a. Kerajaan Pontianak
Kerajaan-kerajaan
yang terletak di daerah Kalimantan Barat antara lain Tanjungpura dan Lawe.
Kedua kerajaan tersebut pernah diberitakan Tome Pires (1512-1551). Tanjungpura
dan Lawe menurut berita musafir Portugis sudah mempunyai kegiatan dalam
perdagangan baik dengan Malaka dan Jawa, bahkan kedua daerah yang diperintah
oleh Pate atau mungkin adipati kesemuanya tunduk kepada kerajaan di Jawa yang
diperintah Pati Unus. Tanjungpura dan Lawe (daerah Sukadana) menghasilkan
komoditi seperti emas, berlian, padi, dan banyak bahan makanan. Banyak barang
dagangan dari Malaka yang dimasukkan ke daerah itu, demikian pula jenis pakaian
dari Bengal dan Keling yang berwarna merah dan hitam dengan harga yang mahal
dan yang murah. Pada abad ke-17, kedua kerajaan itu telah berada di bawah
pengaruh kekuasaan Kerajaan Mataram terutama dalam upaya perluasan politik
dalam menghadapi ekspansi politik VOC.
Demikian pula Kotawaringin yang kini sudah termasuk
wilayah Kalimantan Barat pada masa Kerajaan Banjar juga sudah masuk dalam
pengaruh Mataram, sekurang-kurangnya sejak abad ke-16. Meskipun kita tidak
mengetahui dengan pasti kehadiran Islam di Pontianak, konon ada pemberitaan
bahwa sekitar abad ke-18 atau 1720 ada rombongan pendakwah dari Tarim
(Hadramaut) yang di antaranya datang ke daerah Kalimantan Barat untuk
mengajarkan membaca al-Qur’an, ilmu fikih, dan ilmu hadis. Mereka di antaranya
Syarif Idrus bersama anak buahnya pergi ke Mampawah, tetapi kemudian menelusuri
sungai ke arah laut memasuki Kapuas Kecil sampailah ke suatu tempat yang
menjadi cikal bakal kota Pontianak. Syarif Idrus kemudian diangkat menjadi
pimpinan utama masyarakat di tempat itu dengan gelar Syarif Idrus ibn
Abdurrahman al-Aydrus yang kemudian memindahkan kota dengan pembuatan benteng
atau kubu dari kayu-kayuan untuk pertahanan.
Sejak
itu Syarif Idrus ibn Abdurrahman al-Aydrus dikenal sebagai Raja Kubu. Daerah
itu mengalami kemajuan di bidang perdagangan dan keagamaan, sehingga banyak
para pedagang yang berdatangan dari berbagai negeri. Pemerintahan Syarif Idrus
(lengkapnya: Syarif Idrus al-Aydrus ibn Abdurrahman ibn Ali ibn Hassan ibn Alwi
ibn Abdullah ibn Ahmad ibn Husin ibn Abdullah al-Aydrus) memerintah pada
1199-1209 H atau 1779-1789 M.
Cerita
lainnya mengatakan bahwa pendakwah dari Tarim (Hadramaut) yang mengajarkan
Islam dan datang ke Kalimantan bagian barat terutama ke Sukadana ialah Habib
Husin al-Gadri. Ia semula singgah di Aceh dan kemudian ke Jawa sampai di
Semarang. Di tempat itulah ia bertemu dengan pedagang Arab bernama Syaikh,
karena itulah maka Habib Husin al-Gadri berlayar ke Sukadana. Kesaktiannya
menyebabkan ia mendapat banyak simpati dari raja, Sultan Matan dan rakyat.
Kemudian Habib Husin al-Gadri pindah dari Matan ke Mempawah untuk meneruskan
syiar Islam. Setelah wafat ia diganti oleh salah seorang putranya yang bernama
Pangeran Sayid Abdurrahman Nurul Alam.
Ia pergi dengan sejumlah rakyatnya ke
tempat yang kemudian dinamakan Pontianak dan di tempat inilah ia mendirikan
keraton dan masjid agung. Pemerintahan Syarif Abdurrahman Nur Alam ibn Habib
Husin al-Gadri pada 1773-1808, digantikan oleh Syarif Kasim ibn Abdurrahman
al-Gadri pada 1808-1828 dan selanjutnya Kesultanan Pontianak di bawah
pemerintahan sultan-sultan keluarga Habib Husin al-Gadri.
b.
Kerajaan Banjar (Banjarmasin)
Kerajaan
Banjar (Banjarmasin) terdapat di daerah Kalimantan Selatan yang muncul sejak
kerajaan-kerajaan bercorak Hindu yaitu Negara Dipa, Daha, dan Kahuripan yang
berpusat di daerah hulu Sungai Nagara di Amuntai. Kerajaan Nagara Dipa masa
pemerintahan Putri Jungjung Buih dan patihnya Lembu Amangkurat, pernah
mengadakan hubungan dengan Kerajaan Majapahit. Mengingat pengaruh Majapahit
sudah sampai di daerah Sungai Nagara, Batang Tabalung, Barito, dan sebagainya
tercatat dalam kitab Nagarakertagama. Hubungan tersebut juga
dibuktikan dalam cerita Hikayat Banjar dan Kronik
Banjarmasin. Pada waktu menghadapi peperangan dengan Daha, Raden Samudera
minta bantuan Kerajaan Demak sehingga mendapat kemenangan.
Sejak itulah Raden Samudera menjadi pemeluk
agama Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Yang mengajarkan agama Islam
kepada Raden Samudera dengan patih-patih serta rakyatnya ialah seorang penghulu
Demak. Proses Islamisasi di daerah itu, menurut A.A. Cense, terjadi sekitar
1550 M. Sejak pemerintahan Sultan Suryanullah, Kerajaan Banjar atau Banjarmasin
meluaskan kekuasaannya sampai Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin,
Sampit, Madawi, dan Sambangan. Sebagai tanda daerah takluk biasanya pada waktu-waktu
tertentu mengirimkan upeti kepada Sultan Suryanullah sebagai penguasa Kerajaan
Banjar. Setelah Sultan Suryanullah wafat, ia digantikan oleh putra tertuanya
dengan gelar Sultan Rahmatullah.
Ketika menjabat sebagai raja, ia masih
mengirimkan upeti ke Demak, yang pada waktu itu sudah menjadi Kerajaan Pajang.
Setelah Sultan Rahmatullah, yang memerintah Kerajaan Banjarmasin ialah seorang
putranya yang bergelar Sultan Hidayatullah. Pengganti Sultan Hidayatullah ialah
Sultan Marhum Panambahan atau dikenal dengan gelar Sultan Mustain Billah yang
pada masa pemerintahannya berupaya memindahkan ibu kota kerajaan ke Amuntai.
Ketika memerintah pada awal abad ke-17 Sultan Mustain Billah ditakuti oleh
kerajaan-kerajaan sekitarnya dan ia dapat menghimpun lebih kurang 50.000
prajurit. Demikian kuatnya Kerajaan Banjar sehingga dapat membendung pengaruh
politik dari Tuban, Arosbaya, dan Mataram, di samping menguasai daerah-daerah
kerajaan di Kalimantan Timur, Tenggara, Tengah, dan Barat.
Pada
abad ke-17 di Kerajaan Banjar ada seorang ulama besar yang bernama Muhammad
Arsyad ibn Abdullah al-Banjari (1710-1812) lahir di Martapura. Atas biaya
kesultanan masa Sultan Tahlil Allah (1700-1745) pergi belajar ke Haramayn
selama beberapa tahun. Sekembalinya dari Haramayn ia mengajarkan fikih atau
syariah, dengan kitabnya Sabîl al-Muhtadîn. Ia ahli di bidang
tasawuf dengan karyanya Khaz al-Ma’rifah. Mengenai riwayat, ajaran
dan guru-guru serta kitab-kitab hasil karyanya secara panjang lebar telah
dibicarakan oleh Azyumardi Azara dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan
Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Sejak wafatnya Sultan Adam, pada 1
November 1857, pergantian sultan-sultan mulai dicampuri oleh kepentingan
politik Belanda sehingga terjadi pertentangan-pertentangan antara keluarga
raja, terlebih setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar oleh Belanda. Perlawanan-perlawanan
terhadap Belanda itu terus-menerus dilakukan terutama antara tahun 1859-1863,
antara lain oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Leman, Haji Nasrun dan
lainnya. Perlawanan terhadap penjajah Belanda itu sebenarnya terus dilakukan
sampai tahun-tahun selanjutnya.
c.
Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan
Gowa-Tallo sebelum menjadi kerajaan Islam sering berperang dengan kerajaan
lainnya di Sulawesi Selatan, seperti dengan Luwu, Bone, Soppeng, dan Wajo.
Kerajaan Luwu yang bersekutu dengan Wajo ditaklukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo.
Kemudian Kerajaan Wajo menjadi daerah taklukan Gowa menurut Hikayat
Wajo. Dalam serangan terhadap Kerajaan Gowa-Tallo, Karaeng Gowa
meninggal dan seorang lagi terbunuh sekitar pada 1565. Ketiga Kerajaan Bone,
Wajo, dan Soppeng mengadakan persatuan untuk mempertahankan kemerdekaannya yang
disebut perjanjian Tellumpocco, sekitar 1582.
Sejak
Kerajaan Gowa resmi sebagai kerajaan bercorak Islam pada 1605, Gowa meluaskan
pengaruh politiknya, agar kerajaan-kerajaan lainnya juga memeluk Islam dan
tunduk kepada Kerajaan Gowa-Tallo. Kerajaan-kerajaan yang tunduk kepada
Kerajaan Gowa-Tallo antara lain Wajo pada 10 Mei 1610, dan Bone pada 23
Nopember 1611. Di daerah Sulawesi Selatan proses Islamisasi makin mantap dengan
adanya para mubalig yang disebut Dato’ Tallu (Tiga Dato), yaitu Dato’ Ri
Bandang (Abdul Makmur atau Khatib Tunggal) Dato’ Ri Pattimang (Dato’ Sulaemana
atau Khatib Sulung), dan Dato’ Ri Tiro (Abdul Jawad alias Khatib Bungsu),
ketiganya bersaudara dan berasal dari Kolo Tengah, Minangkabau.
Para
mubalig itulah yang mengislamkan Raja Luwu yaitu Datu’ La Patiware’ Daeng
Parabung dengan gelar Sultan Muhammad pada 15-16 Ramadhan 1013 H (4-5 Februari
1605 M). Kemudian disusul oleh Raja Gowa dan Tallo yaitu Karaeng Matowaya dari
Tallo yang bernama I Mallingkang Daeng Manyonri (Karaeng Tallo) mengucapkan
syahadat pada Jumat sore, 9 Jumadil Awal 1014 H atau 22 September 1605 M dengan
gelar Sultan Abdullah. Selanjutnya Karaeng Gowa I Manga’ rangi Daeng Manrabbia
mengucapkan syahadat pada Jumat, 19 Rajab 1016 H atau 9 November 1607 M.
Perkembangan
agama Islam di daerah Sulawesi Selatan mendapat tempat sebaik-baiknya bahkan
ajaran sufisme Khalwatiyah dari Syaikh Yusuf al-Makassari juga tersebar di
Kerajaan Gowa dan kerajaan lainnya pada pertengahan abad ke-17. Karena
banyaknya tantangan dari kaum bangsawan Gowa maka ia meninggalkan Sulawesi
Selatan dan pergi ke Banten. Di Banten ia terima oleh Sultan Ageng Tirtayasa
bahkan dijadikan menantu dan diangkat sebagai mufti di Kesultanan.
Dalam
sejarah Kerajaan Gowa perlu dicatat tentang sejarah perjuangan Sultan
Hasanuddin dalam mempertahankan kedaulatannya terhadap upaya penjajahan politik
dan ekonomi kompeni (VOC) Belanda. Semula VOC tidak menaruh perhatian terhadap
Kerajaan Gowa-Tallo yang telah mengalami kemajuan dalam bidang perdagangan.
Berita tentang pentingnya Kerajaan Gowa-Tallo didapat setelah kapal Portugis
dirampas oleh VOC pada masa Gubernur Jendral J. P. Coen di dekat perairan
Malaka. Di dalam kapal tersebut terdapat orang Makassar. Dari orang Makassar
itulah ia mendapat berita tentang pentingnya Pelabuhan Somba Opu sebagai
pelabuhan transit terutama untuk mendatangkan rempah-rempah dari Maluku.
Pada
1634 VOC memblokir Kerajaan Gowa tetapi tidak berhasil. Peristiwa peperangan
dari waktu ke waktu terus berjalan dan baru berhenti antara 1637-1638. Sempat
tercipta perjanjian damai namun tidak kekal karena pada 1638 terjadi perampokan
kapal orang Bugis yang bermuatan kayu cendana, dan muatannya dijual kepada
orang Portugis. Perang di Sulawesi Selatan ini berhenti setelah terjadi
perjanjian Bongaya pada 1667 yang sangat merugikan pihak Gowa-Tallo.
d.
Kerajaan Ternate
Pada
abad ke-14 dalam kitab Negarakartagama, karya Mpu Prapanca
tahun 1365 M menyebut Maluku dibedakan dengan Ambon yaitu Ternate. Hal itu juga
dapat dihubungkan dengan Hikayat Ternate yang antara lain
menyebutkan Moeloka (Maluku) artinya Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan. Pada
abad ke-14, masa Kerajaan Majapahit hubungan pelayaran dan perdagangan antara
pelabuhan-pelabuhan terutama Tuban dan Gresik dengan daerah Hitu, Ternate,
Tidore bahkan Ambon sendiri sudah sering terjadi. Pada abad tersebut
pelabuhan-pelabuhan yang masih di bawah Majapahit juga sudah didatangi para
pedagang Muslim. Untuk memperoleh komoditi berupa rempah-rempah terutama
cengkeh dan pala, para pedagang Muslim dari Arab dan Timur Tengah lainnya itu
juga sangat mungkin mendatangi daerah Maluku. Hikayat Ternate menyebutkan
bahwa turunan raja-raja Maluku: Ternate, Tidore, Jailolo, dan Bacan, berasal
dari Jafar Sadik dari Arab.
Dalam
tradisi setempat dikatakan bahwa Raja Ternate ke-12 bernama Molomatea
(1350-1357) bersahabat dengan orang-orang Muslim Arab yang datang ke Maluku
memberikan petunjuk pembuatan kapal. Demikian pula diceritakan bahwa pada masa
pemerintahan Raja Marhum di Ternate, datang seorang alim dari Jawa bernama
Maulana Husein yang mengajarkan membaca al-Qur’an dan menulis huruf Arab yang
indah sehingga menarik raja dan keluarganya serta masyarakatnya. Meskipun
demikian, mungkin waktu itu agama Islam belum begitu berkembang.
Perkembangannya baru pada masa Raja Cico atau putranya Gopi Baguna dan dengan
Zainul Abidin pergi ke Jawa belajar agama, iman Islam, dan tauhid makrifat
Islam. Zainul Abidin (1486-1500) yang mendapat ajaran Islam dari Giri dan
mungkin dari Prabu Atmaka di Jawa dikenal sebagai Raja Bulawa artinya Raja
Cengkeh.
Sekembalinya
dari Jawa ia membawa mubalig yang bernama Tuhubahalul. Hubungan perdagangan
antara Maluku dengan Jawa oleh Tome Pires (1512-1515) juga sudah diberitakan
bahkan ia memberikan gambaran Ternate yang didatangi kapal-kapal dari Gresik
milik Pate Cusuf, dan Raja Ternate yang sudah memeluk Islam ialah Sultan Bem
Acorala dan hanya Raja Ternate yang menggunakan gelar Sultan, sedangkan yang
lainnya masih memakai gelar raja-raja di Tidore, Kolano. Pada waktu itu
diceritakan Sultan Ternate sedang berperang dengan mertuanya yang menjadi raja
di Tidore namanya Raja Almansor. Ternate, Tidore, Bacan, Makyan, Hitu dan Banda
pada masa kehadiran Tome Pires sudah banyak yang beragama Islam. Bila Islam
memasuki daerah Maluku, Tome Pires mengatakan “50 tahun” lalu yang berarti
antara tahun 1460-1465.
Tahun-tahun
tersebut menunjukkan persamaan dengan berita Antonio yang mengatakan bahwa
Islam di daerah Maluku mulai 80 atau 90 tahun lalu dari kehadirannya di daerah
Maluku (1540-1545) yang lebih kurang terjadi pada 1460-1463. Kerajaan Ternate
sejak itu makin mengalami kemajuan baik di bidang ekonomi-perdagangan maupun di
bidang politik, lebih-lebih setelah Sultan Khairun putra Sultan Zainal Abidin
menaiki tahta sekitar 1535, Kerajaan Ternate berhasil mempersatukan
daerah-daerah di Maluku Utara. Tetapi persatuan daerah-daerah dalam Kerajaan
Ternate itu mulai pecah karena kedatangan orang-orang Portugis dan juga
orang-orang Spanyol ke Tidore dalam upaya monopoli perdagangan terutama
rempah-rempah. Di kalangan kedua bangsa itu juga terjadi persaingan monopoli
perdagangan Portugis memusatkan perhatiannya kepada Ternate, sedangkan pedagang
Spanyol kepada Tidore. Pada 1565 Sultan Khairun dengan rakyatnya mengadakan
penyerangan-penyerangan terhadap Portugis.
Karena
hampir terdesak, pihak Portugis melakukan penipuan dengan dalih untuk
mengadakan perundingan tetapi ternyata Sultan Khairun dibunuh pada 1570. Hal
tersebut tentu menyebabkan makin marahnya rakyat Ternate. Perlawanan rakyat itu
diteruskan di bawah pimpinan putranya, Sultan Baabullah yang pada 28 Desember
1577 berhasil mengusir orang-orang Portugis dari Ternate, menyingkir ke pulau
dekat Tahula tidak jauh dari Tidore, tetapi tetap diganggu oleh orang-orang
Ternate agar menyingkir dari tempat itu. Sultan Baabullah menyatakan dirinya
sebagai penguasa seluruh Maluku bahkan mendapat pengakuan kekuasaannya sampai
ke berbagai daerah Mindanao, Menado, Sangihe, dan daerah-daerah Nusa Tenggara.
Sultan Baabullah mendapat julukan sebagai “Penguasa 72 Kepulauan” dan
menganggap sebagai kerajaan seluruh wilayah dan sangat berkuasa. Sultan
Baabullah wafat pada 1583.
e.
Kerajaan Tidore
Pada
awalnya, yang disebut dengan Maluku meliputi Ternate, Tidore, Makian, dan Moti.
Keempat wilayah ini bernama “Moloku Kie Raha” yang artinya “persatuan empat
Kolano (kerajaan)", demikian tulis Komaruddin Hidayat dan kawan-kawan
dalam Menjadi Indonesia: 13 Abad Eksistensi Islam di Indonesia (2006:335).
Dikutip dari buku Kesultanan Islam Nusantara (2010:116) karya
Darmawijaya, sesudah terjadi Perjanjian Moti pada abad ke-14 Masehi, Kerajaan
Makian pindah ke Bacan (Halmahera Selatan), sedangkan Kerajaan Moti pindah ke
Jailolo (Halmahera Barat).
Adapun
Kerajaan Tidore dan Kerajaan Ternate tetap hidup berdampingan kendati kerap
bersaing satu sama lain. Raja pertama Tidore adalah Sahajati yang
merupakan saudara Mayshur Malamo, raja pertama Kerajaan Ternate. Berdasarkan
berbagai sumber, tidak ada keterangan yang menyebutkan bahwa Sahajati telah
memeluk agama Islam.
Hamka dalam Sejarah Umat Islam (1981:14) menguatkan pendapat
tersebut dengan menyebutkan bahwa saat itu di Maluku ada kepercayaan Symman
yaitu memuja roh-roh leluhur nenek moyang. Penguasa Tidore yang
pertama masuk Islam adalah Ciriliyati dengan gelar Sultan Jamaluddin
(1495-1512). Sejak saat itu, Kerajaan Tidore pun berubah menjadi kesultanan
atau kerajaan bercorak Islam.
Sepeninggal
Sultan Jamaluddin, Kesultanan Tidore dipimpin oleh Sultan Al Mansur
(1512-1526). Kala itu, pengaruh asing mulai masuk ke Maluku Utara, termasuk
Tidore. Tidore kedatangan bangsa Spanyol yang diterima dengan baik. Sebelumnya,
kerajaan tetangga yakni Kesultanan Ternate telah terlebih dulu menjalin relasi
dengan bangsa Portugis. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis sedang bersaing
menanamkan pengaruh di kawasan timur Nusantara. Suasana persaingan pun semakin
panas. Portugis berambisi merebut Tidore dari pengaruh Spanyol. Darmawijaya
dalam Kesultanan Islam Nusantara (2010:135) menyebutkan,
terjadi beberapa kali peperangan dengan Portugis dan Tidore. Pertikaian ini
berakhir dengan perjanjian damai. Portugis bersedia menarik armadanya dari
Tidore namun dengan syarat. Syaratnya adalah semua hasil rempah-rempah dari
Tidore hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga seperti yang dibayarkan
Portugis kepada Ternate.
Kejayaan
Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M) yang
berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di
Kepulauan Maluku. Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan di era
kepemimpinan Sultan Nuku pada awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah
kekuasaan Tidore sampai ke Papua bagian Barat, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru,
bahkan sampai Kepulauan Pasifik.
Tak
hanya itu, Sultan Nuku juga berhasil menyatukan Ternate dan Tidore untuk
menghadapi penjajah Belanda yang dibantu Inggris. Kegemilangan mengusir bangsa
asing membuat Kesultanan Tidore mencapai kemajuan dengan pesat. Di tengah
suasana damai dan makmur, Sultan Nuku berpulang pada 14 November 1805 dalam
usia 67 tahun. Pemimpin berjuluk The Lord of Fortune mewariskan masa-masa emas
Kesultanan Tidore sebagai negeri yang diberkati dan berdaulat. Sepeninggal
Sultan Nuku, Belanda berusaha kembali mengincar Tidore. Hal ini diperparah
dengan banyanya polemik internal yang membuat Kesultanan Tidore akhirnya jatuh
dalam penguasaan Belanda.
Seiring
kemerdekaan Indonesia pada 1945, Kesultanan Tidore bergabung dengan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tidore, tepatnya Sofifi, ditetapkan sebagai
ibu kota Provinsi Maluku Utara. Beberapa peninggalan sejarah Kesultanan Tidore
yang masih tersisa adalah Istana Kadato Kie serta Benteng Torre dan Tahula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar