Kamis, 03 Oktober 2024

Sapi di Lampung Zaman Kolonial

Lesunya harga jual sapi tengah dirasakan oleh peternak di Lampung saat ini. Mereka berharap agar harga sapi lekas stabil, mengingat beternak sapi adalah bagian penting dalam menopang kehidupan. Lantas bagaimana harga sapi di Lampung era kolonial?

Oleh: Adi Setiawan

Sapi Penarik Pedati (Sumber: RRI.co.id)

           

           Berbicara mengenai sapi atau lembu tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hewan berkaki empat ini memiliki hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat sejak tempo dulu. Dalam panel-penel relief candi, terukir jelas kedekatan manusia dengan hewan ini. Sapi menjadi hewan yang didomestikan guna dimanfaatkan tenaga serta dagingnya. Zaman dulu sapi merupakan hewan yang berjasa membantu petani dalam pengolahan lahan. Begitupun dalam pengangkutan barang, sapi juga berjasa dalam menarik pedati atau gerobak.

           Hampir di seluruh kepulaun Nusantara, mengenal sapi sebagai bagian penting kehidupan. Hewan ini juga menjadi bagian penting dalam ritual keagaaman. Sebagai contoh pada pemberitaan Prasasti Yupa, Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai pernah mengorbankan sapi atau lembu. Di Pulau Jawa, ketika Tarumanegara dipimpin oleh Raja Purnawarman pengorbanan sapi juga pernah dilakukan. Kemudian pada saat berkembangnya Islam di Nusantara, sapi tetap menjadi hewan yang tak luput dari kehidupan masyarakat. Sapi menjadi salah satu hewan yang dipilih dalam ibadah qurban, selain kambing dan kerbau.

         Masyarakat pedesaan yang cenderung mengandalkan perekonomian dari sektor agraris, berternak sapi menjadi aktivitas pelengkap selain bertani. Keluarga-keluarga di pedesaan umumnya beranggapan dengan memiliki sapi adalah suatu tabungan atau aset berharga. Peternakan sapi di Indonesia secara umum masih dalam ukuran skala kecil. Daerah-daerah di Indonesia yang menjadi produsen sapi diantaranya adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, Bali, dan Lampung.

       Daerah Lampung merupakan produsen terbesar sapi di Sumatera. Bagi masyarakat di Lampung, terutama di daerah persawahan beternak sapi manjadi pelengkap mata pencaharian. Walaupun harga sapi di Lampung saat ini mengalami ketidakstabilan, namun masyarakat tetap setia beternak hewan mamalia ini. Selain diserap di daerah sendiri, sapi dari Lampung juga banyak dikirim ke Pulau Jawa, khususnya wilayah Jabodetabek.

       Menoleh ke belakang, peternakan sapi di Lampung semakin giat dilakukan setelah dicanangkannya program koloniasasi. Seperti yang dijelaskan di atas, peternakan sapi di era kolonisasi menjadi bagian penting untuk mengolah lahan-lahan milik kolonis. Sapi menjadi hewan yang dimanfaatkan untuk membajak. Kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke Lampung umumnya berprofesi sebagai penggarap sawah. Daerah kolonisasi memang memiliki ketersediaan air yang cukup untuk budidaya padi. Pemerinatah Hindia Belanda juga melakukan program pendukung, dengan pembangunan bendungan dan saluran irigasi.

Kolonis di Lampung (Sumber: Museum Ketransmigrasian)

    Hal lain yang dilakukan oleh pemerintah saat itu adalah dengan menyiapkan sapi guna mempermudah petani mengolah sawah mereka. Tercatat dalam Nederlandsch-Indische bladen voor diergeneeskunde en dierenteelt, sebuah majalah kedokteran hewan dan peternakan yang terbit pada 1 Januari 1934, diberitakan bahwa daerah Gedong Tataan yang merupakan daerah kolonisasi perdana di Lampung diberikan kredit bagi kolonis untuk pembelian ternak pembajak dan peralatan pembajak. Kredit sapi dan perlatan bajak ini melalui campur tangan Bupati Karanganjar. Adapun jumlah sapi yang dibeli sebanyak 100 ekor sapi, dengan 2 ekor sapi jantan dan seekor anak sapi jantan di bawah pimpinan Dokter Hewan Pemerintah Magelang, Dr. H. 't Hoen.

Pada bulan Mei 1908 ternak tiba di daerah kolonisasi. Kemudian, hingga tahun 1914, lebih banyak sapi yang diimpor dan diberikan kepada kolonis dengan cara dicicil tunai atau padi. Pada akhir tahun 1930 jumlah ternak para kolonis berjumlah lebih dari 3.000 ekor. Adapun jenis sapi yang diternakan adalah persilangan Benggala, sapi Jawa dan Madura. Sapi-sapi ini umunya di tempat di dalam kandang, bukan dilepas liarkan di padang gembala. Di Lampung saat itu, pakan sapi berupa rumput hijauan sangat banyak dan mudah ditemui dimana-mana. Oleh karena itu tidak sulit bagi petani dalam mencari pakan sapi.

Gerobak Koleksi Museum Transmigrasi (Sumber: Tribun Lampung)

Pada tahun 1920, seekor sapi dihargai ƒ 120. Untuk sapi yang dapat dipekerjakan harganya bisa mencapai ƒ 175. Apalagi sapi-sapi yang terlatih untuk mengangkut gerobak harganya jauh lebih tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1931 di Way Jepara seekor lembu berumur 6 tahun yang ditawarkan oleh seorang penanam lada sebesar ƒ 450. Pada tahun 1933 ada sapi penarik gerobak yang dijual dengan harga ƒ 250. Artinya harga jual sapi pada era kolonisasi sangat ditentukan dengan jenis sapi. Apabila sapi yang terlatih untuk membajak atau menarik gerobak memiliki harga yang lebih mahal.

Replika Sapi Menarik Bajak (Sumber: Kompas.id)

Keterikatan masyarakat di Lampung dengan sapi sejauh ini tetap dapat kita jumpai. Di kampung atau desa di Lampung kita dapat mudah menjumpai sapi. Walaupun saat ini sapi bukan manjadi pilihan utama dalam membajak ataupun mengangkut barang di Lampung. Bukti lain dapat dijumpai pula di Museum Transmigrasi, terdapat replika dua ekor sapi yang menarik bajak atau luku. Terdapat pula gerobak yang membuktikan pada masa lalu sapi memang menjadi hewan penting dalam aktivitas pertanian di Lampung. 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer