Rabu, 11 April 2018

BERAS BERKURANG GAPLEK PUN JADI


BERAS BERKURANG GAPLEK PUN JADI

Oleh : Adi Setiawan
Guru Sejarah SMAN 1 Sekampung Lampung Timur
email : adiabuuwais@gmail.com

Pendudukan Jepang selama tiga setengah tahun terasa berat karena berbagai kebijakan yang menindas rakyat Indonesia. Fokus utama dari pendudukan Jepang di Indonesia diantaranya adalah menciptakan ekonomi yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan bagi pasukannya dalam Perang Pasifik. Jepang menyadari bahwa kepastian kemenangan di Asia-Pasifik, harus perlu dukungan dari wilayah Indonesia yang menghasil sumberdaya alam berlimpah.

Maka setelah Jepang berhasil mengambil-alih Indonesia dari Belanda, Jepang berusaha melaksanakan kebijakan-kebijakan yang orientasinya untuk menyokong kemenangannya di Asia-Pasifik. Untuk  menarik hati rakyat Jepang melakukan propaganda-propaganda. Saudara Tua mengambil hati rakyat Indonesia agar mau menyokong kepentingannya tersebut.

Di sisi lain Pemerintah Jepang saat itu juga melakukan kewajiban penyerahan wajib berupa padi. Aiko Kurasawa menulis bahwa adanya wajib serah padi ini berimplikasi terhadap pasar beras bebas sama sekali dilarang, dan petani diharuskan untuk menyerahkan sejumlah tertentu dari hasil panen mereka kepada pemerintah.

Untuk menangani wajib serah padi, Pemerintah Jepang kemudian membentuk Badan Pengelola Pangan atau Shokuryo Kanri Zimusyo yang kemudian berubah menjadi Zyuuyoo Bussi Kodan. Pelaksanaan pengumpulan padi tentu tidak hanya dilakukan oleh orang Jepang sendiri. “Mereka juga melibatkan pejabat-pejabat lokal seperti Kencho (Bupati), Guncho, Soncho (camat), dan Kuncho (kepala desa),” tulis Julianto Ibrahim dalam Bandit dan Pejuang di Simpang Bengawan.

Menurut Aiko Kurasawa dalam Kuasa Jepang Di Jawa Perubahan Sosial Di Pedesaan 1942-1945, bahwa praktek di lapangan seorang Kuncho merekrut seseorang untuk membantunya mengelola dan menjalankan kewajiban ini. Mereka yang ikut membantu Kuncho seperti pamong desa, terutama sekretaris desa, atau para tengkulak padi. Seiring berjalannya waktu mekanisme penyerahan padi kemudian pada tahun 1944 di beberapa keresidenan, pengumpulan padi dipercayakan kepada  koperasi-koperasi pertanian yang baru dibentuk. Jenis koperasi ini disebut dengan istilah nogyo kumiai yang secara harfiah berarti koperasi pertanian.

Adanya keperluan pangan yang cukup tinggi dari pemerintah untuk disalurkan untuk prajurit Jepang di medan peperangan serta kebutuhan pangan bagi romusha memaksa pemerintah Jepang berpikir keras untuk memenuhinya. Pasalnya tidak semua produksi padi dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Sebagai solusi, pemerintah Jepang kemudian menutupi kekurangan beras bagi romusha dengan produksi palawija seperti jagung dan kacang-kacangan.  

Perubahan iklim dan adanya serangan hama kemudian berdampak pada produksi pertanian, terutama padi. Seiring dengan semakin menurunya produksi padi, maka gaplek dianggap sebagai alternatif terbaik untuk menutupi kekurangan tersebut. Badan yang mengurusi pengumpulan gaplek dari Wonogiri dan sekitarnya Mitsui Bussan Kabushiki Khaisa dan Mangkunegaran Kooti Soomutyokan memperkirakan panenan gaplek di Wonogiri Ken pada tahun 1944 sebesar 100 ribu ton di atas tanah seluas 50 ribu hektar.  Dari produksi tersebut, penduduk Wonogiri wajib menyerahkan 10.000 ton kepada pemerintah. 

Akibat dari penyerahan gaplek kepada pemerintah, banyak penduduk Wonogiri yang mengalami kekurangan makanan. Harga gaplek melejit dari angka Rp. 2 menjadi Rp. 20 per kwintal. “Hingga penduduk terpaksa memakan “sesuatu” yang tidak layak untuk dimakan seperti bonggol  pisang dan bonggol sente yang gatal,” tulis Julianto Ibrahim.

(Oleh : Adi Setiawan Kamis, 21 April 2017)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer