Beranda

Kamis, 23 Mei 2024

Kisi-Kisi Sejarah Kelas X

      


Silakan mempelajari bahan ajar 13 sampai 23 atau sesuai kisi-kisi di bawah ini:

1.       Menganalisis perkembangan pemerintahan Kerajaan Kutai

2.       Menganalisis teori-teori masuknya agama Hindu dan Budha.

3.       Akulturasi budaya Hindu-Budha dengan budaya Nusantara.

4.       Menganalisis teori-teori masuknya agama Hindu dan Budha.

5.       Akulturasi budaya Islam dengan budaya Nusantara.

6.       Menganalisis teori-teori masuknya agama Islam ke Nusantara.

7.       Menganalisis media islamisasi di Nusantara.

8.       Menganalisis perubahan situasi pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno dan Medang.

9.       Menganalisis sosial dan budaya Kerajaan Kutai.

10.   Menganalisis perkembangan politik di Kerajaan Banten.

11.   Menganalisis perkembangan politik di Kerajaan Mataram Islam.

12.   Menganalisis tinggalan prasasti Kerajaan Sriwijaya.

13.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Singasari.

14.   Menganalisis media islamisasi di Nusantara.

15.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Majapahit.

16.   Menganalisis media islamisasi di Nusantara.

17.   Akulturasi budaya Islam dengan budaya Nusantara.

18.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Demak.

19.   Akulturasi budaya Islam dengan budaya Nusantara.

20.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Aceh.

21.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Gowa-Tallo.

22.   Menganalisis teori-teori masuknya agama Islam ke Nusantara.

23.   Menganalisis teori-teori masuknya agama Hindu-budha ke Indonesia.

24.   Menganalisis perkembangan Kerajaan Tarumanegara berdasarkan tinggalan prasasti.

25.   Menganalisis perkembangan sosial-politik Kerajaan Kalingga/Holing.

26.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Sriwijaya.

27.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Singasari.

28.   Menganalisis perkembangan sosial-budaya Kerajaan Majapahit.

29.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Kediri.

30.   Menganalisis perkembangan pemerintahan Kerajaan Majapahit.

31.   Akulturasi budaya Hindu-Budha dengan budaya Nusantara.

32.   Menganalisis teori-teori masuknya agama Islam ke Nusantara.

33.   Menganalisis teori-teori masuknya agama Islam ke Nusantara.

34.   Menganalisis perkembangan ekonomi Kerajaan Malaka.

35.   Menganalisis perkembangan budaya Kerajaan Aceh.

36.   Akulturasi budaya Islam dengan budaya Nusantara.

37.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Demak.

38.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Mataram Islam

39.   Menganalisis perkembangan politik Kerajaan Gowa-Tallo.

40.   Akulturasi budaya Islam dengan budaya Nusantara.

 

Minggu, 19 Mei 2024

Bahan Ajar Sejarah



Silakan unduh dan gunakan untuk memudahkan bapak/ibu guru sejarah dalam menyampaikan materi pembelajaran kepada peserta didik.

Bahan Ajar Sejarah Kelas X Kurikulum Merdeka

Bahan Ajar 1 Hakekat Sejarah

Bahan Ajar 2 Sejarah Sebagai Peristiwa, Kisah, Ilmu dan Seni

Bahan Ajar 3 Konsep Perubahan dan Keberlanjutan

Bahan Ajar 4 Konsep Sinkronis dan Diakronis

Bahan Ajar 5 Ilmu Bantu Sejarah dan Manfaat Sejarah

Bahan Ajar 6 Historiografi

Bahan Ajar 7 Metodologi Penelitian Sejarah

Bahan Ajar 8 Mengenal Manusia Pra-aksara

Bahan Ajar 9 Asal-usul Nenek Moyang Bangsa Indonesia

Bahan Ajar 10 Corak Kehidupan Masyarakat Pra-aksara

Bahan Ajar 11 Hasil Budaya Masyarakat Pra-Aksara

Bahan Ajar 12 Pembentukan Jalur Rempah Masa Pra-Aksara

Bahan Ajar 13 Teori Masuknya Hindu-Budha di Indonesia

Bahan Ajar 14 Kerajaan Kutai, Tarumanegara dan Holing

Bahan Ajar 15 Kerajaan Sriwijaya, Mataram Kuno dan Medang

Bahan Ajar 16 Kerajaan Kediri, Singasari dan Majapahit

Bahan Ajar 17 Kerajaan Buleleng, Tulang Bawang dan Kota Kapur

Bahan Ajar 18 Akulturasi Budaya Lokal dan Hindu-Budha

Bahan Ajar 19 Islamisasi di Nusantara

Bahan Ajar 20 Kerajaan Islam di Sumatra

Bahan Ajar 21 Kerajaan Islam di Jawa

Bahan Ajar 22 Kerajaan Islam di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku

Bahan Ajar 23 Akulturasi Budaya Islam dengan Budaya Nusantara


Bahan Ajar Sejarah Kelas XI Kurikulum 2013

Bahan Ajar 1 Kedatangan Bangsa Eropa di Indonesia

Bahan Ajar 2 Pemerintahan Kongsi Dagang VOC

Bahan Ajar 3 Pemerintahan H.W Daendels dan Pemerintahan Inggris di Indonesia

Bahan Ajar 4 Sistem Tanam Paksa dan Sistem Politik Pintu Terbuka

Bahan Ajar 5 Perlawanan Bangsa Indonesia terhadap Kolonialisme

Bahan Ajar 6 Tumbuhnya Nasionalisme Indonesia

Bahan Ajar 7 Pengaruh Pers dalam Nasionalisme Indonesia

Bahan Ajar 8 Organisasi Awal Pergerakan Nasional

Bahan Ajar 9 Organisasi Perempuan dan Kepemudaan

Bahan Ajar 10 Organisasi Kegamaan dan Pendidikan

Bahan Ajar 11 Organisasi Pergerakan Bersifat Non Kooperatif

Bahan Ajar 12 Peristiwa Kongres Pemuda dan Akhir Pemerintahan Belanda

Bahan Ajar 13 Kedatangan Jepang di Indonesia

Bahan Ajar 14 Organisasi Politik dan Militer Masa Penjajahan Jepang

Bahan Ajar 15 Dampak Pendudukan Jepang di Indonesia

Bahan Ajar 16 Perlawanan Terhadap Jepang

Bahan Ajar 17 Peristiwa Sekitar Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Bahan Ajar 18 Pembentukan Pemerintahan Republik Indonesia

Bahan Ajar 19 Dukungan Rakyat Terhadap Proklamasi

Bahan Ajar 20 Perang Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia

Bahan Ajar 21 Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia


Bahan Ajar Sejarah Kelas XII Kurikulum 2013

Bahan Ajar 1 Pemberontakan DI/TII dan PKI Madiun

Bahan Ajar 2 Pemberontakan APRA, Andi Aziz, RMS dan PRRI/PERMESTA

Bahan Ajar 3 Peristiwa Gerakan 30 September

Bahan Ajar 4 Teladan Para Tokoh Bangsa

Bahan Ajar 5 Perkembangan Politik Masa Demokrasi Liberal (Parlementer)

Bahan Ajar 6 Perkembangan Ekonomi Masa Demokrasi Liberal (Parlementer)

Bahan Ajar 7 Lahirnya Demokrasi Terpimpin

Bahan Ajar 8 Dinamika Pemerintahan Demokrasi Terpimpin

Bahan Ajar 9 Kondisi Ekonomi Masa Demokrasi Terpimpin

Bahan Ajar 10 Perkembangan Politik Masa Orde Baru

Bahan Ajar 11 Integrasi Timor Timur

Bahan Ajar 12 Kondisi Ekonomi dan Pembangunan Masa Orde Baru

Bahan Ajar 13 Lahirnya Reformasi

Bahan Ajar 14 Pemerintahan BJ Habibie dan Abdurahman Wahid

Bahan Ajar 15 Pemerintahan Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono

Bahan Ajar 16 Perkembangan IPTEK di Indonesia

Bahan Ajar 17 Perkembangan Politik Luar Negeri Indonesia

Akulturasi Budaya Islam dengan Budaya Nusantara

Kebudayaan Indonesia semakin kaya dengan masuknya agama Islam. Adanya proses akulturasi kemudian membuat kebudayaan baru Indonesia bercirikan kebudayaan asli lokal, Hindu-Buddha, dan Islam. Hasil proses akulturasi antara kebudayaan praIslam dengan setelah masuknya Islam pun tidak hanya berbentuk kebendaan seperti seni bangunan, seni ukir, dan karya sastra, tetapi juga menyangkut pola hidup dan tradisi masyarakat. Berikut ini contoh akulturasi budaya Islam dengan budaya lokal dari berbagai bidang.

1.   Seni Bangunan

A.  Masjid

Bangunan yang dapat dijadikan contoh wujud akulturasi budaya lokal dengan Islam di Indonesia adalah masjid, makam, dan keraton. Di berbagai daerah, bangunan masjid mempunyai berbagai bentuk arsitektur sesuai dengan pengaruh budaya masing-masing. Sebagai bentuk akulturasi, bangunan masjid selain menjadi tempat beribadah juga mempunyai fungsi sebagai pusat kegiatan sosial, politik dan pendidikan Islam.

Ciri-ciri masjid kuno di Indonesia adalah:

a.     Beratap tumpang atau bersusun, semakin ke atas semakin kecil, tingkat paling atas berbentuk limas, dan jumlah tumpang biasanya ganjil.

b.     Tidak ada menara yang berfungsi sebagai tempat mengumandangkan adzan.

c.     Waktu salat ditandai dengan memukul beduk atau kentongan.

d.     Terdapat parit atau kolam di sekeliling masjid.

Umumnya didirikan di ibukota atau dekat istana kerajaan, di atas bukit atau dekat makam. Contoh bangunan masjid kuno adalah Masjid Demak. Masjid Menara Kudus dan Masjid Banten.

B. Makam

Selain masjid, wujud akulturasi kebudayaan lokal dan Islam adalah makam. Makam biasanya dibuat dengan membangun cungkup atau kijing di atasnya. Dalam Islam, tidak ada ajaran yang mengharuskan menggunakan dua hal tersebut, karena kijing dan cungkup adalah pengaruh dari kebudayaan Hindu-Buddha yang lebih dulu masuk di nusantara.

C. Keraton

Tempat tinggal sultan atau keraton juga salah satu perwujudan akulturasi kebudayaan Islam dengan kebudayaan lokal. Hal ini dapat dilihat pada bangunan keraton kesultanan Islam di Jawa dan beberapa di Sumatera yang merupakan perpaduan arsitektur budaya setempat dengan kebudayaan Islam.

2.   Seni Ukir

Ketika kebudayaan Hindu-Buddha masuk ke Indonesia, seni ukir dan pahat berkembang pesat. Buktinya dapat dijumpai pada relief-relief dan patung yang dibuat pada periode Kerajaan Hindu-Buddha. Berbeda dengan ajaran Islam, yang melarang untuk melukis ataupun membuat tiruan makhluk hidup seperti patung. Kendati demikian, berkembangnya pengaruh Islam di nusantara tidak membuat seni pahat dan seni ukir hilang. Seni ukir tetap berkembang dengan berbagai modifikasi, contohnya dapat dijumpai pada ukiran yang terdapat di masjid dan makam-makam Islam. Dikembangkan juga seni ukir dengan bentuk tulisan Arab atau kaligrafi yang dicampur dengan ragam hias yang lain. 

3. Aksara dan Seni Sastra

Ketika Islam masuk ke nusantara, abjad atau huruf-huruf Arab juga mulai digunakan di Indonesia. Sebagai bentuk akulturasi, huruf Arab yang digunakan masyarakat setempat menjadi lebih sederhana dan dipakai di daerah-daerah dengan penggunaan bahasa daerah. Huruf Arab ini lebih dikenal dengan huruf Arab gundul, yang mulanya dipakai di Sumatera lalu menyebar ke seluruh Indonesia. Dalam bidang sastra, banyak karya yang ditulis pada masa pengislaman di Indonesia. Adapun karya-karya tersebut adalah sebagai berikut. 

1.     Hikayat

Hikayat adalah karya sastra yang berisi cerita sejarah yang menarik dan terkadang tidak masuk akal. Beberapa contoh hikayat yang muncul pada masa pengaruh Islam adalah Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Khaidir, Hikayat Sri Rama, Hikayat Pandawa Lima, dan masih banyak lainnya. 

2.     Babad

Babad berisi cerita sejarah, yang berisi campuran antara fakta, mitos, dan kepercayaan. Contoh babad adalah Babad Tanah Jawi, Babad Cirebon, dan Babad Mataram.

3.     Suluk

Suluk adalah karya sastra berupa kitab-kitab yang isinya menjelaskan tentang tasawuf. Salah satu contohnya adalah Suluk Wujil, yang berisi ajaran Sunan Bonang kepada Wujil, yakni seorang kerdil yang pernah menjadi abdi di Kerajaan Majapahit. 

4.   Kesenian

Berikut ini beberapa bentuk kesenian yang muncul pada saat pengislaman di Indonesia. 

1. Permainan debus

Permainan debus adalah tarian yang pada puncak acaranya para penari akan menusukkan benda tajam ke tubuhnya tanpa meninggalkan luka. Tarian ini diawali dengan pembacaan ayat-ayat Al-Quran dan selawat nabi.

2.   Seudati

Seudati adalah tarian dari Aceh yang asilnya dimainkan oleh delapan penari sambil menyanyikan lagu yang isinya selawat nabi. 

3.   Wayang

Ketika Islam masuk ke Indonesia, wayang yang merupakan kebudayaan asli lokal dan pernah mengalami akulturasi dengan budaya Hindu-Buddha, kembali mengalami penyesuaian. Misalnya pada bentuk tubuh tokoh, di mana tangannya dibuat sangat panjang untuk membedakan dengan manusia sesungguhnya. 

5. Kalender

Pada masa kekuasaan Sultan Agung dari Kesultanan Mataram, terjadi penggabungan antara kalender Jawa dengan kalender Islam. Sultan Agung melakukan beberapa penyesuaian dan perubahan mengenai nama-nama bulan pada tahun Saka. Misalnya bulan Muharam diganti dengan Sura dan Ramadha diganti dengan Pasa. Kalender ini dimulai pada 1 Muharam tahun 1043 H atau 1 Sura tahun 1555 Jawa, tepatnya pada 8 Agustus 1633. Tradisi Sampai saat ini, masyarakat muslim Indonesia masih melakukan upacara-upacara ritual yang memadukan tradisi setempat dengan kebudayaan muslim. Misalnya Hari Raya Idul Fitri, yang dirayakan dengan silaturahmi antarkeluarga dan tetangga. Kemudian sebagai bentuk dari rasa hormat terhadap orang tua dan nenek moyang, masyarakat muslim Indonesia juga menjalankan tradisi berziarah. Selain itu, masyarakat Jawa juga melakukan berbagai kegiatan selamatan dengan bentuk kenduri yang dilakukan pada waktu tertentu.  

Referensi:

https://www.kompas.com/skola/read/2020/04/21/160021069/akulturasi-dan-perkembangan-budaya-islam?page=all 

https://www.kompas.com/stori/read/2021/06/28/110000679/wujud-akulturasi-budaya-lokal-dengan-islam?page=all

Minggu, 12 Mei 2024

Kerajaan Islam di Kalimantan, Sulawesi dan Maluku



a. Kerajaan Pontianak

Kerajaan-kerajaan yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe. Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal dan yang murah. Pada abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik dalam menghadapi ekspansi politik VOC.

         Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang di antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk mengajarkan membaca al-Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan.

Sejak itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus (lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada 1199-1209 H atau 1779-1789 M.

            Cerita lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di Semarang. Di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab bernama Syaikh, karena itulah maka Habib Husin al-Gadri berlayar ke Sukadana. Kesaktiannya menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyat. Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam.

            Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.

 

b. Kerajaan Banjar (Banjarmasin)

Kerajaan Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa pemerintahan Putri Jungjung Buih dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit sudah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan Kronik Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudera minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan.

         Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam kepada Raden Samudera dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu Demak. Proses Islamisasi di daerah itu, menurut A.A. Cense, terjadi sekitar 1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar atau Banjarmasin meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan Banjar. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya dengan gelar Sultan Rahmatullah.

          Ketika menjabat sebagai raja, ia masih mengirimkan upeti ke Demak, yang pada waktu itu sudah menjadi Kerajaan Pajang. Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah Kerajaan Banjarmasin ialah seorang putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah ialah Sultan Marhum Panambahan atau dikenal dengan gelar Sultan Mustain Billah yang pada masa pemerintahannya berupaya memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai. Ketika memerintah pada awal abad ke-17 Sultan Mustain Billah ditakuti oleh kerajaan-kerajaan sekitarnya dan ia dapat menghimpun lebih kurang 50.000 prajurit. Demikian kuatnya Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.

Pada abad ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad Arsyad ibn Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas biaya kesultanan masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi belajar ke Haramayn selama beberapa tahun. Sekembalinya dari Haramayn ia mengajarkan fikih atau syariah, dengan kitabnya Sabîl al-Muhtadîn. Ia ahli di bidang tasawuf dengan karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai riwayat, ajaran dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara panjang lebar telah dibicarakan oleh Azyumardi Azara dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1 November 1857, pergantian sultan-sultan mulai dicampuri oleh kepentingan politik Belanda sehingga terjadi pertentangan-pertentangan antara keluarga raja, terlebih setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan terutama antara tahun 1859-1863, antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, Haji Nasrun dan lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan sampai tahun-tahun selanjutnya.

 

c. Kerajaan Gowa-Tallo

Kerajaan Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo. Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Gowa meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga Kerajaan Bone, Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582.

7 Kerajaan Islam di Sulawesi dan Maluku Beserta Penjelasannya

Sejak Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, Gowa meluaskan pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan tunduk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada Kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23 Nopember 1611. Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan adanya para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu), ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau.

Para mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari 1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M. 

Perkembangan agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan.

Dalam sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan. Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah kapal Portugis dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan Malaka. Di dalam kapal tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar itulah ia mendapat berita tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku.

Pada 1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-1638. Sempat tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya dijual kepada orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa-Tallo.

 

d. Kerajaan Ternate

Pada abad ke-14 dalam kitab Negarakartagama, karya Mpu Prapanca tahun 1365 M menyebut Maluku dibedakan dengan Ambon yaitu Ternate. Hal itu juga dapat dihubungkan dengan Hikayat Ternate yang antara lain menyebutkan Moeloka (Maluku) artinya Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Pada abad ke-14, masa Kerajaan Majapahit hubungan pelayaran dan perdagangan antara pelabuhan-pelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu, Ternate, Tidore bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada abad tersebut pelabuhan-pelabuhan yang masih di bawah Majapahit juga sudah didatangi para pedagang Muslim. Untuk memperoleh komoditi berupa rempah-rempah terutama cengkeh dan pala, para pedagang Muslim dari Arab dan Timur Tengah lainnya itu juga sangat mungkin mendatangi daerah Maluku. Hikayat Ternate menyebutkan bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, berasal dari Jafar Sadik dari Arab.

 

SUMBER ILMU: KERAJAAN ISLAM DI MALUKU DAN PAPUA

Dalam tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate ke-12 bernama Molomatea (1350-1357) bersahabat dengan orang-orang Muslim Arab yang datang ke Maluku memberikan petunjuk pembuatan kapal. Demikian pula diceritakan bahwa pada masa pemerintahan Raja Marhum di Ternate, datang seorang alim dari Jawa bernama Maulana Husein yang mengajarkan membaca al-Qur’an dan menulis huruf Arab yang indah sehingga menarik raja dan keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun demikian, mungkin waktu itu agama Islam belum begitu berkembang. Perkembangannya baru pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna dan dengan Zainul Abidin pergi ke Jawa belajar agama, iman Islam, dan tauhid makrifat Islam. Zainul Abidin (1486-1500) yang mendapat ajaran Islam dari Giri dan mungkin dari Prabu Atmaka di Jawa dikenal sebagai Raja Bulawa artinya Raja Cengkeh.

Sekembalinya dari Jawa ia membawa mubalig yang bernama Tuhubahalul. Hubungan perdagangan antara Maluku dengan Jawa oleh Tome Pires (1512-1515) juga sudah diberitakan bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal-kapal dari Gresik milik Pate Cusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam ialah Sultan Bem Acorala dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar Sultan, sedangkan yang lainnya masih memakai gelar raja-raja di Tidore, Kolano. Pada waktu itu diceritakan Sultan Ternate sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi raja di Tidore namanya Raja Almansor. Ternate, Tidore, Bacan, Makyan, Hitu dan Banda pada masa kehadiran Tome Pires sudah banyak yang beragama Islam. Bila Islam memasuki daerah Maluku, Tome Pires mengatakan “50 tahun” lalu yang berarti antara tahun 1460-1465.

Tahun-tahun tersebut menunjukkan persamaan dengan berita Antonio yang mengatakan bahwa Islam di daerah Maluku mulai 80 atau 90 tahun lalu dari kehadirannya di daerah Maluku (1540-1545) yang lebih kurang terjadi pada 1460-1463. Kerajaan Ternate sejak itu makin mengalami kemajuan baik di bidang ekonomi-perdagangan maupun di bidang politik, lebih-lebih setelah Sultan Khairun putra Sultan Zainal Abidin menaiki tahta sekitar 1535, Kerajaan Ternate berhasil mempersatukan daerah-daerah di Maluku Utara. Tetapi persatuan daerah-daerah dalam Kerajaan Ternate itu mulai pecah karena kedatangan orang-orang Portugis dan juga orang-orang Spanyol ke Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama rempah-rempah. Di kalangan kedua bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli perdagangan Portugis memusatkan perhatiannya kepada Ternate, sedangkan pedagang Spanyol kepada Tidore. Pada 1565 Sultan Khairun dengan rakyatnya mengadakan penyerangan-penyerangan terhadap Portugis.

Karena hampir terdesak, pihak Portugis melakukan penipuan dengan dalih untuk mengadakan perundingan tetapi ternyata Sultan Khairun dibunuh pada 1570. Hal tersebut tentu menyebabkan makin marahnya rakyat Ternate. Perlawanan rakyat itu diteruskan di bawah pimpinan putranya, Sultan Baabullah yang pada 28 Desember 1577 berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Ternate, menyingkir ke pulau dekat Tahula tidak jauh dari Tidore, tetapi tetap diganggu oleh orang-orang Ternate agar menyingkir dari tempat itu. Sultan Baabullah menyatakan dirinya sebagai penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat pengakuan kekuasaannya sampai ke berbagai daerah Mindanao, Menado, Sangihe, dan daerah-daerah Nusa Tenggara. Sultan Baabullah mendapat julukan sebagai “Penguasa 72 Kepulauan” dan menganggap sebagai kerajaan seluruh wilayah dan sangat berkuasa. Sultan Baabullah wafat pada 1583. 

 

e. Kerajaan Tidore

Pada awalnya, yang disebut dengan Maluku meliputi Ternate, Tidore, Makian, dan Moti. Keempat wilayah ini bernama “Moloku Kie Raha” yang artinya “persatuan empat Kolano (kerajaan)", demikian tulis Komaruddin Hidayat dan kawan-kawan dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia (2006:335). Dikutip dari buku Kesultanan Islam Nusantara (2010:116) karya Darmawijaya, sesudah terjadi Perjanjian Moti pada abad ke-14 Masehi, Kerajaan Makian pindah ke Bacan (Halmahera Selatan), sedangkan Kerajaan Moti pindah ke Jailolo (Halmahera Barat).

Adapun Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate tetap hidup berdampingan kendati kerap bersaing satu sama lain. Raja pertama Tidore adalah Sahajati yang merupakan saudara Mayshur Malamo, raja pertama Kerajaan Ternate. Berdasarkan berbagai sumber, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa Sahajati telah memeluk agama Islam.
Hamka dalam Sejarah Umat Islam (1981:14) menguatkan pendapat tersebut dengan menyebutkan bahwa saat itu di Maluku ada kepercayaan Symman yaitu memuja roh-roh leluhur nenek moyang.  Penguasa Tidore yang pertama masuk Islam adalah Ciriliyati dengan gelar Sultan Jamaluddin (1495-1512). Sejak saat itu, Kerajaan Tidore pun berubah menjadi kesultanan atau kerajaan bercorak Islam.

Sepeninggal Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al Mansur (1512-1526). Kala itu, pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara, termasuk Tidore. Tidore kedatangan bangsa Spanyol yang diterima dengan baik. Sebelumnya, kerajaan tetangga yakni Kesultanan Ternate telah terlebih dulu menjalin relasi dengan bangsa Portugis. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis sedang bersaing menanamkan pengaruh di kawasan timur Nusantara. Suasana persaingan pun semakin panas. Portugis berambisi merebut Tidore dari pengaruh Spanyol. Darmawijaya dalam Kesultanan Islam Nusantara (2010:135) menyebutkan, terjadi beberapa kali peperangan dengan Portugis dan Tidore. Pertikaian ini berakhir dengan perjanjian damai. Portugis bersedia menarik armadanya dari Tidore namun dengan syarat. Syaratnya adalah semua hasil rempah-rempah dari Tidore hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga seperti yang dibayarkan Portugis kepada Ternate.

Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M) yang berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Maluku. Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan di era kepemimpinan Sultan Nuku pada awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah kekuasaan Tidore sampai ke Papua bagian Barat, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai Kepulauan Pasifik.

Tak hanya itu, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk menghadapi penjajah Belanda yang dibantu Inggris. Kegemilangan mengusir bangsa asing membuat Kesultanan Tidore mencapai kemajuan dengan pesat. Di tengah suasana damai dan makmur, Sultan Nuku berpulang pada 14 November 1805 dalam usia 67 tahun. Pemimpin berjuluk The Lord of Fortune mewariskan masa-masa emas Kesultanan Tidore sebagai negeri yang diberkati dan berdaulat. Sepeninggal Sultan Nuku, Belanda berusaha kembali mengincar Tidore. Hal ini diperparah dengan banyanya polemik internal yang membuat Kesultanan Tidore akhirnya jatuh dalam penguasaan Belanda.

Seiring kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kesultanan Tidore bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidore, tepatnya Sofifi, ditetapkan sebagai ibu kota Provinsi Maluku Utara. Beberapa peninggalan sejarah Kesultanan Tidore yang masih tersisa adalah Istana Kadato Kie serta Benteng Torre dan Tahula.