Sabtu, 29 November 2025

Dermaga Cabang: Gerbang Ekonomi di Muara Way Seputih

 Sejarah niaga di Lampung tentu sangat menarik untuk diperbincangkan. Aktivitas ekonomi masyarakat Lampung masa Lampung erat sekali dengan perairan sungai. Salah satu sungai itu adalah Way Seputih yang memiliki Dermaga Cabang yang digunakan sebagai sarana perdagangan. 

Oleh: Adi Setiawan

 

Peta Daerah Cabang Tahun 1802

(Sumber: Kian Amboro, 2022)

Citra Satelit Daerah Cabang Tahun 2025

(Sumber: Google Maps, 2025)

 

Way Seputih sebagai Urat Nadi Peradaban

Provinsi Lampung, dengan kekayaan geografisnya, memiliki jaringan sungai yang telah lama menjadi urat nadi kehidupan dan peradaban. Salah satu sungai itu adalah Sungai Seputih atau dikenal sebagai Way Seputih. Way Seputih dinobatkan sebagai sungai terpanjang ketiga di Provinsi Lampung, dengan hulu yang bersumber di Gunung Tangkit Tebak dan mengalirkan airnya sejauh kurang lebih 190 kilometer hingga bermuara ke laut.

Sebagaimana sungai-sungai besar lainnya di nusantara, Way Seputih tidak hanya berfungsi sebagai sumber air, tetapi juga menyimpan beragam narasi sejarah dan aktivitas ekonomi masyarakat. Sungai ini telah menjadi jalur untuk transportasi, perdagangan, dan interaksi sosial antar-daerah. Dalam konteks sejarah maritim dan perdagangan Lampung di masa lampau, peran Way Seputih terbilang membantu aktivitas masyarakat, terutama pada bagian muaranya yang menjadi lokasi berdirinya sebuah dermaga penting, yaitu Dermaga Cabang atau pada ejaan lama dikenal sebagai Tjabang. Dermaga inilah yang menjadi titik temu antara arus sungai pedalaman dan jalur pelayaran pesisir, menjadikannya simpul strategis dalam pergerakan barang dan manusia.

Way Seputih Tahun 1910

(Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

 

Dermaga Cabang dalam Peta Perdagangan Timur Lampung

Dermaga Cabang menempati posisi penting sebagai salah satu gerbang maritim di wilayah timur Lampung. Keberadaannya disejajarkan dengan dermaga atau pelabuhan lain yang juga berperan vital, seperti Pelabuhan Menggala yang berada di Way Tulangbawang, dan Labuhan Maringgai. Posisi ini menegaskan bahwa Dermaga Cabang bukanlah pelabuhan biasa, melainkan salah satu pilar penopang sistem distribusi dan perdagangan regional pada masa kolonial.

Beberapa literatur kolonial dari awal abad ke-20, yang seringkali memuat catatan detail mengenai infrastruktur dan ekonomi wilayah, menyebut Dermaga Cabang bersama dengan dermaga-dermaga lainnya seperti Labuhan Maringgai di pesisir timur dan Rantaujaya Ilir di Sungai Pegadungan. Hal ini mengindikasikan bahwa otoritas kolonial Belanda mengakui Cabang sebagai titik pengumpulan dan distribusi komoditas.

Dalam publikasi yang dibuat oleh R. Broersma pada tahun 1916 berjudul De Lampongsche Districten, disebutkan secara khusus mengenai lokasi dan konektivitas Dermaga Cabang. Dermaga ini terletak pada titik geografis yang sangat strategis, yaitu di pertemuan antara Way Seputih dan Way Pegadungan. Posisi pertemuan dua sungai ini memberikan keuntungan akses ganda ke wilayah pedalaman. Lebih lanjut, Broersma mencatat bahwa Dermaga Cabang memiliki koneksi pelayaran yang aktif tidak hanya secara lokal tetapi juga antar pulau:

  1. Pertama, koneksi dengan Palembang: Jalur ini memungkinkan pertukaran komoditas dan informasi dengan pusat ekonomi penting di Sumatera Selatan.
  2. Kedua, koneksi dengan Jawa: Pelayaran ini dilakukan menggunakan kapal layar (zeilschip), yang menghubungkan hasil bumi Lampung langsung ke pasar-pasar besar di Jawa, yang saat itu menjadi pusat pemerintahan dan ekonomi Hindia Belanda.

Konektivitas yang luas ini menjadikan Cabang bukan sekadar dermaga singgah, tetapi sebuah simpul distribusi regional yang sangat efisien dalam menghubungkan wilayah pedalaman Lampung dan sekitarnya, khususnya di Onderafdeling Seputih dengan jaringan perdagangan yang lebih besar.

Neraca Perdagangan Padi dan Beras di Pelabuhan Lampung

(Sumber: JFP. Richter, 1910)

 

Peran Dermaga Cabang semakin terlihat jelas dalam fungsinya sebagai moda transportasi utama ke berbagai daerah sekitarnya, baik melalui jalur sungai Way Seputih dan Way Pegadungan maupun melalui jalur laut. Keberadaan dermaga ini menjadi solusi sebelum infrastruktur jalan darat berkembang pesat.

Salah satu bukti dokumentasi mengenai aktivitas logistik di Cabang termuat dalam Rapport Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumatra (Laporan Mengenai Pembangunan Jalur Kereta Api Negara di Sumatera Selatan), yang diterbitkan pada tahun 1910 oleh JFP. Richter. Laporan ini mencantumkan jalur pelayaran antara Cabang dengan Sukadana. Data yang tercatat dalam laporan tersebut memberikan gambaran konkret mengenai biaya dan mekanisme transportasi yang berlaku pada masa itu:

  • Biaya Transportasi Penumpang: Pelayaran dari Cabang ke Sukadana (dan sebaliknya) dikenakan biaya sebesar 1,50 gulden per penumpang.
  • Biaya Transportasi Barang: Untuk pengiriman barang, biayanya adalah 2,50 gulden per pikul (satuan berat tradisional, kurang lebih 60–80 kg).

Informasi tarif ini menunjukkan bahwa pelayaran tersebut merupakan layanan komersial. Adapun salah satu muatan barang yang secara reguler dikirim melalui Dermaga Cabang adalah lada. Komoditas lada memang merupakan tanaman primadona di wilayah Onderafdeling Seputih. Way Seputih dan daerah sekitarnya, yang subur dan cocok untuk perkebunan lada, mengandalkan dermaga Cabang sebagai salah satu gerbang utama untuk mengirimkan hasil panen lada hitam Lampung ke luar pulau, contohnya ke Jawa.

Selain itu dijelaskan oleh JFP. Richter (1910:126) melalui Dermaga Cabang perdagangan beras dilakukan. Tercatat pernah dilakukan diimpor 170 pikul beras dengan nilai 1.172 gulden dan ekspor 70 pikul beras dengan nilai 350 gulden melalui Dermaga Cabang ini. Komoditas lain yang juga dilakukan pengiriman melalui Dermaga Cabang di masa lalu adalah damar, karet dan rotan. Dengan nilai masing-masing ekonomis, karet 9.000 gulden, rotan  21.000 gulden dan damar 20.000 gulden, sehingga total nilai ekspor dapat diperkirakan mencapai 352.000 gulden.

Dermaga Cabang Masa Kini

Meskipun zaman telah berubah, infrastruktur modern telah masuk, dan jalur darat semakin dominan, Dermaga Cabang menunjukkan suatu kontinuitas fungsi yang luar biasa hingga saat ini. Dermaga ini tidak hilang ditelan sejarah, melainkan bertransformasi dan tetap menjadi pilihan utama dalam moda penyeberangan bagi masyarakat lokal.

Bahkan, Dermaga Cabang saat ini dapat disebut sebagai dermaga yang paling sibuk melayani jasa penyeberangan orang dan barang di kawasan tersebut. Keunggulan lokasinya yang strategis, menghubungkan dua kabupaten atau lebih di kawasan perairan, menjadikannya tak tergantikan bagi pergerakan harian masyarakat.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh R. Didin Kusdian pada tahun 2011 mengenai Potensi Revitalisasi Transportasi Sungai di Lampung, operasi Dermaga Cabang hampir tidak pernah berhenti, ia beroperasi hampir 24 jam sehari. Terutama selama masih ada permintaan dari masyarakat yang ingin menyeberang. Moda transportasi yang digunakan adalah klotok (perahu bermotor tradisional), yang mampu membawa penumpang dan barang dalam skala kecil hingga menengah. Rute penyeberangan utama yang dilayani oleh Dermaga Cabang saat ini meliputi:

  1. Dermaga Antasena, Berada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang. Rute ini menghubungkan masyarakat di dua wilayah kabupaten yang berbeda secara cepat melalui jalur air.
  2. Dermaga Kuala, Terletak di Kabupaten Lampung Tengah. Rute ini memfasilitasi pergerakan antar-desa atau antar-kecamatan di sepanjang muara sungai.

Kondisi ini menegaskan bahwa meskipun peran ekspor lada telah bergeser ke pelabuhan-pelabuhan yang lebih besar dan modern, fungsi sosial dan ekonomi lokal Dermaga Cabang tetap relevan. Ia melayani kebutuhan esensial masyarakat, konektivitas harian yang murah dan efisien, menjembatani jarak yang mungkin jauh jika ditempuh melalui jalur darat yang berputar-putar.

Signifikansi Historis dan Potensi Masa Depan

Dermaga Cabang adalah penanda sejarah yang kaya. Kisahnya merangkum evolusi transportasi dan perdagangan di Lampung, mulai dari era kapal layar yang membawa lada ke Jawa hingga klotok yang mengangkut warga menyeberang antar-kabupaten.

Secara historis, Dermaga Cabang adalah cermin dari bagaimana infrastruktur sungai dimanfaatkan secara maksimal sebagai basis ekonomi pada masa kolonial. Keberadaannya memberikan gambaran tentang bagaimana ekonomi komoditas (khususnya lada) membentuk pola permukiman, koneksi regional (Palembang, Jawa), dan sistem logistik di pedalaman Lampung.

Secara sosiologis, keberlangsungan operasinya hingga saat ini menunjukkan ketahanan budaya maritim dan sungai masyarakat setempat. Peran Dermaga Cabang yang tidak pernah berhenti beroperasi adalah pengingat bahwa infrastruktur yang berakar pada kondisi geografis alami (sungai dan muara) seringkali lebih tahan lama dan relevan bagi kehidupan masyarakat dibandingkan infrastruktur buatan yang tidak terintegrasi.

Ke depan, Dermaga Cabang dapat diposisikan bukan hanya sebagai fasilitas penyeberangan, tetapi juga sebagai situs warisan sejarah dan budaya. Melalui narasi Dermaga Cabang, kita dapat menghargai betapa eratnya hubungan antara sungai, perdagangan, dan kehidupan masyarakat Lampung dari masa ke masa.

 

Referensi:

JFP. Richter. 1910. Rapport Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumutra. Batavia: Landsdrukkerij

Kusdian, R. D. (2011). Potensi Revitalisasi Transportasi Sungai di Provinsi Lampung. Jurnal Transportasi, 11(2), 143–152.

R. Broersma. 1916. De Lampongsche Districten. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij

Katalog Buku

Apa Kabar Lampung Tempo Dulu? Rupa-rupa yang Terlupa Penulis: Adi Setiawan   Penerbit: Warta Sejarah Lampung   Detail Buku:   Nonfiksi Vii +...

Populer