Dewasa ini daerah Lampung tercatat sebagai penghasil padi terbesar ke 6 di Indonesia dan peringkat kedua di Pulau Sumatra. Adapun jumlah produksi beras di Lampung pada tahun 2024 mencapai 1.545.296,21 ton. Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Mesuji dan Tulang Bawang merupakan daerah-daerah lumbung padi terbesar di Lampung. Lalu seperti apakah pertanian padi di Lampung masa kolonial?
Oleh: Adi Setiawan
Panen Padi di Dekat Metro
(Sumber: KITLV, 1935)
Perkembangan dunia pertanian padi di Lampung, diupayakan melalui sistem pertanian persawahan yang didukung oleh keberadaan bendungan. Bendungan di Lampung ada yang berukuran besar dan kecil. Adapun bendungan terbesar adalah Bendungan Batu Tegi di Tanggamus.
Pemanfaatan sungai untuk
mensuplai pengairan sawah, secara masif mulai berlaku pada masa kolonial.
Pemerintah kolonial yang menjalankan salah satu program Politik Etis yakni
irigasi, melakukan program pengairan sawah dengan tujuan peningkatan produksi
beras.
Adapun beberapa bendungan
di Lampung yang dibangun di era kolonial seperti Bendung Argo Guruh yang
membendung Sungai Way Sekampung. Bendung Argo Guruh yang tercatat selesai
pembangunannya pada tahun 1935 ini, mengairi persawahan di kawasan Trimurjo,
Metro, Pekalongan, Batanghari, Sekampung, Punggur dan Kotagajah. Bendungan lain
yang dibangun pada masa kolonial adalah Bendung Way Padangratu dan Bendung Way
Tebu.
Keberadaan bendung-bendung
tersebut sebagai upaya membantu produksi pertanian di daerah kolonisasi. Daerah
kolonisasi yang umumnya adalah masayarakat Jawa diusahakan sebagai petani padi.
Maka keberadaan bendungan dan saluran irigasi di dalamnya sangat diperlukan.
Tempat Pembibitan Padi di Dekat Metro
(Sumber: KITLV, 1935)
Masyarakat Jawa dikenal
sebagai masyarakat agraris yang cenderung mengupayakan pertanian padi. Saat
dilaksanakannya progran kolonisasi dan transmigrasi bagi orang-orang Jawa ke
Lampung, pertanian padi tetap menjadi pilihan utama dalam kegiatan bercocok
tanam.
Berdasarkan pemberitaan Algemeen
Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië tanggal 15 Maret 1939, setidaknya di
tahun 1939 sebanyak 5.500 keluarga Jawa pindah ke Lampung. Kedatangan para
kolonis ini lantas disambut dengan pembukaan sawah-sawah baru dengan fasilitas
irigasi. Selain mengusahakan pertanian padi di sawah, beberapa kolonis juga
mengusahakan padi darat atau padi gogo.
Panen Padi Di Menggala
(Sumber:
KITLV, 1935)
Dikenalkannya sistem
kolonisasi bawon di Lampung juga menjadi indikator bahwa pertanian padi menjadi
hal yang intensif dilakukan oleh kolonis dari Jawa tersebut. Sistem bawon
sendiri banyak dilakukan di wilayah kolonisasi seperti wilayah kolonisasi di
Soekadana dan Kota Agung, di mana para tani Jawa dapat memperoleh upah panen
yang baik dari bawon pada pemotongan padi (De Avondpost, 23 Februari
1936).
Pertanian padi di Lampung
di era kolonial memiliki lahan yang cukup luas, sebagai contoh luasan sawah
yang dialiri air dari Bendung Argo Guruh di wilayah kolonisasi Sukadana seluas
10.000 bau pada tahap awal pengoperasian bendung. Luasan sawah yang dialiri air
ini kemudian diperluas hingga mencapai 70.000 bau.
Gambaran kondisi
pertanian padi di Lampung juga dijelaskan oleh Sjamsu, bahwa luas tanah
pertanian seluruh kolonisai dikeresidenan Lampung dalam tahun 1939 ada 27.703
ha. Dari jumlah tersebut tanah pertanian di Sukadana saja ada 11.072 ha.
Pengasilan padi dalam tahun 1939 di kolonisasi Sukadana antara lain dari sawah
17 sampai 58kw/ha atau rata- rata 23 kw/ha, dari ladang bekas alanag-alang ada
antara 13 sampai 45 kw/ha atau rata-rata 23 kw/ha dan dari ladang bekas hutan
ada antara 13 sampai 49 kw/ha atau rata rata 30 kw/ha.
Panen Padi Pertama di Metro
(Sumber:
KITLV, 1935)
Produksi beras yang cukup besar di Lampung saat itu, selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan di daerah beberapa hasil produksi juga dikirim ke luar pulau. Daerah pertema yang menjadi tujuan penjulan beras dari Lampung adalah Jakarta. Pengiriman beras dari Lampung ke Batavia terjadi pada tahun 1936. Beras dari Lampung memiliki kualitas yang dikenal bagus oleh masyarakat Batavia. Beras itu dihargai 3,30 gulden hingga 3,40 gulden per pikul (De Locomotief, 24 April 1936).
Referensi:
Algemeen Handelsblad
Voor Nederlandsch-Indië, 15 Maret 1939
De Avondpost, 23
Februari 1936
De Locomotief, 24
April 1936
Sjamsu, M., A.
1960. Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955. Djambatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar