Jumat, 30 Mei 2025

Idris Reksoatmodjo: Dari Pegawai Karesidenan Hingga Bupati Perang

Nama Idris Reksoatmodjo tersemat pada nama jalan di antara lapangan merdeka dengan Kantor Kecamatan Sekampung, Lampung Timur. Di kecamatan inilah, pada tahun 1949 lalu pernah terjadi gejolak revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda. Idris Reksoatmodjo adalah satu diantara tokoh yang memperjuangkan itu.

Oleh: Adi Setiawan 

Jalan Idris Reksoatmojo di Sekampung, Lampung Timur

(Sumber: Dok. Penulis, 2025)

 

            Idris Reksoatmodjo adalah satu diantara tokoh yang pernah bekerja sebagai pegawai pemerintahan Hindia Belanda. Namun setelah Republik Indonesia berdiri memilih untuk berjuang demi tegaknya NKRI. Kariernya sebagai pegawai pemerintah pernah tercatat dalam koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (17-02-1933). Pada rubrik mutasi pegawai dijelaskan bahwa Gubernur Jawa Tengah menunjukan beberapa pegawai untuk menempati jabatan di lingkungan pemerintahan Jawa Tengah. Salah satu nama yang tertera adalah Idris Reksoatmodjo. Dijelaskan Idris Reksoatmodjo mendapatkan jabatan di Kantor Karesidenan Banyumas.

 

Mutasi Pegawai di Jawa Tengah

(Sumber: Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 17-02-1933)

              

            Pemberitaan serupa juga diberitakan oleh De Locomotief (18-02-1933), menyebutkan terjadi mutasi jabatan yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, diantaranya:

1.     Moeksin, sebagai juru tulis golongan I pada Camat Sapuran, kabupaten Wonosobo

2.     Mas Soewondo, penulis kelas 1 di Kantor Asisten Residen Pati, Kabupaten Pati.

3.     Mas Idris Reksoatmodjo, penulis angkatan 1 di Kantor Karesidenan Banyumas.

4.     Mas Soegeng, penulis kelas 1 pada Kantor Kependudukan Semarang, Kabupaten dan Kota Semarang.

5.     Mas Basir alias Soerengsoewito, penulis angkatan 1, di Kabupaten Batang.

             Sebagai pegawai pemerintah, Idris Reksoatmodjo kemudian mengalami pindah tugas ke Lampung, tepatnya di Metro. Di daerah kolonisasi inilah, Idris Reksoatmodjo menunjukan jiwa nasionalis membela NKRI. Pria kelahiran tahun 1901 ini, tercatat sebagai salah satu tokoh yang bergelut dalam Pemerintahan Darurat di Metro, kala pasukan Belanda melakukan serangan pada tahun 1949.  

Pada tanggal 1 Januari 1949 saat hari beranjak gelap terjadi sebuah rapat bersejarah di Gedung PU Metro. Rapat itu terlaksana tidak terlepas dari ide R. Soekarso, Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU) Metro dengan Wedana Metro, Idris Reksoatmodjo. Pada rapat itu berkumpulah para pemimpin di Kawedanaan Metro, ada pimpinan pemerintahan, pimpinan tentara, pimpinan berbagai partai politik, pimpinan laskar rakyat serta badan-badan perjuangan. Mereka berkumpul sebagai langkah mengambil ‘ancang-ancang’ menghalau serangan Belanda di Metro. Karena sebelumnya, Belanda telah berhasil memaksa pemerintahan Karesidenan Lampung mundur keluar kota. Menghadapi kenyataan itu, pemerintahan di Metro berusaha untuk mengambil strategi menghadapi gerak laju pasukan Belanda (Soepangat dkk, 1994:409).

Rapat dimulai sekitar pukul 19.00 WIB dan berlangsung sekitar 4 jam itu dihadiri tokoh-tokoh penting di Lampung Tengah, diantaranya adalah: 

  1. Zainabun Djayasinga (Bupati Lampung Tengah)
  2. Idris Reksoatmodjo (Wedana Metro)
  3. R. Soeroto (Camat Trimurjo/Koordinator Kawedanan)
  4. Dastro Gondowardoyo (Lurah Metro)
  5. Wirjohardjo (Dinas Pertanian)
  6. R. Soekarso (Kepala PU Metro)
  7. Suleman (Komisaris Polisi)
  8. Arif Mahya (Pimpinan Hisbullah)
  9. Imam Mangkudun (Pimpinan Masyumi)
  10. Tajudin (Pimpinan Sabillilah)
  11. Surowinoto
  12. Dirdjopawiro
  13. Kiyai Kayad (Kepala Jawatan Agama
  14. Slamet (Kepala Jawatan Penerangan)
  15. Dokter Kasmir
  16. Kapten Harun Hadimarto (Perwira Distrik Militer)
  17. Letda Sutrasno (Bintara Onder Distrik Militer)
  18. Komandan CPM Serma Yahya Murad)
  19. Hardjo Wasito (Pendeta)
  20. R. Soedarsono (Pimpinan Laskar Rakyat) 

Pada tanggal 3 Januari 1949, pasukan Belanda memasuki Metro. Sejak itu pertempuran kecil-kecilan atau istilahnya tembak lari, dengan taktik perang gerilya berkecamuk di Metro. Menyadari bahwa pergerakan pasukan Belanda di Metro yang mulai meluas, maka dilakukan evaluasi terhadap strategi dan taktik menghadapinya (R. Soedarsono).

Berkumpullah pejuang sipil dan militer di Bedeng 49, Desa Rejoagung, Batanghari. Diantaranya Idris Reksoatmodjo, Mayor Harun Hadimarto, Letnan II Sutrisno, R. Soedarsono, Letnan Muda Soerotomo, Camat Metro, Arifin Samil, Camat R. Soeroto, Soerowinoto, Dirjoprawiro, Agus Ganda Saputra, Kapten R. Soemarto, Letnan Soepardi, Lurah Bedeng 44, 45, 46, 47, 49 dan beberapa orang yang tidak kami ingat lagi. Mengenai hasil rapat diputuskan pembentukan Pemerintahan Darurat dengan susunan sebagai berikut:

  1. Idris Reksoatmodjo (Bupati Perang)
  2. Arifin Samil (Penghubung dengan Pemerintahan Darurat di Sukoharjo, Pringsewu)
  3. R. Soeroto (Penghubung dengan Seluruh Camat di Kawedanan Metro)
  4. R. Soekarso dan Agus Ganda Saputra (Bagian Penerangan dan Agitasi Propaganda)
  5. R. Soedarsono (Penggerak Pemuda dan Laskar)
  6. Soerowinoto (Ketua Bagian Logistik)
  7. Dirjoprawiro (Wakil Ketua Bagian Logistik)
  8. Seluruh camat di Kawedanan Metro menjadi camat perang dan diwajibkan memberikan bantuan (Soepangat dkk, 1994:411).

 

Idris Reksoatmodjo bersama aparat sipil dan militer yang tergabung dalam Pemerintahan Darurat bertanggung jawab terhadap pemerintahan di Metro dan sekitarnya, terutama dalam melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda serta menjaga eksistensi NKRI. Hal ini seperti yang dijelaskan oleh Mulkarnaen Gele Harun Nasution, dkk. (2015:58) bahwa dalam Pemerintahan Darurat sistem pemerintahan republik merupakan gabungan dari unsur-unsur sipil dan militer. Setiap komandan batalion diberi wewenang oleh Komandan TNI Sub-Teritorial untuk membentuk pemerintahan gerilya di daerah pedalaman.

 Pemerintahan Darurat menjadi bagian dari strategi menghadapi Belanda, ditingkat nasional Pemerintahan Darurat Republik Indonesia dijalankan oleh Mr. Syafruddin Prawiranegara di Sumatra Barat. Begitupun di Lampung Pemerintahan Darurat dilaksanakan di bawah pimpinan Mr. Gele Harun. Oleh karena itu Pemerintahan Darurat di Metro ini turut menyokong usaha pemerintah pusat dalam menegakan NKRI.

  Kondisi Metro dan sekitarnya antara Januari hingga April 1949 sering terjadi kontak senjata antara tentara yang dibantu laskar dengan pasukan Belanda. Tidak sedikit dalam kontak senjata itu menimbulkan korban jiwa baik dari TNI maupun rakyat. Pemerintahan Darurat Metro yang dipusatkan di Rejoagung, Batanghari terus berupaya merebut Metro dari tangan Belanda. Di beberapa daerah di sekitart Metro seperti Trimurjo, Pekalongan, Batanghari dan Sekampung menjadi ruang gerilya TNI bersama rakyat. 

Idris Reksoatmodjo

(Sumber: Yanthie DK)

Saat menghadapi pasukan Belanda strategi perang TNI secara umum tidak melakukan perlawanan frontal terhadap musuh. Secara teratur mereka menyingkir ke luar kota dan keluar jalan-jalan raya yang berada di bawah kendali pasukan Belanda. Mereka kemudian melakukan konsolidasi untuk menciptakan taktik gerilya dari daerah pedalaman (Mulkarnaen Gele Harun Nasution, dkk. 2015:57). 

Sementara itu Pusat Komando Perang dan Pemerintahan Darurat yang semula berada di Bedeng 49 dan Bedeng 35 dari bulan Januari sampai dengan bulan Mei sudah beberapa kali pindah tempat. Bahkan pemerintahan darurat juga pernah dipindahkan sampai ke wilayah Sekampung tepatnya di Bedeng 57 B. Pemerintahan Darurat saat itu masih berada di bawah pimpinan Idris Reksoatmodjo yang diikuti oleh R. Soekarso, R. Soeroto, Soedarsono dan tokoh-tokoh lain. Akibat Metro yang dirasa sudah tidak aman bagi Pemerintahan Darurat akhirnya dipindahkan hingga ke Umbul Beringin, Way Jepara. 

Atas desakan dari dunia internasional Indonesia dan Belanda kemudian melakukan perundingan kembali di Denhaag, Belanda. Perundingan itu dikenal dengan nama Konferensi Meja Bundar. Setelah Pemerintah Indonesia dengan Belanda menyetujui hasil Konferensi Meja Bundar. Sedangkan Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia di Lampung Tengah dilakukan di Sukadana pada tanggal 27 Desember 1949. Maka pada tanggal 1 Januari 1950 seluruh pasukan kita keluar dari hutan-hutan untuk kembali ke kota (Vredy Saputra, dkk. 2014). Barulah kondisi keamanan di Metro dan sekitarnya dapat terjaga. Semenjak itu, menegakan pemerintah di daerah mulai dilakukan. Lampung yang berbentuk karesidenan, pemerintahan terbagi atas Kabupaten Lampung Selatan, Lampung Tengah dan Lampung Utara. 

Sementara itu peran Idris Reksotmodjo setelah berakhirnya perang, ia pernah menjabat sebagai camat di Kecamatan Batanghari, Lampung Tengah hingga tahun 1951.

 

Referensi:

Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië,17 Februari 1933

 

De Locomotief, 18 Februari 1933

 

Nasution, Mulkarnaen Gele Harun. dkk. 2015. Gele Harun Residen Perang Menyelamatkan Kemerdekaan Masa Pemerintahan Darurat (1948-1949). Bandar Lampung: AURA

 

Pemerintah Kec. Batanghari. 2015. Memori Serah Terima Jabatan Camat Batanghari Tahun 2015. Batanghari: Pemerintah Kec. Batanghari

 

R. Soedarsono. Tt. Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso

 

Saputra, Vredy dkk, 2014. Pertempuran Di Wilayah Metro Kabupaten Lampung Tengah Pada Agresi Belanda II. Jurnal Pesagi. Vol 2 No. 5. 2014 dalam http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/ article/view/6627

 

Soepangat, dkk. 1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku I. Bandar Lampung: DHD Angkatan 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Idris Reksoatmodjo: Dari Pegawai Karesidenan Hingga Bupati Perang

Nama Idris Reksoatmodjo tersemat pada nama jalan di antara lapangan merdeka dengan Kantor Kecamatan Sekampung, Lampung Timur. Di kecamatan i...

Populer