Adi Setiawan
Kerajaan
Kalingga (Kerajaan Holing)
Suatu berita dari Cina pada masa dinasti Tang menyebutkan bahwa di
Jawa ada suatu kerajaan yang bernama Holing atau Kaling, tepatnya
di daerah Jawa Tengah dekat Jepara sekarang. Kerajaan ini menghasilkan penyu,
emas, perak, cula, gading, dan orang-orangnya pandai membuat minuman dari
kelapa.
Berita ini disampaikan oleh I-Tsing. Ia mengatakan bahwa pada tahun
664, pendeta Hwining dan pembantunya Yunki pergi ke Holing untuk mempelajari
agama Buddha. Ia juga menerjemahkan kitab suci agama Buddha dari bahasa
Sanskerta ke bahasa Cina dibantu pendeta Janabhadra dari Holing. Kitab
terjemahan Hwining tersebut adalah bagian terakhir dari kitab Varinirvana yang
mengisahkan tentang pembukaan jenazah Sang Buddha.
Ratu Sima adalah penguasa di Kerajaan Kalingga. Ia digambarkan
sebagai seorang pemimpin wanita yang tegas dan taat terhadap peraturan yang
berlaku dalam kerajaan itu. Kerajaan Kalingga atau Holing, diperkirakan
terletak di Jawa bagian tengah. Nama Kalingga berasal dari Kalinga, nama sebuah
kerajaan di India Selatan. Menurut berita Cina, di sebelah timur Kalingga ada
Po-li (Bali sekarang), di sebelah barat Kalingga terdapat To-po-Teng (Sumatra).
Sementara di sebelah utara Kalingga terdapat Chen-la (Kamboja) dan sebelah
selatan berbatasan dengan samudra. Oleh karena itu, lokasi Kerajaan Kalingga
diperkirakan terletak di Kecamatan Keling, Jepara, Jawa Tengah atau di sebelah
utara Gunung Muria.
Sumber utama mengenai Kerajaan Kalingga adalah berita Cina,
misalnya berita dari Dinasti T’ang. Sumber lain adalah Prasasti Tuk Mas di
lereng Gunung Merbabu. Melalui berita Cina, banyak hal yang kita ketahui
tentang perkembangan Kerajaan Kalingga dan kehidupan masyarakatnya. Kerajaan
Kalingga berkembang kira-kira abad ke-7 sampai ke-9 M.
Pemerintahan
dan Kehidupan Masyarakat
Raja yang paling terkenal pada masa Kerajaan Kalingga adalah
seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima. Ia memerintah sekitar tahun 674 M.
Ia dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, dan sangat bijaksana. Hukum
dilaksanakan dengan tegas dan seadil-adilnya. Rakyat patuh terhadap semua
peraturan yang berlaku.
Untuk mencoba kejujuran rakyatnya, Ratu Sima pernah mencobanya,
dengan meletakkan pundi-pundi di tengah jalan. Ternyata sampai waktu yang lama
tidak ada yang mengusik pundi-pundi itu. Akan tetapi, pada suatu hari ada
anggota keluarga istana yang sedang jalan-jalan, menyentuh kantong pundi-pundi
dengan kakinya. Hal ini diketahui Ratu Sima. Anggota keluarga istana itu
dinilai salah dan harus diberi hukuman mati.
Akan tetapi atas usul persidangan para menteri, hukuman itu
diperingan dengan hukuman potong kaki. Kisah ini menunjukkan, begitu tegas dan
adilnya Ratu Sima. Ia tidak membedakan antara rakyat dan anggota kerabatnya
sendiri.
Agama utama yang dianut oleh penduduk Kalingga pada umumnya adalah
Buddha. Agama Buddha berkembang pesat. Bahkan pendeta Cina yang bernama
Hwi-ning datang di Kalingga dan tinggal selama tiga tahun. Selama di Kalingga,
ia menerjemahkan kitab suci agama Buddha Hinayana ke dalam bahasa Cina. Dalam
usaha menerjemahkan kitab itu Hwi-ning dibantu oleh seorang pendeta bernama
Janabadra.
Kepemimpinan raja yang adil, menjadikan rakyat hidup teratur,
aman,dan tenteram. Mata pencaharian penduduk pada umumnya adalah bertani,
karena wilayah Kalingga subur untuk pertanian. Di samping itu, penduduk juga
melakukan perdagangan. Kerajaan Kalingga mengalami kemunduran kemungkinan
akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut
mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian timur atau mundur ke
pedalaman Jawa bagian tengah antara tahun 742 -755 M.
Kerajaan
Sriwijaya
a.
Kehidupan Politik
Sumber-sumber sejarah yang dapat digunakan untuk mengetahui
kerajaan Sriwijaya, antara lain sebagai berikut.
1)
Prasasti-prasasti (enam di Sumatra Selatan dan satu di Pulau Bangka).
a) Prasasti Kedukan Bukit (605 S/683 M) di
Palembang. Isinya Dapunta Hyang mengadakan perjalanan selama delapan hari
dengan membawa 20.000 pasukan dan berhasil menguasai beberapa daerah. Dengan
kemenangan itu Sriwijaya menjadi makmur. Dapunta Hyang merupakan raja yang
mendirikan kerajaan Sriwijaya.
b)
Prasasti Talang Tuo (606 S/684 M di sebelah barat Palembang. Isinya tentang
pembuatan Taman Sriksetra oleh Dapunta Hyang Sri Jayanaga untuk kemakmuran
semua makhluk.
c)
Prasasti Kota Kapur (608 S/686 M) di Bangka.
d)
Prasasti Karang Birahi (608 S/686 M) di Jambi. Parasasti Kota Kapur dan
Prasasti Karang Birahi berisi permohonan kepada dewa untuk keselamatan rakyat
dan Kerajaan Sriwijaya.
e) Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun) di
Palembang. Isinya berupa kutukan terhadap mereka yang melakukan kejahatan dan
melanggar perintah raja.
f)
Prasasti Palas Pasemah di Pasemah, Lampung Selatan. Isinya wilayah Lampung
Selatan telah diduduki Sriwijaya.
g) Prasasti
Ligor (679 S/775 M) di tanah genting Kra. Isinya Sriwijaya diperintah oleh
Darmaseta.
Menurut sumber berita Cina yang ditulis oleh I-Tsing dinyatakan
bahwa Kerajaan Sriwijaya berdiri pada abad ke-7 M. Berdasarkan Prasasti Ligor,
pusat pemerintahan Sriwijaya di Muara Takus, yang kemudian dipindahkan ke
Palembang. Kerajaan Sriwijaya kemudian muncul sebagai kerajaan besar di Asia
Tenggara. Perluasan wilayah dilakukan dengan menguasai Tulang Bawang (Lampung),
Kedah, Pulau Bangka, Jambi, Tanah Genting Kra dan Jawa (Kaling dan Mataram
Kuno).
Dengan demikian, Kerajaan Sriwijaya bukan lagi merupakan kerajaan
senusa (kerajaan yang berkuasa atas satu pulau saja ) melainkan merupakan
negara antarnusa (negara yang berkuasa atas beberapa pulau) sehingga Sriwijaya
merupakan negara nasional pertama di Indonesia.
Kerajaan Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada masa Balaputra
Dewa. Raja ini mengadakan hubungan persahabatan dengan Raja Dewapala Dewa dari
India. Dalam Prasasti Nalanda disebutkan bahwa Raja Dewapala Dewa menghadiahkan
sebidang tanah untuk mendirikan sebuah biara untuk para pendeta Sriwijaya yang
belajar agama Buddha di India. Selain itu, dalam Prasasti Nalanda juga
disebutkan bahwa adanya silsilah Raja Balaputra Dewa dan dengan tegas menunjukkan
bahwa Raja Syailendra (Darrarindra) merupakan nenek moyangnya.
Ada beberapa faktor yang mendorong perkembangan Sriwijaya antara
lain:
a.
Letak geografis dari Kota Palembang. Palembang sebagai pusat pemerintahan
terletak di tepi Sungai Musi. Di depan muara Sungai Musi terdapat pulau-pulau
yang berfungsi sebagai pelindung pelabuhan di Muara Sungai Musi. Keadaan
seperti ini sangat tepat untuk kegiatan pemerintahan dan pertahanan. Kondisi
itu pula menjadikan Sriwijaya sebagai jalur perdagangan internasional dari
India ke Cina, atau sebaliknya. Juga kondisi sungai-sungai yang besar, perairan
laut yang cukup tenang, serta penduduknya yang berbakat sebagai pelaut ulung.
b.
Runtuhnya Kerajaan Funan di Vietnam akibat serangan Kamboja. Hal ini telah
memberi kesempatan Sriwijaya untuk cepat berkembang sebagai negara maritim.
b.
Kehidupan Sosial Ekonomi
Sriwijaya berhasil menguasai Selat Malaka yang merupakan urat nadi
perdagangan di Asia Tenggara sehingga menguasai perdagangan nasional dan
internasional. Hal ini didukung letaknya yang strategis di jalur perdagangan
India–Cina. Penguasaan Sriwijaya atas Selat Malaka mempunyai arti penting
terhadap perkembangannya sebagai kerajaan maritim sebab banyak kapal-kapal
asing yang singgah untuk menambah air minum, perbekalan makanan, dan melakukan
aktivitas perdagangan. Sriwijaya sebagai pusat perdagangan mendapatkan
keuntungan yang besar dari aktivitas itu.
c.
Kehidupan Keagaman
Dalam bidang agama, Kerajaan Sriwijaya menjadi pusat agama Buddha
yang penting di Asia Tenggara dan Asia Timur. Agama Buddha yang berkembang di
Sriwijaya ialah aliran Mahayana dengan salah satu tokohnya yang terkenal ialah
Dharmakirti. Para peziarah agama Buddha sebelum ke India harus tinggal di Sriwijaya.
Di antaranya ialah I' Tsing. Sebelum menuju ke India ia mempersiapkan diri
dengan mempelajari bahasa Sanskerta selama enam bulan (1671).
Begitu pula ketika pulang dari India, ia tinggal selama empat tahun
(681–685) untuk menerjemahkan agama Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa
Cina. Di samping itu juga ada pendeta dari Tibet, yang bernama Atica yang
datang dan tinggal di Sriwijaya selama 11 tahun (1011-1023) dalam rangka
belajar agama Buddha dari seorang guru besar Dharmakirti.
d.
Kemunduran Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang
disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
1)
Faktor geologis, yaitu adanya pelumpuran Sungai Musi sehingga para pedagang
tidak singgah lagi di Sriwijaya.
2)
Faktor politis, yaitu jatuhnya Tanah Genting Kra ke tangan Siam membuat
pertahanan Sriwijaya di sisi utara melemah dan perdagangan mengalami
kemunduran. Di sisi timur, kerajaan ini terdesak oleh Kerajaan Singasari yang
dipimpin Kertanegara. Akibat dari serangan ini, Melayu, Kalimantan, dan Pahang
lepas dari tangan Sriwijaya. Desakan lain datang dari Kerajaan Colamandala dan
Sriwijaya akhirnya benar-benar hancur karena diserang Majapahit.
3)
Faktor ekonomi, yaitu menurunnya pendapatan Sriwijaya akibat lepasnya
daerah-daerah strategis untuk perdagangan ke tangan kerajaan-kerajaan lain.