Indonesia adalah negara yang besar,
dengan wilayah yang luas serta kondisi alam yang melimpah dengan sumber
daya. Begitupun dengan penduduknya, begitu banyak dan beragam. Ini
adalah suatu tantangan besar bagi kita untuk tetap dapat menyatukan
seluruh komponen itu.
Sejarah telah mencatat tentang perjuangan
bangsa Indonesia mempertahankan persatuan dari berbagai upaya
disintegrasi.
Oleh: Adi Setiawan
> 18 Juli 2020
Raymond Westerling pemimpin APRA |
Tantangan besar setelah proklamasi kemerdekaan bukan hanya sekedar melawan keinginan dari Belanda untuk menjajah kembali Indonesia. Di waktu yang bersamaan yakni kurun waktu 1948-1965 negara Indonesia dihadapkan dengan serangkain upaya pemisahan atau disintegrasi bangsa dan negara. Hal itu cukup menguras energi besar pemerintah maupun rakyat untuk menyelesaikan setiap pergolakan yang terjadi.
Upaya disintegritas yang pernah terjadi kurun waktu 1948-1965 yakni:
a. Pemberontakan PKI Madiun 1948
PKI merupakan salah satu partai atau organisasi politik yang berdiri sejak penjajahan Belanda. Pasca proklamasi muncul dorongan dari orang-orang PKI untuk melakukan sebuah aksi, yakni mengambil alih pemerintahan dari tangan Presiden Soekarno dan Wakil presiden Mohammad Hatta. Dengan pimpinan di bawah seorang tokoh yang bernama Musso, PKI bersama dengan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pimpinan Amir Syarifuddin melakukan sebuah aksi di Madiun, hal ini adalah sebuah bentuk upaya disintegrasi yang nyata.
Pemberontakan ini sekaligus diwarnai dengan kecaman yang dilontarkan oleh pemimpin PKI kepada pemerintah, hal itu membuat tidak sedikit dari rakyat yang termakan pernyataan Musso dan bergabung dalam kelompok pemberontak. Dengan berani kemudian Musso memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia pada 18 September 1948 di Madiun.
Menghadapi situasi ini pemerintah Indonesiamelalui Presiden Sukarno melakukan sebuah pidato yang intinya untuk tetap melakukan persatuan di bawah pimpinan Presiden Soekarno dan Wakil presiden Mohammad Hatta.
Untuk memulihkan keamanan secara menyeluruh di Madiun, pemerintah
bertindak cepat. Provinsi Jawa Timur dijadikan daerah istimewa,
selanjutnya Kolonel Sungkono diangkat sebagai gubernur militer. Operasi penumpasan dimulai pada
tanggal 20 September 1948 dipimpin oleh Kolonel A. H. Nasution. Kemudian juga dilakukan operasi militer guna meredakan pemberontakan ini. Pasukan pemerintah yang dipelopori Divisi Siliwangi berhasil mendesak mundur pemberontak. Musso pimpinan pemberontak akhirnya tewas tertembak, sementara pemimpin pemberontak yang lain, Amir Syarifuddin berhasil ditangkap dan dijatihi hukuman mati.
b. Pemberontakan DI/TII
Pemberontakan DI/TII atau Darul Islam/Tentara Islam Indonesia berawal dari suatu aksi dari kelompok yang dipimpin oleh S.M Kartosoewirjo di daerah Jawa Barat. Namun aksi tersebut kemudian mendapatkan dukungan dari daerah lain di Pulau Jawa, Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Pemberontakan ini juga termasuk aksi yang sangat merepotkan pemerintah Indonesia, pasalnya pemberontakan bersamaan dengan upaya bangsa Indonesia mengusir Belanda yang berupaya kembali menguasai Indonesia. Berikut adalah aksi-aksi dari DI/TII diberbagai daerah:
1. DI/TII Jawa Barat
Adanya Perjanjian Renville dalam isinya memaksa agar pasukan TNI untuk hijrah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, situasi itu kemudian dimanfaatkan oleh S.M Kartosoewirjo yang membawahi laskar Hizzbullah dan Sabilillah yang tidak bersedia ikut berhijrah menyatakan berdirinya Darul Islam (DI) dan tentaranya bernama Tentara Islam Indonesia (TII) di Jawa Barat pada bulan Agustus 1948.
Untuk menyelesaikan pemberontakan ini pemerintah membentuk operasi militer bernama Operasi Pagar Betis dan Operasi Baratayudha.Melalui dua operasi ini akhirnya pemerintah Indonesia dapat menumpas para pemberontak. S.M Kartosoewiryo yang tertangkap kemudian dijatuhi hukuman mati. Ia dieksekusi pada 16 Agustus 1962.
2. DI/TII Jawa Tengah
Persamaan ideologi antara Amir Fatah (seorang pimpinan Hizbullah) dengan S.M Kartosoewirjo mengenai pembentukan negara Islam melahirkan pemberontakan di Jawa Tengah yang serupa dengan di Jawa Barat. Amir Fatah kemudian diangkat sebagai Panglima Tentara Islam Indonesia (TII) Jawa Tengah. Ia bahkan memproklamasikan berdirinya Negara Islam (Darul Islam/DI) Jawa Tengah. Sejak saat terjadi ketegangan antara pasukan TNI dengan pemberontak Amir Fatah.
Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah
melakukan operasi kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara” (GBN) di
bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya diganti Letnan Kolonel M.
Bachrun dan kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini
dengan pasukan “Banteng Raiders.”
Selain Amir Fatah pemberontakan di Jawa Tengah juga dilakukan oleh Kiai Haji Machfudz atau yang dikenal dengan Kyai Sumolangu yang didukung laskar Angkatan Umat Islam (AUI) di daerah Kebumen. Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang
dilakukan oleh Batalyon 426 yang bergabung dengan DI/TII pada bulan
Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini pemerintah melakukan
“Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto,
Komandan Brigade Pragolo. Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon
pemberontak tersebut dapat dihancurkan dan sisa- sisanya melarikan diri
ke Jawa Barat dan ke daerah GBN.
3. DI/TII Sulawesi Selatan
Pemberontak dilakukan oleh Kahar Muzakkar bersama pasukannya. Adapu sebab pemberontakan adalah rasa tidak puas terhadap emerintah terhadap kebijakan pembentukan tentara nasional di Sulawesi Selatan. Para gerilyawan yang merasa kurang diperhatikan dalam pembentukan tentara nasional tersebut lantas melakukan pemberontakan dan memilih bergabung dengan Darul Islam yang dipimpin oleh S.M Kartosoewirjo. Perlu waktu lama bagi pemerintah untuk membereskan pemberontakan ini. Hingga akhirnya pada tahun 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati dalam suatu penyergapan.
4. DI/TII Kalimantan Selatan
Pemberontakan disebabkan oleh rasa tidak puas anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Divisi IV terhadap demobilisasi tentara dari pemerintah pusat. Mereka merasa tidak mendapatkan jabatan atau kedudukan yang sesuai dengan keinginan mereka. Aksi membelot kemudian terjadi, Ibnu Hajar sebagai pimpinan pemberontak berhasil mengumpulkan dukungan. Ia membentuk pasukan yang diberi nama Kesatuan Rakyat Indonesia yang tertindas (KRIyT). Kerusuhan pun terjadi di Kalimantan Selatan. Pada tahun 1954, Ibnu Hajar memproklamasikan daerah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari DI/TII Kartosoewirjo. Ia kemudian diangkat sebagai Panglima TII Kalimantan. Pemberontakan berhasil dipadamkan pemerintah pada tahun 1963, Ibnu Hajar dijatuhi hukuman mati.
5. DI/TII Aceh
Pemberontakan dipimpin oleh Daud Beureuh, yang disebabkan oleh penggabungan daerah Aceh ke dalam Provinsi Sumatra Utara pada tahun 1950. Daud Beureuh yang merupakan pemimpin dari Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA), menentang kebijakan itu. Ia menginginkan Aceh menjadi Provinsi otonom, bukan bergabung dengan provinsi lain. Usaha dialog dengan Daud Beureuh agar berdamai gagal. Daud Beureuh bahkan turut memproklamasikan Aceh sebagai bagian dari DI/TII Kartosoewirjo pada tahun 1953.
Dengan kekuatan bersenjata, Pemerintah
menyatakan seluruh Aceh menjadi daerah ”Militaire bystand” sesuai dengan
keputusan Presiden No. 175 tahun 1952. Selain itu Pemerintah Indonesia membentuk
operasi khusus militer untuk menumpas pemberontakan ini yaitu dengan Operasi 17
Agustus dan Operasi Merdeka. Sedangkan dengan cara diplomasi, Pemerintah
Indonesia mengirimkan utusan-utusan khusus untuk berdialog dengan pihak
pemberontak khususnya dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh.
Akhirnya dengan negosiasi yang panjang serta disepakatinya status otonomi
yang khusus bagi Aceh yaitu dengan terbentuknya Daerah Istimewa Aceh dengan
kebebasan menjalankan unsur-unsur Syariat Islam di dalamnya, maka berakhirlah
pemberontakkan DI/TII Aceh dan terciptalah perdamaian yang sekian lama
diidamkan oleh pemerintah Indonesia dan rakyat Aceh. Untuk merayakan perdamaian
tersebut diselenggarakan suatu upacara akbar di Blangpadang tanggal 18-22
Desember 1962 yaitu Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh (MKRA). Dengan
adanya perdamaian tersebut, maka Pemerintah dan rakyat Aceh akan bersama-sama
untuk melaksanakan pembangunan demi kemajuan bangsa dan negara Indonesia serta
Aceh pada khususnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar