Minggu, 29 Januari 2023

Pengaruh Hindu-Budha di Lampung

 Penulis: Adi Setiawan
 

Pengaruh Hindu-Budha menyebar luas di Nusantara, tak terkecuali di Lampung.



Pengaruh agama dan budaya Hindu-Budha di Nusantara pertama kali nampak di Kutai. Bukti-bukti prasasti memperkuat bahwa pertama kali agama Hindu-Budha memberikan pengaruh di wilayah ini. Setelah Kutai mulai berkembang pulai kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha lain seperti Sriwijaya di Sumatra, adapun di pulau Jawa nama Tarumanegara dapat dikatakan sebagi kerajaan bercorak Hindu-Budha yang awal berkembang di pulau ini. Di Indonesia kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha banyak meninggalkan prasasti. Melalui keberdaan prasasti tersebut kemudian dapat diungkap mengenai kehidupan sosial, politik serta budaya dari kerajaan-kerajaan tersebut.

Masa atau zaman Hindu-Budha di Indonesia dapat dikatakan sebagai zaman yang penting, hal itu karena pada masa itu mulai terjadi beberapa perubahan yang menyangkut berbagai sisi kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan hanya sekedar dalam bidang kepercayaan, adanya pengaruh dari Hindu-Budha memberikan warna bagi munculnya berbagai budaya, termasuk budaya tulis menulis. Hal itu sekaligus menandai bangsa Indonesia memasuki masa mengenal tulisan. 


Pengaruh Hindu-Budha di Lampung 

          Lampung sebagai wilayah yang ada di bagian barat Indonesia juga mendapatkan pengaruh dari agama dan budaya Hindu-Budha. Temuan benda-benda arkeologis semacam arca dan prasasti mengindikasikan bahwa pengaruh dari agama dan budaya Hindu-Budha pernah ada di Lampung walaupun jumlahnya masih kalah dengan benda-benda yang ditemukan di Jawa.

Pada beberapa tulisan juga disebutkan bahwa pada masa lampau di Lampung pernah ada pengaruh dari Hindu, dalam hal ini adalah adanya kepercayaan yang disebut dengan Hindu Bairawa. Kepercayaan ini berkembang di daerah Lampung Barat sebelum masuknya agama Islam di Lampung. Adanya pengaruh Hindu Bairawa di Lampung itu sering muncul apabila menceritakan tentang asal-usul penduduk Lampung.

          Adapun penduduk Lampung saat itu yang menganut kepercayan Hindu Bairawa adalah Orang Tumi atau Buay Tumi, yang dipimpin oleh Ratu Sekarmong. Mereka memiliki kepercayaan menyembah sebatang pohon, yaitu pohon Lemasa kepampang sebukau. Pohon ini dari cabangnya gatal dan beracun, tetapi racun itu dapat dipunahkan oleh getah dari pokok pohon tersebut. Setidaknya kepercayaan Hindu Bairawa yang berkembang di lingkungan Buay Tumi tersebut terjadi sekitar abad ke-14, sebelum akhirnya masyarakat ini meninginggalkan kepercayaannya setelah masuknya agama Islam yang dibawa oleh empat orang penyiar Islam dari Pagaruyung, Sumatra Barat (Depdikbud, 1977:11-12).


Bukti Arkeologi Hindu-Budha di Lampung

Wilayah Lampung yang membentang dari Danau Ranau di barat dan tepian Laut Jawa di timur ternyata pernah menjadi berkembangnya pengaruh dari Hindu-Budha. Temuan benda-benda arkeologi memiliki sebaran yang sangat berjauhan, termasuk penemuan arca zaman Hindu-Budha. Dalam buku terbitan Depdikbud (1977:26) dituliskan macam-macam arca yang ditemukan di Lampung. Arca yang bermacam-macam itu ditemukan bukan hanya di satu tempat namun menyebar di beberapa kawasan. Adapun arca yang ditemukan tersebut:

§  Arca Lembu Nandi dan Arca Ular yang di temukan di Pesisir Utara.

§  Arca Orang yang ditemukan di Pugungraharjo.

§  Arca Gajah ditemukan di Pulau Panggung

§  Arca Gajah ditemukan di Cukuh Balak

§  Arca Ganesha ditemukan di Rantau Jaya, Sukadana 

Selain arca-arca tersebut adapula arca dari zaman Hindu-Budha yang sekarang tersimpan di Museum Daerah Lampung. Arca-arca tersebut umumnya ditemukan di daerah aliran sungai (DAS) Way Sekampung, yakni (Nanang Saptono 2013:130-133):

§  Arca Dewi Sri (1),  ditemukan di Desa Banjar Agung, Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus. Arca berukuran tinggi keseluruhan 23,5 cm terbuat dari bahan perunggu, pada beberapa bagian berlapis emas. Arca digambarkan dengan sikap badan berdiri tegak (samabangga) di atas lapik teratai (padmāsana). Tangan kanan ditekuk hingga siku kemudian diarahkan ke depan. Telapak tangan mengarah ke atas dengan beberapa jari dilipat. Sikap seperti ini merupakan penggambaran sedang memberi petuah atau disebut sikap vitarkamūdra. Tangan kiri di samping memegang setangkai padi (sikap kastarimūdra).

§  Arca Dewi Sri (2),   ditemukan di Pekon Rantau Tijang, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus. Ukuran arca, tinggi keseluruhan 19 cm berbahan perunggu, pada beberapa bagian berlapis emas. Arca digambarkan dengan sikap badan berdiri tegak (samabangga) di atas lapik teratai (padmāsana). Tangan kanan menjulur ke bawah dengan telapak tangan terbuka mengarah ke atas. Sikap seperti ini disebut varahasta atau varadahasta. Tangan kiri menjulur ke bawah telapak mendatar menjepit tangkai padi.

§  Arca Durgāmahisāsuramardinȋ, ditemukan di Desa Wana, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Arca berukuran tinggi 20,5 cm, terbuat dari bahan perunggu. Durgāmahisāsuramardinȋ diwujudkan dalam sikap berdiri di atas kerbau dengan kaki terbuka, badan agak miring (sikap alidha). Mahkota yang dikenakan berbentuk bertingkat semakin ke atas semakin kecil (jaṭamakuta). Pakaian digambarkan lengkap dengan kain panjang, ikat pinggang, kalung, hiasan dada, dan kelat bahu. Perlengkapan tersebut digambarkan penuh dengan hiasan ukiran.

§  Arca Buddha, ditemukan di Desa Ketapang, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan. Arca yang terbuat dari bahan perunggu berukuran tinggi 16 cm ini digambarkan dalam posisi duduk sedang bersemedi di atas lapik berbentuk kubus. Kedua kaki bertumpu pada bantalan padma. Posisi tangan ditekuk di depan dada dalam sikap memutar roda dunia (dharmacakramūdra).

§  Arca Avalokiteśwara, ditemukan di Desa Ketapang, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan. Arca setinggi 34,5 cm terbuat dari bahan perunggu. 

         Untuk bangunan berupa candi di Lampung dapat dikatakan masih belum dapat ditemukan secara utuh. Walupun ada reruntuhan bebatuan yang disinyalir sebagai bekas bangunan namun untuk menyimpulkan sebagai sebuah candi tentunya harus memerlukan langkah-langkah penelitian lebih mendalam.


Referensi:

Humaniora. Vol. 03, No. 01, Juni 2019

Coedes, George dkk. 2014. Kedatuan Sriwijaya. Depok: Komunitas Bambu

Depdikbud. 1977. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

Dwi, Amurwani, dkk. 2014. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kemdikbud

Ismawati, Nur Siwi. 2008. Prasasti. Klaten: Cempaka Putih

Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: Lkis

Poesponegoro M.D, Notosusanto N. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Pujosantoso, Sudarwanto. 2018. Kebudayaan dan Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Pontianak: Derwati Press 

Utomo, Bambang Budi.  Belajar Dari Dātu Śrīwijaya: Bangkitlah Kembali Bangsa Bahari”. Makalah dalam Seminar Satu Abad Kebangkitan Nasional. Jakarta, 27—29 Mei 2008 

Saptono, Nanang. Permukiman Kuna Di Kawasan Way Sekampung, Lampung, Pada Masa Śriwijaya. Amerta. Vol. 31 No. 2, Desember 2013: 81-150

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer