Selasa, 24 Januari 2023

Kala Pelajar Turun ke Medan Juang

 Penulis: Adi Setiawan

Saat pena berganti senapan, kala itulah pelajar turun ke medan juang.

Tentara Pelajar

Aroma asap revolusi kemerdekaan Indonesia tercium hampir di seluruh pelosok negeri. Kegembiraan karena datangnya kebebasan disambut oleh rakyat Indonesia kala itu. Cita-cita untuk mendirikan negara Indonesia akhirnya terwujud setelah berkumandangnya proklamasi kemerdekaan. Ini adalah fase dimana bangsa Indonesia benar-benar diuji, apakah negara yang baru lahir ini akan dapat tumbuh atau hancur kembali dienyahkan oleh agresi militer Belanda.

Datangnya Belanda ke Indonesia pasca proklamasi, sebenarnya adalah hal yang patut disangsikan. Karena Indonesia telah merdeka, apa hak Belanda ke Indonesia kembali. Indonesia bukan lagi bagian dari wilayahnya. Namun Belanda bergeming, mereka terus menyatakan jika tanah air Indonesia adalah bagian integral dari wilayahnya. Satu hal yang sungguh dipaksakan.

Hiruk pikuk kemerdekaan, kemudian berubah menjadi dentuman senapan yang menghiasi hari-hari di awal kemerdekaan Indonesia. Negara yang baru membuat fondasi ini, berusaha digempur habis-habisan oleh militer Belanda. Sungguh pemandangan yang membuat hati bangsa Indonesia tergerak untuk melawan tindakan tersebut.

Sebagai negara baru tentu Indonesia belum memiliki angkatan perang yang mantap, namun ini bukan menjadi persoalan yang membuat bangsa ini lemah dalam mempertahankan kemerdekaannya. Rakyat terpanggil bersama angkatan perang untuk menghalau langkah Belanda kembali menguasai Indonesia.

Menarik, mereka yang terpanggil untuk membela negara bukan hanya sekedar pemuda berusia dewasa. Namun di era revolusi kemerdekaan pelajar yang berusia antara 16-20 tahun juga bersedia angkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sungguh loyalitas yang luar biasa dari pelajar kala itu.

Kini pena dan buku silih berganti dengan senapan dan amunisi, mereka rela menanggalkan sementara kegiatan belajarnya demi terjun ke medan perang. Dalam buku Peranan Pelajar dan Mahasiswa Dalam Perang Kemerdekaan yang terbit tahun 1978 dijelaskan bahwa pelajar yang memiliki pandangan dan tekad suci melakukan perjuangan dengan membentuk organisasi satuan pelajar bersenjata. Di Pulau Jawa dimana sebagai wilayah yang terus mendapatkan gempuran dari militer Belanda, pelajar membentuk organisasi bersenjata. Hal ini nampak di Jawa Timur, di sana mereka membentuk Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan Tentara Genie Pelajar (TGP). Begitupun di Jawa Tengah dan Jawa Barat, organisasi bersenjata yang didirikan oleh pelajar tumbuh berkembang. Melalui koordinasi, tentara pelajar kemudian menjadi bagian dari tentara reguler.

Sebagi pelajar yang ikut berjuang ternyata TRIP memiliki tekad yang luhur, mereka selalu berpegang teguh pada semboyan “berjuang sambil belajar dan belajar sambil berjuang”. Ini lah tekad yang selalu dipegang oleh TRIP, belajar dan berjuang mereka tempat dalam prioritas yang sama.

Beberapa contoh organisasi bersenjata yang didirikan oleh pelajar kala revolusi kemerdekaan diantaranya adalah Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur yang anggotanya para pelajar SMP, SMT (Sekolah Menengah Tinggi) dan STM (Sekolah Teknik Mengengah). Mereka turut andil dalam peristiwa heroik perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Begitupun dalam aksi Agresi Militer Belanda II, TRIP juga turut ambil bagian dalam perang gerilya bersama tentara reguler. Dalam kesempatan ini, TRIP ternyata telah dikenal di masyarakat. Hingga mereka lebih dikenal dengan panggilan ‘Mas TRIP’ di tengah masyarakat Jawa Timur.

Di Solo muncul pula Tentara Pelajar (TP), para pelajar di Solo membentuk laskar-laskar seperti Laskar Kere, Laskar Alap-alap, Laskar Garuda, Laskar Pandawa, dan Laskar Satria. Umumnya laskar-laskar tersebut telah dipersenjatai dari hasil merebut senjata tentara Jepang. Beberapa aksi yang dilakukan oeh TP Solo dalam membela Republik saat terjadi Agresi Militer Belanda I, bahkan dalam Agresi Militer Belanda II TP Solo ikut bergerilya, begitupun dalam perebutan kembali Kota Solo pada 10-14 Agustus 1949.

Sementara itu, di Yogjakarta selayaknya di Solo, setelah Jepang resmi kalah para pelajar kemudian merebut senjata milik tentara Jepang. Laskar bersenjata kemudian lahir di Yogja. Munculnya Tentara Pelajar di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Pada bulan Oktober 1946, dalam IPI dibentuk komite khusus bagian pertahanan yang dipimpin oleh Martono. Di bagian pertahanan inilah para pelajar yang memiliki niat ikut berjuang di medan perang dilatih dan diseleksi kemampuannya.

Maka dibentuklah dua kompi yaitu Kompi I yang terdiri atas pelajar yang berstatus sebagai pasukan tetap dan dibekali dengan senjata, dan Kompi II terdiri atas pasukan cadangan dengan tidak bersenjata atau senjata yang terbatas. Kapasitas Tentara Pelajar Yogyakarta dalam pertempuran tidak dapat diragukan. Tercatat TP ini beberapa kali menunjukan kebaraniannya dalam front pertempuran di sekitar Yogyakarta, bahkan TP Yogyakarta juga turut berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Selain Tentara Pelajar ada pula Tentara Genie Pelajar (TGP). TGP muncul dibeberapa kota di Jawa seperti Yogya, Malang, Madiun, Pati, dan Solo. Peranan mereka di masa revolusi juga tak dapat diabaikan. Kegiatan sabotase kerap mereka lakukan guna memukul pergerakan pasukan musuh. Pada tahun 1948, TGP direformasi menjadi Batalyon TGP Brigade 17 TNI yang berpusat di Madiun di bawah pimpinan Kapten Hartawan yang membawahi empat kompi yaitu Kompi I di Malang, Kompi II di Madiun, Kompi III di Solo, dan Kompi IV di Yogya.

Di beberapa daerah peranan pelajar dalam mempertahankan kemerdekaan sungguh besar. Mereka terus berjuang, meninggalkan bangku sekolah demi tercapainya cita-cita luhur Indonesia merdeka seutuhnya. Karena bagi mereka sekolah dan berjuang adalah dua hal yang sama-sama penting, hingga bukan menjadi alasan untuk tidak mau berjuang karena sedang bersekolah. Ini lah semangat yang laur biasa, penuh pengorbanan demi tercapainya kemerdekaan yang sebenarnya.

Referensi :

Sigit Sugito dan Suharsana, 1978. Peranan Pelajar dan Mahasiswa dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer