Rabu, 06 Mei 2020

USAHA MEMPERTAHANKAN KEMERDEKAAN MELALUI PERJUANGAN DIPLOMASI

Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Melalui Perjuangan Diplomasi

Oleh: Adi Setiawan



Hasil gambar untuk kmb

Perjuangan rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu perjuangan bersenjata dan perjuangan diplomasi. Perjuangan bersenjata dilakukan melalui berbagai pertempuran yang mengandalkan kekuatan senjata di setiap wilayah Indonesia agar tidak diduduki secara militer oleh Belanda.

     Adapun perjuangan diplomasi adalah perjuangan dengan cara melakukan berbagai perundingan agar kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia diakui oleh Belanda dan dunia internasional. Cara perjuangan bersenjata maupun diplomasi merupakan bentuk perjuangan yang sama pentingnya dan saling mengisi satu sama lain.


a. Pertemuan Jakarta

Pada 10 Februari 1946, diselenggarakan perundingan pertama antara Indonesia dan Belanda di Jakarta yang diprakarsai Inggris. Delegasi Indonesia dipimpin Perdana Menteri Sutan Syahrir, sedangkan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. H.J. Van Mook yang merupakan wakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Adapun delegasi

Inggris diwakili oleh Sir Archibald Clark Kerr. Wakil Belanda, Van Mook, dalam perundingan itu mengajukan usulan yang isinya sama dengan pidato Ratu Belanda pada 7 Desember 1942. Usulan tersebut, yaitu sebagai berikut.

1) Indonesia akan dijadikan negara persemakmuran berbentuk federasi yang memiliki pemerintahan sendiri di dalam lingkungan Kerajaan Belanda.

2) Masalah dalam negeri diurus oleh Indonesia sendiri, sedang kan urusan luar negeri oleh pemerintah Belanda.

3) Sebelum dibentuk persemakmuran, akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.

4) Indonesia akan dimasukkan sebagai anggota PBB.

Atas usulan wakil Belanda itu, pada 12 Maret 1946, pemerintah Indonesia secara resmi menyusun usulan balasan yang berisi sebagai berikut.

1) Republik Indonesia harus diakui sebagi negara yang berdaulat penuh atas wilayah bekas Hindia Belanda.

2) Pinjaman-pinjaman pemerintah Belanda sebelum 8 Maret 1942 menjadi tanggungan pemerintah RI.

3) Federasi Indonesia-Belanda akan dilaksanakan pada masa tertentu, dan mengenai urusan luar negeri dan

pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri atas orang-orang Indonesia dan Belanda.

4) Tentara Belanda segera ditarik dari Indonesia dan jika perlu diganti dengan Tentara Republik Indonesia.

5) Pemerintah Belanda harus membantu pemerintah Indonesia untuk dapat diterima sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

6) Selama perundingan berlangsung, semua aksi militer harus dihentikan dan pihak republik akan melakukan

pengawasan terhadap pengungsian tawanan Belanda dan interniran lainnya.

Usulan Indonesia tersebut ditolak pemerintah Belanda. Setelah usulan Indonesia ditolak, Van Mook secara pribadi mengajukan usul untuk mengadakan kerja sama dalam rangka pembentukan negara federasi yang bebas dalam lingkungan Kerajaan Belanda. Usulan tersebut dijawab oleh Sutan Syahrir pada 27 Maret 1946. Isi usulan tersebut adalah sebagai berikut.

1) Supaya pemerintah Belanda mengakui kedaulatan RI secara de facto atas Jawa dan Sumatra.

2) Supaya RI dan Belanda bekerja sama dalam membentuk negara Republik Indonesia Serikat (RIS).

3) Republik Indonesia Serikat bersama-sama dengan Belanda, Suriname, dan Curocao menjadi peserta dalam suatu ikatan kenegaraan Belanda.


b. Pertemuan  Hooge Veluwe

    Pertemuan lanjutan kemudian diadakan di Hooge Veluwe, Belanda pada 14-25 April 1946. Pada perundingan ini delegasi Indonesia diwakili oleh A.K. Pringgodigdo dan Dr. Sudarsono, sedangkan delegasi Belanda diwakili oleh Van Mook. Dalam pertemuan tersebut, semua usulan Indonesia ditolak. Pihak Belanda hanya akan mengakui kedaulatan Indonesia atas wilayah Jawa dan Madura saja dikurangi oleh daerah-daerah yang diduduki oleh pasukan Belanda di Indonesia. Dengan ditolaknya semua usulan Indonesia, hubungan Indonesia-Belanda menjadi terputus. Pada 2 Mei 1946, Van Mook atas nama pemerintah Belanda kembali mengajukan usulan yang isinya sama dengan usulan pemerintah Belanda sebelumnya. Namun, pemerintah Indonesia menolak usulan tersebut.


c. Perundingan Jakarta

Pemerintah Indonesia dan Belanda ke meja perundingan. Perundingan berlangsung di rumah Konsul Jenderal Inggris di Jakarta pada tanggal 7 Oktober 1946. Delegasi Indonesia diketuai Perdana Menteri Sutan Syahrir. Delegasi Belanda diketuai oleh Prof. Schermerhorn. Dalam perundingan tersebut, masalah gencatan senjata yang gagal  perundingan tanggal 30 September 1946 disetujui untuk dibicarakan lagi dalam tingkat panitia yang diketuai Lord Killearn. Perundingan tingkat panitia menghasilkan persetujuan gencatan senjata sebagai berikut.

Ø Gencatan senjata diadakan atas dasar kedudukan militer pada waktu itu dan atas dasar kekuatan militer Sekutu serta Indonesia.


Ø Dibentuk sebuah Komisi Bersama Gencatan Senjata untuk masalah-masalah teknis pelaksanaan gencatan senjata.


Ø Di bidang politik, delegasi Pemerintah Indonesia dan komisi umum Belanda sepakat untuk menyelenggarakan perundingan politik “secepat mungkin”.


d. Perundingan Linggarjati

Sebagai kelanjutan perundingan-perundingan sebelumnya, sejak tanggal 10 November 1946 di Linggarjati di Cirebon, dilangsungkan perundingan antara Pemerintah RI dan komisi umum Belanda. Perundingan di Linggarjati dihadiri oleh beberapa tokoh juru runding, antara lain sebagai berikut:

Ø Inggris, sebagai pihak penengah diwakili oleh Lord Killearn.

Ø Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir (Ketua), Mohammad Roem (anggota), Mr. Susanto Tirtoprojo, S.H. (anggota), Dr. A.K Gani (anggota).

Ø Belanda, diwakili Prof. Schermerhorn (Ketua), De Boer (anggota), dan Van Pool (anggota).

Perundingan di Linggarjati tersebut menghasilkan keputusan yang disebut perjanjian Linggarjati. Berikut ini adalah isi Perjanjian Linggarjati.

Ø Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan meliputi Sumatera, Jawa, dan Madura. Belanda sudah harus meninggalkan daerah de facto paling lambat pada tanggal 1 Januari 1949.

Ø Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk negara Serikat dengan nama RIS. Negara Indonesia Serikat akan terdiri dari RI, Kalimantan dan Timur Besar. Pembentukan RIS akan diadakan sebelum tanggal 1 Januari 1949.

Ø RIS dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia-Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua.

Perjanjian Linggarjati ditandatangani oleh Belanda dan Indonesia pada tanggal 25 Maret 1947 dalam suatu upacara kenegaraan di Istana Negara Jakarta. Perjanjian Linggarjati bagi Indonesia ada segi positif dan negatifnya.

Ø Segi positifnya ialah adanya pengakuan de facto atas RI yang meliputi Jawa, Madura, dan Sumatera.


Ø Segi negatifnya ialah bahwa wilayah RI dari Sabang sampai Merauke, yang seluas Hindia Belanda dulu tidak tercapai.

Perundingan Linggajati menimbulkan pro dan kontra di kalangan RI. Hasil perundingan ini terutama berpengaruh terhadap keutuhan wilayah Negara Kesatuan RI yang telah dicanangkan sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Golongan yang pro menilai hasil perundingan tersebut sebagai langkah bertahap sebelum diakuinya kedaulatan seluruh wilayah Negara Kesatuan RI oleh Belanda. Sebaliknya, golongan yang kontra menilai hasil perundingan tersebut sebagai suatu kekalahan diplomasi RI karena wilayahnya menjadi semakin sempit dikurung oleh wilayah Belanda. Sementara itu, dalam waktu yang sama, pihak Belanda telah mensponsori pembentukan negara-negara boneka di wilayah-wilayah RI, seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, dan Negara Jawa Timur.


e. Agresi Militer Belanda I

Setelah Perundingan Linggajati selesai, muncul perbedaan pendapat akibat salah tafsir atas pasal-pasal yang tertera dalam perjanjian. Penafsiran itu misalnya, sebelum RIS terbentuk, Belanda yang berdaulat atas wilayah Indonesia, sedangkan menurut Indonesia adalah sebaliknya. Indonesia yang harus berdaulat sebelum Republik Indonesia terbentuk. Belanda tetap kukuh terhadap penafsiran tersebut. Kekukuhan Belanda ini diperlihatkan dengan melakukan penyerangan secara tiba-tiba terhadap daerah-daerah yang menjadi wilayah RI sesuai hasil Perjanjian Linggajati, yaitu Jawa, Sumatra, dan Madura pada 21 Juli 1947. Peristiwa ini dikenal sebagai Agresi Militer Belanda I.

Agresi Militer Belanda I ini mendapat reaksi keras dari dunia internasional dan mendesak Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengambil tindakan pada setiap usaha yang mengancam keamanan dan ketertiban internasional. Hasilnya. Pada 31 Juli 1947, nasib Indonesia akhirnya dibicarakan dalam sidang Dewan Keamanan PBB. Hasil sidang Dewan Keamanan PBB dibacakan pada 1 Agustus 1947. PBB menyerukan agar Indonesia-Belanda menghentikan kegiatan tembak-menembak. Seruan Dewan Keamanan PBB di atas ditindaklanjuti dengan seruan berikutnya, yaitu:

1) agar para konsul asing di Jakarta melaporkan tentang keadaan sesungguhnya yang terjadi di Indonesia;

2) agar dibentuk sebuah komisi yang terdiri atas tiga negara yang bertugas memberikan perantaraan jasa-jasa baik

dalam penyelesaian pertikaian Indonesia-Belanda.

Dewan Keamanan PBB akhirnya pada 14 Agustus 1947 meng adakan sidang yang membahas masalah-masalah Indonesia-Belanda. Para diplomat Indonesia seperti Sutan Syahrir, H. Agus Salim, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Sudjatmoko, dan Charles Tumbun menyampaikan laporan mengenai situasi di Indonesia akibat agresi militer Belanda.


f. Komisi Tiga Negara (KTN)

      Untuk mengawasi pelaksanaan genjatan senjata dan mencari penyelesaian sengketa secara damai, pada Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB membentuk sebuah komisi jasa baik yang kemudian dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN). Anggota KTN terdiri atas Australia yang dipilih Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda, dan Amerika Serikat yang dipilih oleh Belanda dan Indonesia. Tokoh yang ditunjuk sebagai ketua delegasi Australia adalah Richard C. Kirby. Adapun Belgia menunjuk Paul Van Zeeland sebagai wakilnya, sedangkan pemerintah Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank B. Graham. Pada 27 Oktober 1947, anggota KTN tiba di Jakarta untuk memulai pekerjaannya.


g. Perundingan Renville

Setelah resmi dibentuk, tugas pertama KTN di Indonesia adalah berusaha mendekati pihak-pihak yang bertikai. Belanda meng inginkan perundingan berlangsung di Jakarta. Usulan Belanda kemudian ditolak Indonesia karena Indonesia menginginkan perundingan dilaksanakan di tempat yang netral. KTN kemudian mengusulkan perundingan diselenggarakan di atas kapal Angkatan Laut Amerika Serikat yang bernama USS Renville. Indonesia dan Belanda menyetujuinya. Selanjutnya, dilangsungkan Perundingan pada 8 Desember 1947. Delegasi Indonesia dipimpin Mr. Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda dipimpin Abdul Kadir Widjojoatmodjo, seorang Indonesia yang memihak kepada Belanda. Perundingan di atas kapal tersebut berakhir pada 17 Januari 1948. Persetujuan Renville, antara lain berisi hal-hal berikut.

a. Persetujuan gencatan senjata antara Indonesia dan Belanda.

b. Enam pokok prinsip tambahan untuk perundingan guna mencapai penyelesaian politik yang meliputi:

1) Belanda tetap memegang kedaulatan atas seluruh wilayah Indonesia sampai dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS);

2) sebelum RIS dibentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya pada pemerintah federal sementara;

3) RIS sederajat dengan Belanda dan menjadi bagian dari Uni-Indonesia Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketua uni tersebut;

4) Republik Indonesia merupakan bagian dari RIS;

5) Akan diadakan penentuan pendapat rakyat (plebisit) di Jawa, Madura, dan Sumatra untuk menentukan apakah rakyat akan bergabung dengan RI atau RIS.

6) Dalam waktu 6 bulan sampai satu tahun akan diadakan pemilu untuk membentuk Dewan Konstitusi RIS.


     Perundingan Renville semakin menyulitkan posisi Indonesia. Wilayah Indonesia kembali menjadi semakin sempit. Sementara, Belanda melakukan blokade ekonomi terhadap Indonesia. Tidak heran jika Perundingan Renville mendapat reaksi keras dari ber bagai golongan masyarakat di Indonesia. Akibatnya, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh dan bermunculan kelompok anti pemerintah. Kabinet baru, yaitu Kabinet Hatta terpaksa harus melaksanakan hasil kesepakatan Perundingan Renville meskipun sangat merugikan RI. Salah satu hasil keputusan Perundingan Renville adalah ketentuan tentang wilayah yang telah dikuasai oleh Belanda harus dikosongkan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Sekitar 35.000-an pasukan Divisi Siliwangi dari Jawa Barat yang sudah dikuasai Belanda harus dipindahkan ke daerah Jawa Tengah dan Yogyakarta yang masih dikuasai RI. Hal yang sama juga dilakukan oleh pasukan RI di Jawa Timur. Peristiwa ini dikenal sebagai hijrah.


h. Agresi Militer Belanda II

Belanda kembali melakukan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948, Belanda berhasil menduduki ibu kota RI, Yogyakarta. Para pemimpin Indonesia seperti Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta ditangkap dan diasingkan ke Bangka. Dengan didudukinya Yogyakarta, Belanda mengira pemerintah RI telah berakhir. Para pemimpin Indonesia telah mem perkirakan segala sesuatunya. Sesaat sebelum Yogyakarta jatuh, telah dibentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pada 22 Desember 1948 di Halaban, Sumatra Barat. PDRI ini dijalankan oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara. Selain itu, dibentuk pula Komando Perang Gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman. Divisi pasukan di berbagai daerah di Jawa masih terus melakukan perlawanan secara gerilya. Pasukan yang sebelumnya dihijrahkan ke Jawa Tengah, diinstruksikan untuk kembali ke daerah masing-masing untuk melaksanakan perang secara gerilya. Panglima Jenderal Sudirman yang sedang sakit-sakitan langsung memimpin perang gerilya di luar kota dan melakukan serangan ke pusat kekuasaan Belanda. Secara efektif, komando serangan dilakukan oleh A.H. Nasution sebagai wakil panglima untuk melakukan serangan dan pada 22 Desember 1949 memproklamasikan pemerintahan militer untuk Jawa.

Serbuan Belanda atau Agresi Militer II mendapat reaksi masyarakat internasional. Pada tanggal 7 Februari 1949, suara simpati kepada Indonesia atas terjadinya serbuan Belanda datang dari Amerika Serikat. Rasa simpati Amerika Serikat terhadap Indonesia diwujudkan dengan pernyataan-pernyataan sebagai berikut.


Ø Amerika Serikat menghentikan semua bantuan kepada Belanda sampai negeri ini menghentikan permusuhannya dengan Indonesia.


Ø Mendesak pihak Belanda supaya menarik pasukannya ke belakang garis status quo Renville.


Ø Membebaskan pemimpin-pemimpin Indonesia yang ditawan sejak 18 Desember 1948.


Ø Mendesak Belanda untuk membuka kembali perundingan yang jujur dengan Indonesia atas dasar persetujuan Renville.

Rasa simpati dunia internasional tidak hanya datang dari Amerika Serikat, tetapi juga dari Rusia, Cina, Kolumbia, dan negara-negara anggota PBB lainnya.  Sementara itu, Komisi Tiga Negara (KTN) hanya mampu melaporkan kepada Dewan Keamanan bahwa Belanda secara nyata telah melakukan pelanggaran ketentuan Dewan Keamanan (DK). Dewan Keamanan kemudian bersidang pada 22 Desember 1948, dan menghasilkan resolusi yang mendesak supaya permusuhan segera dihentikan dan pemimpin Indonesia yang ditawan segera dibebaskan. KTN ditugaskan untuk menjadi pengawas pelaksanaan resolusi itu. Karena tekanan politik dan militer itulah akhirnya Belanda mau menerima perintah Dewan Keamanan PBB untuk menghentikan agresinya.


i.      Konferensi Asia

Perjuangan bangsa Indonesia menghadapi agresi Belanda mendapat simpati internasional terutama dari negara-negara Asia dan Afrika yang pernah menjadi korban dari imperialisme. Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, pada 23 Januari 1949 atas nama Konferensi Asia di New Delhi yang diprakarsai oleh India dan Birma, Konfrensi Asia menuntut dipulihkannya Republik Indonesia kepada keadaan semula, tentara Belanda ditarik mundur, diserah kannya kedaulatan kepada rakyat Indonesia, dan diperluasnya wewenang KTN.

Konferensi New Delhi dihadiri oleh wakil-wakil dari negara Afghanistan, Australia, Burma, Sri Lanka, Mesir, Ethiopia, India, Iran, Irak, Lebanon, Pakistan, Filipina, Saudi Arabia, Suriah, dan Yaman sebagai peserta dan wakil dari negara Cina, Nepal, Selandia Baru, dan Muangthai sebagai peninjau. Delegasi Indonesia dalam konferensi itu terdiri atas Mr. A.A. Maramis (Menteri Luar Negeri PDRI), Mr. Utoyo (Wakil Indonesia di Singapura), Dr. Sudarsono (Wakil Indonesia di India), dan Dr. Sumitro Djojohadikusumo (Wakil Dagang Indonesia di Amerika Serikat). Resolusi yang dihasilkan mengenai masalah Indonesia adalah sebagai berikut:

a.  pengembalian pemerintah Republik Indonesia ke Yogyakarta


b.  pembentukan Pemerintah ad interim yang mempunyai kemerdekaan dalam politik luar negeri, sebelum tanggal 15 Maret 1949

c.  penarikan tentara Belanda dari seluruh Indonesia

d.  penyerahan kedaulatan kepada pemerintah Indonesia Serikat paling lambat 1 Januari 1950


j. Resolusi Dewan Keamanan PBB

Pemerintah Amerika Serikat telah mengakui de facto Republik Indonesia. Demikian pula dengan Pemerintah Inggris (1947). Aksi militer Belanda terhadap Republik Indonesia, menimbulkan kritikan tajam di Dewan Keamanan PBB. Campur tangan Dewan Keamanan dalam masalah Indonesia ini memancing reaksi Belanda. Wakil Belanda di PBB menyatakan, masalah Indonesia adalah masalah dalam negerinya. Wakil Indonesia di Dewan Keamanan PBB, L.N. Palar dengan tangkas menangkis pendapat Wakil Belanda. Palar menyatakan bahwa masalah Indonesia adalah masalah dua negara yang berdaulat yaitu, Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda. Kerajaan Belanda telah menginjak-injak kedaulatan Republik Indonesia. Pandangan Indonesia ini didukung oleh wakil-wakil negara Asia, Afrika dan Australia. Palar berhasil menyakinkan Dewan Keamanan PBB, sehingga pada tanggal 28 Januari 1949 mengeluarkan resolusinya yang isinya sebagai berikut:


a.  Penghentian semua operasi militer dengan segera oleh Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya oleh Republik,


b.  Pembebasan dengan segera dengan tidak bersyarat semua tahanan politik di dalam daerah Republik oleh Belanda semenjak tanggal 19 Desember 1949

c.  Belanda harus memberikan kesempatan kepada para pemimpin Indonesia untuk kembali ke Yogyakarta

d.  Perundingan-perundingan akan dilakukan dalam waktu yang secepat-cepatnya


e.  Mulai sekarang Komisi Jasa-Jasa Baik (Komisi Tiga Negara) ditukar namanya menjadi Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Indonesia (United Nations Commission for Indonesia atau UNCI), yang bertugas membantu melancarkan perundingan-perundingan.


k. Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret dilancarkan oleh pasukan RI untuk merebut kembali Yogyakarta (Ibu kota Republik Indonesia) yang dikuasai oleh Belanda sejak agresi militer kedua. Beberapa waktu sebelum serangan umum dilancarkan, Letkol Soeharto sebagai komandan Brigade 10 melakukan komunikasi dan koordinasi dengan penggagasnya, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta). Koordinasi itu penting untuk menyusun strategi serangan umum 1 Maret 1949. Selain itu, beberapa kesatuan diperintahkan untuk menyusup ke dalam kota Yogyakarta, di antaranya adalah kesatuan khusus di bawah pimpinan Kapten Widodo.

Beliau bertugas untuk memutuskan hubungan antara pos-pos penjagaan Belanda di dalam kota, antara lain dengan memasang ranjau darat. Untuk mempermudah koordinasi penyerangan, wilayah penyerangan dibagi atas 5 sektor, yaitu:

Ø sektor barat, dipimpin oleh Letkol Vence Sumual,


Ø sektor selatan, dipimpin oleh Mayor Sarjono,


Ø sektor utara, dipimpin oleh Mayor Kusno,


Ø sektor kota, dipimpin oleh Letnan Amir Murtono dan Letnan Marsudi, dan


Ø sektor barat, di bawah pimpinan Letkol Soeharto (sampai perbatasan Malioboro).

Yang dijadikan patokan sebagai tanda mulainya serangan adalah bunyi sirene pukul 06.00 pagi yang biasa dibunyikan di kota Yogyakarta waktu itu. Pasukan Belanda tidak menduga akan ada serangan, sehingga dalam waktu yang relatif singkat pasukan TNI berhasil memukul mundur semua posisi pasukan Belanda dan memaksa mereka bertahan dalam markasnya di dalam kota Yogyakarta. Pasukan TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama enam jam, sesuai dengan rencana semula, sekitar pukul 12.00. TNI mulai mundur keluar kota sebelum pasukan bantuan Belanda tiba. Berita serangan ini disiarkan keluar melalui pemancar radio di Wonosari. Waktu Belanda melancarkan serangan balasan, pemancar radio tersebut menjadi sasaran utama. Peristiwa serangan umum 1 Maret 1949 ini juga dilaporkan oleh R. Sumardi ke pemerintah PDRI di Bukittinggi melalui radiogram. Berita ini kemudian disampaikan kepada Maramis (diplomat RI di New York). Serangan umum 1 Maret mempunyai arti penting, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Serangan umum 1 Maret mencapai tujuannya, yaitu sebagai berikut.

Ø mendukung perjuangan diplomasi;


Ø meninggikan semangat rakyat dan TNI yang sedang bergerilya;


Ø secara tidak langsung telah mempengaruhi sikap para pemimpin negara federal bentukan Belanda (seperti negara Pasundan, negara Sumatra Timur dan negara Indonesia Timur) yang tergabung dalam Bijeenkomst Federal Voor Overleg (BFO).


Ø menunjukkan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada dan mampu mengadakan serangan; dan


Ø mematahkan moral pasukan Belanda.


l. Persetujuan Roem-Royen

Persetujuan ini hanya menghasilkan pernyataan masing-masing delegasi. Hal ini disebabkan belum dicapainya kata sepakat mengenai rumusan persetujuan itu. Pihak Indonesia dalam perundingan itu diwakili oleh Mr. Moh. Roem, sedangkan Belanda oleh DR. Van Royen. Persetujuan (statements) ini terjadi pada tanggal 7 Mei 1949. Masing-masing pernyataan itu adalah sebagai berikut.

1). Pernyataan Mr. Moh. Roem (Indonesia)

a. Mengeluarkan perintah kepada “pengikut” RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya

b. Kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian dan menjaga keamanan dan ketertiban

c. Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

2). Pernyataan DR. Van Royen (Belanda)

a. Menyetujui kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta

b. Menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik


c. Tidak akan mendirikan atau mengakui negara-negara yang ada di daerah yang dikuasai oleh RI sebelum 19-12-1949 dan tidak akan meluaskan negara atau daerah dengan merugikan Republik

d. Menyetujui adanya RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat

Pada tanggal 6 Juli 1949, Soekarno dan Hatta dikembalikan ke Yogyakarta. Pengembalian Yogyakarta ke tangan Republik Indonesia diikuti dengan penarikan mundur tentara Belanda dari Yogyakarta. Tentara Belanda berhasil menduduki Yogyakarta sejak tanggal 19 Desember 1948 - 6 Juli 1949.

 

m. Konferensi Inter-Indonesia

Konferensi Inter-Indonesia adalah konferensi antara pemerintah Republik Indonesia dan Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal, yaitu suatu badan yang me rupakan kumpulan negara-negara bagian bentukan Belanda. Konferensi ini diselenggarakan pada 19-22 Juli 1949 di Yogyakarta dan 31 Juli-2 Agustus 1949 di Jakarta. Peserta konferensi Inter-Indonesia adalah wakil-wakil pemerintah RI dan wakil-wakil negara bagian yang dipimpin van Mook. Konferensi Inter-Indonesia melahirkan keputusan sebagai berikut.

a. Negara Indonesia Serikat dinamakan Republik Indonesia Serikat (RIS).

b. RIS akan dikepalai seorang presiden dibantu menteri yang bertanggung jawab kepada presiden. Soekarno-

Hatta akan menjadi presiden dan wakil presiden.

c. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari RI maupun dari kerajaan Belanda.


d. Angkatan Perang RIS adalah Angkatan Perang Nasional. Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.

Hasil keputusan dalam konferensi Inter-Indonesia tersebut menjadi bahan pembicaraan dalam Konferensi Meja Bundar.

n. Konferensi Meja Bundar (KMB)

    Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah tindak lanjut dari persetujuan Roem-Royen yang dilakukan di bawah pengawasan UNCI. Konferensi Meja Bundar dilaksanakan di Den Haag (Belanda) pada 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949. Indonesia diwakili oleh Drs. Mohammad Hatta sebagai pemimpin delegasi dengan anggota delegasi, antara lain Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr. Soepomo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, Dr. Soekiman, Mr. Soeyono Hadinoto, Mr. Sumardi, Mr. A.K. Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Dr. Soemitro Djojohadikusumo. BFO diwakili Sultan Hamid II dari Pontianak. Adapun komisi PBB diwakili Herremans, Merle Cohran, Critchley, dan Romanos. Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang, akhirnya KMB memutuskan sebagai berikut.


a. Kerajaan Belanda menyerahkan sepenuhnya kedaulatan atas Indonesia dan tidak dapat dicabut kembali dari Republik Indonesia Serikat.

b. Penyerahan kedaulatan itu akan dilakukan selambat-lambatnya pada 30 Desember 1949.

c. Masalah Irian Barat akan dibicarakan setelah satu tahun penyerahan kedaulatan.

d. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia-Belanda yang dikepalai oleh Ratu Belanda.


e. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik kembali dari Indonesia dengan catatan bahwa beberapa korvet (kapal perang kecil) akan diserahkan kepada RIS.

f. Tentara Belanda akan ditarik dari Indonesia dan untuk KNIL akan digabungkan ke dalam Angkatan Perang RIS.

     Keputusan KMB kemudian ditandatangani pada 27 Desember 1949 oleh Ratu Juliana dan Drs. Moh Hatta di Amsterdam, Belanda. Dalam waktu yang bersamaan, di Istana Merdeka, Jakarta dilakukan penandatanganan keputusan KMB oleh wakil pemerintah Belanda A.J.H. Lovink dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX sebagai wakil

pemerintah Indonesia. Peristiwa tersebut dilanjutkan dengan penaikan bendera Indonesia dan penurunan bendera Belanda. Penandatanganan keputusan KMB ini mengakhiri masa penjajahan Belanda di Indonesia secara formal.


Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer