Sabtu, 12 Oktober 2024

Kabar Pendidikan di Lampung Era Kolonial

               Pendidikan menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan seorang manusia. Pendidikan menjadi jembatan bagi kemajuan peradaban bangsa. Dengan pendidikan seseorang dilatih, dididik dan diajarkan berbagai penegtahuan, keterampilan dan norma-norma. Maka pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang perlu dienyam sedari dini oleh manusia. Lantas bagaimanakah kondisi pendidikan di Lampung era Kolonial?

Oleh: Adi Setiawan

Sekolah Muhammadiyah di Metro

(Sumber: Kian Amboro)

            Kemajuan peradaban suatu bangsa pasti tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan yang dimiliki manusianya. Berbagai tinggalan sejarah yang membuat takjub adalah saksi bisu dari majunya pengetahuan dan keterampilan manusia di zaman dulu. Karena tanpa pengetahuan dan keterampilan mustahil mereka dapat membuat karya-karya yang monumental itu. Bagi bangsa Indonesia, sejak zaman kuno telah memiliki peradaban yang maju. Tinggalan berupa candi dan lain sebagainya menjadi contoh dari hal itu. Sistem pendidikan selalu berkembang seiring dengan perubahan zaman. Pendidikan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta berupaya untuk mempersiapkan generasi yang cakap dalam menjawab setiap perubahan zaman. 

              Sejarah pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindu-Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, zaman Jepang dan zaman Kemerdekaan. Di setiap zaman, pendidikan yang diselenggarakan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Adakalanya pendidikan diselenggarakan guna melahirkan golongan agamawan seperti zaman Hindu-Budha dan Islam. Kemudian pada zaman kolonial pendidikan di Indonesia diarahkan pada lulusan yang dipersiapkan menjadi pegawai. Pada zaman Jepang pendidikan di Indonesia mengalami penurunan akibat dampak perang. Sedangkan pada era Kemerdekaan pendidikan dikembangkan untuk melahirkan bangsa yang berpengetahuan, terampil dan berakhlak mulia.

            Sebagai daerah yang bersentuhan dengan era Kolonial perkembangan pendidikan di Lampung menarik untuk diketahui. Daerah yang disebut sebagai pintu gerbang pulau Sumatra ini tentunya memiliki sejarah pendidikan yang panjang pula. Dengan berbekal dari laporan jurnalistik era kolonial, pada tulisan singkat ini berusaha untuk mengabarkan pendidikan Lampung pada era Kolonial.

 

Sekolah Muhammadiyah di Metro

Pada pemberitaan De Indische Courant, 23 Februari 1940 dijelaskan bahwa telah diresmikan Sekolah Muhammadiyah di daerah Kolonisasi Sukadana. Sekolah ini terletak di Metro, sebuah daerah yang menjadi pusat dari kolonisasi ini. Dalam acara peresmian ini dilaksanakan di kediaman Penghulu Metro. Berdirinya Sekolah Muhammadiyah di Metro ini tidak terlepas dari kerjasama antara pengurus perkumpulan Muhammadiyah Metro dengan perkumpulan Muhammadiyah Telukbetung. Sekolah Muhammadiyah di Metro ini memiliki kapasitas 50 murid. Kehadiran sekolah Muhammadiyah merupakan harapan masyarakat kolonis di Metro.

Berita Peresmian Sekolah Muhammadiyah Metro

(Sumber: De Indische Courant, 23 Februari 1940)

 

Pada pemberitaan De Indische Courant Sekolah Muhammadiyah lainnya akan segera dibuka di Gedongdalem, yang juga merupakan daerah kolonisasi Sukadana. Tercatat sekitar tahun 1930 pertama kali sebuah sekolah dasar Muhammadiyah didirikan di Telukbetung. Pada tahun 1937, sekolah Muhammadiyah juga telah berdiri di Talang Padang. Salah seorang yang patut dicatat sebagai tokoh pendidikan dari Muhammadiyah di Talangpadang ialah Taib Jailahi yang menjabat sebagai kepala sekolah sampai saat Jepang menguasai daerah Lampung (Depdikbud, 1982:65).

 


Sekolah Muhammadiyah di Metro

(Sumber: Kian Amboro) 

Perlu diketahui pula bahwa perkumpulan Muhammadiyah di Lampung selain menaruh perhatian dalam urusan pendidikan juga memiliki peran dalam membantu rakyat di Lampung melalui kegiatan bakti sosial. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Mei 1939 perkumpulan Muhammadiyah yang bekerjasama dengan masyarakat adat Lampung membentuk sebuah komite yang bertujuan untuk mengumpulkan pakaian-pakaian bekas, peralatan dapur, kaleng dan botol kosong, perabotan dan barang-barang rumah tangga lainnya. Barang-barang itu nantinya akan dibagikan kepada kolonis di Lampung. Memang saat itu kondisi kolonis dalam kondisi hidup yang sulit di tengah hutan, tidak terlindung dari angin dan cuaca, mudah terserang berbagai macam penyakit seperti malaria, disentri, dan lain-lain.

 Maka dalam perkembangannya perkumpulan Muhammadiyah Lampung, menjadi organisasi keagamaan dan sosial. Mereka berfokus dalam pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial. Apalagi setelah Indonesia merdeka, perkumpulan Muhammadiyah Lampung banyak mendirikan sekolah mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

 

Sekolah Taman Siswa di Lampung

Perguruan Tinggi Taman Siswa merupakan perguruan nasional yang menjiwai pergerakan kebangsaan kita pada zaman pergerakan nasional. Tak lama setelah didirikan di Lampung berdiri Perguruan Taman Siswa untuk tingkat sekolah dasar di Tanjungkarang, Telukbetung dan di Gedong Tataan di sekitar tahun 1925. Sebagaimana kita lihat perkembangan selanjutnya dengan adanya Undang-undang Sekolah Liar maka perguruan Taman Siswa mengalami pasang surut (Depdikbud, 1982:64).

Pada tahun 1938 Ki Hadjar Dewantara, pimpinan lembaga pendidikan nasional Taman Siswa, melakukan kunjungan di Telukbetung untuk meninjau lembaga pendidikan Taman Siswa yang terletak di Lampung. Sebagai penyambutan, diadakan pertemuan di gedung sekolah Taman Siswa Telukbetung yang dihadiri kurang lebih 300 orang. Kunjungan Ki Hajar ini juga diramaikan dengan pertunjukan teater siswa sekolah Taman Siswa di gedung Teater Pusat di Telukbetung. Dalam kunjungannya di Lampung, Ki Hajar Dewantara memberikan ceramah di gedung tersebut tentang pendidikan nasional bagi generasi muda (Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938).


                Berita Taman Siswa di Lampung

          (Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938)

Sampai masa pendudukan Jepang Perguruan Taman Siswa sudah terdapat di kota-kota kecil di Lampung, yaitu di Kotabumi, Talangpadang, Kotaagung, Gedong Tataan, Sukadana dan Kalianda. Jumlah murid tidak menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sebagai suatu sekolah nasional dapat menunjukkan prestasi yang baik dalam menunjang perjuangan di daerah Lampung. Salah seorang yang terkenal ialah Pangeran Emir Mochammad Noor merupakan pejuang yang gigih dari daerah Lampung. Beliau adalah guru Taman Siswa di Telukbetung yang dalam tahun 1943 memperoleh pendidikan Gyugun di Pagaralam, Sumatera Selatan. (Depdikbud, 1982:64).

 

Sekolah di Kolonisasi I.E.V Giesting

Salah satu hal yang menarik dari sejarah di Lampung adalah keberadaan kolonisasi yang dilakukan oleh kaum Indo-Eropa di Giesting, Tanggamus. Keberadaan kolonisasi ini tidak terlepas dari berdirinya Indo-Europeesch Verbond (I.E.V), yang berdiri pada tahun 1919 atas prakarsa Karel Zaalberg. Indo-Europeesch Verbond melaksanakan kolonisasi di Giesting pada tahun 1926 adalah karena adanya motif sosial dan ekonomi yang mendorong kaum Indo-Eropa untuk melaksanakan kolonisasi. Tujuan Indo-Europeesch Verbond melaksanakan kolonisasi di Giesting adalah untuk menghidupkan kesejahteraan kaum Indo-Eropa di Indonesia (Aulia Mutiara Putri, 2022).

Masalah kesejahteraan kaum Indo-Eropa yang telah berpindah di Lampung ini kemudian bukan hanya menyangkut pemenuhan ekonomi semata. Kaum Indo-Eropa di Giesting kemudian meminta pemerintah memperhatikan masalah pendidikan bagi anaka-anak mereka. Pasalnya di Kolonisasi Giesting belum ada sekolah yang dapat memberikan layanan pendidikan. Ketiadaan sekolah ini menjadi kekhawatiran yang dirasakan, oleh karena pemerinta diminta mendirikan sekolah dasar di Giesting.

Mendengar harapan dari para kolonis ini, pemerintah kemudian melakukan perencanaan mengenai pendirian sekolah di Giesting. Mengenai rencana sekolah di koloni tersebut, dapat dilaporkan bahwa jumlah minimum murid yang ditentukan untuk pendirian sekolah dasar belum tercapai. Hasilnya, agar pendidikan tetap dapat diberikan kepada anak-anak kolonis maka Departemen Pendidikan mengirim Ibu Dulon Barre ke Giesting, yang suaminya memang tinggal di Lampung. Pemberitaan dari De Sumatra post, 3 Mei 1927 bahwa Ibu Dulon Barre sebelumnya mengajar di Madiun.

Laporan De Indische Courant, 24 Februari 1928 kolonisasi I.E.V diperluas sekitar sepertiga dari jumlah pemukim. Antusiasme untuk menetap di kolonisasi semakin terlihat. Perkembangan kolonisasi ini kemudian berdampak pada perhatian pemerintah pada ketersedian sekolah di Giesting. Pemerintah menilai dengan perluasan kolonisasi ini juga akan mencapai jumlah minimum sejumlah 25 murid yang ditentukan untuk pendirian sekolah (sekolah I.E.V bersubsidi). Departemen Pendidikan kemudian berhasil mendirikan de Lagere School van de Landbouwkolonie Giesting van het I.E.V atau Sekolah Dasar Koloni Pertanian Giesting I.E.V. Dengan dibukanya sekolah ini maka kebutuhan akan sekolah dasar bagi anak-anak kolonis dapat terpenuhi.

       Pada suatu kesempatan Inspektur Pendidikan Dasar, Tuan Kok, berkunjung di Sekolah Giesting yang saat itu memiliki 20 siswa (8 laki-laki dan 12 perempuan). Sekolah Giesting dikelola oleh Ny. Walker, dibantu oleh Miss. E.I. Leckie. Kedua guru tersebut diperbantukan di Giesting oleh Pemerintah dan Departemen Pendidikan. Inspektur Kok mengirimkan laporan kunjungannya ke sekolah Giesting ke Departemen Pendidikan, di mana dalam laporan tersebut ia berbicara dengan sangat menghargai sekolah tersebut dan pendidikan yang diberikan di sana (De Locomotif, 14 Desember 1928).


Berita tentang Sekolah di Giesting

(Sumber De Locomotif, 14 Desember 1928)

 

Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan di Giesting kemudian disinkronkan dengan kebijakan kolonisasi. Dimana untuk mencukupi kebutuhan guru, pemerintah mengutamakan mengirim calon kolonis yang istrinya memiliki kemampuan mengajar. Kemudian pada tahun 1938 pemerintah juga berencana mendirikan sebuah panti asuhan di Giesting. Dimana panti asuhan diharapkan dapat berdampak pada peningkatan jumlah murid di Giesting. Panti asuhan ini juga akan memberikan pengajaran bagi anak-anak yang tinggal di panti.

Soerabaijasch Handelsblad, 5 Mei 1938 menuliskan bahwa tujuan panti asuhan adalah untuk mengadakan kursus pendidikan pertanian praktis untuk anak laki-laki, sedangkan pelajaran pendidikan rumah tangga sederhana akan diberikan untuk anak perempuan. Kedua mata kuliah tersebut akan berjalan paralel dengan 3 kelas tertinggi sekolah. Desain ini dipilih untuk memberikan pelatihan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam kerangka pertanian, sehingga mereka akan merasa betah sejak usia dini dan bahwa anak laki-laki akan menjadi kekuatan yang mapan untuk koloni pertanian dan anak perempuan untuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan pertanian tambahan. Realisasi rencana ini tentunya akan bermanfaat bagi masa depan Giesting. Diharapkan panti asuhan tersebut dapat dibuka pada bulan Agustus 1938.

 

HCS Xaverius Tanjungkarang

Pada pemberitaan Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937 diceritakan tentang pembukaan Tahun Ajaran 1937/1938 di Sekolah Xavierius Telukbetung yang merupakan HCS (Hollandsch Chineesche School). Sekolah yang berada di bawah Misi Tanjungkarang ini saat pada Tahun Ajaran 1937/1938 memiliki murid sekitar 350 dari berbagai etnis, kebanyakan orang Tionghoa. Berdirinya sekolah Xaverius di Telukbetung ini tidak terlepas dari usaha Pendeta van Oort dan Ny. Voorsmitde Leau pada tahun 1929. Di awal berdirinya Sekolah Xaverius membuka kelas Frobel (Taman Kanak-kanak) dengan jumlah murid 7 anak.

            Berita tentang HCS Telukbetung

             (Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937)

     

 Beranjak tiga tahun dari berdirinya Sekolah Xaverius ini, telah diperluas menjadi Sekolah Umum Eropa yang terdiri dari tujuh kelas dengan total 160 siswa. Sekolah ini dijalankan oleh Suster-suster dari Kongregasi Hati Kudus Yesus. Para orang tua sangat puas dengan pendidikan di sekolah ini. Direktur dan Kepala Sekolah, Suster Wilhelmina, tidak hanya memiliki peran utama dalam masalah manajemen sekolah, tetapi ia juga memiliki kemampuan mengajar bahasa modern (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20 Oktober 1932).

Sekolah Xaverius yang berkembang menjadi HCS Telukbetung ini, kemudian menjadi sekolah kebanggaan masyarakat Eropa di Lampung kala itu. Kebanggaan itu sebagaimana tertulis dalam surat kabar Soerabaijasch Handelsblad:

De resultaten van de Missie van Tandjongkarang wat betreft het onderwijs zijn dus prachtig. Als men op Telokbetong komt dan ziet men aan den Schoolweg een complex gebouwen en een modern, schoolgebouw, de Xaveriusschool, de eerste particuliere H. C. S. in de Lampongs.

Terjemahan:

Oleh karena itu, hasil dari Misi Tanjungkarang dalam hal pendidikan sungguh luar biasa. Sesampainya di Telukbetung, anda akan melihat komplek bangunan dan gedung sekolah modern Sekolah Xaverius, HCS swasta pertama di Lampung.

Selain karena fasilitas gedung yang modern, Sekolah Xaverius ini memang diperhatikan betul dalam hal tenaga pendidik. Untuk itu, Misi Tanjungkarang merekrut guru-guru yang berkompeten. Umumnya guru-guru itu bersal dari Belanda. Sehingga tidak heran dalam tahun ke tahun jumlah murid terus bertambah. Dalam waktu kurang lebih 8 tahun dari didirikan sekolah ini memiliki sebanyak 350 murid. Alumni HCS Telukbetung ini banyak yang kemudian melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Hogere Burger School (HBS).

            Pada perkembangannya sekolah-sekolah Xaverius, terutama yang setingkat Sekolah Dasar, selain berkembang di Telukbetung juga berkembang Tanjungkarang, Gedongtataan, Pringsewu, Talangpadang. Bahkan selepas Indonesia merdeka juga didirikan sekolah menengah dan atas. Dengan demikian hadirnya sekolah Xaverius ini juga memberikan warna dalam perkembangan pendidikan di daerah Lampung hingga kini.

           

Referensi

Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938

Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Mei 1939

De Indische Courant, 24 Februari 1928

De Indische Courant, 23 Februari 1940

De Locomotif, 14 Desember 1928

De Sumatra post, 3 Mei 1927

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20 Oktober 1932

Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937

Soerabaijasch Handelsblad, 5 Mei 1938

Putri, Aulia Mutiara. 2022. Perkembangan Kolonisasi Giesting Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Pada Tahun 1926-1942. Metro: Universitas Muhammadiyah Metro.

Depdikbud. 1982. Sejarah Pendidikan Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer