Lesunya harga jual sapi tengah dirasakan oleh peternak di Lampung saat ini. Mereka berharap agar harga sapi lekas stabil, mengingat beternak sapi adalah bagian penting dalam menopang kehidupan. Lantas bagaimana harga sapi di Lampung era kolonial?
Oleh: Adi Setiawan
Sapi Penarik Pedati (Sumber: RRI.co.id)
Berbicara mengenai sapi atau lembu
tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hewan berkaki empat ini
memiliki hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat sejak tempo dulu. Dalam panel-penel
relief candi, terukir jelas kedekatan manusia dengan hewan ini. Sapi menjadi
hewan yang didomestikan guna dimanfaatkan tenaga serta dagingnya. Zaman dulu
sapi merupakan hewan yang berjasa membantu petani dalam pengolahan lahan.
Begitupun dalam pengangkutan barang, sapi juga berjasa dalam menarik pedati
atau gerobak.
Hampir di seluruh kepulaun Nusantara,
mengenal sapi sebagai bagian penting kehidupan. Hewan ini juga menjadi bagian
penting dalam ritual keagaaman. Sebagai contoh pada pemberitaan Prasasti Yupa,
Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai pernah mengorbankan sapi atau lembu. Di Pulau
Jawa, ketika Tarumanegara dipimpin oleh Raja Purnawarman pengorbanan sapi juga
pernah dilakukan. Kemudian pada saat berkembangnya Islam di Nusantara, sapi
tetap menjadi hewan yang tak luput dari kehidupan masyarakat. Sapi menjadi
salah satu hewan yang dipilih dalam ibadah qurban, selain kambing dan kerbau.
Masyarakat pedesaan yang cenderung
mengandalkan perekonomian dari sektor agraris, berternak sapi menjadi aktivitas
pelengkap selain bertani. Keluarga-keluarga di pedesaan umumnya beranggapan dengan
memiliki sapi adalah suatu tabungan atau aset berharga. Peternakan sapi di
Indonesia secara umum masih dalam ukuran skala kecil. Daerah-daerah di
Indonesia yang menjadi produsen sapi diantaranya adalah Jawa Timur, Sulawesi
Selatan, NTB, NTT, Bali, dan Lampung.
Daerah Lampung merupakan produsen
terbesar sapi di Sumatera. Bagi masyarakat di Lampung, terutama di daerah
persawahan beternak sapi manjadi pelengkap mata pencaharian. Walaupun harga
sapi di Lampung saat ini mengalami ketidakstabilan, namun masyarakat tetap
setia beternak hewan mamalia ini. Selain diserap di daerah sendiri, sapi dari
Lampung juga banyak dikirim ke Pulau Jawa, khususnya wilayah Jabodetabek.
Menoleh ke belakang, peternakan sapi
di Lampung semakin giat dilakukan setelah dicanangkannya program koloniasasi.
Seperti yang dijelaskan di atas, peternakan sapi di era kolonisasi menjadi
bagian penting untuk mengolah lahan-lahan milik kolonis. Sapi menjadi hewan
yang dimanfaatkan untuk membajak. Kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke
Lampung umumnya berprofesi sebagai penggarap sawah. Daerah kolonisasi memang
memiliki ketersediaan air yang cukup untuk budidaya padi. Pemerinatah Hindia
Belanda juga melakukan program pendukung, dengan pembangunan bendungan dan
saluran irigasi.
Hal lain yang dilakukan oleh
pemerintah saat itu adalah dengan menyiapkan sapi guna mempermudah petani
mengolah sawah mereka. Tercatat dalam Nederlandsch-Indische bladen voor
diergeneeskunde en dierenteelt, sebuah majalah kedokteran hewan dan
peternakan yang terbit pada 1 Januari 1934, diberitakan bahwa daerah Gedong
Tataan yang merupakan daerah kolonisasi perdana di Lampung diberikan kredit bagi
kolonis untuk pembelian ternak pembajak dan peralatan pembajak. Kredit sapi dan
perlatan bajak ini melalui campur tangan Bupati Karanganjar. Adapun jumlah sapi
yang dibeli sebanyak 100 ekor sapi, dengan 2 ekor sapi jantan dan seekor anak
sapi jantan di bawah pimpinan Dokter Hewan Pemerintah Magelang, Dr. H. 't Hoen.
Pada
bulan Mei 1908 ternak tiba di daerah kolonisasi. Kemudian, hingga tahun 1914,
lebih banyak sapi yang diimpor dan diberikan kepada kolonis dengan cara dicicil
tunai atau padi. Pada akhir tahun 1930 jumlah ternak para kolonis berjumlah
lebih dari 3.000 ekor. Adapun jenis sapi yang diternakan adalah persilangan
Benggala, sapi Jawa dan Madura. Sapi-sapi ini umunya di tempat di dalam
kandang, bukan dilepas liarkan di padang gembala. Di Lampung saat itu, pakan
sapi berupa rumput hijauan sangat banyak dan mudah ditemui dimana-mana. Oleh
karena itu tidak sulit bagi petani dalam mencari pakan sapi.
Gerobak Koleksi Museum Transmigrasi (Sumber: Tribun Lampung)
Pada
tahun 1920, seekor sapi dihargai ƒ 120. Untuk sapi yang dapat dipekerjakan harganya
bisa mencapai ƒ 175. Apalagi sapi-sapi yang terlatih untuk mengangkut gerobak
harganya jauh lebih tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1931 di Way Jepara seekor
lembu berumur 6 tahun yang ditawarkan oleh seorang penanam lada sebesar ƒ 450. Pada
tahun 1933 ada sapi penarik gerobak yang dijual dengan harga ƒ 250. Artinya
harga jual sapi pada era kolonisasi sangat ditentukan dengan jenis sapi.
Apabila sapi yang terlatih untuk membajak atau menarik gerobak memiliki harga
yang lebih mahal.
Keterikatan masyarakat di Lampung dengan sapi sejauh ini tetap dapat kita jumpai. Di kampung atau desa di Lampung kita dapat mudah menjumpai sapi. Walaupun saat ini sapi bukan manjadi pilihan utama dalam membajak ataupun mengangkut barang di Lampung. Bukti lain dapat dijumpai pula di Museum Transmigrasi, terdapat replika dua ekor sapi yang menarik bajak atau luku. Terdapat pula gerobak yang membuktikan pada masa lalu sapi memang menjadi hewan penting dalam aktivitas pertanian di Lampung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar