. AJD van
Suchtelen v.d Naere, Administrator dari Onderneming Redjosari. Dalam pertemuan
tersebut, dibahas sejumlah hambatan dan tantangan yang dihadapi oleh
perusahaan-perusahaan perkebunan, serta berbagai solusi yang dapat diambil
secara kolektif.
Meski zaman telah berganti, jejak
Onderneming Redjosari masih dapat ditemukan hingga kini. Perusahaan ini tetap
beroperasi dan kini berada di bawah manajemen PT Perkebunan Nusantara VII (PTPN
VII), salah satu BUMN yang mengelola aset-aset perkebunan warisan kolonial di
Indonesia. Redjosari menjadi saksi bisu perubahan dari era kolonial ke era
kemerdekaan.
Lebih dari sekadar perusahaan, Redjosari
adalah bagian dari mosaik sejarah Indonesia, menggambarkan bagaimana kekuatan
ekonomi kolonial membentuk struktur sosial, pola migrasi, dan perubahan lanskap
agraria. Warisan ini, baik dalam bentuk aset fisik maupun jejak sosial, terus
memengaruhi kehidupan masyarakat Lampung dan Indonesia hingga hari ini.
Khususnya bagi masyarakat Natar, Lampung Selatan Onderneming Redjosari menjadi
satu titik sejarah yang mewarnai kehidupan di masa lalu.
Referensi:
De Indische Courant, 03 Desember 1937
De Indische Courant, 17 Januari 1938
De Telegraaf, 10 Juni 1936
TH.G.E., Hoedt. 1930. Indische
Bergcultuurondernemingen Voornamelijk In Zuid-Sumatra. H. Veenman &
Sons: Wageningen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar