Minggu, 13 Oktober 2024

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bioskop ini menarik warga Metro dan sekitarnya untuk menonton gambar bergerak. Jauh di masa lampau, ternyata kehadiran masyarakat dari Jawa ke Lampung juga dipengaruhi oleh sebuah film. Film itu berjudul Tanah Sabrang. Lantas bagaimanakah pengaruh film tersebut hingga membuat orang Jawa mau berpindah ke Lampung?

Oleh: Adi Setiawan

 
Poster Film Tanah Sabrang

(Sumber: vanstarkenburg.com)

 

Pada tahun 1938, Mannus Franken mensutradarai pembuatan film berjudul “Tanah Sabrang: Land Aan de Overkant, Landbouwklonisatie en Wayang” atau dalam Bahasa Indonesia berarti “Tanah Sabrang: Mendarat di Sisi Lain, Kolonisasi Pertanian dan Wayang.” Film yang kemudian lebih dikenal dengan Tanah Sabrang ini merupakan film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Jawa yang berada di daerah kolonisasi. Film yang diproduksi oleh Sindikat Perfilman Hindia Belanda (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat/ANIF) ini menjadi salah satu media propaganda oleh pemerintah kolonial kepada masyarakat di Pulau Jawa agar tertarik mengikuti program kolonisasi atau transmigrasi.

Program kolonisasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial menargetkan pemindahan penduduk dari Jawa ke Pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Program kolonisasi merupakan usaha pemerataan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, sebagai bagian dari Politik Etis. Pasalnya populasi penduduk di Jawa semakin padat, oleh karena itu pemindahan penduduk menjadi kebijakan yang dianggap menjadi solusi dalam mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa.

Program kolonisasi pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan membawa masyarakat dari Jawa ke daerah Gedong Tataan, di Karesidenan Lampung. Kolonisasi di tahap awal ini, pemerintah secara terorganisir menyiapkan lahan yang akan digunakan sebagai pemukiman dan pertanian. Tidak hanya itu pemerintah juga menyiapkan biaya pemberangkatan bagi para kolonis. Begitupun setelah mereka sampai di Lampung, kolonis ini diberikan bekal secukupnya.

Selain program kolonisasi yang biayanya disubsidi oleh pemerintah, sistem lain yang digunakan saat itu adalah sistem kolonisasi bawon. Dalam sistem ini, pemerintah mendatangkan kolonis ke Lampung dengan tujuan agar mereka bekerja kepada kolonis yang lebih awal datang. Kolonis baru ini bekerja memanen padi atau membawon. Hasil dari upah membawon digunakan untuk keperluan hidup, sambil mereka membuka dan mengolah lahan garapan. Dengan sistem ini pemerintah dapat menekan biaya yang dikeluarakan untuk para kolonis baru.


Artikel Berita tentang Tanah Sabrang

(Sumber: Het Vaderland, 11 Agustus 1940)


Menariknya selain dengan menggunakan sistem bawon agar penduduk Jawa mau berpindah ke Lampung. Pemerintah kala itu juga berusaha melakukan propaganda lewat berbagai media, seperti foto, buku, selebaran dan film. Dengan media itu, pemerintah kolonial berusaha meyakinkan masyarakat di Pulau Jawa bahwa kondisi tanah kolonisasi dapat memberikan kesejahteraan hidup. Film Tanah Sabrang merupakan sebuah film yang menjadi alat propaganda dan media untuk menarik hati orang Jawa untuk mau membangun hidup di tanah seberang. Film Tanah Sabrang memberikan gambaran mengenai perekrutan kolonis baru dari desa-desa di Jawa Tengah. Juga ditampilkan tentang kehidupan para kolonis tersebut, termasuk di kehidupan kolonis di daerah kolonisasi Sukadana. Film ini dibuat tanpa dukungan pemerintah, hanya atas nama pemerintah. Skenarionya sendiri berasal dari Mannus Franken dan A. Jonkers. Proses pembuatan film dilakukan dalam tanggungjawab Mannus Franken dan Jan van der Kolk. Sementara agar film nampak lebih menarik diberikan alunan musik yang direkam di bawah arahan RAA Danoesoegondo dan R. Ng. Pringgohardana (De Locomotief, 24 Oktober 1939).


Mannus Franken

(Sumber: www.indonesianfilmcenter.com)

 

Tokoh utama dalam film tersebut bernama Sokromo, sebuah nama yang memiliki padanan Jansen dalam bahasa Belanda. Untuk peran ini, seorang lurah di desa Niten, yang cukup menunjukkan bahwa dia bisa berakting untuk film tersebut. Dalam lakon, Sokromo adalah pemuda yang hendak berhijrah bersama istri dan kedua anaknya. Untuk itu Sokromo menemui lurah untuk membicarakan cara hijrah. Ia pun bertemu dengan temannya, Kario yang juga ragu-ragu untuk mengikuti program kolonisasi.

Selain adegan tersebut, dalam film juga ditampilkan adegan wayang kulit. Tokoh semar ditampilkan dengan mata yang indah dan melihat seperti apa masa depan orang yang ragu-ragu di tanah sabrang. Permainan wayang dipilih sebagai salah satu bentuk ekspresi, karena bagaimanapun inilah yang paling berkesan bagi orang Jawa. Terlihat jelas bahwa pemerintah kolonial saat itu berusaha mengambil hati rakyat dengan menggunakan sosio-kultural yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Adegan lainnya adalah ditampilkan perjalanan besar kolonis ke tanah seberang, mulai dari proses kedatangan, pekerjaan, dan panen. Singkatnya, seluruh kehidupan di tanah kolonisasi ditampilkan dalam film ini (Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940). 



                                                              Adegan dalam Film Tanah Sabrang

(Sumber: De Tij dan Maasbode)

 

Sementara itu Het Nationale Dagblad, 16 April 1941 membuat kesimpulan atas film berbahasa Jawa ini, sebagai berikut:

De film behandelt de geschiedenis van een jongen Javaanschen boer, die met vrouw en twee kinderen naar “Tanah Sabrang" koloniseert. In het nieuwe gebied aangekomen helpen zij eerst oudere kolonisten bij het binnenhalen van den oogst, waarmede zij zooveel verdienen, dat zij voldoende levensmiddelen hebben voor 5 tot 6 maanden. Daarna beginnen zij voor zichzelf. Hen stuk oerwoud wordt omgehakt en jlatgebrand en in de vruchtbare humuslaag wordt rijst gezaaid. Dit herhaalt zich eenige jaren, totdat de bodem minder vruchtbaar wordt en overgegaan moet worden tot natte rijstbouw. Inmiddels is het bedrijfje dan zoo gcgroeid, dat de kolonisten handen te kort komen, om de rijke oogst binnen tehalen, zoodat zij weer hulp noodig hebben van nieuw aangekomen kolonisten. Zoo komt het Javaansche gezin tot welvaart, dank zij het feit, dat zij den moed hadden naar “Tanah Sabrang" te trekken. 

Terjemahan: 

Film ini berkisah tentang sejarah seorang petani muda Jawa yang menjadi kolonis di “Tanah Sabrang” bersama istri dan kedua anaknya. Ketika mereka tiba di daerah baru, pertama-tama mereka membantu kolonis lama untuk membawa hasil panen (membawon). Dengan usaha ini kolonis baru ini menghasilkan banyak uang sehingga mereka memiliki dapat memenuhi kebutuhan makanan untuk 5 sampai 6 bulan. Kemudian mereka memulai usaha mereka sendiri. Kolonis baru ini mulai menebang hutan dan membakar. Mereka kemudian menanam padi di lapisan humus yang subur. Hal ini berulang selama beberapa tahun, hingga tanah menjadi kurang subur dan perlu beralih ke budidaya padi basah. Hal itu membuat darah kolonisasi berkembang pesat sehingga para kolonis lama kekurangan sumber daya untuk memanen hasil panen yang melimpah. Sehingga mereka kembali membutuhkan bantuan dari kolonis yang baru tiba. Dengan demikian keluarga Jawa menjadi sejahtera karena berani pergi ke "Tanah Sabrang". 

Bagi masyarakat pedesaan, tontonan berupa film sudah barang tentu menarik bagi mereka. Ketika pemerintah menggelar acara pemutaran film Tanah Sabrang, beribu-ribu orang antusias untuk menyaksikannya. Pemerintah kala itu memang membuat sejenis tur berkeliling di desa-desa yang ada kabupaten/kota di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Pemutaran film dilakukan di alun-alun. Ketika film ini diputar, bukan hanya rakyat biasa saja yang turut menyaksikan, pejabat daerah pun turut di dalamnya. Hal itu seperti pemberitaan De Indische Courant 16 Mei 1939, menjelaskan bahwa film Tanah Sabrang telah diputar di Alun-alun Nganjuk. Dihadiri ratusan warga serta pejabat Binnenlands Bestuur dan Bupati setempat.


               Berita Pemutaran Film di Nganjuk

   (Sumber: De Indische Courant, 16 Mei 1939)

 

Pemutaran film yang sama juga terjadi Alun-alun Ambarawa. Antusiasme masyarakat Jawa untuk menonton Tanah Sabrang ditunjukan dengan kerelaan berjalan berjam-jam untuk dapat menyaksikan. Dalam pemberitaan Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940, cuaca hujan juga tidak menyurutkan warga Wonosobo untuk menonton. Tercatat 20.000 orang datang menonton film tersebut.

Film Tanah Sabrang bukan hanya menarik perhatian masyarakat Jawa saja, namun juga Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Bersama istri dan tamu undangan, Gubernur Jenderal diberitakan menyaksikan film Tanah Sabrang di Batavia.  Pertunjukan film di Batavia ini dibuka dengan pidato oleh Tuan Kuneman, seorang anggota Dewan Hindia, dan ketua panitia. Bahkan film propaganda ini juga turut diputar di Belanda yang menarik penonton orang-orang Jawa di sana.

Dengan propaganda film Tanah Sabrang pemerintah menargetkan 100.000 kolonis per tahunnya. Pengiriman kolonis ke daerah transmigrasi kemudian ditujukan pada pembukaan lahan-lahan pertanian baru. Terutama bagi warga Jawa yang akrab dengan pola pertanian basah, pemerintah mengimbangi pembukaan sawah-sawah baru dengan pembangunan sarana irigasi. Oleh karena itu pemerintah berharap dengan penayangan film Tanah Sabrang, masyarakat Jawa akan tertarik untuk mengikuti program transmigrasi. Pemerintah mengharapkan setelah menonton film, muncul gambaran dalam benak orang Jawa bahwa di daerah baru mereka akan hidup makmur seperti memiliki rumah, tanah pekarangan, lahan persawahan yang subur, dan mereka dapat menikmati wayang sehingga mereka merasa seperti hidup di tanah Jawa (Lindayanti, 2006:300).


       Pemutaran Tanah Sabrang di Belanda

(Sumber: Algemeen Handelsblad, 30 November 1940)

 

Referensi

Algemeen Handelsblad, 30 November 1940

De Indische Courant, 16 Mei 1939

De Locomotief, 24 Oktober 1939

Het Nationale Dagblad, 16 April 1941

Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940

Lindayanti. 2006. Menuju Tanah Harapan: Kolonisasi Orang Jawa Di Bengkulu. Humaniora. Vol. 18.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer