Nama Idris Reksoatmodjo tersemat pada nama jalan di antara lapangan merdeka dengan Kantor Kecamatan Sekampung, Lampung Timur. Di kecamatan inilah, pada tahun 1949 lalu pernah terjadi gejolak revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda. Idris Reksoatmodjo adalah satu diantara tokoh yang memperjuangkan itu.
Oleh:
Adi Setiawan
Jalan
Idris Reksoatmojo di Sekampung, Lampung Timur
(Sumber:
Dok. Penulis, 2025)
Idris Reksoatmodjo adalah satu diantara tokoh yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Namun setelah Republik Indonesia berdiri memilih untuk berjuang demi tegaknya NKRI. Kariernya sebagai pegawai pemerintah pernah tercatat dalam koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (17-02-1933). Pada rubrik mutasi pegawai dijelaskan bahwa Gubernur Jawa Tengah menunjukan beberapa pegawai untuk menempati jabatan di lingkungan pemerintahan Jawa Tengah. Salah satu nama yang tertera adalah Idris Reksoatmodjo. Dijelaskan Idris Reksoatmodjo mendapatkan jabatan di Kantor Karesidenan Banyumas.
Mutasi
Pegawai di Jawa Tengah
(Sumber:
Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 17-02-1933)
Pemberitaan serupa juga diberitakan
oleh De Locomotief (18-02-1933), menyebutkan terjadi mutasi jabatan yang
dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, diantaranya:
1.
Moeksin, sebagai juru tulis golongan I
pada Camat Sapuran, kabupaten Wonosobo
2.
Mas Soewondo, penulis kelas 1 di Kantor
Asisten Residen Pati, Kabupaten Pati.
3.
Mas Idris Reksoatmodjo, penulis
angkatan 1 di Kantor Karesidenan Banyumas.
4.
Mas Soegeng, penulis kelas 1 pada Kantor
Kependudukan Semarang, Kabupaten dan Kota Semarang.
5. Mas
Basir alias Soerengsoewito, penulis angkatan 1, di Kabupaten Batang.
Pada
tanggal 1 Januari 1949 saat hari beranjak gelap terjadi sebuah rapat bersejarah
di Gedung PU Metro. Rapat itu terlaksana tidak terlepas dari ide R. Soekarso,
Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU) Metro dengan Wedana Metro, Idris
Reksoatmodjo. Pada rapat itu berkumpulah para pemimpin di Kawedanaan Metro, ada
pimpinan pemerintahan, pimpinan tentara, pimpinan berbagai partai politik,
pimpinan laskar rakyat serta badan-badan perjuangan. Mereka berkumpul sebagai
langkah mengambil ‘ancang-ancang’ menghalau serangan Belanda di Metro. Karena
sebelumnya, Belanda telah berhasil memaksa pemerintahan Karesidenan Lampung
mundur keluar kota. Menghadapi kenyataan itu, pemerintahan di Metro berusaha
untuk mengambil strategi menghadapi gerak laju pasukan Belanda (Soepangat dkk, 1994:409).
Rapat
dimulai sekitar pukul 19.00 WIB dan berlangsung sekitar 4 jam itu dihadiri
tokoh-tokoh penting di Lampung Tengah, diantaranya adalah:
- Zainabun
Djayasinga (Bupati Lampung Tengah)
- Idris
Reksoatmodjo (Wedana Metro)
- R. Soeroto
(Camat Trimurjo/Koordinator Kawedanan)
- Dastro
Gondowardoyo (Lurah Metro)
- Wirjohardjo
(Dinas Pertanian)
- R. Soekarso
(Kepala PU Metro)
- Suleman
(Komisaris Polisi)
- Arif Mahya
(Pimpinan Hisbullah)
- Imam
Mangkudun (Pimpinan Masyumi)
- Tajudin
(Pimpinan Sabillilah)
- Surowinoto
- Dirdjopawiro
- Kiyai Kayad
(Kepala Jawatan Agama
- Slamet
(Kepala Jawatan Penerangan)
- Dokter Kasmir
- Kapten Harun
Hadimarto (Perwira Distrik Militer)
- Letda
Sutrasno (Bintara Onder Distrik Militer)
- Komandan CPM
Serma Yahya Murad)
- Hardjo Wasito
(Pendeta)
- R. Soedarsono (Pimpinan Laskar Rakyat)
Pada
tanggal 3 Januari 1949, pasukan Belanda memasuki Metro. Sejak itu pertempuran
kecil-kecilan atau istilahnya tembak lari, dengan taktik perang gerilya
berkecamuk di Metro. Menyadari bahwa pergerakan pasukan Belanda di Metro yang
mulai meluas, maka dilakukan evaluasi terhadap strategi dan taktik
menghadapinya (R. Soedarsono).
Berkumpullah
pejuang sipil dan militer di Bedeng 49, Desa Rejoagung, Batanghari. Diantaranya
Idris Reksoatmodjo, Mayor Harun Hadimarto, Letnan II Sutrisno, R. Soedarsono,
Letnan Muda Soerotomo, Camat Metro, Arifin Samil, Camat R. Soeroto,
Soerowinoto, Dirjoprawiro, Agus Ganda Saputra, Kapten R. Soemarto, Letnan
Soepardi, Lurah Bedeng 44, 45, 46, 47, 49 dan beberapa orang yang tidak kami
ingat lagi. Mengenai hasil rapat diputuskan pembentukan Pemerintahan Darurat
dengan susunan sebagai berikut:
- Idris
Reksoatmodjo (Bupati Perang)
- Arifin Samil
(Penghubung dengan Pemerintahan Darurat di Sukoharjo, Pringsewu)
- R. Soeroto
(Penghubung dengan Seluruh Camat di Kawedanan Metro)
- R. Soekarso
dan Agus Ganda Saputra (Bagian Penerangan dan Agitasi Propaganda)
- R. Soedarsono
(Penggerak Pemuda dan Laskar)
- Soerowinoto
(Ketua Bagian Logistik)
- Dirjoprawiro (Wakil Ketua Bagian Logistik)
- Seluruh camat di Kawedanan Metro menjadi camat perang dan diwajibkan memberikan bantuan (Soepangat dkk, 1994:411).
Idris
Reksoatmodjo bersama aparat sipil dan militer yang tergabung dalam Pemerintahan
Darurat bertanggung jawab terhadap pemerintahan di Metro dan sekitarnya,
terutama dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda serta menjaga
eksistensi NKRI. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Mulkarnaen Gele Harun
Nasution, dkk. (2015:58) bahwa dalam Pemerintahan Darurat sistem pemerintahan
republik merupakan gabungan dari unsur-unsur sipil dan militer. Setiap komandan
batalion diberi wewenang oleh Komandan TNI Sub-Teritorial untuk membentuk
pemerintahan gerilya di daerah pedalaman.
Idris
Reksoatmodjo
(Sumber:
Yanthie DK)
Saat menghadapi pasukan Belanda strategi perang TNI secara umum tidak melakukan perlawanan frontal terhadap musuh. Secara teratur mereka menyingkir ke luar kota dan keluar jalan-jalan raya yang berada di bawah kendali pasukan Belanda. Mereka kemudian melakukan konsolidasi untuk menciptakan taktik gerilya dari daerah pedalaman (Mulkarnaen Gele Harun Nasution, dkk. 2015:57).
Sementara itu Pusat Komando Perang dan Pemerintahan Darurat yang semula berada di Bedeng 49 dan Bedeng 35 dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei sudah beberapa kali pindah tempat. Bahkan pemerintahan darurat juga pernah dipindahkan sampai ke wilayah Sekampung tepatnya di Bedeng 57 B. Pemerintahan Darurat saat itu masih berada di bawah pimpinan Idris Reksoatmodjo yang diikuti oleh R. Soekarso, R. Soeroto, Soedarsono dan tokoh-tokoh lain. Akibat Metro yang dirasa sudah tidak aman bagi Pemerintahan Darurat akhirnya dipindahkan hingga ke Umbul Beringin, Way Jepara.
Atas desakan dari dunia internasional Indonesia dan Belanda kemudian melakukan perundingan kembali di Denhaag, Belanda. Perundingan itu dikenal dengan nama Konferensi Meja Bundar. Setelah Pemerintah Indonesia dengan Belanda menyetujui hasil Konferensi Meja Bundar. Sedangkan Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia di Lampung Tengah dilakukan di Sukadana pada tanggal 27 Desember 1949. Maka pada tanggal 1 Januari 1950 seluruh pasukan kita keluar dari hutan-hutan untuk kembali ke kota (Vredy Saputra, dkk. 2014). Barulah kondisi keamanan di Metro dan sekitarnya dapat terjaga. Semenjak itu, menegakan pemerintah di daerah mulai dilakukan. Lampung yang berbentuk karesidenan, pemerintahan terbagi atas Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Lampung Utara.
Sementara
itu peran Idris Reksotmodjo setelah berakhirnya perang, ia pernah menjabat
sebagai camat di Kecamatan Batanghari, Lampung Tengah hingga tahun 1951.
Referensi:
Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië,17 Februari 1933
De Locomotief, 18
Februari 1933
Nasution, Mulkarnaen
Gele Harun. dkk. 2015. Gele Harun Residen Perang Menyelamatkan Kemerdekaan
Masa Pemerintahan Darurat (1948-1949). Bandar Lampung: AURA
Pemerintah Kec.
Batanghari. 2015. Memori Serah Terima Jabatan Camat Batanghari Tahun 2015.
Batanghari: Pemerintah Kec. Batanghari
R. Soedarsono.
Tt. Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R.
Soekarso
Saputra, Vredy
dkk, 2014. Pertempuran Di Wilayah Metro Kabupaten Lampung Tengah Pada Agresi Belanda
II. Jurnal Pesagi. Vol 2 No. 5. 2014 dalam
http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/ article/view/6627
Soepangat, dkk.
1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku I. Bandar
Lampung: DHD Angkatan 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar