Kemerdekaan Indonesia yang terlepas dari penjajagan sejatinya adalah buah dari gotong royong dan persatuan semua elemen bangsa. Bangsa Indonesia bahu membahu guna mempertahankan kemerdekaan. Para pejuang dengan tekad dan keterampilan yang dimiliki berusaha memberikan yang terbaik bagi bangsa dan negara. Adakalanya tokoh-tokoh pejuang berjuang dengan senjata, adapula yang berjuang dengan diplomasinya, termasuk mereka yang berjuang dengan memberikan harta benda serta tenaga. Hal itulah yang membuat kemerdekaan Indonesia terasa mendalam. Kemerdekaan Indonesia adalah hasil jerih payah perjuangan bukan pemberiaan apalagi hasil mengemis dari pemerintah Jepang atau Sekutu.
Oleh: Adi Setiawan
Ilustrasi
Dapur Umum di Masa Perang (Sumber: Vredeburg.id)
Perlawanan yang begitu heroik hampir terjadi di seluruh pelosok negeri bahkan dari pejuang yang berjuang di luar negeri. Semboyan merdeka atau mati senantiasa menggema dalam benak para pejuang. Bangsa Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 merupakan amanah yang harus tetap bersatu. Negara Indonesia yang telah dibentuk adalah suatu tekad yang tetap harus dipertahankan. Sekalipun Belanda mengajak sekutunya untuk kembali merebut tanah air Indonesia, para pejuang tak gentar menghadapi serangan mereka.
Belanda yang bertekad memulihkan kekuasaannya di Indonesia, beramai-ramai melakukan serangan di berbagai pelosok negeri. Dari kota-kota besar hingga ke kampung-kampung, rakyat kian akrab dengan suara dentuman perang dan loreng-loreng seragam tentara Belanda. Belanda yang sepertinya sangat antusias merebut kembali Indonesia kemudian melancarkan aksi agresi militer. Tak hanya sekali saja, serangan besar-besaran itu mereka lakukan pada 21 Juli 1947 yang dikelanal dengan Agresi Militer Belanda I dan 19 Desember 1948 disebut Agresi Militer Belanda II. Kota-kota di Indonesia kemudian berubah menjadi ajang pertempuran. Begitupun di kampung-kampung tentara Belanda melakukan teror kepada panduduk, meminta penduduk buka suara menyebutkan persembunyian tentara Republik. Sekuat tenaga pemerintah, tentara dan penduduk bergotong royong menghadapi serangan macan loreng.
Lampung, sebagai daerah di Sumatera yang paling dekat dengan Pulau Jawa juga menghadapi hal serupa. Serangan besar-besaran tentara Belanda terhadap Lampung terjadi pada akhir Desember 1948 hingga Januari 1949. Pada 1 Januari 1949, Angkatan Laut Belanda berhasil menguasai Pelabuhan Panjang. Mereka kemudian mendaratkan pasukan untuk menguasai Teluk Betung dan Tanjung Karang. Pemerintahan di Lampung kemudian diungsikan keluar daerah tersebut. Para pejabat pemerintah sipil dan militer berusaha mempertahankan kemerdekaan di Lampung. Sedapat mungkin para pejuang memberikan perlawanan terhadap pasukan Belanda. Para pejuang di daerah telah bersiap menghadapi situasi apapun jika pasukan Belanda menyerang.
Keberhasilan menguasai daerah Teluk Betung dan Tanjung Karang, kemudian mendorong pasukan Belanda bergerak lebih dalam. Di antara pasukan Belanda melakukan pergerakan ke daerah Tegineneng, berbelok ke kanan menuju Trimurjo. Tujuan mereka adalah Metro, satu daerah yang terbilang masih muda di tahun 1949 itu, namun memiliki nilai ekonomis dan strategis. Mengetahui pasukan Belanda berhasil menguasai Pelabuhan Panjang, para pejuang Republik berusaha mengambil langkah pencegahan. Hal yang dilakukan pejuang di Metro adalah melakukan rapat di Gedung PU Metro pada 1 Januari 1949 pukul 19.00 hingga 23.00 (Supangat dkk, 1994:407).
Hasil rapat menyebut mengenai pembentukan pemerintahan darurat di luar Metro serta berbagai hal untuk mendukung pemerintahan. Para pejuang sepakat menempatkan Desa Rejoagung, Bedeng 49 di Batanghari sebagai tempat kedudukan Pemerintahan darurat Metro. Sejak Metro diduduki oleh Belanda tepatnya 3 Januari 1949, pertempuran mulai terjadi. Kondisi itu membuat para pejuang membuat berbagai strategi perlawanan. Desa-desa di sekitar Metro seperti Bedeng 49, 47, 45, 44, 43, 41, 38 di Batanghari dan Bedeng 35 di Pekalongan serta beberapa desa lain menjadi basis pertahanan pejuang.
Menariknya perjuangan melawan Macan Loreng kala itu bukan hanya dilakukan oleh para tentara. Di Batanghari perjuangan juga dilakukan oleh warga sipil termasuk kaum wanita. Dengan koordinasi antara pemerintah daerah Metro dengan pemerintah-pemerintah desa dibuatlah dapur umum. Keberadaan dapur umum ini sangat penting dalam membantu penyediaan konsumsi para pejuang. Logistik yang diperlukan dalam dapur umum ini disiapkan oleh lurah atau kepala desa bersama warganya. Penduduk dengan sukarela memberikan bahan pangan yang dimiliki untuk membantu perjuangan saat itu. Hal ini tentu membuktikan bahwa rasa rela berkorban untuk negara hadir dalam diri penduduk kala itu. Mereka sadar bahwa keterlibat mereka dalam memberikan bahan pangan dan mengolahnya menjadi makanan adalah bagian dari perjuangan.
Dapur umum yang ada dalam pemerintahan darurat Metro ini, salah satunya berada di Bedeng 44, Desa Telogorejo, Batanghari. Secara garis perjuangan Bedeng 44 memang menjadi bagian titik sentral dari pemerintahan darurat. Lokasinya dekat dengan Metro serta Bedeng 49 yang merupakan pos komando pemerintahan darurat. Salah seorang penggerak dapur umum di Bedeng 44 ini adalah RS Yudho Sukarto, Lurah Bedeng 44. Pada masa Agresi Militer Belanda II di Bedeng 44 ini menjadi daerah pertahanan pasukan Indonesia yang bergerilya menghadapi Belanda.
Lurah RS Yudho Sukarto (Sumber: Dok. Penulis)
Untuk
mencukupi kebutuhan konsumsi para pasukan, Lurah RS Yudho Sukarto bersama
dengan warganya mendirikan dapur umum untuk mengolah makanan. Dipilihnya lurah
atau kepala desa guna mengkoordinir dapur umum ini menurut Baha Uddin dalam
Rizal Hidayat (2022:34) karena pamong desa mempunyai pengaruh yang sangat kuat
di masyarakat dan mempunyai bahan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
pejuang maupun masyarakat. Dana dapur umum didapat dari berbagai macam sumber,
seperti kas desa, sumbangan dari pejuang, sumbangan dari masyarakat, bahkan
pinjaman dari beberapa orang.
Rumah Lurah RS Yudho Sukarto (Sumber: Dok. Penulis)
Menurut penuturan Suhartono (71 tahun) dan Suciptanto (69) lokasi dapur umum di Bedeng 44 ini tersembunyi dan tidak mudah diketahui pasukan musuh. Warga secara sukarela memberikan bahan makanan baik itu ayam, kambing, beras dan lain-lain untuk diolah oleh ibu-ibu sekitar. Lokasi dapur umum di Bedeng 44 tidak jauh dari kediaman rumah Lurah RS Yudho Sukarto. Rumah ini saat itu juga dijadikan sebagai markas tentara. Jadi apabila tentara membutuhkan makanan mereka dapat langsung menuju dapur umum.
Peran
serta wanita sangat terlihat dalam dapur umum di Bedeng 44, mereka menyiapkan
makanan bagi tentara yang jumlahnya ratusan prajurit. Oleh karena itu diketahui
bahwa dalam perjuangan sampai di daerahpun peran serta kaum hawa tidak dapat
diremehkan. Perjuangan nyatanya bukan hanya memanggul senjata namun juga
menanak nasi sekalipun.
Perjuangan warga di Bedeng 44 selain menyediakan dapur umum, mereka juga terlibat dalam keanggotaan militer. Dalam hal ini pemuda bergabung dengan laskar pejuang guna membantu perlawanan menghadapi macan loreng. Di masa perang kemerdekaan, pasukan macan loreng kerap kali melakukan operasi di desa-desa sekitar Metro. Pada suatu ketika di tanggal 17 Mei 1949, pasukan Belanda memasuki Bedeng 44. Akibatnya terjadi insiden penembakan oleh Belanda terhadap dua orang anggota laskar di Bedeng 44. Dua orang anggota laskar tersebut adalah Parino dan Sawon, masing-masing tertembak pada bagian betis dan lutut. Namun syukur dalam insiden ini dua orang anggota laskar ini berhasil meloloskan diri. (Supangat dkk, 1994: 419).
Perjuangan
warga di Bedeng 44 ini tentu merupakan salah satu dari sekian banyak memori
masyarakat Indonesia di zaman perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Oleh
karena itu di era modern ini kita wajib terus meneladani nilai-nilai perjuangan
dalam membangun negeri ini. Bakti kita kepada bangsa dan negara dapat
diwujudkan dengan hal apapun, selagi itu arif dan bermanfaat. Sebagaimana
dahulu masyarakat berbakti kepada negara dengan menyumbangkan pikiran, harta
dan tenaganya dalam menggerakan dapur umum.
Referensi:
Rizal Hidayat. Peran Dapur Umum Dalam Mendukung Perjuangan Masyarakat Dusun Kemusuk Pada Agresi Militer Belanda II1949. Karmawibangga: Historical Studies Journal, Vol: 04, No: 01, 2022: 30-40
Supangat,
dkk. 1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku II. DHD
Angkatan 45: Bandar Lampung
Wawancara:
Suhartono
(71 tahun), anak dari Lurah RS Yudho Sukarto pada 17 November 2024
Suciptanto
(69), anak dari Lurah RS Yudho Sukarto pada 17 November 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar