Rabu, 29 April 2020

BUKU "DARI KOLONISASI, TRANSMIGRASI HINGGA PEMEKARAN"


 





Judul: Dari Kolonisasi, Transmigrasi Hingga Pemekaran
Penulis: Adi Setiawan dkk
Tahun: 2020
Jumlah hal: 138 halaman
Penerbit: Zakir Pustaka

Buku ini adalah kumpulan dari cuplikan-cuplikan tulisan tentang berdirinya dan berkembangnya peradaban desa. Desa atau juga disebut kampung merupakan ruang yang selalu kental dengan manusia. Tempat yang senantiasa dirindu bagi mereka yang jauh. Maka mengabadikan riwayat desa menjadi tulisan adalah hal dirasa perlu guna tetap menjaga ingatan masyarakat terhadap desanya.

Buku ini secara spasial menyampaikan jejak sejarah desa di wilayah Sekampung, Bumi Agung dan Marga Tiga. Wilayah-wilayah yang berada di Lampung Timur ini menyimpan jejak sejarah yang penting terhadap perkembangan masyarakat hingga kini. Ada hal yang unik dan menarik yang harus pembaca dari riwayat desa-desa di dalam buku ini.

Buku kecil ini tersusun tidak terlepas dari usaha siswa-siswi SMA Negeri 1 Sekampung, Lampung Timur khususnya kelas XI IPA 1, XI IPA 2 dan XI IPA 3.

Kekurangan tentunya ada di dalam buku ini, mengingat bagi para penulis yang berkontribusi  karya ini adalah karya perdana dari mereka. Namun patut kita apresiasi semangat dan kerja keras dalam proses sampai tersusunnya buku ini.

USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA MELALUI PERJUANGAN BERSENJATA



USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN INDONESIA 
MELALUI PERJUANGAN BERSENJATA

Oleh: Adi Setiawan


Selama 5 hari Inilah Sejarah Pertempuran 5 hari 5 malam Di ...


Berdasarkan Persetujuan Postdam, pihak Sekutu (dalam hal ini diwakili oleh Inggris) memiliki tanggung jawab atas pendudukan kembali wilayah Indonesia, termasuk daerah yang dahulu bernaung di bawah South West Pacific Areas Command (SWPAC). Sebagai tindakan awal, pada 14 September 1945, Mayor Greenhalgh bersama pasukannya mempersiapkan markas besar Sekutu di Jakarta. Disusul dengan berlabuhnya kapal penjelajah Cumberland yang membawa pasukan di Tanjung Priok pada 29 September 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Skuadron Penjelajah V Inggris, Laksamana Muda W.R. Patterson. Pasukan ini merupakan komando bawahan dengan tiga divisi dari SEAC yang diberi nama Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Tugas utama AFNEI, yaitu sebagai berikut:

a. Menerima penyerahan tentara Jepang tanpa syarat, melucuti, dan mengembalikan mereka ke tanah airnya.

b. Membebaskan tawanan perang dan interniran Sekutu atau Allied Prisoners and War Internees (APWI).

c. Menjaga keamanan dan ketertiban sehingga memungkinkan pemerintahan sipil berfungsi kembali.

d. Mencari keterangan tentang penjahat perang dan meng adilinya di depan pengadilan Sekutu.


Awalnya, kedatangan pasukan Sekutu disambut dengan sikap yang netral oleh pihak Indonesia. Sikap Indonesia mulai berubah sejak mengetahui kedatangan pasukan Inggris ini membawa pejabat-pejabat NICA yang dikirim secara diam-diam. Letnan Jenderal Sir Philip Christison melakukan upaya politik dengan melakukan per undingan dengan pihak Indonesia. Perundingan ini terjadi pada 25 Oktober 1945. Hasilnya adalah pengakuan secara de facto atas Republik Indonesia oleh AFNEI sebagai pimpinan militer sementara di Indonesia. Christison menyatakan tidak akan mencampuri persoalan yang menyangkut status ketata negaraan Indonesia.
 
Pada kenyataannya, kedatangan pasukan Sekutu di kota-kota yang ditujunya selalu diikuti oleh insiden-insiden bahkan pertempuran dengan bangsa Indonesia. Penyebabnya adalah Sekutu seringkali tidak menghormati kedaulatan republik Indonesia dan tidak menghargai pemimpin-pemimpin Indonesia, baik di tingkat pusat maupun di daerah. Berikut adalah berbagai pertempuran di daerah selama masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan :

a.    Pertempuran Surabaya
Pertempuran Surabaya merupakan satu rangkaian peristiwa yang dimulai sejak Brigade 49/Divisi India ke-23 tentara Sekutu di bawah komando Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat untuk pertama kali di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tugasnya adalah melucuti tentara Jepang dan menyelamatkan para interniran Sekutu di Indonesia. Pada 27 Oktober 1945, tentara Sekutu dengan kekuatan 1 peleton menyerbu penjara Kalisosok untuk membebaskan seorang kolonel Angkatan Laut Belanda yang bernama Kolonel Huiyer dan para pegawai Relief of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI) yang ditawan pemerintah RI. Selain itu, tentara Sekutu juga menduduki tempat-tempat strategis di Surabaya, antara lain Pelabuhan Tanjung Perak, Gedung Bank Internatio, dan Kantor Pos Besar. 

Tindakan-tindakan Sekutu itu menyulut pertempuran. Pada 27 Oktober 1945 pukul 14.00, terjadi kontak senjata yang pertama antara pemuda Surabaya dengan pihak Sekutu. Keesokan harinya, 28 Oktober 1945, rakyat Surabaya menyerang hampir seluruh pos Sekutu yang berada di Surabaya. Pada 29 Oktober 1945, para pemuda dapat merebut objek-objek penting di Surabaya. Tentara Sekutu menjadi kewalahan, kemudian meminta bantuan para pemimpin Indonesia di Jakarta untuk menghentikan pertempuran di Surabaya. Pada 31 Oktober 1945, Presiden Soekarno didampingi Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta dan Menteri Penerangan Amir Syarifuddin datang ke Surabaya. Mereka kemudian berunding dengan Mallaby. Perundingan itu menghasilkan keputusan untuk menghentikan pertempuran. Pada perundingan itu juga dipilih anggota-anggota Panitia Penghubung (Contact Committee) dari kedua pihak. Setelah perundingan selesai, Presiden Soekarno dan rombongan meninggalkan Surabaya.

    Ternyata, meskipun telah disepakati gencatan senjata, di beberapa tempat masih terjadi kontak senjata. Panitia Penghubung segera mendatangi objek-objek yang masih terjadi pertempuran guna menghentikannya. Namun, ketika mereka mengunjungi Gedung Bank Internatio di Jembatan Merah, terjadi insiden. Gedung ini masih diduduki oleh tentara Sekutu. Para pemuda yang TKR dan laskar menuntut agar pasukan Mallaby menyerah. Namun, Mallaby menolak tuntutan tersebut. Kejadian itu segera diikuti dengan kontak senjata yang lebih besar dan berakhir dengan terbunuhnya Mallaby. 

    Insiden terbunuhnya Mallaby telah mendorong tentara Sekutu mengirimkan pasukan dalam jumlah besar ke Surabaya. Pasukan baru tersebut berada di bawah pimpinan Mayor Jenderal R.C. Mansergh. Selanjut nya, pada 9 November 1945, pimpinan Sekutu mengeluarkan ultimatum kepada rakyat Surabaya agar semua pimpinan dan orang-orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat-tempat yang telah ditentukan, selanjutnya menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas waktu ultimatum tersebut adalah pukul 06.00 tanggal 10 November 1945. 

    Namun, ultimatum tersebut tidak di hiraukan sehingga pertempuran baru yang lebih besar meletus pada 10 November 1945. Dalam pertempuran tersebut, tentara Sekutu mengerahkan lebih dari satu divisi infantri, yaitu Divisi India ke-5 beserta sisa Brigade Mallaby dengan jumlah keseluruhan kurang lebih 15.000 orang. Mereka dibantu oleh meriam-meriam kapal penjelajah Sussex dan beberapa kapal perusak serta pesawat-pesawat Mosquito dan Thunderbolt. Sebaliknya, rakyat Surabaya hanya menggunakan persenjataan yang sederhana, seperti golok, bambu runcing, panah, serta persenjataan hasil rampasan dari tentara Jepang. Pertempuran tidak seimbang yang berlangsung sampai awal Desember 1945 tersebut telah menelan korban ribuan pejuang Surabaya. Untuk menghormati kepahlawanan rakyat Surabaya, Pemerintah menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.


b. Pertempuran Medan Area
Pada 9 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Medan. Kedatangan mereka diboncengi oleh tentara Belanda dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih pemerintahan. Sebelumnya, Belanda telah mendaratkan suatu kelompok komando di bawah pimpinan Kapten Westerling. Pada 13 Oktober 1945, terjadi pertempuran pertama antara para pemuda dan tentara Belanda. Pertempuran ini kemudian menjalar ke beberapa kota lainnya, seperti Pematang Siantar dan Brastagi. Oleh karena seringnya terjadi berbagai insiden, pada 18 Oktober 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum yang melarang rakyat membawa senjata dan semua senjata yang ada harus diserahkan kepada Sekutu.

   Pada 1 Desember 1945, tentara Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Areas di pinggiran Kota Medan dengan tujuan untuk menunjukkan daerah kekuasaan mereka. Dengan penentuan batas wilayah tersebut, Sekutu memiliki kewenangan untuk melakukan aksi “pembersihan” terhadap unsur-unsur RI yang berada di Kota Medan. Pada 10 Desember 1945, tentara Sekutu melancarkan aksi pembersihan secara besar-besaran terhadap para pengikut republik dengan mengikutsertakan pesawat-pesawat tempurnya. Para pejuang Indonesia membalas aksi-aksi tersebut sehingga menimbul kan berbagai bentrokan di seluruh kota yang menelan korban dari kedua pihak.


c.    Pertempuran Ambarawa
    Pada 20 Oktober 1945, tentara Sekutu mendarat di Semarang di bawah pimpinan Brigadir Jenderal Bethel. Pada awalnya, pendaratan Sekutu di Semarang bertujuan untuk melucuti senjata tentara Jepang dan mengurus tawanan perang tentara Jepang yang ada di Jawa Tengah. Tanpa sepengetahuan pihak Indonesia, tentara Sekutu telah mengikutkan tentara NICA. Selain itu, mereka membebaskan tawanan perang Belanda di Magelang dan Ambarawa. Tindakan ini akhirnya dapat diketahui oleh pihak Indonesia dan menimbul kan insiden yang kemudian meluas menjadi sebuah pertempuran terbuka. 

     Setelah diadakan perundingan antara Presiden Soekarno dan Brigadir Jenderal Bethel, tentara Sekutu secara diam-diam mulai meninggalkan Magelang dan mundur ke Ambarawa pada 21 November 1945. Resimen Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol M. Sarbini melakukan pengejaran terhadap tentara Sekutu. Gerak mundur tentara Sekutu ini tertahan karena dihadang pasukan Angkatan Muda pimpinan Sastrodihardjo yang diperkuat gabungan pasukan dari Ambarawa, Suruh, dan Solo.

    Di Desa Ngipik, tentara Sekutu kembali dihadang Batalyon Suryosumpeno. Pada saat pengunduran diri itu, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Dalam usaha merebut kedua desa itu, gugurlah Komandan Resimen Banyumas Letkol Isdiman. Dengan gugurnya Letkol Isdiman, Panglima Divisi Banyumas Kolonel Sudirman terjun langsung memimpin pertempuran. Pada 12 Desember 1945, TKR dan laskar-laskar perjuangan secara serentak menyerang Ambarawa dari berbagai arah. Akhirnya, pada 15 Desember 1945, tentara Sekutu mengundurkan diri menuju Semarang.


d. Peristiwa Merah Putih di Manado
Tentara Sekutu yang berasal dari Australia mendarat di Manado, Sulawesi Utara pada September 1945. Pasukan tersebut ternyata diboncengi NICA. Mereka kemudian membebaskan dan mempersenjatai bekas pasukan KNIL Belanda yang sebelumnya telah ditawan Jepang. Pasukan KNIL Belanda ini dikenal sebagai pasukan yang berasal dari Tangsi Putih. Pada Desember 1945, tentara Sekutu menyerahkan kekuasan di Manado kepada NICA. Selanjutnya, pasukan NICA mulai melakukan penangkapan-penangkapan terhadap para tokoh RI. Penangkapan tersebut mengundang reaksi dari  ara pendukung RI, terutama para pemuda dan para mantan anggota KNIL yang berasal dari Indonesia (Tangsi Hitam). Mereka membentuk Pasukan Pemuda Indonesia (PPI) untuk menampung perjuangannya melawan NICA.

PPI mengadakan pertemuan rahasia sejak pertengahan Januari 1946. Namun, suatu saat kegiatan ini dapat diketahui NICA. Akibatnya, beberapa pemimpin PPI di tangkap dan anggota KNIL dari Tangsi Hitam dilucuti senjatanya. Pada 14 Februari 1946, 8 orang anggota PPI menyerbu kedudukan NICA di Tangsi Putih Teling. Meskipun senjata mereka tanpa dilengkapi peluru, mereka mampu membebaskan para tokoh pejuang RI yang ditawan dan menawan komandan NICA beserta pasukannya di tempat itu. Beberapa anggota PPI kemudian mengambil bendera Belanda yang disimpan di pos penjagaan, merobek warna birunya, dan mengibarkannya sebagai bendera Merah Putih. Selanjutnya, PPI mampu menguasai markas NICA di Tomohon dan Tondano.

Setelah Sulawesi Utara dapat direbut dari NICA, para pendukung RI membentuk pemerintah sipil pada 16 Februari 1946. B.W. Lapian diangkat sebagai residen. Selain itu, PPI membentuk TRI yang dipimpin oleh Ch. Taulu, Wuisan, dan J. Kaseger. Berita mengenai penegakan kedaulatan Indonesia di Manado tersebut segera dikirimkan ke pemerintah pusat di Yogyakarta.

e. Bandung Lautan Api
     Pada 17 Oktober 1945, tentara Sekutu memasuki Kota Bandung. Sekutu menuntut supaya senjata-senjata yang diperoleh dari hasil pelucutan tentara Jepang dan yang berada di tangan para pejuang diserahkan kepada Sekutu. Para pejuang tentu saja menolak tuntutan tersebut. Pada 21 November 1945, Sekutu mengeluarkan ultimatum pertama agar Kota Bandung bagian utara selambat-lambatnya pada 29 November 1945 dikosongkan oleh pihak Indonesia dengan alasan untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Batas yang digunakan dalam pembagian kota tersebut adalah jalan kereta api yang membentang dari timur ke barat. Ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh para pejuang Bandung sehingga sejak saat itu sering terjadi pertempuran dengan tentara Sekutu. 

     Situasi yang tidak aman tersebut mendorong tentara Sekutu mengeluarkan ultimatum kedua pada 23 Maret 1946 agar para pejuang Bandung mundur sejauh 11 km dari batas rel kereta api. Pemerintah RI di Jakarta memerintahkan agar para pejuang di Bandung mematuhi ultimatum tersebut dan harus segera mengosongkan Kota Bandung. Akhirnya, para pejuang Bandung mematuhi perintah dari Jakarta walaupun dengan berat hati. Sambil meninggalkan Bandung, para pejuang melancarkan serangan umum ke arah kedudukan-kedudukan Sekutu dan membumi hangus Kota Bandung. Pembakaran Kota Bandung sebagai tindakan agar objek-objek penting tidak dapat digunakan oleh musuh.

f. Puputan Margarana
    Pada 2 dan 3 Maret 1946, Belanda mendaratkan sekitar 2000-an tentara disertai tokoh-tokoh yang bersedia bekerja sama dengan Belanda di Bali. Saat itu, Belanda sedang giat-giatnya mengusahakan berdirinya sebuah negara boneka yang diberi nama Negara Indonesia Timur. Belanda kemudian membujuk Letkol I Gusti Ngurah Rai untuk bergabung. Namun, bujukan tersebut ditolak. Pada 18 November 1946, I Gusti Ngurah Rai menyerang kedudukan Belanda di daerah Tabanan. Satu detasemen polisi lengkap dengan senjatanya berhasildilumpuhkan.

   Untuk menghadapi pasukan Ngurah Rai, Belanda mengerah kan seluruh pasukan yang berada di Bali dan Lombok. Ngurah Rai dapat dikalahkan dalam pertempuran puputan di Margarana, sebelah utara Tabanan. I Gusti Ngurah Rai beserta seluruh pasukannya gugur.


g. Peristiwa Merah Putih di Biak
Upaya perlawanan terhadap Belanda untuk menegakkan kedaulatan Indonesia terjadi juga di Biak, Papua. Peristiwa ini terjadi pada 14 Maret 1948. Sasaran penyerangannya adalah tangsi NICA yang terletak di Sorido. Namun, karena persenjataan yang dimiliki NICA lebih kuat, perlawanan itu mengalami kegagalan. Dua orang pemimpin penyerangan tersebut berhasil ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati. Adapun para pelaku penyerangan lainnya dihukum seumur hidup.

h. Pertempuran lima hari di Palembang
Pasukan Sekutu mendarat di Palembang pada tanggal 12 Oktober 1945. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Carmichael. Bersama pasukan Sekutu ikut pula aparat NICA. Pemerintah Indonesia di Palembang menentukan bahwa pasukan Sekutu hanya diizinkan mendiami daerah Talang Semut. Akan tetapi, mereka tidak mengindahkan peraturan itu. Insiden dengan pemuda meletus ketika mereka menggeledah rumah-rumah penduduk untuk mencari senjata. Sekutu terus menambah kekuatannya di Palembang.

    Pada bulan Maret 1946, pasukan Sekutu sudah berjumlah dua batalyon. Sekutu juga melindungi masuknya pasukan Belanda. Jumlah pasukan Belanda semakin bertambah. Ketika meninggalkan kota Palembang, Sekutu menyerahkan kedudukannya kepada Belanda. Pertempuran Belanda dan para pemuda meletus ketika Belanda meminta para pemuda dan pejuang mengosongkan kota Palembang.Belanda mengajak berunding dan melakukan gencatan senjata. Sementara perundingan berlangsung, pada tanggal 1 Januari 1947 pertempuran meletus kembali. Pertempuran berlangsung selama lima hari lima malam. Seperlima bagian kota Palembang hancur. Pada tanggal 6 Januari 1947 dicapai persetujuan gencatan senjata antara Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia di Palembang.




Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer