BERAS
BERKURANG GAPLEK PUN JADI
Oleh : Adi Setiawan
Guru Sejarah SMAN 1 Sekampung Lampung Timur
email : adiabuuwais@gmail.com
Pendudukan
Jepang selama tiga setengah tahun terasa berat karena berbagai kebijakan yang
menindas rakyat Indonesia. Fokus utama dari pendudukan Jepang di Indonesia
diantaranya adalah menciptakan ekonomi yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan bagi
pasukannya dalam Perang Pasifik. Jepang menyadari bahwa kepastian kemenangan di
Asia-Pasifik, harus perlu dukungan dari wilayah Indonesia yang menghasil sumberdaya
alam berlimpah.
Maka
setelah Jepang berhasil mengambil-alih Indonesia dari Belanda, Jepang berusaha
melaksanakan kebijakan-kebijakan yang orientasinya untuk menyokong kemenangannya
di Asia-Pasifik. Untuk menarik hati
rakyat Jepang melakukan propaganda-propaganda. Saudara Tua mengambil
hati rakyat Indonesia agar mau menyokong kepentingannya tersebut.
Di
sisi lain Pemerintah Jepang saat itu juga melakukan kewajiban penyerahan wajib
berupa padi. Aiko Kurasawa menulis bahwa adanya wajib serah padi ini
berimplikasi terhadap pasar beras bebas sama sekali dilarang, dan petani
diharuskan untuk menyerahkan sejumlah tertentu dari hasil panen mereka kepada
pemerintah.
Untuk
menangani wajib serah padi, Pemerintah Jepang kemudian membentuk Badan
Pengelola Pangan atau Shokuryo Kanri Zimusyo yang kemudian berubah
menjadi Zyuuyoo Bussi Kodan. Pelaksanaan pengumpulan padi tentu tidak
hanya dilakukan oleh orang Jepang sendiri. “Mereka juga melibatkan
pejabat-pejabat lokal seperti Kencho (Bupati), Guncho, Soncho (camat),
dan Kuncho (kepala desa),” tulis Julianto Ibrahim dalam Bandit dan
Pejuang di Simpang Bengawan.
Menurut
Aiko Kurasawa dalam Kuasa Jepang Di Jawa Perubahan Sosial Di Pedesaan
1942-1945, bahwa praktek di lapangan seorang Kuncho merekrut
seseorang untuk membantunya mengelola dan menjalankan kewajiban ini. Mereka
yang ikut membantu Kuncho seperti pamong desa, terutama sekretaris desa,
atau para tengkulak padi. Seiring berjalannya waktu mekanisme penyerahan padi
kemudian pada tahun 1944 di beberapa keresidenan, pengumpulan padi dipercayakan
kepada koperasi-koperasi pertanian yang
baru dibentuk. Jenis koperasi ini disebut dengan istilah nogyo kumiai yang
secara harfiah berarti koperasi pertanian.
Adanya
keperluan pangan yang cukup tinggi dari pemerintah untuk disalurkan untuk
prajurit Jepang di medan peperangan serta kebutuhan pangan bagi romusha memaksa
pemerintah Jepang berpikir keras untuk memenuhinya. Pasalnya tidak semua
produksi padi dapat mencukupi kebutuhan tersebut. Sebagai solusi, pemerintah
Jepang kemudian menutupi kekurangan beras bagi romusha dengan produksi
palawija seperti jagung dan kacang-kacangan.
Perubahan
iklim dan adanya serangan hama kemudian berdampak pada produksi pertanian,
terutama padi. Seiring dengan semakin menurunya produksi padi, maka gaplek
dianggap sebagai alternatif terbaik untuk menutupi kekurangan tersebut. Badan
yang mengurusi pengumpulan gaplek dari Wonogiri dan sekitarnya Mitsui Bussan
Kabushiki Khaisa dan Mangkunegaran Kooti Soomutyokan memperkirakan
panenan gaplek di Wonogiri Ken pada tahun 1944 sebesar 100 ribu ton di
atas tanah seluas 50 ribu hektar. Dari
produksi tersebut, penduduk Wonogiri wajib menyerahkan 10.000 ton kepada
pemerintah.
Akibat
dari penyerahan gaplek kepada pemerintah, banyak penduduk Wonogiri yang
mengalami kekurangan makanan. Harga gaplek melejit dari angka Rp. 2 menjadi Rp.
20 per kwintal. “Hingga penduduk terpaksa memakan “sesuatu” yang tidak layak
untuk dimakan seperti bonggol pisang dan bonggol sente yang gatal,”
tulis Julianto Ibrahim.
(Oleh : Adi Setiawan
Kamis, 21 April 2017)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar