Sejarah niaga di Lampung
tentu sangat menarik untuk diperbincangkan. Aktivitas ekonomi masyarakat
Lampung masa Lampung erat sekali dengan perairan sungai. Salah satu sungai itu
adalah Way Seputih yang memiliki Dermaga Cabang yang digunakan sebagai sarana
perdagangan.
Oleh: Adi
Setiawan
|
|
|
|
Peta Daerah Cabang Tahun 1802 (Sumber: Kian Amboro, 2022) |
Citra Satelit Daerah Cabang Tahun 2025 (Sumber: Google Maps, 2025) |
Way Seputih sebagai Urat Nadi
Peradaban
Provinsi
Lampung, dengan kekayaan geografisnya, memiliki jaringan sungai yang telah lama
menjadi urat nadi kehidupan dan peradaban. Salah satu sungai itu adalah Sungai
Seputih atau dikenal sebagai Way Seputih. Way Seputih dinobatkan sebagai sungai
terpanjang ketiga di Provinsi Lampung, dengan hulu yang bersumber di Gunung
Tangkit Tebak dan mengalirkan airnya sejauh kurang lebih 190 kilometer hingga
bermuara ke laut.
Sebagaimana
sungai-sungai besar lainnya di nusantara, Way Seputih tidak hanya berfungsi
sebagai sumber air, tetapi juga menyimpan beragam narasi sejarah dan aktivitas
ekonomi masyarakat. Sungai ini telah menjadi jalur untuk transportasi,
perdagangan, dan interaksi sosial antar-daerah. Dalam konteks sejarah maritim
dan perdagangan Lampung di masa lampau, peran Way Seputih terbilang membantu
aktivitas masyarakat, terutama pada bagian muaranya yang menjadi lokasi
berdirinya sebuah dermaga penting, yaitu Dermaga Cabang atau pada ejaan lama
dikenal sebagai Tjabang. Dermaga inilah yang menjadi titik temu antara arus
sungai pedalaman dan jalur pelayaran pesisir, menjadikannya simpul strategis
dalam pergerakan barang dan manusia.
Way
Seputih Tahun 1910
(Sumber:
digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Dermaga Cabang dalam Peta
Perdagangan Timur Lampung
Dermaga
Cabang menempati posisi penting sebagai salah satu gerbang maritim di wilayah
timur Lampung. Keberadaannya disejajarkan dengan dermaga atau pelabuhan lain
yang juga berperan vital, seperti Pelabuhan Menggala yang berada di Way
Tulangbawang, dan Labuhan Maringgai. Posisi ini menegaskan bahwa Dermaga Cabang
bukanlah pelabuhan biasa, melainkan salah satu pilar penopang sistem distribusi
dan perdagangan regional pada masa kolonial.
Beberapa
literatur kolonial dari awal abad ke-20, yang seringkali memuat catatan detail
mengenai infrastruktur dan ekonomi wilayah, menyebut Dermaga Cabang bersama
dengan dermaga-dermaga lainnya seperti Labuhan Maringgai di pesisir timur dan Rantaujaya
Ilir di Sungai Pegadungan. Hal ini mengindikasikan bahwa otoritas kolonial
Belanda mengakui Cabang sebagai titik pengumpulan dan distribusi komoditas.
Dalam
publikasi yang dibuat oleh R. Broersma pada tahun 1916 berjudul De
Lampongsche Districten, disebutkan secara khusus mengenai lokasi dan
konektivitas Dermaga Cabang. Dermaga ini terletak pada titik geografis yang
sangat strategis, yaitu di pertemuan antara Way Seputih dan Way Pegadungan.
Posisi pertemuan dua sungai ini memberikan keuntungan akses ganda ke wilayah
pedalaman. Lebih lanjut, Broersma mencatat bahwa Dermaga Cabang memiliki koneksi
pelayaran yang aktif tidak hanya secara lokal tetapi juga antar pulau:
- Pertama, koneksi dengan Palembang: Jalur ini
memungkinkan pertukaran komoditas dan informasi dengan pusat ekonomi
penting di Sumatera Selatan.
- Kedua, koneksi dengan Jawa: Pelayaran ini
dilakukan menggunakan kapal layar (zeilschip), yang menghubungkan
hasil bumi Lampung langsung ke pasar-pasar besar di Jawa, yang saat itu
menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Hindia Belanda.
Konektivitas
yang luas ini menjadikan Cabang bukan sekadar dermaga singgah, tetapi sebuah simpul
distribusi regional yang sangat efisien dalam menghubungkan wilayah pedalaman
Lampung dan sekitarnya, khususnya di Onderafdeling Seputih dengan jaringan
perdagangan yang lebih besar.
Neraca Perdagangan
Padi dan Beras di Pelabuhan Lampung
(Sumber:
JFP. Richter, 1910)
Peran
Dermaga Cabang semakin terlihat jelas dalam fungsinya sebagai moda transportasi
utama ke berbagai daerah sekitarnya, baik melalui jalur sungai Way Seputih dan
Way Pegadungan maupun melalui jalur laut. Keberadaan dermaga ini menjadi solusi
sebelum infrastruktur jalan darat berkembang pesat.
Salah
satu bukti dokumentasi mengenai aktivitas logistik di Cabang termuat dalam Rapport
Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumatra (Laporan Mengenai
Pembangunan Jalur Kereta Api Negara di Sumatera Selatan), yang diterbitkan pada
tahun 1910 oleh JFP. Richter. Laporan ini mencantumkan jalur pelayaran antara
Cabang dengan Sukadana. Data yang tercatat dalam laporan tersebut memberikan
gambaran konkret mengenai biaya dan mekanisme transportasi yang berlaku pada
masa itu:
- Biaya Transportasi Penumpang: Pelayaran dari
Cabang ke Sukadana (dan sebaliknya) dikenakan biaya sebesar 1,50 gulden
per penumpang.
- Biaya Transportasi Barang: Untuk pengiriman
barang, biayanya adalah 2,50 gulden per pikul (satuan berat tradisional,
kurang lebih 60–80 kg).
Informasi
tarif ini menunjukkan bahwa pelayaran tersebut merupakan layanan komersial. Adapun
salah satu muatan barang yang secara reguler dikirim melalui Dermaga Cabang
adalah lada. Komoditas lada memang merupakan tanaman primadona di wilayah Onderafdeling
Seputih. Way Seputih dan daerah sekitarnya, yang subur dan cocok untuk
perkebunan lada, mengandalkan dermaga Cabang sebagai salah satu gerbang utama
untuk mengirimkan hasil panen lada hitam Lampung ke luar pulau, contohnya ke
Jawa.
Selain
itu dijelaskan oleh JFP. Richter (1910:126) melalui Dermaga Cabang perdagangan
beras dilakukan. Tercatat pernah dilakukan diimpor 170 pikul beras dengan nilai
1.172 gulden dan ekspor 70 pikul beras dengan nilai 350 gulden melalui Dermaga
Cabang ini. Komoditas lain yang juga dilakukan pengiriman melalui Dermaga
Cabang di masa lalu adalah damar, karet dan rotan. Dengan nilai masing-masing ekonomis,
karet 9.000 gulden, rotan 21.000 gulden
dan damar 20.000 gulden, sehingga total nilai ekspor dapat diperkirakan
mencapai 352.000 gulden.
Dermaga Cabang Masa Kini
Meskipun
zaman telah berubah, infrastruktur modern telah masuk, dan jalur darat semakin
dominan, Dermaga Cabang menunjukkan suatu kontinuitas fungsi yang luar biasa
hingga saat ini. Dermaga ini tidak hilang ditelan sejarah, melainkan
bertransformasi dan tetap menjadi pilihan utama dalam moda penyeberangan bagi
masyarakat lokal.
Bahkan,
Dermaga Cabang saat ini dapat disebut sebagai dermaga yang paling sibuk
melayani jasa penyeberangan orang dan barang di kawasan tersebut. Keunggulan
lokasinya yang strategis, menghubungkan dua kabupaten atau lebih di kawasan
perairan, menjadikannya tak tergantikan bagi pergerakan harian masyarakat.
Menurut
penelitian yang dilakukan oleh R. Didin Kusdian pada tahun 2011 mengenai Potensi
Revitalisasi Transportasi Sungai di Lampung, operasi Dermaga Cabang hampir
tidak pernah berhenti, ia beroperasi hampir 24 jam sehari. Terutama selama
masih ada permintaan dari masyarakat yang ingin menyeberang. Moda transportasi
yang digunakan adalah klotok (perahu bermotor tradisional), yang mampu membawa
penumpang dan barang dalam skala kecil hingga menengah. Rute penyeberangan
utama yang dilayani oleh Dermaga Cabang saat ini meliputi:
- Dermaga Antasena, Berada di wilayah Kabupaten
Tulang Bawang. Rute ini menghubungkan masyarakat di dua wilayah kabupaten
yang berbeda secara cepat melalui jalur air.
- Dermaga Kuala, Terletak di Kabupaten Lampung
Tengah. Rute ini memfasilitasi pergerakan antar-desa atau antar-kecamatan
di sepanjang muara sungai.
Kondisi
ini menegaskan bahwa meskipun peran ekspor lada telah bergeser ke
pelabuhan-pelabuhan yang lebih besar dan modern, fungsi sosial dan ekonomi
lokal Dermaga Cabang tetap relevan. Ia melayani kebutuhan esensial masyarakat,
konektivitas harian yang murah dan efisien, menjembatani jarak yang mungkin
jauh jika ditempuh melalui jalur darat yang berputar-putar.
Signifikansi Historis dan Potensi
Masa Depan
Dermaga
Cabang adalah penanda sejarah yang kaya. Kisahnya merangkum evolusi
transportasi dan perdagangan di Lampung, mulai dari era kapal layar yang
membawa lada ke Jawa hingga klotok yang mengangkut warga menyeberang
antar-kabupaten.
Secara
historis, Dermaga Cabang adalah cermin dari bagaimana infrastruktur sungai
dimanfaatkan secara maksimal sebagai basis ekonomi pada masa kolonial.
Keberadaannya memberikan gambaran tentang bagaimana ekonomi komoditas
(khususnya lada) membentuk pola permukiman, koneksi regional (Palembang, Jawa),
dan sistem logistik di pedalaman Lampung.
Secara
sosiologis, keberlangsungan operasinya hingga saat ini menunjukkan ketahanan
budaya maritim dan sungai masyarakat setempat. Peran Dermaga Cabang yang tidak
pernah berhenti beroperasi adalah pengingat bahwa infrastruktur yang berakar
pada kondisi geografis alami (sungai dan muara) seringkali lebih tahan lama dan
relevan bagi kehidupan masyarakat dibandingkan infrastruktur buatan yang tidak
terintegrasi.
Ke depan,
Dermaga Cabang dapat diposisikan bukan hanya sebagai fasilitas penyeberangan,
tetapi juga sebagai situs warisan sejarah dan budaya. Melalui narasi Dermaga
Cabang, kita dapat menghargai betapa eratnya hubungan antara sungai,
perdagangan, dan kehidupan masyarakat Lampung dari masa ke masa.
Referensi:
JFP. Richter. 1910. Rapport Nopens Den Aanleg
Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumutra. Batavia: Landsdrukkerij
Kusdian, R. D. (2011). Potensi Revitalisasi
Transportasi Sungai di Provinsi Lampung. Jurnal Transportasi, 11(2),
143–152.
R. Broersma. 1916. De
Lampongsche Districten. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij