Senin, 02 November 2020

Sistem dan Struktur Politik-Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru (1966-1998)

 

 

Kebijakan-kebijakan politik era Orde Baru, politik dalam dan luar negeri  serta stabilitas dan kebijakan ekonomi - Catatan Balada Bahagia

 

Stabilisasi Politik dan Rehabilitasi Ekonomi

Terbentuknya pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan keputusan Sidang Istimewa MPRS tanggal 12 Maret 1967 yang menetapkan Jenderal Soeharto sebagai pejabat presiden. Kedudukannya itu semakin kuat setelah pada 27 Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Pengukuhan tersebut dapat dijadikan indikator dimulainya kekuasaan Orde Baru.

Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya, pemerintah Orde Baru mulai menjalankan kebijakan-kebijakan politik dan Ekonomi yang telah ditetapkan oleh Sidang MPRS tahun-tahun sebelumnya, seperti Stabilitas Politik Keamanan (Tap MPRS No.IX/1966), Stabilitas ekonomi (Tap MPRS No.XXIII/19 66), dan Pemilihan Umum (Tap MPRS No.XI/1966)Pemerintahan Orde Baru memandang bahwa selama Orde Lama telah terjadi penyimpangan terhadap pelaksanaan UUD 1945 dan Pancasila.

Diantara penyimpangan tersebut adalah pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan pelaksanaan politik luar negeri yang cenderung memihak blok komunis (Blok Timur). Sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan oleh MPRS, maka pemerintahan Orde Baru segera berupaya menjalankan UUD 1945 dan Pancasila secara konsekuen dengan melakukan rehabilitasi dan stabilisasi politik dan keamanan (polkam). Tujuan dari rehabilitasi dan stabilisasi tersebut adalah agar dilakukan pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Dalam melaksanakan rehabilitasi dan stabilisasi polkam, pemerintah Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto menggunakan suatu pendekatan yang dikenal sebagai pendekatan keamanan (security approach), termasuk di dalamnya de-Soekarnoisasi dan depolitisasi kekuatan-kekuatan organisasi sosial politik (orsospol) yang dinilai akan merongrong kewibawaan pemerintah. Seiring dengan itu, dibentuk lembaga-lembaga stabilisasi seperti; Kopkamtib (pada 1 November 1965), Dewan Stabilisasi Ekonomi Nasional (11 Agustus 1966), dan Dewan Pertahanan Keamanan Nasional (1 Agustus 1970).

Mengenai kebijakan politik luar negeri yang dipandang menyimpang, pemerintah Orde Baru berupaya mengembalikan Indonesia dari politik Nefos-Oldefos dan “Poros Jakarta -Pnom Penh – Hanoi-Peking – Pyongyang” ke politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif. Tujuan dari politik luar negeri pun diarahkan untuk dapat dilakukannya pembangunan kesejahteraan rakyat.

Hal itu tampak dari pernyataan Jenderal Soeharto sebagai pemegang mandat Supersemar tanggal 4 April 1966, beliau menyatakan bahwa Indonesia akan menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif, yang mengabdi kepada kepentingan bangsa dan ditujukan untuk mencapai kesejahteraan rakyat. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, maka politik luar negeri Indonesia akan ditujukan pada perluasan kerjasama ekonomi dan keuangan antara Indonesia dengan dunia luar, baik Timur maupun Barat, selama kerjasama itu menguntungkan bagi kepentingan Indonesia.Sebagai wujud nyata dari niat itu, Indonesia memulihkan kembali hubungan baik dengan Malaysia termasuk Singapura yang sempat terganggu akibat kebijakan konfrontasi Indonesia 1963-1966. Di samping itu, sejak 28 September 1966, Indonesia kembali aktif di forum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Pada era Orde Lama, Indonesia pada 1 Januari 1965, keluar dari lembaga tersebut. Langkah berikutnya, Indonesia bersama Malaysia, Singapura, Thailand dan Filipina membentuk organisasi kerjasama regional ASEAN (Association of South East Asian Nation) di Bangkok 8 Agustus 1967. Tujuan pembentukan ASEAN ini adalah untuk meningkatkan kerjasama regional khususnya di bidang ekonomi dan budaya.

  1. Stabilisasi Politik dan Keamanan sebagai Dasar Pembangunan

Orde Baru mencanangkan berbagai konsep dan aktivitas pembangunan nasional yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat. Langkah pertama melaksanakan pembangunan nasional tersebut adalah dengan membentuk Kabinet Pembangunan I pada 6 Juni 1968. Program Kabinet Pembangunan I dikenal dengan sebutan Pancakrida Kabinet Pembangunan, yang berisi:

  1. Menciptakan stabilitas politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) dan Pemilihan Umum (Pemilu);
  2. Menyusun dan merencanakan Repelita;
  3. Melaksanakan Pemilu selambat-lambatnya pada Juli 1971;
  4. Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G 30/S/PKI dan setiap bentuk rongrongan penyelewengan, serta pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945;
  5. Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di pusat maupun di daerah dari unsur-unsur komunisme.

Dalam rangka menciptakan kondisi politik yang stabil dan kondusif bagi terlaksananya amanah rakyat melalui TAP MPRS No.IX/MPRS/1966, yaitu melaksanakan pemilihan umum (pemilu), pemerintah Orde Baru melakukan‘pelemahan’ atau mengeliminasi kekuatan-kekuatan yang secara historis dinilai berpotensi mengganggu stabilitas dan merongrong kewibawaan pemerintah. Pelemahan itu dilakukan antara lain terhadap pendukung Soekarno, kelompok Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan kelompok Islam Fundamentalis (yang sering disebut kaum ekstrimis kanan).

Selain itu, pemerintahan Soeharto juga menciptakan kekuatan politik sipil baru yang dalam pandangannya lebih mudah dikendalikan. Organisasi itu adalah Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) yang kemudian lebih dikenal dengan nama Golkar.Berdasarkan Tap MPRS No IX/MPRS/1966, pemerintah diharapkan segera melakukan pemilu pada tahun 1968. Namun karena berbagai pertimbangan politik dan keamanan, pemilu baru dapat diselenggarakan pada 1971. Lembaga Pemilu sebagai pelaksana pemilu dibentuk dan ditempatkan di bawah koordinasi Departemen Dalam Negeri, sedangkan peserta pemilu ditetapkan melalui Keputusan Presiden No.23 tanggal 23 Mei 1970.

Berdasarkan surat keputusan itu, jumlah partai politik (parpol) yang diijinkan ikut serta dalam pemilu adalah 9 parpol, yaitu: NU, Parmusi, PSII, Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah), Partai Kristen Indonesia, Partai Khatolik, Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), dan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) ditambah dengan Golkar. Adapun perolehan suara hasil pemilu 1971 adalah sebagai berikut: Golkar(236 kursi, 62,82%), NU (58 kursi,18,68%), Parmusi (24 kursi (5,56%), PNI (20 kursi,6,93%), PSII (10 kursi,2,39%), dan Parkindo (10 kursi, 2,39%). (Anhar Gonggong ed, 2005: 150) .

Pada akhir tahun 1971, pemerintah Orde Baru melemparkan gagasan penyederhanaan partai politik dengan alasan–alasan tertentu, seperti kasus pada masa “demokrasi parlementer”. Pada masa itu, banyaknya partai dianggap tidak memudahkan pembangunan, justru sebaliknya menambah permasalahan. Penyebabnya bukan saja karena persaingan antarparpol, melainkan juga persaingan di dalam tubuh parpol antara para pemimpinnya tidak jarang memicu timbulnya krisis, bahkan perpecahan yang dinilai bisa mengganggu stabilitas polkam. Atas dasar itu, pemerintah berpendapat perlu adanya penyederhanaan partai sebagai bagian dari pelaksanaan demokrasi Pancasila. Pada awalnya banyak parpol yang menolak gagasan itu, yang sedikit banyak dinilai telah menutup aspirasi kebebasan berkumpul dan berserikat yang dijamin oleh UUD 1945.

Namun adanya tekanan pemerintah menyebabkan mereka tidak mempunyai pilihan lain.Realisasi penyederhanaan partai tersebut dilaksanakan melalui Sidang Umum MPR tahun 1973. Sembilan partai yang ada berfusi ke dalam dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Empat Partai Islam, yaitu Nahdatul Ulama/NU, Parmusi, Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII, dan Perti bergabung dalam PPP. Sementara itu lima partai non Islam, yaitu PNI, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Khatolik, Partai Murba, dan IPKI bergabung dalam PDI. Selain kedua kelompok tersebut ada pula kelompok Golkar yang semula bernama Sekber Golkar. Pengelompokkan tersebut secara formal berlaku pula di lingkungan DPR dan MPR. (Gonggong dan Asy’arie, ed, 2005).

Pemerintah Orde Baru menghimpun energi semua komponen bangsa kedalam agenda bersama yang diformulasikan dalam bentuk Trilogi Pembangunan. Suatu rencana kemandirian bangsa yang diletakkan pada pilar stabilitas, pembangunan di segala bidang dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya kepada seluruh rakyat.

Trilogi Pembangunan

  1. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
  2. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
  3. Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Semua penghalang pembangunan, termasuk segala hal yang dapat memicu munculnya instabilitas bangsa harus disingkirkan. Itulah kira-kira makna pesan yang terangkum dalam Trilogi Pembangunan, yaitu terwujudnya stabilitas politik dan keamanan, pembangunan di segala aspek kehidupan dan pemerataan pembangunan beserta hasil-hasilnya.Trilogi Pembangunan itu tidak lain merupakan suatu rencana bangsa Indonesia yang digelorakan Presiden Soeharto untuk mewujudkan tujuan negara sebagaimana amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Negara yang ingin diwujudkan adalah sebuah pemerintahan yang dapat melindungi segenap bangsa, mampu memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan mampu turut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Tujuan negara itu harus dicapai dengan berdasarkan Pancasila.

Stabilitas nasional sendiri meliputi stabilitas keamanan, ekonomi dan politik. Stabilitas Nasional bukan hanya merupakan prasyarat terselenggaranya pembangunan, akan tetapi merupakan amanat sila kedua Pancasila untuk terwujudnya “Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab”. Kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain dan resultan dari kebebasan masing-masing individu itu berupa pranata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berkeadaban. Oleh karena itu, merupakan kebenaran universal di manapun jika bentuk-bentuk tindakan yang tidak beradab, dalam aspek apapun tidak dapat ditoleransi.Dari semua usaha-usaha yang dilakukan oleh Presiden Soeharto pada masa awal pemerintahannya, semuanya bertujuan untuk menggerakkan jalannya kegiatan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi bisa berjalan dengan baik jika ada stabilitas politik dan keamanan.

  1. Stabilisasi Penyeragaman

Depolitisasi parpol dan ormas juga dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru melalui cara penyeragaman ideologis melalui ideologi Pancasila. Dengan alasan Pancasila telah menjadi konsensus nasional, keseragaman dalam pemahaman Pancasila perlu disosialisasikan. Gagasan ini disampaikan oleh Presiden Soeharto pada acara Hari Ulang Tahun ke-25 Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta, 19 Desember 1974. Kemudian dalam pidatonya menjelang pembukaan Kongres Nasional Pramuka pada 12 Agustus 1976, di Jakarta, Presiden Soeharto menyerukan kepada seluruh rakyat agar berikrar pada diri sendiri mewujudkan Pancasila dan mengajukan Eka Prasetia bagi ikrar tersebut.

Presiden Soeharto mengajukan nama Eka Prasetia Pancakarsa dengan maksud menegaskan bahwa penyusunan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dipandang sebagai janji yang teguh, kuat, konsisten, dan tulus untuk mewujudkan lima cita-cita yaitu (1) takwa kepada Tuhan YME dan menghargai orang lain yang berlainan agama/kepercayaan; (2) mencintai sesama manusia dengan selalui ingat kepada orang lain, tidak sewenang-wenang; (3) mencintai tanah air, menempatkan kepentingan negara diatas kepentingan pribadi;(4) demokratis dan patuh pada putusan rakyat yang sah; (5) suka menolong orang lain, sehingga dapat meningkatkan kemampuan orang lain (Referensi Bahan Penataran P4 dalam Anhar Gongong ed, 2005: 159).

Presiden kemudian mengajukan draft P4 ini kepada MPR, Akhirnya, pada 21 Maret 1978 rancangan P4 disahkan menjadi Tap MPR No.II/MPR/1978. Setelah disahkan MPR, pemerintah membentuk komisi Penasehat Presiden mengenai P4 yang dipimpin oleh Dr. Roeslan Abdulgani. Sebagai badan pelaksananya dibentuk Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksana P4 (BP7) yang berkedudukan di Jakarta. Tugasnya adalah untuk mengkoordinasi pelaksanaan program penataran P4 yang dilaksanakan pada tingkat nasional dan regional.

Tujuan penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai Demokrasi Pancasila, sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.Pegawai negeri (termasuk pegawai BUMN), baik sipil maupun militer diharuskan mengikuti penataran P4. Kemudian para pelajar, mulai dari sekolah menengah sampai Perguruan Tinggi, juga diharuskan mengikuti penataran P4 yang dilakukan pada setiap awal tahun ajaran atau tahun akademik. Melalui penataran P4 itu, pemerintah juga memberikan penekanan pada masalah “suku”, “agama”, “ras”, dan “antargolongan”, (Sara). Menurut pemerintah Orde baru, “sara” merupakan masalah yang sensitif di Indonesia yang sering menjadi penyebab timbulnya konflik atau kerusuhan sosial.

Oleh karena itu, masyarakat tidak boleh mempermasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan Sara. Secara tidak langsung masyarakat dipaksa untuk berpikir seragam; dengan kata lain yang lebih halus, harus mau bersikap toleran dalam arti tidak boleh membicarakan atau menonjolkan perbedaan yang berkaitan dengan masalah sara. Meskipun demikian, akhirnya konflik yang bermuatan sara itu tetap tidak dapat dihindari.

Pada tahun 1992 misalnya, terjadi konflik antara kaum muslim dan non muslim di Jakarta (Ricklefs, 2005: 640). Demikian pula halnya dengan P4. Setelah beberapa tahun berjalan, kritik datang dari berbagai kalangan terhadap pelaksanaan P4. Berdasarkan pengamatan di lapangan banyak peserta penataran pada umumnya merasa muak terhadap P4. Fakta ini kemudian disampaikan kepada Presiden agar masalah P4 ditinjau kembali.Setelah P4 menjadi Tap MPR dan dilaksanakan, selanjutnya orsospol yang diseragamkan dalam arti harus mau menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas partai dan organisasi, yang dikenal dengan sebutan “asas tunggal”.

Gagasan asas tunggal ini disampaikan oleh Presiden Soeharto dalam pidato pembukaan Rapat Pimpinan ABRI (Rapim ABRI), di Pekanbaru , Riau, tanggal 27 Maret 1980 dan dilontarkan kembali pada acara ulang tahun Korps Pasukan Sandi Yudha (Kopasandha) di Cijantung, Jakarta 16 April 1980.Gagasan Asas Tunggal ini pada awalnya menimbulkan reaksi yang cukup keras dari berbagai pemimpin umat Islam dan beberapa purnawirawan militer ternama.

Meskipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan, Presiden Soeharto tetap meneruskan gagasannya itu dan membawanya ke MPR. Melalui Sidang MPR ‘Asas Tunggal” akhirnya diterima menjadi ketetapan MPR, yaitu; Tap MPR No.II/1983. Kemudian pada 19 Januri 1985, pemerintah dengan persetujuan DPR, mengeluarkan Undang-Undang No.3/1985 yang menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka.

Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No.8/1985 tentang ormas, yang menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau massa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Sejak saat itu tidak ada lagi orsospol yang berasaskan lain selain Pancasila, semua sudah seragam.. Demokrasi Pancasila yang mengakui hak hidup “bhineka tunggal ika”, dipergunakan oleh pemerintah Orde Baru untuk mematikan kebhinekaan, termasuk memenjarakan atau mencekal tokoh-tokoh pengkritik kebijakan pemerintah Orde Baru.

  1. Penerapan Dwi Fungsi ABRI

Konsep Dwifungsi ABRI sendiri dipahami sebagai “jiwa, tekad dan semangat pengabdian ABRI, untuk bersama-sama dengan kekuatan perjuangan lainnya, memikul tugas dan tanggung jawab perjuangan bangsa Indonesia, baik di bidang hankam negara maupun di bidang kesejahteraan bangsa dalam rangka penciptaan tujuan nasional, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.” Berangkat dari pemahaman tersebut, ABRI memiliki keyakinan bahwa tugas mereka tidak hanya dalam bidang hankam namun juga non-hankam. Sebagai kekuatan hankam, ABRI merupakan suatu unsur dalam lingkungan aparatur pemerintah yang bertugas di bidang kegiatan “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.” Sebagai kekuatan sosial, ABRI adalah suatu unsur dalam kehidupan politik di lingkungan masyarakat yang bersama-sama dengan kekuatan sosial lainnya secara aktif melaksanakan kegiatan-kegiatan pembangunan nasional.

Dwifungsi ABRI, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya diartikan bahwa ABRI memiliki dua fungsi, yaitu fungsi sebagai pusat kekuatan militer Indonesia dan juga fungsinya di bidang politik. Dalam pelaksanaannya pada era Soeharto, fungsi utama ABRI sebagai kekuatan militer Indonesia memang tidak dapat dikesampingkan, namun pada era ini, peran ABRI dalam bidang politik terlihat lebih signifikan seiring dengan diangkatnya Presiden Soeharto oleh MPRS pada tahun 1968.

Secara umum, intervensi ABRI dalam bidang poilitik pada masa Orde Baru yang mengatasnamakan Dwifungsi ABRI ini salah satunya adalah dengan ditempatkannya militer di DPR, MPR, maupun DPD tingkat provinsi dan kabupaten. Perwira yang aktif, sebanyak seperlima dari jumlahnya menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPRD), dimana mereka bertanggung jawab kepada komandan setempat, sedangkan yang di MPR dan DPR tingkat nasional bertanggung jawab langsung kepada panglima ABRI. Selain itu, para ABRI juga menempati posisi formal dan informal dalam pengendalian Golkar serta mengawasi penduduk melalui gerakan teritorial di seluruh daerah dari mulai Jakarta sampai ke dareah-daerah terpencil, salah satunya dengan gerakan AMD (ABRI Masuk Desa). Keikutsertaan militer dalam bidang politik secara umum bersifat antipartai. Militer percaya bahwa mereka merupakan pihak yang setia kepada modernisasi dan pembangunan. Sedangkan partai politik dipandang memiliki kepentingan-kepentingan golongan tersendiri.

Keterlibatan ABRI di sektor eksekutif sangat nyata terutama melalui Golkar. Hubungan ABRI dan Golkar disebut sebagai hubungan yang bersifat simbiosis mutualisme. Contohnya pada Munas I Golkar di Surabaya (4-9 September 1973), ABRI mampu menempatkan perwira aktif ke dalam Dewan Pengurus Pusat. Selain itu, hampir di seluruh daerah tingkat I dan daerah tingkat II jabatan ketua Golkar dipegang oleh ABRI aktif. Selain itu, terpilihnya Sudharmono sebagai wakil militer pada pucuk pemimpin Golkar (pada Munas III) juga menandakan bahwa Golkar masih di bawah kendali militer.

Selain dalam sektor eksekutif, ABRI dalam bidang politik juga terlibat dalam sektor legislatif. Meskipun militer bukan kekuatan politik yang ikut serta dalam pemilihan umum, mereka tetap memiliki wakil dalam jumlah besar (dalam DPR dan MPR) melalui Fraksi Karya ABRI. Namun keberadaan ABRI dalam DPR dipandang efektif oleh beberapa pihak dalam rangka mengamankan kebijaksanaan eksekutif dan meminimalisasi kekuatan kontrol DPR terhadap eksekutif. Efektivitas ini diperoleh dari adanya sinergi antara Fraksi ABRI dan Fraksi Karya Pembangunan dalam proses kerja DPR; serta adanya perangkat aturan kerja DPR yang dalam batas tertentu membatasi peran satu fraksi secara otonom. Dalam MPR sendiri, ABRI (wakil militer) mengamankan nilai dan kepentingan pemerintah dalam formulasi kebijakan oleh MPR.

Pada masa Orde Baru, pelaksanaan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a). Banyaknya jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon, Menteri, bahkan Duta Besar diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan”, (b). Selain dilakukannya pembentukan Fraksi ABRI di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “partai politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c). ABRI melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan lain sebagainya.

  1. Rehabilitasi Ekonomi Orde Baru

Seperti yang telah diuraikan di atas, stabilisasi polkam diperlukan untuk pembangunan ekonomi bagi kesejahteraan rakyat. Kondisi ekonomi yang diwarisi Orde Lama adalah sangat buruk. Sektor produksi barang-barang konsumsi misalnya hanya berjalan 20% dari kapasitasnya. Demikian pula sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi salah satu tumpuan ekspor juga tidak mengalami perkembangan yang berarti. Hutang yang jatuh tempo pada akhir Desember 1965, seluruhnya berjumlah 2,358 Juta dollar AS. Dengan Perincian negara-negara yang memberikan hutang pada masa Orde Lama adalah blok negara komunis (US $ 1.404 juta), negara Barat (US $ 587 juta), sisanya pada negara-negara Asia dan badan-badan internasional.

Program rehabilitasi ekonomi Orde Baru dilaksanakan berlandaskan pada Tap MPRS No.XXIII/1966 yang isinya antara lain mengharuskan diutamakannya masalah perbaikan ekonomi rakyat di atas segala soal-soal nasional yang lain, termasuk soal-soal politik. Konsekuensinya kebijakan politik dalam dan luar negeri pemerintah harus sedemikian rupa hingga benar-benar membantu perbaikan ekonomi rakyat.Bertolak dari kenyataan ekonomi seperti itu, maka prioritas pertama yang dilakukan pemerintah untuk rehabilitasi ekonomi adalah memerangi atau mengendalikan hiperinflasi antara lain dengan menyusun APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara) berimbang. Sejalan dengan kebijakan itu pemerintah Orde Baru berupaya menyelesaikan masalah hutang luar negeri sekaligus mencari hutang baru yang diperlukan bagi rehabilitasi maupun pembangunan ekonomi berikutnya.

Untuk menanggulangi masalah hutang-piutang luar negeri itu, pemerintah Orde Baru berupaya melakukan diplomasi yang intensif dengan mengirimkan tim negosiasinya ke Paris, Perancis (Paris Club), untuk merundingkan hutang piutang negara, dan ke London , Inggris (London Club) untuk merundingkan hutang-piutang swasta. Sebagai bukti keseriusan dan itikad baik untuk bersahabat dengan negara para donor, pemerintah Orde Baru sebelum pertemuan Paris Club telah mencapai kesepakatan terlebih dahulu dengan pemerintah Belanda mengenai pembayaran ganti rugi sebesar 165 juta dollar AS terhadap beberapa perusahaan mereka yang dinasionalisasi oleh Orde Lama pada tahun 1958. Begitu pula dengan Inggris telah dicapai suatu kesepakatan untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan Inggris yang kekayaannya disita oleh pemerintah RI semasa era konfrontasi pada tahun 1965.

Sejalan dengan upaya diplomasi ekonomi, pada 10 Januari 1967 pemerintah Orde Baru memberlakukan UU No.1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA) . Dengan UU PMA, pemerintah ingin menunjukan kepada dunia internasional bahwa arah kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah Orde Baru, berbeda dengan Orde Lama. Orde Baru tidak memusuhi investor asing dengan menuduh sebagai kaki tangan imperialisme. Sebaliknya, aktivitas mereka dipandang sebagai prasyarat yang dibutuhkan oleh sebuah negara yang ingin membangun perekonomiannya. Dengan bantuan modal mereka, selayaknya mereka didorong dan dikembangkan untuk memperbanyak investasi dalam berbagai bidang ekonomi. Sebab dengan investasi mereka, lapangan kerja akan segera tercipta dengan cepat tanpa menunggu pemerintah memiliki uang terlebih dahulu untuk menggerakan roda pembangunan nasional.

Upaya diplomasi ekonomi ke negara-negara Barat dan Jepang itu, tidak hanya berhasil mengatur penjadwalan kembali pembayaran hutang negara dan swasta yang jatuh tempo, melainkan juga mampu meyakinkan dan menggugah negara-negara tersebut untuk membantu Indonesia yang sedang terpuruk ekonominya. Hal ini terbukti antara lain dengan dibentuknya lembaga konsorsium yang bernama Inter Governmental Group on Indonesia(IGGI) . Proses pembentukan IGGI diawali oleh suatu pertemuan antara para negara yang memiliki komitmen untuk membantu Indonesia pada bulan Februari 1967, di Amsterdam. Inisiatif itu datang dari pemerintah Belanda. Pertemuan ini juga dihadiri oleh delegasi Indonesia dan lembaga-lembaga bantuan internasional. Dalam pertemuan itu disepakati untuk membentuk IGGI dan Belanda ditunjuk sebagai ketuanya.

Selain mengupayakan masuknya dana bantuan luar negeri, pemerintah Orde Baru juga berupaya menggalang dana dari dalam negeri yaitu dana masyarakat. Salah satu strategi yang dilakukan oleh pemerintah bersama–sama Bank Indonesia dan bank-bank milik negara lainnya adalah berupaya agar masyarakat mau menabung.

Upaya lain adalah menerbitkan UU Penanaman Modal Dalam Negeri (UUPMDN) No.6 1968. Satu hal dari UUPMDN adalah adanya klausal yang menarik yang menyebutkan bahwa dalam penanaman modal dalam negeri, perusahaan-perusahaan Indonesia harus menguasai 51% sahamnya. Untuk menindaklanjuti dan mengefektifkan UUPMA dan UUPMDN pada tatanan pelaksanaannya, pemerintah membentuk lembaga-lembaga yang bertugas menanganinya. Pada 19 Januari 1967, pemerintah membentuk Badan Pertimbangan Penanaman Modal (BPPM). Berdasarkan Keppres no.286/1968 badan itu berubah menjadi Team Teknis Penanaman Modal (TTPM). Pada Tahun 1973, TTPM digantikan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) hingga saat ini.

Kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintah pada awal Orde Baru mulai menunjukan hasil positif. Hiperinflasi mulai dapat dikendalikan, dari 650% menjadi 120% (1967), dan 80% (1968), sehingga pada tahun itu diputuskan bahwa Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) pertama akan dimulai pada tahun berikutnya (1969). Setelah itu pada tahun-tahun berikutnya inflasi terus menurun menjadi 25% (1969), 12% (1970), dan 10% (bahkan sampai 8.88%) pada tahun 1971.

  1. Kebijakan Pembangunan Orde Baru

Tujuan perjuangan Orde Baru adalah menegakkan tata kehidupan bernegara yang didasarkan atas kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan tujuan tersebut maka ketika kondisi politik bangsa Indonesia mulai stabil untuk melaksanakan amanat masyarakat maka pemerintah mencanangkan pembangunan nasional yang diupayakan melalui Program Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui pembangunan lima tahun (Pelita) yang di dalamnya memiliki misi pembangunan dalam rangka mencapai tingkat kesejahteraan bangsa Indonesia. Pada masa ini pengertian pembangunan nasional adalah suatu rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang meliputi seluruh kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Pembangunan nasional dilakukan untuk melaksanakan tugas mewujudkan tujuan nasional yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.Dalam usaha mewujudkan tujuan nasional maka Majelis Permusyawaratan Rakyat sejak tahun 1973-1978-1983-1988-1993 menetapkan garis-garis besar haluan negara (GBHN). GBHN merupakan pola umum pembangunan nasional dengan rangkaian program-programnya yang kemudian dijabarkan dalam rencana pembangunan lima tahun (Repelita). Adapun Repelita yang berisi program-program kongkrit yang akan dilaksanakan dalam kurun waktu lima tahun, dalam repelita ini dimulai sejak tahun 1969 sebagai awal pelaksanaan pembangunan jangka pendek dan jangka panjang. Kemudian terkenal dengan konsep Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (1969-1994) menurut indikator saat itu pembangunan dianggap telah berhasil memajukan segenap aspek kehidupan bangsa dan telah meletakkan landasan yang cukup kuat bagi bangsa Indonesia untuk memasuki Pembangunan Jangka Panjang Tahap II (1995-2020).

Pemerintahan Orde Baru senantiasa berpedoman pada tiga konsep pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan Trilogi Pembangunan, yaitu: (1) pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya yang menuju pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat; (2) pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi; dan (3) stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

 

Integrasi Timor-Timur

Integrasi Timor-Timur ke dalam wilayah Indonesia tidak terlepas dari situasi politik internasional saat itu, yaitu Perang Dingin dimana konstelasi geopolitik kawasan Asia Tenggara saat itu terjadi perebutan pengaruh dua blok yang sedang bersaing yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet). Dengan kekalahan Amerika Serikat di Vietnam pada tahun 1975, berdasarkan teori domino yang diyakini oleh Amerika Serikat

bahwa kejatuhan Vietnam ke tangan kelompok komunis akan merembet ke wilayah–wilayah lainnya. Berdirinya pemerintahan Republik Demokratik Vietnam yang komunis dianggap sebagai ancaman yang bisa menyebabkan jatuhnya negara-negara di sekitarnya ke tangan pemerintahan komunis.

 Kemenangan komunis di Indocina (Vietnam) secara tidak langsung juga membuat khawatir para elit Indonesia (khususnya pihak militer). Pada saat yang sama di wilayah koloni Portugis (Timor-Timur) yang berbatasan secara langsung dengan wilayah Indonesia terjadi krisis politik. Krisis itu sendiri terjadi sebagai dampak kebebasan yang diberikan oleh pemerintah

baru Portugal di bawah pimpinan Jenderal Antonio de Spinola. Ia telah melakukan perubahan dan berusaha mengembalikan hak-hak sipil, termasuk hak demokrasi masyarakatnya, bahkan dekolonisasi.

Di Timor-Timur muncul tiga partai politik besar yang memanfaatkan kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Portugal. Ketiga partai politik itu adalah: (1) Uniao Democratica Timorense (UDT-Persatuan Demokratik Rakyat Timor) yang ingin merdeka secara bertahap. Untuk tahap awal UDT menginginkan Timor-Timur menjadi negara bagian dari Portugal: (2) Frente Revoluciondria de Timor Leste Independente (Fretilin-Front Revolusioner Kemerdekaan Timor-Timur) yang radikal –Komunis dan ingin segera merdeka; dan (3) Associacau Popular Democratica Timurense (Apodeti- Ikatan Demokratik Popular Rakyat Timor) yang ingin bergabung dengan Indonesia. Selain itu terdapat dua partai kecil, yaitu Kota dan Trabalhista.

Ketiga partai tersebut saling bersaing, bahkan timbul konflik berupa perang saudara. Pada tanggal 31 Agustus 1974 ketua umum Apodeti, Arnaldo dos Reis Araujo, menyatakan partainya menghendaki bergabung dengan Republik Indonesia sebagai provinsi ke-27. Pertimbangan yang diajukan adalah rakyat di kedua wilayah tersebut mempunyai persamaan dan hubungan yang erat, baik secara historis dan etnis maupun geografis. Menurutnya integrasi akan menjamin stabilitas politik di wilayah tersebut. Pernyataan tokoh Apodeti itu

mendapat respons yang cukup positif dari para elit politik Indonesia, terutama dari kalangan elit militer, yang pada dasarnya memang merasa khawatir jika Timor-Timur yang berada di “halaman belakang” jatuh ke tangan komunis. Meskipun demikian, pemerintah Indonesia tidak serta-merta menerima begitu saja keinginan orang-orang Apodeti.

Keterlibatan Indonesia secara langsung di Timor-Timur terjadi setelah adanya permintaan dari para pendukung “Proklamasi Balibo” yang terdiri UDT bersama Apodeti, Kota, dan Trabalista. Keempat partai itu pada tanggal 30 November 1975 di Kota Balibo mengeluarkan pernyataan untuk bergabung dengan pemerintahan Republik Indonesia. Pada tanggal 31 Mei 1976 DPR Timor-Timur mengeluarkan petisi yang isinya mendesak pemerintah Republik Indonesia agar secepatnya menerima dan mengesahkan bersatunya rakyat dan wilayah Timor Timur ke dalam Negara Republik Indonesia.

Atas keinginan bergabung rakyat Timor Timur dan permintaan bantuan yang diajukan, pemerintah Indonesia lalu menerapkan “Operasi Seroja” pada Desember 1975. Operasi militer ini diam-diam didukung oleh Amerika Serikat (AS) yang tidak ingin pemerintahan komunis berdiri di Timor Timur. Pada masa itu Perang Dingin antara AS dengan Uni Soviet yang komunis memang tengah berlangsung.

Bersamaan dengan operasi-operasi keamanan yang dilakukan, pemerintah Indonesia dengan cepat juga menjalankan proses pengesahan Timor Timur ke dalam wilayah Indonesia dengan mengeluarkan UU No. 7 Tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan pembentukan Daerah Tingkat I Timor Timur. Pengesahan ini akhirnya diperkuat melalui Tap MPR Nomor IV/MPR/1978. Timor Timur secara resmi menjadi propinsi ke-27 di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia.

  

Dampak Kebijakan Politik dan Ekonomi Masa Orde Baru

Pendekatan keamanan yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru dalam menegakkan stabilisasi nasional secara umum memang berhasil menciptakan suasana aman bagi masyarakat Indonesia. Pembangunan ekonomi pun berjalan baik dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena setiap program pembangunan pemerintah terencana dengan baik dan hasilnya dapat terlihat secara konkret. Indonesia berhasil mengubah status dari negara

pengimpor beras menjadi bangsa yang bisa memenuhi kebutuhan beras sendiri (swasembada beras). Penurunan angka kemiskinan yang diikuti dengan perbaikan kesejahteraan rakyat, penurunan angka kematian bayi, dan angka partisipasi pendidikan dasar yang meningkat.

Namun, di sisi lain kebijakan politik dan ekonomi pemerintah Orde Baru juga memberi beberapa dampak yang lain, baik di bidang ekonomi dan politik. Dalam bidang politik, pemerintah Orde Baru cenderung bersifat otoriter. Presiden mempunyai kekuasaan yang sangat besar dalam mengatur jalannya pemerintahan. Peran negara menjadi semakin kuat yang menyebabkan timbulnya pemerintahan yang sentralistis. Pemerintahan sentralistis ditandai dengan adanya pemusatan penentuan kebijakan publik pada pemerintah pusat. Pemerintah daerah diberi peluang yang sangat kecil untuk mengatur pemerintahan dan mengelola anggaran daerahnya sendiri. Otoritarianisme merambah segenap aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara termasuk kehidupan politik.

Pemerintah Orde Baru dinilai gagal memberikan pelajaran berdemokrasi yang baik. Golkar dianggap menjadi alat politik untuk mencapai stabilitas yang diinginkan. Sementara dua partai lainnya hanya sebagai alat pendamping agar tercipta citra sebagai negara demokrasi. Sistem perwakilan bersifat semu bahkan hanya dijadikan topeng untuk melanggengkan sebuah kekuasaan secara sepihak. Demokratisasi yang terbentuk didasarkan pada KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), sehingga banyak wakil rakyat yang duduk di MPR/DPR yang tidak mengenal rakyat dan daerah yang diwakilinya.

Meskipun pembangunan ekonomi Orde Baru menunjukan perkembangan yang menggembirakan, namun dampak negatifnya juga cukup banyak. Dampak negatif ini disebabkan kebijakan Orde Baru yang terlalu memfokuskan/mengejar pada pertumbuhan ekonomi, yang berdampak buruk bagi terbentuknya mentalitas dan budaya korupsi para pejabat di Indonesia. Distribusi hasil pembangunan dan pemanfaatan dana untuk pembangunan tidak dibarengi kontrol yang efektif dari pemerintah terhadap aliran dana tersebut sangat rawan untuk disalahgunakan. Pertumbuhan ekonomi tidak dibarengi dengan terbukanya akses dan distribusi yang merata sumber-sumber ekonomi kepada masyarakat. Hal ini berdampak pada munculnya kesenjangan sosial dalam masyarakat Indonesia, kesenjangan kota dan desa, kesenjangan kaya dan miskin, serta kesenjangan sektor industri dan sektor pertanian.

Selain masalah–masalah di atas, tidak sedikit pengamat hak asasi manusia (HAM) dalam dan luar negeri yang menilai bahwa pemerintahan Orde Baru telah melakukan tindakan antidemokrasi dan diindikasikan telah melanggar HAM. Amnesty International misalnya dalam laporannya pada 10 Juli 1991 menyebut Indonesia dan beberapa negara Timur Tengah, Asia Pasifik, Amerika Latin, dan Eropa Timur sebagai pelanggar HAM. Human Development Report 1991 yang disusun oleh United Nations Development Program (UNDP) juga menempatkan Indonesia kepada urutan ke-77 dari 88 pelanggar HAM (Anhar Gonggong ed, 2005:190).

Sekalipun Indonesia menolak laporan kedua lembaga internasional tadi dengan alasan tidak “fair”dan kriterianya tidak jelas, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa di dalam negeri sendiri pemerintah Orde Baru dinilai telah melakukan beberapa tindakan yang berindikasi pelanggaran HAM. Dalam kurun waktu 1969-1983 misalnya, dapat disebut peristiwa Pulau Buru (Tempat penjara bagi orang-orang yang diindikasikan terlibat PKI) (1969-1979), Peristiwa Malari (Januari 1974) yang berujung pada depolitisasi kampus. Kemudian pencekalan terhadap Petisi 50 (5 Mei 1980). Pada kurun waktu berikutnya, (1983-1988), terdapat dua peristiwa, yaitu Peristiwa Penembakan Misterius –Petrus (Juli 1983), Peristiwa Tanjung Priok (September 1984). Pada kurun 1988-1993, terdapat Peristiwa Warsidi (Februari 1989), Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh (1989-1998), Santa Cruz (November 1991), Marsinah (Mei 1993), Haur Koneng (Juli 1993), dan Peristiwa Nipah (September 1993).

Sedangkan dalam kurun 1993-1998 antara lain terjadi Peristiwa Jenggawah (Januari 1996), Padang Bulan (Februari 1996), Freeport (Maret 1996), Abepura (Maret 1996), Kerusuhan Situbondo (Oktober 1996), Dukun Santet Banyuwangi (1998), Tragedi Trisakti (12 Mei 1998).

Dengan situasi politik dan ekonomi seperti di atas, keberhasilan pembangunan nasional yang menjadi kebanggaan Orde Baru yang berhasil meningkatkan Gross National Product (GNP) Indonesia ke tingkat US$ 600 di awal tahun 1980-an, kemudian meningkat lagi sampai US$ 1.300 perkapita di awal dekade 1990-an, serta menobatkan Presiden Soeharto sebagai “Bapak

Pembangunan” menjadi seolah tidak bermakna. Meskipun pertumbuhan ekonomi meningkat, tetapi secara fundamental pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang justru menjadi penyumbang terbesar devisa negara seperti di Riau, Kalimantan Timur dan Irian Barat/Papua. Faktor inilah yang selanjutnya menjadi salah satu penyebab terpuruknya perekenomian Indonesia menjelang akhir tahun 1997.

 

Referensi:

Abdurakhman, dkk. 2018.Sejarah Indonesia Kelas XII. Jakarta: Kemdikbud

https://teknikutama.co.id/stabilisasi-politik-dan-rehabilitasi-ekonomi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer