Dari sekian banyak penyakit, malaria menjadi penyakit yang ditakuti pada era kolonial. Bahkan hingga saat ini penyakit yang ditularkan oleh nyamuk ini masih menjadi perhatian serius dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Lantas bagaimanakah wabah malaria yang terjadi di Lampung era kolonial?
Oleh: Adi Setiawan
Nyamuk
(Sumber: Suara.com)
Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia melalui laman ayosehat.kemkes.go.id
menjelaskan bahwa malaria adalah salah satu penyakit yang mematikan di dunia.
Itulah sebabnya, pemerintah terus berupaya mengatasi penyakit ini demi
mewujudkan Indonesia bebas malaria pada tahun 2024. Penyakit malaria
disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Anopheles betina, yang beredar pada petang sampai pagi hari. Parasit ini
akan menetap di organ hati, berkembang biak, kemudian menyerang sel-sel darah
merah.
Bagi
orang yang terjangkit penyakit malaria ditandai dengan gejala seperti demam,
lesu, sakit kepala, mual, diare, nyeri otot dan hilangnya nafsu makan. Penyakit
yang menular akibat gigitan nyamuk ini sangat rentan terjadi di daerah tropis
seperti Indonesia. Penyakit malaria, saat ini sudah dapat diminimalisir,
seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam hidup bersih dan sehat.
Walaupun demikian, pemerintah tetap menaruh perhatian terhadap penyakit ini.
Era
kolonial, penyakit malaria juga menjadi perhatian serius. Bahkan bagi warga
Batavia malaria merupakan momok yang ditakuti kala itu. Penyakit malaria ini
bukan hanya menjadi penyakit yang menjangkiti pribumi Indonesia saja. Bagi
orang Eropa di Batavia, malaria juga menjadi ancaman yang serius. Sebagai
contoh adalah saat rombongan pelaut dari Inggris yang dipimpin oleh Kapten
James Cook tahun 1770 tiba di Batavia, tidak berselang lama
dari waktu kedatangan mereka, tujuh awak kapal meninggal akibat penyakit
malaria.
Selain
di Batavia, merebaknya penyakit malaria juga pernah terjadi di Cirebon. Imas
Emalia dalam Malaria Diseases In Java In The Colonial Era: A Study Of
Humanitarian Disasters In Cirebon City In The 20 Th Century, menjelaskan
bahwa wabah malaria di tahun 1805 menjadi sebuah bencana besar karena
mengakibtakan ¼ dari jumlah penduduk di kota Cirebon meninggal. Wabah malaria
kemudian menyebar ke daerah pedalaman seperti Kuningan, Majalengka dan
Indramayu.
Sedangkan
di Lampung pada era kolonial, diaman kondisi kesehatan masyarakat masih kurang
baik. Penyakit seperti kolera dan malaria merupakan dua penyakit yang menyebabkan
korban jiwa saat itu. Dalam pemberitaan Het nieuws van den dag voor
Nederlandsch-Indië pada 10 Maret 1918, di Telukbetung banyak warga yang
menderita penyakit malaria. Penyakit malaria juga merebak di wilayah lain
seperti di daerah onderneming atau perusahaan perkebunan Kedondong, Way
Lima, Rejosari, Negara Ratu, Kedaton, Rotterdam dan Way Halim. Sementara itu,
perkampungan yang menjadi perhatian tentang malaria ini diantaranya Kampung Pesawahan,
Kampung Kangkung, Kampung, Garuntang, Kampung Kupang, Kampung Kuripan, Kampung Talang,
Kampung Sumurr Batu, Kampung Enggal, Kampung Tanjung Karang, Kampung Jayabaya,
Kampung Lebak Budi, Kampung Kedaton, KampungRaja Basa, Kampung Haji Mena,
Kampung Labuhan Ratu, Kampung Natar dan Kampung Negara Ratu (Van Der Heyden, 1918:18).
Peta Onderneming di Lampung (Sumber: Van Der Heyden, 1918:17)
Wabah
penyakit malaria di Lampung juga banyak ditemui di daerah-daerah kolonisasi. Perluasan
pemukiman dan pertanian dengan cara membuka hutan belantara itu menjadi tempat
berkembangbiaknya nyamuk yang menularkan malaria. Menurut Anggota Dewan Rakyat
Boestan Soekadiradja, telah terjadi wabah penyakit malaria di kalangan 1.500
perantau Jawa yang datang ke Lampung, lebih tepatnya di sekitar wilayah kolonisasi
Gedong Tataan, Untuk mencegah meluasnya dampak penyakit malaria, dibagikan pil
kina (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19 Juli 1935).
Pemberitaan Malaria di Lampung
(Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië)
Kemudian penjelasan Dokter Soesilo,
seorang Inspektur Dinas Kesehatan Sumatera Selatan menceritakan perjalananya di
kolonisasi Gedong Tataan dalam surat kabar Het Vaderland tentang
malaria. Dari perjalanan yang ia lakukan pada bulan Maret 1936 itu diketahui
bahwa Gedong Tataan mempunyai kurang lebih 35.000 jiwa penduduk. Malaria merupakan penyakit
endemik kronis di Gedong Tataan. Para pemukim baru yang berasal dari Pulau Jawa
hampir selalu terserang penyakit ini.
Bantuan
medis terhadap penduduk, selain diberikan oleh pemerintah melalui dinas
kesehatan ternyata juga menarik perhatian dari lembaga-lembaga sosial. Pada 18
Januari1938 De Sumatra Post memberitakan pelayanan kesehatan kepada
penduduk di daerah kolonisasi Gedong Tataan dan kolonisasi Sukadana oleh Misi
Katolik. Layanan kesehatan yang dilakukan oleh mereka itu bukan hanya kepada
penduduk yang berkeyakinan Katolik saja, namun juga kepada masyarakat umum.
Selain
upaya pengobatan, pemerintah kala itu juga melakukan tindakan pencegahan.
Adapun tindakan pencegahan dilakukan dengan cara meneliti kondisi lingkungan
yang memicu berkembangnya nyamuk. Lantas dari hal itu pemerintah kemudian
membuat kebijakan pemberantasan nyamuk. Pemerintah berharap dengan
pemberantasan itu meminimalisir larva-larva nyamuk yang menetas. Penelitian
yang dilakukan terhadap penyebaran penyakit malaria serta jumlah penduduk yang
terjangkit dilakukan dibeberapa daerah di Lampung. Selain daerah kolonisasi, daerah
perkebunan menjadi wilayah yang juga menjadi target penelitian.
Referensi:
ayosehat.kemkes.go.id
De Sumatra Post, 18 Januari1938
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
10 Maret 1918
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië,
19 Juli 1935
Het Vaderland, 17 April 1936
Soerabaijasch Handelsblad,
8 Oktober 1938
Van Der Heyden, 1918. Arbeidersverzorging
In De Lampongs. Javasche Boekhandel & Drukkerij: Batavia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar