Minggu, 14 Februari 2021

Indonesia Dalam Panggung

 

Hasil gambar untuk Indonesia Dalam Panggung

Pada 2 September 1948, sebagai Wakil Presiden merangkap Perdana Menteri dan Menteri Pertahanan Mohammad Hatta memberikan keterangan kepada Badan Pekerja KNIP tentang kedudukan politik Negara Indonesia saat itu RI menghadapi berbagai kesulitan yang tidak sedikit. Perundingan dengan Belanda yang dimediasi oleh Komisi Tiga Negara dari PBB terputus. Dari dalam negeri oposisi dari aksi Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Muso menghebat.

 

Untuk menangkis serangan-serangan yang ditujukan kepada pemerintah RI, diadakan sidang BP KNIP. Mengenai pertentangan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dalam perang dingin di masa itu, fraksi FDR PKI dalam Badan Pekerja mendesak supaya RI memilih pihak Uni Soviet. Terkait desakan tesebut, Hatta menyatakan bahwa politik RI tidak memilih pro ini atau pro itu, melainkan memilih jalan sendiri untuk mencapai kemerdekaan. Sejak keterangan Hatta tersebut politik luar negeri RI disebut politik bebas dan aktif. Bebas artinya menentukan jalan sendiri, tidak terpengaruh oleh pihak manapun juga; aktif artinya menuju perdamaian dunia dan bersahabat dengan segala bangsa.

 

Dalam situasi dunia yang terbelah dalam dua Blok, Amerika Serikat dan Uni Soviet, yang saling berusaha memasukkan negara-negara yang baru merdeka pasca Perang Dunia Kedua ke dalam bloknya masing-masing, Indonesia telah mempunyai sikap yang tegas, sebagaimana diungkapkan Hatta dalam pidatonya.

 

“...pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik internasional, melainkan kita harus menjadi subjek yang menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkan tujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya...” (Bagian dari isi pidato Hatta. sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004).

 

Meskipun saat ini perang dingin telah berakhir dan dunia tidak terbelah dalam dua blok, bukan berarti tantangan bagi Indonesia berakhir juga. Kini mulai tampak kecenderungan kuat munculnya Republik Rakyat Cina sebagai kekuatan yang dapat menghadapi Amerika Serikat dan memungkinkan Indonesia dihadapkan pada pilihan atau mempengaruhi bebas aktif kita. Oleh karena itu maka esensi pidato Hatta masih relevan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang ditimbulkan dari pertikaian kepentingan politik antar bangsa.

 

 

A. Landasan Ideal dan Konstitusional Politik Luar Negeri Indonesia Bebas Aktif

 

Politik luar negeri suatu negara lahir ketika negara itu sudah dinyatakan sebagai suatu negara yang berdaulat. Setiap entitas negara yang berdaulat memiliki kebijakan yang mengatur hubungannya dengan dunia internasional, baik berupa negara maupun komunitas internasional lainnya. Kebijakan tersebut merupakan bagian dari politik luar negeri yang dijalankan negara dan merupakan pencerminan dari kepentingan nasionalnya. Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat juga menjalankan politik luar negeri yang senantiasa berkembang disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri dan perubahan situasi internasional.

 

Landasan Ideal dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman, pijakan dalam melaksanakan politik luar negeri Indonesia. Mohammad Hatta menyebutnya sebagai salah satu faktor yang membentuk politik luar negeri Indonesia. Kelima sila yang termuat dalam Pancasila, berisi pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan manusia. Hatta lebih lanjut mengatakan, bahwa Pancasila merupakan salah satu faktor objektif yang berpengaruh atas politik luar negeri Indonesia. Hal ini karena Pancasila sebagai falsafah negara mengikat seluruh bangsa Indonesia, sehingga golongan atau partai politik manapun yang berkuasa di Indonesia tidak dapat menjalankan suatu politik negara yang menyimpang dari Pancasila.

 

Sedangkan landasan konstitusional dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia adalah Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea pertama:

 

“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan” dan alinea keempat”....dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial....”.

 

Tujuan politik luar negeri bebas aktif adalah untuk mengabdi kepada tujuan nasional bangsa Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat yang menyatakan:

 

“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial....”

 

Kemudian agar prinsip bebas aktif dapat dioperasionalisasikan dalam politik luar negeri Indonesia, maka setiap periode pemerintahan menetapkan landasan operasional politik luar negeri Indonesia yang senantiasa berubah sesuai dengan kepentingan nasional.

 

Sejak awal kemerdekaan hingga masa Orde Lama, landasan operasional dari politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif sebagian besar dinyatakan melalui maklumat dan pidato-pidato Presiden Soekarno. Beberapa saat setelah kemerdekaan, dikeluarkanlah Maklumat Politik Pemerintah tanggal 1 November 1945 yang isinya adalah; politik damai dan hidup berdampingan secara damai; tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain; politik bertetangga baik dan kerjasama dengan semua negara di bidang ekonomi, politik dan lain-lain; serta selalu mengacu pada piagam PBB dalam melakukan hubungan dengan negara lain.

 

Selanjutnya pada masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 landasan operasional politik luar negeri Indonesia adalah berdasarkan UUD 1945 yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea pertama, pasal 11 dan pasal 13 ayat 1 dan 2 UUD 1945, Amanat Presiden yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” pada 17 Agustus 1959 atau dikenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia”.

 

Amanat Presiden itu sendiri kemudian dijadikan sebagai Garis Besar Haluan Negara. Berkaitan dengan kebijakan politik luar negeri, Manifesto tersebut memuat tujuan jangka panjang dan tujuan jangka pendek, yaitu :

 

Tujuan djangka pendek jaitu melandjutkan perdjuangan anti imperialisme ditambah dengan mempertahankan kepribadian Indonesia di tengah-tengah tarikan-tarikan ke kanan dan ke kiri jang sekarang sedang berlaku kepada negara kita dalam pergolakan dunia menudju kepada suatu imbangan baru. Sementara dalam djangka pandjang di bidang luar negeri, Revolusi Indonesia bertudjuan melenjapkan imperialisme di mana-mana, dan mentjapai dasar-dasar bagi perdamaian dunia jang kekal dan abadi. Menurut Manipol, diplomasi jang sesuai dengan fungsinja sebagai art jang berhubungan dengan tjara melaksanakannja harus tidak mengenal kompromi, harus radikal dan revolusioner.

( Panitia Penulisan Sedjarah Departemen Luar Negeri,, 1971 . Jakarta: Deplu, 1971, hlm.259)

 

Tujuan jangka pendek dan jangka panjang tidak terlepas dari sejarah Indonesia, sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan. Walaupun Indonesia sudah merdeka, perjuangan untuk melenyapkan imperialisme belum berakhir, sebab negara-negara yang dianggap imperialis dan kolonialis (Barat), masih ada dan berusaha menanamkan pengaruhnya. Indonesia berusaha pula menghindari dari keberpihakan pada dua blok yang bersengketa dan masuk menjadi anggota Non Blok.

 

Pedoman Pelaksanaan Manifesto Politik/Manipol Indonesia berdasarkan pada amanat Presiden tanggal 17 Agustus 1960 yang terkenal dengan nama “Djalanja Revolusi Kita”, yang menetapkan penegasan mengenai cara-cara pelaksanaan Manipol di bidang politik luar negeri. Politik luar negeri Indonesia tidak netral, tidak menjadi penonton dan tidak tanpa prinsip. Politik bebas tidak sekedar “cuci tangan”, tidak sekedar defensif, tapi aktif dan berprinsip serta berpendirian.

 

Manipol, Djarek (Djalanja Revolusi Kita), merupakan embrio kelahiran serta doktrin baru, yaitu dunia tidak terbagi dalam Blok Barat , Blok Timur dan Blok Asia Afrika/Blok ketiga. Akan tetapi dunia terbagi menjadi dua Blok yang saling bertentangan yaitu New Emerging Forces /Nefos dan Old Established Forces/Oldefos.

 

Nefos merupakan kekuatan-kekuatan baru yang sedang bangkit. Sementara Oldefos merupakan kekuatan-kekuatan lama yang sudah mapan. Doktrin Nefos dan Oldefos menjadi dasar politik luar negeri anti imperialis dan kolonialis yang lebih militan. Soekarno mewujudkan gagasan Nefos dan Oldefos itu dengan suatu strategi diplomasi yang agresif dan konfrontatif dengan negara-negara Barat.

 

Pada masa Orde Baru, landasan operasional politik luar negeri Indonesia kemudian semakin dipertegas dengan beberapa peraturan formal, diantaranya adalah Ketetapan MPRS no. XII/ MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966 tentang penegasan kembali landasan kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia. TAP MPRS ini menyatakan bahwa sifat politik luar negeri Indonesia adalah:

 

1. Bebas aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuk manifestasinya dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

2. Mengabdi kepada kepentingan nasional dan amanat penderitaan rakyat.

 

Selanjutnya landasan operasional kebijakan politik luar negeri RI dipertegas lagi dalam Ketetapan MPR tanggal 22 Maret 1973, yang berisi:

 

1. Terus melaksanakan politik luar negeri yang bebas aktif dengan mengabdikannya kepada kepentingan nasional, khususnya pembangunan ekonomi;

2. Mengambil langkah-langkah untuk memantapkan stabilitas wilayah Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sehingga memungkinkan negara-negara di wilayah ini mampu mengurus masa depannya sendiri melalui pembangunan ketahanan nasional masing-masing, serta memperkuat wadah dan kerjasama antara negara anggota perhimpunan bangsa-bangsa Asia Tenggara;

3. Mengembangkan kerjasama untuk maksud-maksud damai dengan semua negara dan badan-badan internasional dan lebih meningkatkan peranannya dalam membantu bangsa-bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya tanpa mengorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional.

 

Ketetapan-ketetapan MPR era Orde Baru dijabarkan dalam pola umum pembangunan jangka panjang dan pola umum pelita dua hingga enam, pada intinya menyebutkan bahwa dalam bidang politik luar negeri yang bebas dan aktif diusahakan agar Indonesia dapat terus meningkatkan peranannya dalam memberikan sumbangannya untuk turut serta menciptakan perdamaian dunia yang abadi, adil dan sejahtera. Namun demikan, menarik untuk dicatat bahwa TAP MPR RI No. IV/MPR/1973 berbeda dengan TAP MPRS tahun 1966. Perbedaan ini seiring dengan pergantian pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, sehingga konsep perjuangan Indonesia yang selalu didengung-dengungkan oleh Soekarno sebagai anti-kolonialisme dan anti-imperialisme tidak lagi memunculkan dalam TAP MPR tahun 1973 di atas. selain itu, sosok politik luar negeri Indonesia juga lebih difokuskan pada upaya pembangunan bidang ekonomi dan peningkatan kerjasama dengan dunia internasional.

 

Selanjutnya TAP MPR RI No. IV/MPR/1978, pelaksanaan politik luar negeri Indonesia juga telah diperluas, yaitu ditujukan untuk kepentingan pembangunan di segala bidang. Realitas ini berbeda dengan TAP-TAP MPR sebelumnya, yang pada umumnya hanya mencakup satu aspek pembangunan saja, yaitu bidang ekonomi. Pada TAP MPR RI No. II/MPR/1983, sasaran politik luar negeri Indonesia dijelaskan secara lebih spesifik dan rinci. Perubahan ini menandakan bahwa Indonesia sudah mulai mengikuti dinamika politik internasional yang berkembang saat itu.

 

Pasca-Orde Baru atau dikenal dengan periode Reformasi yang dimulai dari masa pemerintahan B.J. Habibie sampai pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono secara substansif landasan operasional politik luar negeri Indonesia dapat dilihat melalui: ketetapan MPR No. IV/MPR/1999 tanggal 19 Oktober 1999 tentang garis-garis besar haluan negara dalam rangka mewujudkan tujuan nasional periode 1999-2004. GBHN ini menekankan pada faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya krisis ekonomi dan krisis nasional pada 1997, yang kemudian dapat mengancam integrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Diantaranya adanya ketidakseimbangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi yang demokratis dan berkeadilan. Oleh karena itu, GBHN juga menekankan perlunya upaya reformasi di berbagai bidang, khususnya memberantas segala bentuk penyelewengan seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme serta kejahatan ekonomi dan penyalahgunaan kekuasaan.

 

Selanjutnya ketetapan ini juga menetapkan sasaran-sasaran yang harus dicapai dalam pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri, yaitu:

 

1. menegaskan kembali pelaksanaan politik bebas dan aktif menuju pencapaian tujuan nasional;

2. ikut serta di dalam perjanjian internasional dan peningkatan kerja sama untuk kepentingan rakyat Indonesia;

3. memperbaiki performa, penampilan diplomat Indonesia dalam rangka suksesnya pelaksanaan diplomasi pro-aktif di semua bidang;

4. meningkatkan kualitas diplomasi dalam rangka mencapai pemulihan ekonomi yang cepat melalui intensifikasi kerja sama regional dan internasional

5. mengintensifkan kesiapan Indonesia memasuki era perdagangan bebas;

6. memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara tetangga;

7. mengintensifkan kerja sama dengan negara-negara tetangga dalam kerangka ASEAN dengan tujuan memelihara stabilitas dan kemakmuran di wilayah Asia Tenggara.

 

Ketetapan MPR diatas, secara jelas menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, berorientasi untuk kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa, menolak segala bentuk penjajahan serta meningkatkan kemandirian bengsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

 

 

B. Politik Luar Negeri Bebas Aktif dan Pelaksanaannya

 

1. Lahirnya Politik Luar Negeri Bebas Aktif

 

Setelah proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Indonesia belum memiliki rumusan yang jelas mengenai bentuk politik luar negerinya. Akan tetapi pada masa tersebut politik luar negeri Indonesia sudah memiliki landasan operasional yang jelas, yaitu hanya mengonsentrasikan diri pada tiga sasaran utama yaitu;

1).Memperoleh pengakuan internasional terhadap kemerdekaan RI,

2).Mempertahankan kemerdekaan RI dari segala usaha Belanda untuk kembali bercokol di Indonesia,

3).Mengusahakan serangkaian diplomasi untuk penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda melalui negosiasi dan akomodasi kepentingan, dengan menggunakan bantuan negara ketiga dalam bentuk good officesataupun mediasi dan juga menggunakan jalur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

 

Sesuai dengan sasaran utama kebijakan politik luar negeri sebagaimana disebutdi atas, maka

Indonesia harus berusaha memperkuat kekuatan diplomasinya dengan menarik simpati negara-negara lain.

 

Dalam perang dingin yang sedang berkecamuk antara Blok Amerika (Barat) dengan Blok Uni Soviet (Timur) pada masa awal berdirinya negara Indonesia, Indonesia memilih sikap tidak memihak kepada salah satu blok yang ada. Hal ini untuk pertama kali diuraikan Syahrir, yang pada waktu itu menjabat sebagai Perdana Menteri di dalam pidatonya pada Inter Asian Relations Conference di New Delhi pada tanggal 23 Maret–2 April 1947. Dalam pidatonya tersebut, Syahrir mengajak bangsa-bangsa Asia untuk bersatu atas dasar kepentingan bersama demi tercapainya perdamaian dunia, yang hanya bisa dicapai dengan cara hidup berdampingan secara damai antar bangsa serta menguatkan ikatan antara bangsa ataupun ras yang ada di dunia. Dengan demikian di dalam perang dingin antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang memecah belah persatuan, sikap tidak memihak adalah sikap yang paling tepat untuk menciptakan perdamaian dunia atau paling tidak meredakan perang dingin tersebut.

 

Keinginan Indonesia pada awal kemerdekaannya untuk tidak memihak dalam perang dingin tersebut selain untuk meredakan ketegangan yang ada juga dilatarbelakangi oleh kepentingan nasional Indonesia saat itu, yaitu mencari dukungan dunia Internasional terhadap perjuangan kemerdekaannya. Oleh karena itu, keterikatan pada salah satu kubu (blok) yang ada belum tentu akan mendatangkan keuntungan bagi perjuangan kemerdekaannya. Karena pada waktu itu negara-negara dari Blok Barat (Amerika) masih ragu-ragu untuk mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia menghadapi Belanda yang juga termasuk salah satu dari Blok Barat. Di lain pihak, para pemimpin Indonesia saat itu juga masih ragu-ragu dan belum dapat memastikan apa tujuan sebenarnya dari dukungan-dukungan yang diberikan negara Blok Timur terhadap perjuangan kemerdekaan Indonesia di forum PBB. Selain itu, Indonesia pada saat itu disibukkan oleh usaha mendapatkan pengakuan atas kedaulatannya, sehingga Indonesia harus berkonsentrasi pada masalah tersebut.

 

Secara resmi politik luar negeri Indonesia baru mendapatkan bentuknya pada saat Wakil Presiden Mohammad Hatta memberikan keterangannya kepada BP KNIP (Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat) mengenai kedudukan politik Indonesia pada bulan September 1948, pada saat itu Hatta mengatakan bahwa:

 

“.........tetapi mestikah kita bangsa Indonesia yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan negara kita, harus memilih antara pro-Rusia atau pro-Amerika. Apakah tidak ada pendirian yang lain yang harus kita ambil dalam mengejar cita-cita kita? Pemerintahan berpendapat bahwa pendirian yang harus kita ambil ialah supaya kita jangan menjadi objek dalam pertarungan politik Internasional, melainkan kita harus menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri, berhak memperjuangkantujuan kita sendiri, yaitu Indonesia merdeka seluruhnya.” ( Sumber: Sejarah Diplomasi RI dari Masa ke Masa, Deplu, 2004)

 

Dari pernyataan Mohammad Hatta tersebut jelas terlihat bahwa Indonesia berkeinginan untuk tidak memihak salah satu blok yang ada pada saat itu. Bahkan bercita-cita untuk menciptakan perdamaian dunia yang abadi atau minimal meredakan perang dingin yang ada dengan cara bersahabat dengan semua negara baik di Blok Barat maupun di Blok Timur, karena hanya dengan cara demikian cita-cita perjuangan kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dapat dicapai. Tetapi walaupun Indonesia memilih untuk tidak memihak kepada salah satu blok yang ada, hal itu tidak berarti Indonesia berniat untuk menciptakan blok baru. Karena itu menurut Hatta, Indonesia juga tidak bersedia mengadakan atau ikut campur dengan suatu blok ketiga yang dimaksud untuk mengimbangi kedua blok raksasa itu.

 

 

Sikap yang demikian inilah yang kemudian menjadi dasar politik luar negeri Indonesia yang biasa disebut dengan istilah Bebas Aktif, yang artinya dalam menjalankan politik luar negerinya Indonesia tidak hanya tidak memihak tetapi juga “aktif“ dalam usaha memelihara perdamaian dan meredakan pertentangan yang ada di antara dua blok tersebut dengan cara “bebas“ mengadakan persahabatan dengan semua negara atas dasar saling menghargai.Sejak Mohammad Hatta menyampaikan pidatonya berjudul ”Mendayung Antara Dua Karang” di depan Sidang BP KNIP pada bulan September 1948, Indonesia menganut politik luar negeri bebas-aktif yang dipahami sebagai sikap dasar Indonesia yang menolak masuk dalam salah satu Blok negara-negara superpower, menentang pembangunan pangkalan militer asing di dalam negeri, serta menolak terlibat dalam pakta pertahanan negara-negara besar. Namun, Indonesia tetap berusaha aktif terlibat dalam setiap upaya meredakan ketegangan di dunia internasional (Pembukaan UUD 1945).

 

 

Politik luar negeri RI yang bebas dan aktif itu dapat diartikan sebagai kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang diambil atau sengaja tidak diambil oleh Pemerintah dalam hubungannya dengan negara-negara asing atau organisasi-organisasi internasional dan regional yang diarahakan untuk tercapainya tujuan nasional bangsa. Politik luar negeri bebas aktif inilah yang kemudian menjadi prinsip dalam pelaksanaan politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan selanjutnya. Tentunya pelaksanaan politik luar negeri bebas aktif ini juga disesuaikan dengan kepentingan dalam negeri serta konstelasi politik internasional pada saat itu.

 

2. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Demokrasi Parlermenter 1950-1959

 

Prioritas utama politik luar negeri dan diplomasi Indonesia pasca kemerdekaan hingga tahun 1950an lebih ditujukan untuk menentang segala macam bentuk penjajahan di atas dunia, termasuk juga untuk memperoleh pengakuan internasional atas proses dekolonisasi yang belum selesai di Indonesia, dan menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia melalui politik bebas aktifnya. Usaha dekolonisasi yang dilakukan oleh pihak Belanda dan Sekutu membuat Indonesia memberikan perhatian ekstra pada bagaimana mempertahankan kemerdekaan yang telah digapai dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Indonesia dituntut untuk cerdas dalam menentukan strategi agar kemerdekaan yang telah diraih tidak sia-sia.

 

Pada waktu itu Indonesia berusaha keras untuk mendapatkan pengakuan dunia internasional dengan cara diplomasi. Keberhasilan Indonesia mendapatkan pengakuan dunia internasional melalui meja perundingan ini menjadi titik tolak dari perjuangan diplomasi Indonesia mencapai kepentingannya. Betapa pada masa itu, kekuatan diplomasi Indonesia disegani oleh negara-negara lain. Pada kondisi kemampuan militer dan ekonomi yang kurang, Indonesia mampu meraih simpati publik internasional dan berhasil mendapatkan pengakuan kedaulatan secara resmi melalui perundingan.Sejak pertengahan tahun 1950 an, Indonesia telah memprakarsai dan mengambil sejumlah kebijakan luar negeri yang sangat penting dan monumental, seperti, Konferensi Asia Afrika di Bandung pada tahun 1955. Konsep politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif merupakan gambaran dan usaha Indonesia untuk membantu terwujudnya perdamaian dunia. Salah satu implementasinya adalah keikutsertaan Indonesia dalam membentuk solidaritas bangsa-bangsa yang baru merdeka dalam forum Gerakan Non-Blok (GNB) atau (Non-Aligned Movement/ NAM).

 

Forum ini merupakan refleksi atas terbaginya dunia menjadi dua kekuatan besar, yakni Blok Barat (Amerika Serikat ) dan Blok Timur (Uni Soviet). Konsep politik luar negeri yang bebas aktif ini berusaha membantu bangsa-bangsa di dunia yang belum terlepas dari belenggu penjajahan.

 

3. Politik Luar Negeri Indonesia Masa Soekarno (Demokrasi Terpimpin)

 

Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), politik luar negeri Indonesia bersifat high profile, flamboyan dan heroik, yang diwarnai sikap anti-imperialisme dan kolonialisme serta bersifat konfrontatif. Politik luar negeri Indonesia pada era ini, diabadikan pada tujuan nasional Indonesia. Pada saat itu kepentingan nasional Indonesia adalah pengakuan kedaulatan politik dan pembentukan identitas bangsa. Kepentingan nasional itu diterjemahkan dalam suatu kebijakan luar negeri yang bertujuan untuk mencari dukungan dan pengakuan terhadap kedaulatan Indonesia, dan untuk menunjukan karakter yang dimiliki pada bangsa-bangsa lain di dunia internasional.

 

Politik luar negeri Indonesia pada masa ini juga bersifat revolusioner. Presiden Soekarno dalam era ini berusaha sekuat tenaga untuk mempromosikan Indonesia ke dunia internasional melalui slogan revolusi nasionalnya yakni Nasakom (nasionalis, agama dan komunis) dimana elemen-elemen ini diharapkan dapat beraliansi untuk mengalahkan Nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme). Dari sini dapat dilihat adanya pergeseran arah politik luar negeri Indonesia yakni condong ke Blok komunis, baik secara domestik maupun internasional. Hal ini dilihat dengan adanya kolaborasi politik antara Indonesia dengan China dan bagaimana Presiden Soekarno mengijinkan berkembangnya Partai Komunis Indonesia (PKI) di Indonesia. Alasan Soekarno mengijinkan perluasan PKI itu sendiri adalah agar komunis mampu berasimilasi dengan revolusi Indonesia dan tidak merasa dianggap sebagai kelompok luar .

 

Ketidaksukaan Presiden Soekarno terhadap imperialisme juga dapat dilihat dari responnya terhadap keberadaan Belanda di Irian Barat. Tindakan militer diambil untuk mengambil alih kembali Irian Barat ketika diplomasi dianggap gagal. Dukungan Amerika Serikat yang kemudian didapatkan Soekarno muncul sebagai akibat konfrontasi kedekatan Jakarta dengan Moskow. Taktik konfrontatif ini kemudian digunakan kembali oleh Soekarno ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia akibat pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap Indonesia pro terhadap imperialisme Barat. Puncak ketegangan terjadi ketika Malaysia ditetapkan sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan PBB. Hal ini menyulut kemarahan Indonesia. Hingga akhirnya pada 15 September 1965 Indonesia keluar dari PBB karena Soekarno beranggapan bahwa PBB berpihak pada Blok Barat. Mundurnya Indonesia dari PBB berujung pada terhambatnya pembangunan dan modernisasi Indonesia karena menjauhnya Indonesia dari pergaulan Internasional.

 

Presiden Soekarno memperkenalkan doktrin politik baru berkaitan dengan sikap konfrontasi penuhnya terhadap imperialisme dan kolonialisme. Doktrin itu mengatakan bahwa dunia terbagi dalam dua blok, yaitu “Oldefos” (Old Established Forces) dan “Nefos” (NewEmerging Forces). Soekarno menyatakan bahwa ketegangan-ketegangan di dunia pada dasarnya akibat dari pertentangan antara kekuatan-kekuatan orde lama (Oldefos) dan kekuatan-kekuatan yang baru bangkit atau negara-negara progresif (Nefos).

 

Imperialisme, kolonialisme, dan neokolonialisme merupakan paham-paham yang dibawa dan dijalankan oleh negara-negara kapitalis Barat. Dalam upayanya mengembangkan Nefos, Presiden Soekarno melaksanakan Politk Mercusuar bahwa Indonesia merupakan mercusuar yang mampu menerangi jalan bagi Nefos di seluruh dunia. Salah satu tindakan usaha penguatan eksistensi Indonesia dan Nefos juga dapat dilihat dari pembentukan poros Jakarta – Peking yang membuat Indonesia semakin dekat dengan negara-negara sosialis dan komunis seperti China.

 

Faktor dibentuknya poros ini antara lain, pertama, karena konfrontasi dengan Malaysia menyebabkan Indonesia membutuhkan bantuan militer dan logistik, mengingat Malaysia mendapat dukungan penuh dari Inggris, Indonesia pun harus mencari kawan negara besar yang mau mendukungnya dan bukan sekutu Inggris, salah satunya adalah China. Kedua, Indonesia perlu untuk mencari negara yang mau membantunya dalam masalah dana dengan persyaratan yang mudah, yakni negara China dan Uni Soviet. Politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin juga ditandai dengan usaha keras Presiden Soekarno membuat Indonesia semakin dikenal di dunia internasional melalui beragam konferensi internasional yang diadakan maupun diikuti Indonesia. Tujuan awal dari dikenalnya Indonesia adalah mencari dukungan atas usaha dan perjuangan Indonesia merebut dan mempertahankan Irian Barat. Namun seiring berjalannya waktu, status dan prestis menjadi faktor-faktor pendorong semakin gencarnya Soekarno melaksanakan aktivitas politik luar negeri ini. Efek samping dari kerasnya usaha ke luar Soekarno ini adalah ditinggalkannya masalah-masalah domestik seperti masalah ekonomi.

 

Soekarno beranggapan bahwa pertumbuhan ekonomi pada fase awal berdirinya suatu negara adalah hal yang tidak terlalu penting. Beliau beranggapan bahwa pemusnahan pengaruh-pengaruh asing baik itu dalam segi politik, ekonomi maupun budaya adalah hal-hal yang harus diutamakan dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi domestik. Soekarno dengan gencar melancarkan politik luar negeri aktif namun tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian dalam negeri yang pada kenyatannya morat- marit akibat inflasi yang terjadi secara terus-menerus, penghasilan negara merosot sedangkan pengeluaran untuk proyek-proyek Politik Mercusuar seperti GANEFO (Games of The New Emerging Forces) dan CONEFO (Conference of The New Emerging Forces) terus membengkak. Hal inilah yang pada akhirnya menjadi salah satu penyebab krisis politik dan ekonomi Indonesia pada masa akhir pemerintahan Demokrasi Terpimpin.

 

 

4. Politik Luar Negeri Indonesia Pada Masa Orde Baru

 

Pada masa awal Orde Baru terjadi perubahan pada pola hubungan luar negeri Indonesia. dalam segala bidang. Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia lebih memfokuskan pada pembangunan sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi tidak dapat dilaksanakan secara baik, tanpa adanya stabilitas politik keamanan dalam negeri maupun di tingkat regional. Pemikiran inilah yang mendasari Presiden Soeharto mengambil beberapa langkah kebijakan politik luar negeri (polugri), yaitu membangun hubungan yang baik dengan pihak-pihak Barat dan “good neighbourhood policy” melalui Association South East Asian nation (ASEAN). Titik berat pembangunan jangka panjang Indonesia saat itu adalah pembangunan ekonomi, untuk mencapai struktur ekonomi yang seimbang dan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, pada dasawarsa abad yang akan datang. Tujuan utama politik luar negeri Soeharto pada awal penerapan New Order (tatanan baru) adalah untuk memobilisasi sumber dana internasional demi membantu rehabilitasi ekonomi negara dan pembangunan, serta untuk menjamin lingkungan regional yang aman yang memudahkan Indonesia untuk berkonsentrasi pada agenda domestiknya.

 

Berikut pernyataan Presiden Soeharto mengenai politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif.

 

“ Bagi Indonesia, politik luar negerinya yang berprinsip non-Blok tidak identik dengan tidak adanya keterlibatan. Itulah alasannya mengapa Indonesia lebih suka mengatakannya sebagai politik luar negeri yang bebas dan aktif karena politik luar negeri kita tidak hampa, mati, atau tidak berjalan. Politik luar negeri Indonesia adalah bebas di mana Indonesia bebas dari ikatan apapun juga, baik itu dalam secara militer, politik ataupun secara ideologis bahwa Indonesia benar-benar terbebas dari berbagai masalah atau peristiwa dengan tidak adanya pengaruh dari pihak manapun, baik secara militer, politis, ataupun secara ideologis.” (Kumpulan Pidato Presiden Soeharto, http://kepustakaan-presiden.pnri.go.id/speech)

 

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, dalam bidang politik luar negeri, kebijakan politik luar negeri Indonesia lebih menaruh perhatian khusus terhadap soal regionalisme. Para pemimpin Indonesia menyadari pentingnya stabilitas regional akan dapat menjamin keberhasilan rencana pembangunan Indonesia. Kebijakan luar negeri Indonesia juga mempertahankan persahabatan dengan pihak Barat, memperkenalkan pintu terbuka bagi investor asing, serta bantuan pinjaman. Presiden Soeharto juga selalu menempatkan posisi Indonesia sebagai pemeran utama dalam pelaksanaan kebijakan luar negerinya tersebut, seperti halnya pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.

 

Beberapa sikap Indonesia dalam melaksanakan politik luar negerinya antara lain; menghentikan konfrontasi dengan Malaysia. Upaya mengakhiri konfrontasi terhadap Malaysia dilakukan agar Indonesia mendapatkan kembali kepercayaan dari Barat dan membangun kembali ekonomi Indonesia melalui investasi dan bantuan dari pihak asing. Tindakan ini juga dilakukan untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia meninggalkan kebijakan luar negerinya yang agresif. Konfrontasi berakhir setelah Adam Malik yang pada saat itu menjabat sebagai Menteri Luar Negeri menandatangani Perjanjian Bangkok pada tanggal 11 Agustus 1966 yang isinya mengakui Malaysia sebagai suatu negara.

 

 

Selanjutnya Indonesia juga terlibat aktif membentuk organisasi ASEAN bersama dengan Singapura, Malaysia, Thailand dan Filipina. Dalam pembentukan ASEAN Indonesiamemainkan peranan utama dalam pembentukan organisasi ASEAN. ASEAN merupakan wadah bagi politik luar negeri Indonesia. Kerja sama ASEAN dipandang sebagai bagian terpenting dari kebijakan luar negeri Indonesia. Ada kesamaan kepentingan nasional antara negara-negara anggota ASEAN, yaitu pembangunan ekonomi dan sikap non komunis.

 

Dengan demikian, stabilitas negara-negara anggota ASEAN bagi kepentingan nasional Indonesia sendiri sangatlah penting. ASEAN dijadikan barometer utama pelaksanaan kerangka politik luar negeri Indonesia. Berbagai kebutuhan masyarakat Indonesia coba difasilitasi dan dicarikan solusinya dalam forum regional ini. Pemerintahan Soeharto coba membangun Indonesia sebagai salah satu negara Industri baru di kawasan Asia Tenggara, sehingga pernah disejajarkan dengan Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand sebagai macan-macan Asia baru. Di samping itu, politik luar negeri Indonesia dalam forum ASEAN, juga untuk membentuk citra positif Indonesia sebagai salah satu negara yang paling demokratis dan sangat layak bagi investasi industri.

 

Presiden Soeharto memakai Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) untuk memproyeksikan posisi kepemimpinan Indonesia. Pada awalnya Indonesia tidak setuju dengan APEC. Kekhawatiran itu didasarkan pada ketidakmampuan Indonesia menghadapi liberalisasi perdagangan. Kekhawatiran lainnya adalah kehadiran APEC dapat mengikis kerjasama antara negara-negara ASEAN.

 

Setelah berakhirnya Perang Dingin, Indonesia mengubah pandangannya terhadap APEC. Faktor pendorongnya antara lain adalah karena Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC selanjutnya. Keberhasilan Indonesia menjadi ketua pertemuan APEC dan juga keberhasilan menjadi Ketua Gerakan Non Blok X pada tahun 1992, setidaknya memberikan pengakuan bahwa Indonesia adalah salah satu pemimpin internasional.

 

Selain ASEAN, keterlibatan Indonesia dalam membentuk kondisi perekonomian global yang stabil dan kondusif, serta memaksimalkan kepentingan nasional, Indonesia juga masuk sebagai anggota negara-negara produsen atau penghasil minyak dalam OPEC. OPEC menjadi barometer pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia dalam hal stabilitas perekonomian dunia.Kepemimpinan Soeharto secara umum mempunyai karakteristik yang berbeda dengan pendahulunya. Diparuh pertama kepemimpinannya, dia cenderung adaptif dan low profile.Dan pada paruh terakhir kepemimpinannya, sejak 1983, Soeharto mengubah gaya kepemimpinannya menjadi high profile.

 

Gayanya tersebut mempengaruhi pilihan-pilihan politik luar negerinya, yang pada kenyataannya tidak dapat dilepaskan dari kondisi politik-ekonomi dan keamanan dalamnegeri Indonesia, dengan nilai ingin menyejahterakan bangsa, Soeharto mengambil gaya represif (di dalam negeri) dan akomodatif (di luar negeri).

 

 

5. Politik Luar Negeri Indonesia Era Reformasi

 

Orientasi politik luar negeri Indonesia di awal reformasi masih sangat dipengaruhi oleh kondisi domestik akibat krisis multidimensi akibat transisi pemerintahan. Perhatian utama politik luar negeri Indonesia diarahkan pada upaya pemulihan kembali kepercayaan dunia internasional terhadap Indonesia serta memulihkan perekonomian nasional. Politik luar negeri Indonesia saat itu lebih banyak dipengaruhi oleh perkembangan politik domestik daripada politik internasional.Pada masa awal reformasi yang dimulai oleh pemerintahan Presiden B.J.Habibie, pemerintah Habibie disibukkan dengan usaha memperbaiki citra Indonesia di kancah internasional yang sempat terpuruk sebagai dampak krisis ekonomi di akhir era Orde Baru dan kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur. Lewat usaha kerasnya, Presiden Habibie berhasil menarik simpati dari Dana Moneter Internasional/International Monetary Funds(IMF) dan Bank Dunia untuk mencairkan program bantuan untuk mengatasi krisis ekonomi.

 

 

Pada masa pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid, hubungan RI dengan negara-negara Barat mengalami sedikit masalah setelah lepasnya Timor- Timur dari NKRI. Presiden Wahid memiliki cita-cita mengembalikan citra Indonesia di mata internasional. Untuk itu beliau banyak melakukan kunjungan kenegaraan ke luar negeri. Dalam setiap kunjungan luar negeri yang ekstensif, selama masa pemerintahan yang singkat Presiden Wahid secara konstan mengangkat isu-isu domestik dalam setiap pertemuannya dengan setiap kepala negara yang dikunjunginya. Termasuk dalam hal ini, selain isu Timor-Timur, adalah soal integritas tertorial Indonesia seperti kasus Aceh, Papua dan isu perbaikan ekonomi.

 

Diplomasi di era pemerintahan Abdurrahman Wahid dalam konteks kepentingan nasional selain mencari dukungan pemulihan ekonomi, rangkaian kunjungan ke mancanegara diarahkan pula pada upaya-upaya menarik dukungan mengatasi konflik domestik, mempertahankan integritas teritorial Indonesia, dan hal yang tak kalah penting adalah demokratisasi melalui proses peran militer agar kembali ke peran profesional. Ancaman integrasi nasional di era Presiden Wahid menjadi kepentingan nasional yang sangat mendesak dan diprioritaskan.Megawati dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 23 Juli 2001. Pada awal pemerintahannya, suasana politik dan keamanan menjadi sejuk dan kondusif. Walaupun ekonomi Indonesia mengalami perbaikan, seperti nilai tukar rupiah yang agak stabil, tetapi Indonesia pada masa pemerintahannya tetap saja tidak menunjukkan perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lainnya.

 

Belajar dari pemerintahan presiden yang sebelumnya, Presiden Megawati lebih memerhatikan dan memertimbangkan peran DPR dalam penentuan kebijakan luar negeri dan diplomasi seperti diamanatkan dalam UUD 1945. Presiden Megawati juga lebih memprioritaskan diri untuk mengunjungi wilayah-wilayah konflik di Tanah Air seperti Aceh, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Selatan atau Timor Barat.

 

Pada era pemerintahan Megawati, disintegrasi nasional masih menjadi ancaman bagi keutuhan teritorial. Selain itu, pada masa pemerintahan Megawati juga terjadi serangkaian ledakan bom di tanah air. Sehingga dapat dipahami, jika isu terorisme menjadi perhatian serius bagi pemerintahan Megawati.

 

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dilantik menjadi Presiden ke-6 Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2004. SBY merupakan Presiden Indonesia pertama yang dipilih melalui mekanisme pemilihan umum secara langsung. SBY berhasil mengubah citra Indonesia dan menarik investasi asing dengan menjalin berbagai kerjasama dengan banyak negara pada masa pemerintahannya, antara lain dengan Jepang. Perubahan-perubahan global pun dijadikannya sebagai peluang. Politik luar negeri Indonesia di masa pemerintahan SBY diumpamakan dengan istilah ‘mengarungi lautan bergelombang’, bahkan ‘menjembatani dua karang’. Hal tersebut dapat dilihat dengan berbagai insiatif Indonesia untuk menjembatani pihak-pihak yang sedang bermasalah. Indonesia tidak pandang bulu bergaul dengan negara manapun sejauh memberikan manfaat bagi Indonesia.

 

Ciri politik luar negeri Indonesia pada masa pemerintahan SBY, yaitu:

1. Terbentuknya kemitraan-kemitraan strategis dengan negara-negara lain (Jepang, China, India, dll).

2. Terdapat kemampuan beradaptasi Indonesia terhadap perubahan- perubahan domestik dan perubahan-perubahan yang terjadi di luar negeri (internasional).

3. Bersifat pragmatis kreatif dan oportunis, artinya Indonesia mencoba menjalin hubungan dengan siapa saja (baik negara, organisasi internasional, ataupun perusahaan multinasional) yang bersedia membantu Indonesia dan menguntungkan pihak Indonesia.

4. Konsep TRUST, yaitu membangun kepercayaan terhadap dunia Internasional. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST adalah unity, harmony, security, leadership, prosperity. Prinsip-prinsip dalam konsep TRUST inilah yang menjadi sasaran politik luar negeri Indonesia di tahun 2008 dan selanjutnya.

 

 

C.Peran Indonesia Dalam Upaya Menciptakan Perdamaian Dunia

 

1. Pelaksanaan Konferensi Asia Afrika (KAA) 1955

 

Berakhirnya Perang Dunia II pada bulan Agustus 1945, tidak berarti berakhir pula situasi permusuhan di antara bangsa-bangsa di dunia dan tercipta perdamaian dan keamanan. Ternyata di beberapa pelosok dunia, terutama di belahan bumi Asia Afrika, masih ada masalah dan muncul masalah baru yang mengakibatkan permusuhan yang terus berlangsung, bahkan pada tingkat perang terbuka, seperti di Jazirah Korea, Indo Cina, Palestina, Afrika Selatan, Afrika Utara.

 

Masalah-masalah tersebut sebagian disebabkan oleh lahirnya dua blok kekuatan yang bertentangan secara ideologi maupun kepentingan, yaitu Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat dipimpin oleh Amerika Serikat dan Blok Timur dipimpin oleh Uni Sovyet. Tiap-tiap blok berusaha menarik negara-negara Asia dan Afrika agar menjadi pendukung mereka. Hal ini mengakibatnkan tetap hidupnya dan bahkan tumbuhnya suasana permusuhan yang terselubung diantara dua blok itu dan pendukungnya. Suasana permusuhan tersebut dikenal dengan nama “Perang Dingin”.

 

Timbulnya pergolakan di dunia disebabkan pula masih adanya penjajahan di bumi kita ini, terutama di belahan Asia dan Afrika. Memang sebelum tahun 1945, pada umumnya dunia Asia dan Afrika merupakan daerah jajahan bangsa Barat dalam aneka bentuk. Tetapi sejak tahun 1945, banyak di daerah Asia Afrika menjadi negara merdeka dan banyak pula yang masih berjuang bagi kemerdekaan negara dan bangsa mereka seperti Aljazair, Tunisia, dan Maroko di wilayah Afrika Utara; Vietnam di Indo Cina; dan di ujung selatan Afrika.

 

Beberapa negara Asia Afrika yang telah merdeka pun masih banyak yang menghadapi masalah-masalah sisa penjajahan seperti Indonesia tentang Irian Barat, India dan Pakistan.Sementara itu bangsa-bangsa di dunia, terutama bangsa-bangsa Asia Afrika, sedang dilanda kekhawatiran akibat makin dikembangkannya senjata nuklir yang bisa memusnahkan umat manusia. Situasi dalam negeri di beberapa Asia Afrika yang telah merdeka pun masih terjadi konflik antar kelompok masyarakat sebagai akibat masa penjajahan (politik divide et impera) dan perang dingin antara Blok dunia tersebut. Walaupun pada masa itu telah ada badan internasional yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang berfungsimenanganimasalah-masalah dunia, namun nyatanya badan ini belum berhasil menyelesaikan persoalan tersebut.

 

Sedangkan kenyataannya, akibat yang ditimbulkan oleh masalah-masalah ini, sebagian besar diderita oleh bangsa-bangsa di Asia Afrika. Keadaan itulah yang melatarbelakangi lahirnya gagasan untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika. Pada awal tahun 1954, Perdana Menteri Ceylon (Srilangka) Sir Jhon Kotelawala mengundang para Perdana Menteri dari Birma (U Nu), India (Jawaharlal Nehru), Indonesia (Ali Sastroamidjojo), dan Pakistan (Mohammed Ali) dengan maksud mengadakan suatu pertemuan informal di negaranya.

 

Undangan tersebut diterima baik oleh semua pimpinan pemerintah negara yang diundang. Pertemuan yang kemudian disebut Konferensi Kolombo itu dilaksanakan pada tanggal 28 April sampai dengan 2 Mei 1954. Konferensi ini membicarakan masalah-masalah yang menjadi kepentingan bersama.Yang menarik perhatian para peserta konferensi, diantaranya pernyataan yang diajukan oleh Perdana Menteri Indonesia Ali Sastroamidjojo:

 

” Dimana sekarang kita berdiri, bangsa Asia sedang berada di tengah-tengah persaingan dunia. Kita sekarang berada dipersimpangan jalan sejatah umat manusia. Oleh karena itu kita Lima Perdana Menteri negara-negara Asia bertemu disini untuk membicarakan masalah-masalah yang krusial yang sedang dihadapi oleh masyarakat yang kita wakili. Ada beberapa hal yang mendorong Indonesia mengajukan usulan untuk mengadakan pertemuan lain yang lebih luas, antara negara-negara Afrika dan Asia .Saya percaya bahwa masalah-masalah itu tidak terjadi hanya di negara-negara Asia yang terwakili disini, tetapi juga sama pentingnya bagi negara-negara Afrika dan Asia lainnya”. (Ali Sastroamidjojo, Tonggak-tonggak di Perjalananku, Kinta, 1974)

 

Pernyataan tersebut memberi arah kepada lahirnya Konferensi Asia Afrika (KAA). Selanjutnya, soal perlunya Konferensi Asia Afrika diadakan, diajukan pula oleh Indonesia dalam sidang berikutnya. Usul itu akhirnya diterima oleh semua konferensi, walaupun masih dalam suasana keraguan. Perdana Menteri Indonesia pergi ke Kolombo untuk memenuhi undangan Perdana Menteri Srilangka dengan membawa bahan-bahan hasil perumusan Pemerintah Indonesia . Bahan-bahan tersebut merupakan hasil rapat dinas Kepala-kepala Perwakilan Indonesia di negara-negara Asia dan Afrika yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Mr.Sunario. Rapat dinas tersebut diadakan di Tugu (Bogor) pada tanggal 9 Sampai dengan 22 Maret 1954. Akhirnya, dalam pernyataan bersama pada akhir Konferensi Kolombo, dinyatakan bahwa para Perdana Menteri peserta konferensi membicarakan kehendak untuk mengadakan konferensi negara-negara Asia Afrika dan menyetujui usul agar Perdana Menteri Indonesia dapat menjajaki sampai dimana kemungkinannya mengadakan konferensi semacam itu.

 

Konferensi Kolombo telah menugaskan Indonesia agar menjajaki kemungkinan untuk diadakannya Konferensi Asia Afrika. Dalam rangka menunaikan tugas itu Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan melalui saluran diplomatik kepada 18 negara Asia Afrika. Maksudnya, untuk mengetahui sejauh mana pendapat negara-negara tersebut terhadap ide mengadakan konferensi tersebut. Ternyata pada umumnya negara-negara yang dihubungi menyambut baik ide tersebut dan menyetujui Indonesia sebagai tuan rumah pelaksanaan konferensi.

 

Atas undangan Perdana Menteri Indonesia, para Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo (Birma/Myanmar, Srilangka, India, Indonesia, dan Pakistan) mengadakan Konferensi di Bogor pada tanggal 28 dan 29 Desember 1954, yang dikenal dengan sebutan Konferensi Panca Negara. Konferensi ini membicarakan persiapan pelaksanaan Konferensi Asia Afrika.Bogor berhasil merumuskan kesepakatan bahwa Konferensi Asia Afrika diadakan atas penyelenggaraan bersama dan kelima negara peserta konferensi tersebut menjadi negara sponsornya. Undangan kepada negara-negara peserta disampaikan oleh Pemerintah Indonesia atas nama lima negara. Negara-negara yang diundang disetujui berjumlah 25 negara, yaitu: Afganistan, Kamboja, Federasi Afrika Tengah, Republik Rakyat Tiongkok (China), Mesir, Ethiopia, Pantai Emas (Gold Coast), Iran, Irak, Jepang, Yordania, Laos, Libanon, Liberia, Libya, Nepal, Filipina, Saudi Arabia, Sudan, Syria, Thailand (Muangthai), Turki, Republik Demokrasi Vietnam (Vietnam Utara), Vietnam Selatan, dan Yaman. Waktu Konferensi ditetapkan pada minggu terakhir April 1995.

 

Mengingat negara-negara yang akan diundang mempunyai politik luar negeri serta sistem politik dan sosial yang berbeda-beda. Konferensi Bogor menentukan bahwa menerima undangan untuk turut dalam konferensi Asia Afrika tidak berarti bahwa negara peserta tersebut akan berubah atau dianggap berubah pendiriannya mengenai status dari negara-negara lain. Konferensi menjunjung tinggi pula asas bahwa bentuk pemerintahan atau cara hidup sesuatu negara sekali-sekali tidak akan dapat dicampuri oleh negara lain.

 

Maksud utama konferensi ialah supaya negara-negara peserta menjadi lebih saling mengetahui pendirian mereka masing-masingGedung Dana Pensiun dipersiapkan sebagai tempat sidang-sidang Konferensi. Hotel Homann, Hotel Preanger, dan 12 (duabelas) hotel lainnya serta perumahan perorangan dan pemerintah dipersiapkan pula sebagai tempat menginap para tamu yang berjumlah 1300 orang. Dalam kesempatan memeriksa persiapan-persiapan terakhir di Bandung pada tanggal 17 April 1955, Presiden RI Soekarno meresmikan penggantian nama Gedung Concordia menjadi Gedung Merdeka, Gedung Dana Pensiun menjadi Gedung Dwi Warna, dan sebagian Jalan Raya Timur menjadi Jalan Asia Afrika. Penggantian nama tersebut dimaksudkan untuk lebih menyemarakkan konferensi dan menciptakan suasana konferensi yang sesuai dengan tujuan konferensi.

 

Pada tanggal 15 Januari 1955, surat undangan Konferensi Asia Afrika dikirimkan kepada Kepala Pemerintahan 25 (dua puluh lima) negara Asia dan Afrika. Dari seluruh negara yang diundang hanya satu negara yang menolak undangan itu, yaitu Federasi Afrika Tengah (Central African Federation), karena memang negara itu masih dikuasai oleh orang-orang bekas penjajahnya. Sedangkan 24 (dua puluh empat) negara lainnya menerima baik undangan itu, meskipun pada mulanya ada negara yang masih ragu-ragu. Sebagian besar delegasi peserta konferensi tiba di Bandung lewat Jakarta pada tanggal 16 April 1955.

 

Pada tanggal 18 April 1955 Konferensi Asia Afrika dilangsungkan di Gedung Merdeka Bandung. Konferensi dimulai pada jam 09.00 WIB dengan pidato pembukaan oleh Presiden Republik Indonesia Ir. Soekarno. Sidang-sidang selanjutnya dipimpin oleh Ketua Konferensi Perdana Menteri RI Ali Sastroamidjojo.Konferensi Asia Afrika di Bandung melahirkan suatu kesepakatan bersama yang merupakan pokok-pokok tindakan dalam usaha menciptakan perdamaian dunia. Ada sepuluh pokok yang dicetuskan dalam konferensi tersebut, maka itu disebut Dasasila Bandung.

 

Dasasila Bandung

1)        Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan, serta asas-asas kemanusian yang termuat dalam piagam PBB.

2)        Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.

3)        Mengakui persamaan semua suku-suku bangsa dan persamaan semua bangsa besar maupun kecil.

4)        Tidak melakukan campur tangan dalam soal-soal dalam negara lain.

5)        Menghormati hak-hak tiap bangsa untuk mempertahankan diri secara sendirian atau secara kolektif, yang sesuai dengan piagam PBB.

6)        Tidak melakukan tekanan terhadap negara-negara lain.

7)        Tidak melakukan tindakan-tindakan atau ancaman agresi terhadap integritas teritorial dan kemerdekaan negara lain.

8)        Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan jalan damai seperti perundingan, persetujuan, dan lain-lain yang sesuai dengan piagam PBB.

9)        Memajukan kerjasama untuk kepentingan bersama.

10)    Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

 

Dalam penutup komunike terakhir dinyatakan bahwa Konferensi Asia Afrika menganjurkan supaya kelima negara penyelenggara mempertimbangkan untuk diadakan pertemuan berikutnya dari konferensi ini, dengan meminta pendapat negara-negara peserta lainnya. Tetapi usaha untuk mengadakan Konferensi Asia Afrika kedua selalu mengalami hambatan yang sulit diatasi. Tatkala usaha itu hampir terwujud (1964), tiba-tiba di negara tuan rumah (Aljazair) terjadi pergantian pemerintahan, sehingga konferensi itu tidak jadi. Konferensi Asia Afrika di Bandung, telah berhasil menggalang persatuan dan kerja sama di antara negara-negara Asia dan Afrika, baik dalam menghadapi masalah internasional maupun masalah regional. Konferensi serupa bagi kalangan tertentu di Asia dan Afrika beberapa kali diadakan pula, seperti Konferensi Wartawan Asia Afrika, Konferensi Islam Asia Afrika, Konferensi Pengarang Asia Afrika, dan Konferensi Mahasiswa Asia Afrika.

 

Konferensi Asia Afrika telah membakar semangat dan menambah kekuatan moral para pejuang bangsa-bangsa Asia Afrika yang pada masa itu tengah memperjuangkan kemerdekaan tanah air mereka, sehingga kemudian lahirlah sejumlah negara merdeka di benua Asia dan Afrika. Semua itu menandakan bahwa cita-cita dan semangat Dasa Sila Bandung semakin merasuk kedalam tubuh bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Jiwa Bandung dengan Dasa Silanya telah mengubah pandangan dunia tentang hubungan internasional. Bandung telah melahirkan faham Dunia Ketiga atau “Non-Aligned” terhadap dunia pertamanya Washington dan Dunia keduanya Moscow.

 

Dengan diselenggarakannya KAA di Bandung, kota Bandung menjadi terkenal di seluruh dunia. Semangat perdamaian yang dicetuskan di kota Bandung dijuluki “semangat Bandung” atau “Bandung Spirit”. Untuk mengabadikan peristiwa sejarah yang penting itu jalan protokol di kota Bandung yang terbentang di depan gedung Merdeka diberi nama Jalan Asia Afrika.

 

2. Gerakan Non-Blok/ Non Align Movement(NAM)

 

Gerakan Non-Blok (GNB) atau Non Align Movement(NAM) adalah suatu gerakan yang dipelopori oleh negara-negara dunia ketiga yang beranggotakan lebih dari 100 negara-negara yang berusaha menjalankan kebijakan luar negeri yang tidak memihak dan tidak menganggap dirinya beraliansi dengan Blok Barat atau Blok Timur. Gerakan Non Blok merepresentasikan 55 persen penduduk dunia dan hampir 2/3 keanggotaan PBB. Mayoritas negara-negara anggota GNB adalah negara-negara yang baru memperoleh kemerdekaan setelah berakhirnya Perang Dunia II, dan secara geografis berada di benua Asia, Afrika dan Amerika Latin.

 

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, tepatnya di era 1950-an negara–negara di dunia terpolarisasi dalam dua blok, yaitu Blok Barat di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Blok Timur di bawah pimpinan Uni Soviet. Pada saat itu terjadi pertarungan yang sangat kuat antara Blok Barat dan Timur, era ini dikenal sebagai era perang dingin (Cold War) yang berlangsung sejak berakhirnya PD II hingga runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1989. Pertarungan antara Blok Barat dan Timur merupakan upaya untuk memperluas sphere of dan sphere of influence. Dengan sasaran utama perebutan penguasaan atas wilayah-wilayah potensial di seluruh dunia.

 

Dalam pertarungan perebutan pengaruh ini, negara-negara dunia ketiga (di Asia, Afrika, Amerika Latin) yang mayoritas sebagai negara yang baru merdeka dilihat sebagai wilayah yang sangat menarik bagi kedua blok untuk menyebarkan pengaruhnya. Akibat persaingan kedua blok tersebut, muncul beberapa konflik terutama di Asia, seperti Perang Korea, dan Perang Vietnam. Dalam kondisi seperti ini, muncul kesadaran yang kuat dari para pemimpin dunia ketiga saat itu untuk tidak terseret dalam persaingan antara kedua blok tersebut.

 

Indonesia bisa dikatakan memiliki peran yang sangat penting dalam proses kelahiran organisasi ini. Lahirnya organisasi Gerakan Non Blok dilatar belakangi oleh kekhawatiran para pemimpin negara-negara dunia ketiga terutama dari Asia dan Afrika terhadap munculnya ketegangan dunia saat itu karena adanya persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur. Dengan dipelopori oleh lima pemimpin negara Indonesia, India, Pakistan, Burma dan Srilangka. Terselenggaralah sebuah pertemuan pertama di Kolombo (Srilangka) pada 28 April-2 Mei 1952, dilanjutkan dengan pertemuan di Istana Bogor pada 29 Desember 1954. Dua konferensi diatas merupakan cikal bakal dari terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika / KAA di Bandung pada 18 April-25 April 1955 yang dihadiri oleh wakil dari 29 negara Asia dan Afrika.

 

KAA di Bandung merupakan proses awal lahirnya GNB. Tujuan KAA adalah mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan berusaha memformulasikan kebijakan bersama negara-negara yang baru merdeka tersebut pada tataran hubungan internasional. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin mendekati kenyataan, dan proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Ghamal Abdul Naser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josep Broz Tito. Kelima tokoh ini kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

 

Adanya ketegangan dunia yang semakin meningkat akibat persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur, yang dimulai dari pecahnya perang Vietnam, perang Korea, dan puncaknya krisis teluk Babi di Kuba, yang hampir saja memicu Perang Dunia III, mendorong para pemimpin negara-negara Dunia Ketiga untuk membentuk sebuah organisasi yang diharapkan bisa berperan mengurangi ketegangan politik dunia internasional saat itu. Pembentukan organisasi Gerakan Non Blok dicanangkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I di Beograd, Yugoslavia 1-6 September 1961 yang dihadiri oleh 25 negara dari Asia dan Afrika. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya kerjasama diantara mereka. Pada KTT I ini juga ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan kepentingan negara-negara anggotanya.

 

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun 1955 yang diselenggararakan di Bandung dan menghasilkan Dasa Sila Bandung yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar. Tujuan kedalam yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi, sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju. Tujuan ke luar, yaitu berusaha meredakan ketegangan antara Blok Barat dan Blok Timur menuju perdamaian dan keamanan dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negera-negara Non Blok menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT). Pokok pembicaraan utama adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non Blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-peristiwa internasional yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.

 

Dalam perjalanan sejarahnya sejak KTT I di Beograd tahun 1961, Gerakan Non Blok telah 16 kali menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi, yang terakhir KTT XVI yang berlangsung di Teheran pada Agustus 2012. Indonesia sebagai salah satu pendiri GNB pernah menjadi tuan rumah penyelenggaraan KTT GNB yang ke X pada tahun 1992. KTT X ini diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada September 1992 – 7 September 1992, dipimpin oleh Soeharto. KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang mengungkapkan sikap GNB tentang berbagai masalah, seperti hak azasi manusia, demokrasi dan kerjasama utara selatan dalam era pasca perang dingin. KTT ini dihadiri oleh lebih dari 140 delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini juga dihadiri oleh Sekjen PBB Boutros Boutros Ghali

 

3. Misi Pemeliharaan Perdamaian Garuda

 

Dalam rangka ikut mewujudkan perdamaian dunia, maka Indonesia memainkan sejumlah peran dalam percaturan internasional. Peran yang cukup menonjol yang dimainkan oleh Indonesia adalah dalam rangka membantu mewujudkan pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasional. Dalam hal ini Indonesia sudah cukup banyak pengirimkan Kontingen Garuda (KONGA) ke luar negeri. Sampai tahun 2014 Indonesia telah mengirimkan kontingen Garudanya sampai dengan kontingen Garuda yang ke duapuluh tiga (XXIII).

 

Pengiriman Misi Garuda yang pertama kali dilakukan pada bulan Januari 1957. Pengiriman

Misi Garuda dilatarbelakangi adanya konflik di Timur Tengah terkait masalah nasionalisasi Terusan Suez yang dilakukan oleh Presiden Mesir Ghamal Abdul Nasser pada 26 Juli 1956. Sebagai akibatnya, pertikaian menjadi meluas dan melibatkan negara-negara di luar kawasan tersebut yang berkepentingan dalam masalah Suez. Pada bulan Oktober 1956, Inggris, Perancis dan Israel melancarkan serangan gabungan terhadap Mesir. Situasi ini mengancam perdamaian dunia sehingga Dewan Keamanan PBB turun tangan dan mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk berunding.

 

Dalam Sidang Umum PBB Menteri Luar Kanada Lester B.Perason mengusulkan agar dibentuk suatu pasukan PBB untuk memelihara perdamaian di Timur Tengah. Usul ini disetujui Sidang dan pada tanggal 5 November 1956 Sekjen PBB membentuk sebuah komando PBB dengan nama United Nations Emergency Forces(UNEF). Pada tanggal 8 November Indonesia menyatakan kesediannya untuk turut serta menyumbangkan pasukan dalam UNEF.Sebagai pelaksanaanya, pada 28 Desember 1956, dibentuk sebuah pasukan yang berkuatan satu detasemen (550 orang) yang terdiri dari kesatuan-kesatuan Teritorium IV/Diponegoro dan Teritorium V/Brawijaya. Kontingen Indonesia untuk UNEF yang diberinama Pasukan Garuda ini diberangkatkan ke Timur Tengah pada bulan Januari 1957.

 

Untuk kedua kalinya Indonesia mengirimkan kontingen untuk diperbantukan kepada United Nations Operations for the Congo(UNOC) sebanyak satu batalyon. Pengiriman pasukan ini terkait munculnya konflik di Kongo (Zaire sekarang). Konflik ini muncul berhubungan dengan kemerdekaan Zaire pada bulan Juni 1960 dari Belgia yang justru memicu pecahnya perang saudara. Untuk mencegah pertumpahan darah yang lebih banyak, maka PBB membentuk Pasukan Perdamaian untuk Kongo, UNOC. Pasukan kali ini di sebut “Garuda II” yang terdiri atas Batalyon 330/Siliwangi, Detasemen Polisi Militer, dan Peleton KKO Angkatan Laut. Pasukan Garuda II berangkat dari Jakarta tanggal 10 September 1960 dan menyelesaikan tugasnya pada bulan Mei 1961. Tugas pasukan Garuda II di Kongo kemudian digantikan oleh pasukan Garuda III yang bertugas dari bulan Desember 1962 sampai bulan Agustus 1964.

 

Peran aktif Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia terus berlanjut, ketika meletus perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Indonesia kembali diberikan kepercayaan oleh PBB untuk mengirim pasukannya sebagai pasukan pemelihara perdamaian PBB. Untuk menjaga stabilitas politik di kawasan Indocina yang terus bergolak akibat perang saudara tersebut, PBB membentuk International Commission of Control and Supervission (ICCS) sebagai hasil dari persetujuan internasional di Paris pada tahun 1973. Komisi ini terdiri atas empat negara, yaitu Hongaria, Indonesia, Kanada dan Polandia. Tugas ICCS adalah mengawasi pelanggaran yang dilakukan kedua belah pihak yang bertikai.

 

Pasukan perdamaian Indonesia yang dikirim ke Vietnam disebut sebagai Pasukan Garuda IV yang berkekuatan 290 pasukan, bertugas di Vietnam dari bulan Januari 1973, untuk kemudian diganti dengan Pasukan Garuda V, dan kemudian pasukan Garuda VII. Pada tahun 1975 Pasukan Garuda VII ditarik dari Vietnam karena seluruh Vietnam jatuh ketangan Vietcong (Vietnam Utara yang komunis).

 

Pada tahun 1973, ketika pecah perang Arab-Israel ke 4, UNEF diaktifkan lagi dengan kurang lebih 7000 anggota yang terdiri atas kesatuan-kesatuan Australia, Finlandia, Swedia, Irlandia, Peru, Panam, Senegal, Ghana dan Indonesia. Kontingen Indonesia semula berfungsi sebagai pasukan pengamanan dalam perundingan antara Mesir dan Israel. Tugas pasukan Garuda VI berakhir 23 September 1974 untuk digantikan dengan Pasukan Garuda VIII yang bertugas hingga tanggal 17 Februari 1975.

 

Sejak tahun 1975 hingga kini dapat dicatat peran Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia semakin berperan aktif, ditandai dengan didirikannya Indonesian Peace Security Centre(IPSC/Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia) pada tahun 2012, yang didalamnya terdapat unit yang mengelola kesiapan pasukan yang akan dikirim untuk menjaga perdamaian dunia (Standby Force).

 

4. Pembentukan ASEAN

 

Menjelang berakhirnya konfrontasi Indonesia-Malaysia, beberapa pemimpin bangsa-bangsa Asia Tenggara semakin merasakan perlunya membentuk suatu kerjasama regional untuk memperkuat kedudukan dan kestabilan sosial ekonomi di kawasan Asia Tenggara. Pada tanggal 5-8 Agustus di Bangkok dilangsungkan pertemuan antarmenteri luar negeri dari lima negara, yakni Adam Malik (Indonesia), Tun Abdul Razak (Malaysia), S Rajaratman (Singapura), Narciso Ramos (Filipina) dan tuan rumah Thanat Khoman (Thailand). Pada 8 Agustus 1967 para menteri luar negeri tersebut menandatangani suatu deklarasi yang dikenal sebagai Bangkok Declaration.

 

Deklarasi tersebut merupakan persetujuan kesatuan tekad kelima negara tersebut untuk membentuk suatu organisasi kerja sama regional yang disebut Association of South East Asian Nations (ASEAN).

 

Menurut Deklarasi Bangkok, Tujuan ASEAN adalah:

1.        Mempercepat pertumbuhan ekonomi, kemajuan sosial dan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara.

2.        Memajukan stabilisasi dan perdamaian regional Asia Tenggara.

3.        3.Memajukan kerjasama aktif dan saling membantu di negara- negara anggota dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, teknik, ilmu pengetahuan dan administrasi.

4.        Menyediakan bantuan satu sama lain dalam bentuk fasilitas-fasilitas latihan dan penelitian.

5.        Kerjasama yang lebih besar dalam bidang pertanian, industri, perdagangan, pengangkutan, komunikasi serta usaha peningkatan standar kehidupan rakyatnya.

6.        Memajukan studi-studi masalah Asia Tenggara.

7.        Memelihara dan meningkatkan kerjasama yang bermanfaat dengan organisasi-organisasi regional dan internasional yang ada.

 

Dari tujuh pasal Deklarasi Bangkok itu jelas, bahwa ASEAN merupakan organisasi kerjasama negara-negara Asia Tenggara yang bersifat non politik dan non militer. Keterlibatan Indonesia dalam ASEAN bukan merupakan suatu penyimpangan dari kebijakan politik bebas aktif, karena ASEAN bukanlah suatu pakta militer seperti SEATO misalnya. ASEAN sangat selaras dengan tujuan politik luar negeri Indonesia yang mengutamakan pembangunan ekonomi dalam negeri, karena terbentuknya ASEAN adalah untuk mempercepat pembangunan ekonomi, stabilitas sosial budaya, dan kesatuan regional melalui usaha dengan semangat tanggungjawab bersama dan persahabatan yang akan menjamin bebasnya kemerdekaan negara-negara anggotanya.

 

Kerjasama dalam bidang ekonomi juga merupakan pilihan bersama para anggota ASEAN. Hal itu disadari karena negara-negara ASEAN pada saat itu adalah negara-negara yang menginginkan pertumbuhan ekonomi. Meskipun demikian kerja sama dalam bidang lain seperti bidang politik dan militer tidak diabaikan. Indonesia dan Malaysia misalnya melakukan kerja sama militer untuk meredam bahaya komunis di perbatasan kedua negara di Kalimantan.

 

Malaysia dan Thailand melakukan kerja sama militer di daerah perbatasannya untuk meredam bahaya komunis. Akan tetapi Deklarasi Bangkok dengan tegas menyebutkan bahwa pangkalan militer asing yang berada di negara anggota  ASEAN hanya bersifat sementara dan keberadaannya atas persetujuan negara yang bersangkutan.Pada masa-masa awal berdirinya ASEAN telah mendapat berbagai tantangan yang muncul dari masalah-masalah negara anggotanya sendiri. Seperti masalah antara Malaysia dan Filipina menyangkut Sabah, sebuah wilayah di Borneo/Kalimantan Utara. Kemudian persoalan hukuman mati dua orang anggota marinir Indonesia di Singapura, kerusuhan rasialis di Malaysia, dan permasalahan minoritas muslim di Thailand Selatan.

 

Akan tetapi, semua pihak yang terlibat dalam permasalahan-permasalahan tersebut dapat meredam potensi konflik yang muncul sehingga stabilitas kawasan dapat dipertahankan.Aktivitas ASEAN dalam bidang politik yang menonjol adalah dengan dikeluarkannya Kuala Lumpur Declarationpada 27 November 1971. Deklarasi tersebut merupakan pernyataan kelima menteri Luar Negeri ASEAN yang menyatakan bahwa Asia Tenggara merupakan zone of peace, freedom and neutrality (ZOPFAN)/Zona Bebas Netral, bebas dari segala campur tangan pihak luar. Dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN yang pertama di Bali pada 1976 masalah kawasan Asia Tenggara sebagai wilayah damai, bebas dan netral telah berhasil dicantumkan dalam “Deklarasi Kesepakatan ASEAN” dan diterima sebagai program kegiatan kerangka kerja sama ASEAN.

 

Selain menghadapi permasalahan-permasalahan yang muncul dari negara-negara anggotanya sendiri, seperti potensi konflik yang telah dijelaskan sebelumnya. Tantangan ASEAN pada awal berdirinya adalah masalah keraguan dari beberapa negara-negara anggotanya sendiri. Singapura misalnya, menampakan sikap kurang antusias terhadap ASEAN, sementara Filipina dan Thailand meragukan efektivitas ASEAN dalam melakukan kerja sama kawasan. Hanya Indonesia dan Malaysia yang menunjukkan sikap serius dan optimis terhadap keberhasilan ASEAN sejak organisasi tersebut didirikan.

 

Selain sikap meragukan yang muncul dari beberapa negara anggotanya, tantangan lainnya adalah munculnya citra kurang menguntungkan bagi ASEAN dari beberapa negara luar. RRC menuduh bahwa ASEAN merupakan suatu proyek “pemerintah fasis Indonesia” yang berupaya menggalang suatu kelompok kekuatan di kawasan Asia Tenggara yang menentang Cina dan komunisme. RRC juga menuduh bahwa dalang dari kegiatan yang diprakarsai oleh “pemerintah fasis Indonesia” tersebut adalah Amerika Serikat. Uni Soviet tidak menunjukkan sikap penentangan, tetapi menganjurkan agar ASEAN digantikan oleh sebuah lembaga keamanan bersama bangsa-bangsa Asia, yaitu Asian Collective Security System. Citra kurang menguntungkan dari ASEAN juga muncul dari Jepang. Jepang bahkan meramalkan ASEAN akan bubar dalam waktu yang singkat. Sikap dan penilaian berbeda dari negara luar ASEAN muncul dari negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat. Mereka menyambut positif berdirinya ASEAN. Hal itu dapat dipahami karena negara-negara Barat sangat menginginkan suatu kawasan damai dan perkembangan ekonomi di kawasan tersebut untuk meredam bahaya komunisme di Asia Tenggara.

 

Keraguan beberapa negara anggota ASEAN sendiri dapat dimaklumi karena pada masa 1969-1974 dapat dikatakan sebagai tahap konsolidasi ASEAN. Pada tahap tersebut secara perlahan rasa solidaritas ASEAN terus menebal dan hal itu menumbuhkan keyakinan bahwa lemah dan kuatnya ASEAN tergantung partisipasi negara-negara anggotanya. Pada perjalanan selanjutnya ASEAN mulai menunjukkan sebagai kekuatan ekonomi yang mendapat tempat di wilayah Pasifik dan kelompok ekonomi lainnya di dunia seperti Masyarakat Ekonomi Eropa dan Jepang.

 

Bidang sosial dan budaya pun menjadi perhatian ASEAN, melalui berbagai aktivitas budaya diupayakan untuk memasyarakatkan ASEAN terutama untuk kalangan remaja, seniman, cendikiawan dan berbagai kelompok masyarakat lainnya di negara-negara anggota. Untuk itu, ASEAN pada 1972 telah membentuk suatu Panitia Tetap Sosial-Budaya.Perkembangan organisasi ASEAN semakin menunjukkan perkembangan yang positif setelah dalam KTT pertama di Bali pada 1976 dibentuk Sekretariat Tetap ASEAN yang berkedudukan di Jakarta. Pada sidang tahunan Menteri Luar Negeri ASEAN di Manila tanggal 7 Juni 1976, H.R. Dharsono (Sekretaris Jenderal Nasional ASEAN Indonesia) ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN yang pertama. Akan tetapi karena persoalan politik dalam negeri Indonesia, H.R. Dharsono ditarik dari jabatannya sebagai Sekretaris Jenderal ASEAN dan digantikan oleh Umarjadi Njotowidjono.

 

 

Pada KTT ASEAN di Bali tahun 1977 telah memperkuat Deklarasi Kuala Lumpur dan telah berhasil menetapkan prinsip-prinsip program kerja dalam usaha bersama untuk menciptakan stabilitas politik, memperat kerjasama ekonomi, sosial dan budaya. KTT Bali telah berhasil menetapkan cara-cara yang lebih kongkret dan terperinci dan usaha-usaha kerja sama regional ASEAN. Tindak lanjut dari KTT di Bali tersebut adalah dilakukannya sidang menteri-menteri ekonomi ASEAN di Kuala Lumpur pada 8-9 Maret 1977 untuk melaksanakan keputusan-keputusan KTT ASEAN di bidang kerjasama ekonomi. Dalam sidang menteri-menteri ekonomi tersebut disetujui asas saling membantu antarnegara ASEAN dalam bidang pangan dan energi, terutama dalam soal pengadaan dan produksinya.

 

Secara kongkrit masing-masing negara ASEAN membangun lima buah proyek bersama. Kerjasama yang dimaksud adalah koordinasi antara satu dengan lainnya. Dalam bidang perdagangan telah disepakati untuk mengambil langkah-langkah bersama guna mengadakan dialog dengan negara-negara Australia, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, negara-negara Timur Tengah, Eropa Timur, Masyarakat Ekonomi Eropa dan berbagai kelompok negara lainnya.

 

Kerjasama antar negara-negara di kawasan Asia Tenggara merupakan suatu upaya kongkret Indonesia untuk menciptakan stabilitas kawasan. Indonesia menyadari kenyataan bahwa kerjasama regional itu tidak akan berhasil meningkatkan kemakmuran nasional dan regional bangsa-bangsa di Asia Tenggara dengan sebaik-baiknya, jika tidak ada keamanan dan stabilitas di kawasan tersebut. Itulah sebabnya Indonesia senantiasa berusaha membantu pihak-pihak yang bersengketa untuk mencari penyelesaian dalam masalah Indocina. Indonesia berpendapat bahwa penyelesaian Indocina secara keseluruhan dan Vietnam khususnya sangat penting artinya dalam rangka memelihara keamanan dan menciptakan stabilitas di Asia Tenggara.Indonesia kemudian berinisiatif menyelenggarakan konferensi untuk menyelesaikan masalah Kamboja dalam rangka mencegah semakin luasnya perang Vietnam. Atas inisiatif Indonesia, diselenggarakan suatu konferensi di Jakarta pada 15-17 Mei 1970 yang dihadiri oleh sebelas negara yaitu Indonesia, Malaysia, Laos, Vietnam Selatan, Filipina, Jepang, Korea Selatan, Thailand, Singapura, Australia dan Selandia Baru. Konferensi tersebut tidak membuahkan hasil secara kongkrit, tetapi telah memberikan saran-saran bagi penyelesaian konflik.

 

Indonesia telah berupaya untuk menyumbangkan jasa baiknya guna meredam potensi konflik dan konflik bersenjata di Asia Tenggara.Indonesia berpandangan bahwa negara-negara di Asia Tenggara paling berkepentingan dan bertanggungjawab terhadap pemeliharaan keamanan di kawasannya. Oleh karena itu, bangsa-bangsa di Asia Tenggara harus mencegah dan menghalau setiap campur tangan asing yang negatif dalam segala bentuk dan manifestasinya.

 

Pada masa pemerintahan Soeharto, Indonesia bisa dikatakan adalah pemimpin ASEAN, kebijakan-kebijakan ekonomi ASEAN sangat tergantung dari cara Indonesia bersikap. Peran sebagai pemimpin ASEAN sempat memudar saat terjadi krisis ekonomi karena Indonesia sedang mengalami masalah ekonomi dalam negeri serta situasi politik dalam negeri yang belum stabil dalam rangka menuju demokratisasi. Indonesia kembali berperan di era pemerintahan

 

Presiden SBY. Melalui momentum terpilihnya Indonesia sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011. Indonesia mulai mengarahkan ASEAN untuk mencapai suatu komunitas ekonomi yang kokoh di tahun 2015. Indonesia mengarahkan capaian implementasi Piagam ASEAN dan Cetak Biru Komunitas ASEAN 2015.Sebagai ketua ASEAN tahun 2011, Indonesia menunjukan kepemimpinan dalam mendorong tercapainya tiga prioritas. Pertama adalah kemajuan yang signifikan dalam pencapaian komunitas ASEAN 2015. Kedua adalah dipeliharanya kondisi kawasan Asia-Pasifik yang aman dan stabil. Serta yang ketiga adalah menggulirkan visi ASEAN untuk sepuluh tahun mendatang sesuai tema “ASEAN Community in a Global Community of Nations( www.embasy of Indonesia.org).

 

Proses lahirnya kebijakan politik luar negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga masa reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia baik di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan komitmen bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea ke empat UUD 1945, yang menekankan pentingnya peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.

 

5. Organisasi Konferensi Islam

 

Organisasi Konferensi Islam (OKI) adalah organisasi internasional yang anggotanya terdiri atas negara-negara Islam seluruh dunia. Organisasi ini didirikan pada tanggal 22 September 1969 saat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) negara-negara Islam di Rabat Maroko atas prakarsa Raja Faisal dari Arab Saudi dan Raja Hasan II dari Maroko. Latar belakang didirikannya organisasi dipicu oleh peristiwa pembakaran Mesjid Al Aqsho yang terletak di kota Al Quds (Jerusalem) pada tanggal 21 Agustus 1969. Peristiwa pembakaran tersebut menimbulkan reaksi keras dunia, terutama dari kalangan umat Islam.

 

Saat itu dirasakan adanya kebutuhan yang mendesak untuk mengorganisir dan menggalang kekuatan dunia Islam serta mematangkan sikap dalam rangka mengusahakan pembebasan Al-Quds. Pada awalnya OKI mempunyai 25 anggota dan saat ini jumlahnya bertambah menjadi 57 negara anggota serta sejumlah negara pengamat, antara lain Bosnia Herzegovina, Republik Afrika Tengah, Pantai Gading, dan Thailand.

 

OKI didirikan berdasarkan pada keyakinan atas agama Islam, penghormatan pada Piagam PBB dan Hak Asasi Manusia (HAM). Pada Konferensi Tingkat Menteri (KTM) III OKI bulan February 1972, telah diadopsi piagam organisasi yang berisi tujuan OKI yaitu; meningkatkan solidaritas Islam serta mengkordinasikan kerja sama politik, ekonomi, dan sosial budaya antarnegara-negara anggota, mendukung upaya perdamaian dan keamanan internasional, serta melindungi tempat-tempat suci Islam dan membantu perjuangan pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, dan bekerjasama untuk menentang diskriminasi rasial dan segala bentuk penjajahan, menciptakan suasana yang menguntungkan dan saling pengertian di antara negara anggota dan negara-negara lain.

 

Untuk mencapai tujuan di atas, negara-negara anggota menetapkan 5 prinsip, yaitu;

1)   persamaan mutlak antarnegara-negara anggota,

2)   menghormati hak menentukan nasib sendiri, tidak campur tangan atas urusan dalam negeri negara lain,

3)   menghormati kemerdekaan, kedaulatan dan integritas wilayah setiap negara,

4)   penyelesaian sengketa yang mungkin timbul melalui cara-cara damai seperti perundingan, mediasi, rekonsiliasi atau arbitrasi,

5)   abstain dari ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap integritas wilayah, kesatuan nasional atau kemerdekaan politik suatu negara.

 

Konferensi para kepala negara/pemerintahan (Konferensi Tingkat Tinggi/ KTT) merupakan badan otoritas tertinggi dalam organisasi. Semula badan tersebut mengadakan sidangnya apabila kepentingan umat Islam memandang perlu untuk mengkaji dan mengkoordinasikan mengenai masalah-masalah yang menyangkut kepentingan dunia Islam. Tetapi pada KTT III OKI di Mekah, bulan Januari 1981, ditetapkan bahwa KTT diadakan sekali dalam tiga tahun untuk menetapkan kebijakan-kebijakan yang akan diambil OKI. Sedangkan untuk Konferensi Para Menteri Luar Negeri (KTM), sesuai dengan artikel V Piagam OKI diadakan sekali dalam setahun bertempat di salah satu negara anggota. Pertemuan yang dihadiri oleh para menteri luar negeri tersebut akan memeriksa dan menguji “progress report” dari implementasi atas keputusan-keputusan dari kebijakan yang diambil pada pertemuan KTT.

Sesuai artikel VIII Piagam OKI yang menyangkut keanggotaan dijelaskan bahwa organisasi terdiri atas negara-negara Islam yang turut serta dalam KTT yang diadakan di Rabat dan KTM-KTM (Konferensi Para Menteri Luar Negeri) yang diselenggarakan di Jedah (Maret 1970), Karachi (Desember 1971) serta yang menandatangani piagam. Kriteria yang dirancang oleh Pantia Persiapan KTT I adalah “Negara Islam” adalah negara yang konstitusional Islam atau mayoritas penduduknya Islam. Semua negara muslim dapat bergabung dalam OKI.

Pada tahun-tahun pertama kedudukan Indonesia dalam OKI menjadi sorotan baik di kalangan OKI sendiri maupun di dalam negeri. Indonesia menjelaskan kepada OKI bahwa Indonesia bukanlah negara Islam secara konstitusional atau tidak turut sebagai penandatangan Piagam. Tetapi Indonesia telah turut serta sejak awal (Indonesia hadir pada KTT I OKI di Rabat Maroko) dan juga salah satu negara pertama yang turut berkecimpung dalam kegiatan OKI, kedudukan Indonesia disebut sebagai “Partisipan aktif”. Status, hak dan kewajiban Indonesia sama seperti negara-negara anggota lainnya.

Pada awalnya, partisipasi Indonesia dalam OKI sangat terbatas, bahkan keanggotaan Indonesia dalam OKI sempat menjadi perdebatan, baik di dalam OKI maupun oleh kalangan dalam negeri. Ketika Piagam OKI dihasilkan pada tahun 1972, Indonesia tidak ikut menandatanganinya sehingga tidak dikategorikan sebagai sebagai anggota resmi. Pertimbangannya adalah bahwa berdasarkan UUD 1945, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun karena adanya tuntutan dan desakan-desakan dari dalam negeri, dimana mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, Indonesia tidak bisa meninggalkan OKI bahkan kemudian mulai memberikan kontribusi secara aktif dalam OKI di masa–masa berikutnya.

Pada dekade 1990-an, partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai terlihat, yaitu ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada KTT OKI ke-6 di Senegal pada Desember 1991. Hal ini dapat dilihat sebagai titik awal perubahan kebijakan luar negeri Indonesia untuk berpartisipasi lebih aktif di OKI. Partisipasi aktif Indonesia di OKI mulai mendapatkan respons positif dari banyak kalangan, bahkan Indonesia menjadi pemeran penting dalam pelaksanaan agenda-agenda OKI. Indonesia dipandang memiliki peran yang sangat strategis bagi OKI dan dunia Islam, karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas muslim terbesar di dunia yang bukan negara Islam, serta prestasi-prestasi Indonesia di dalam penerapan demokrasi. Indonesia bisa dikatakan menjadi “model” ideal bagi dunia Islam dalam penerapan demokrasi, karena dinilai berhasil di dalam menerapkan demokrasi. Selain itu Indonesia juga dianggap sebagai “jembatan” penghubung antara dunia Islam dengan dunia Barat.

Kedekatan Indonesia dengan Barat dikarenakan prestasi Indonesia di dalam pengembangan demokrasi, menjadi sebuah modal penting bagi Indonesia untuk dekat dengan dunia Barat yang selama ini selalu giat mengumandangkan demokratisasi dunia, terlebih pasca Perang Dingin. Kontribusi nyata Indonesia sebagai anggota OKI yang paling memiliki peran strategis di antaranya adalah pada tahun 1993, Indonesia menerima mandat sebagai ketua committee of six yang bertugas memfasilitasi perundingan damai antara Moro National Liberation Front (MNLF) dengan pemerintah Filipina.

Kemudian pada tahun 1996, Indonesia menjadi tuan rumah bagi terselenggaranya Konferensi Tingkat Menteri OKI (KTM-OKI) ke-24 di Jakarta. Selain itu, Indonesia juga memberikan kontribusi untuk mereformasi OKI sebagai wadah untuk menjawab tantangan untuk umat Islam memasuki abad ke-21. Pada penyelenggaraan KTT OKI ke-14 di Dakar, Senegal, Indonesia mendukung pelaksanaan OIC’s Ten Year Plan of Action. Dengan diadopsinya piagam ini, Indonesia memiliki ruang untuk lebih berperan dalam memastikan implementasi reformasi OKI tersebut.

Indonesia berkomitmen dalam menjamin kebebasan, toleransi dan harmonisasi serta memberikan bukti nyata akan keselarasan Islam, demokrasi, dan modernitas. Dari peran-peran Indonesia dalam OKI tersebut nampak dengan nyata usaha diplomasi Indonesia dalam dunia Islam yang tetap bebas dan aktif, bebas karena tidak terikat dalam suatu blok tertentu, dan aktif dalam mengusahakan segala kestabilan dan keharmonisan serta perdamaian dunia, baik dunia Islam maupun Barat.

6. Deklarasi Djuanda

Pada tanggal 13 Desember 1957 Pemerintah RI mengeluarkan sebuah klaim atau pernyataan yang menjadi salah satu dasar kedaulatan wilayah yang baru setelah Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945 dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Karena pernyataan tersebut dilakukan pada masa Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaya maka lebih dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda adalah suatu perjuangan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan batas wilayah laut, sehingga wilayah Indonesia merupakan suatu kesatuan yang utuh dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek politik, sosial budaya, dan pertahanan keamanan.

Melihat kondisi geografis Indonesia yang unik, banyaknya wilayah laut dibanding darat, menyadarkan pemerintah Indonesia bahwa persoalan wilayah laut merupakan faktor penting bagi kedaulatan negara. Secara historis batas wilayah laut Indonesia telah dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda, yaitu dalam Territorial Zee Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939, yang menyatakan bahwa lebar wilayah laut Indonesia adalah tiga mil diukur dari garis rendah di pantai masing-masing pulau Indonesia. Karenanya di antara ribuan pulau di Indonesia terdapat laut-laut bebas yang membahayakan kepentingan bangsa Indonesia sebagai Negara Kesatuan.

Selama masa pendudukan bangsa Eropa di wilayah Nusantara, prinsip kebebasan lautan yang diajarkan Hugo de Groot (Grotius), seorang ilmuwan dari Belanda telah mengakibatkan datangnya pedagang-pedagang Belanda ke negeri Nusantara melalui lautan, yang kemudian berlanjut dengan penjajahan. Pada tahun 1608, Hugo de Groot menuliskan dalam bukunya bahwa Belanda, seperti halnya bangsa Eropa yang lainnya, memiliki hak yang sama untuk berlayar ke Timur. Dengan demikian, prinsip hak milik negara atas lautan juga telah menyebabkan penguasaan Nusantara beserta lautnya oleh berbagai kekuatan luar seperti Portugal, Spanyol, Inggris dan lain-lain.

Selama kurang lebih tiga abad selanjutnya, laut Nusantara lebih banyak berfungsi sebagai alat pemisah dan pemecah belah kesatuan dan persatuan Indonesia. Baru pada abad ke-20, melalui Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonnantie 1939 (Staatsblad 1939 No. 422) atau yang biasa disingkat dengan Ordonantie 1939, wilayah laut dalam suatu pulau di Nusantara 1939 menetapkan bahwa jarak laut teritorial bagi tiap-tiap pulau sejauh tiga mil. Peraturan ini, memunculkan ’kantong-kantong’ lautan bebas di tengahtengah wilayah negara yang membuat kapal-kapal asing dapat berlayar secara bebas.

Ordonansi itu juga berlaku bagi kapal-kapal perang Belanda yang tidak mungkin dilarang oleh Indonesia. Kapal-kapal Belanda dapat dengan bebas menjelajahi perairan laut di antara pulau-pulau di Indonesia karena memang hukum laut internasional yang berlaku saat itu masih memungkinkannya. Indonesia tidak memiliki hak untuk melarangnya apalagi kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih jauh ketinggalan dengan Belanda. Keberadaan laut bebas di antara pulau-pulau di wilayah Negara Republik Indonesia jelas sangatlah janggal. Bagaimana pun penduduk antara satu pulau dengan pulau lainnya masih satu bangsa, sehingga tidak mungkin sebuah negara yang berdaulat dipisah-pisahkan oleh laut bebas sebagai pembatasnya.

Oleh sebab itu, mulai muncul gagasan untuk merombak sistem hukum laut Indonesia. Pemikiran untuk mengubah Ordinantie 1939 dimulai pada 1956. Pada waktu itu, pimpinan Departemen Pertahanan Keamanan RI mendesak kepada pemerintah untuk segera merombak hukum laut warisan kolonial yang secara nyata tidak dapat menjamin keamanan wilayah Indonesia. Desakan itu juga didukung oleh departemen lain seperti Departemen Dalam Negeri, Pertanian, Pelayaran, Keuangan, Luar Negeri, dan Kepolisian Negara. Akhirnya, pada 17 Oktober 1956 Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo memutuskan membentuk suatu panitia interdepartemental yang ditugaskan untuk merancang RUU (Rencana Undang-Undang) Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim berdasarkan Keputusan Perdana Menteri RI No. 400/P.M./1956.

Panitia itu di bawah pimpinan Kolonel Laut R. M. S. Pirngadi. Setelah bekerja selama 14 bulan akhirnya ’Panitia Pirngadi’ berhasil menyelesaikan konsep RUU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim. Pada prinsipnya, RUU itu masih mengikuti konsep Ordonansi 1939; perbedaannya adalah bahwa laut teritorial Indonesia ditetapkan dari tiga mil menjadi 12 mil. Panitia belum berani mengambil berbagai kemungkinan risiko untuk menetapkan asas straight base line atau asas from point to point mengingat kekuatan Angkatan Laut Indonesia masih belum memadai. Sebelum RUU disetujui, Kabinet Ali bubar dan digantikan oleh Kabinet Djuanda. Sejalan dengan ketegangan yang terjadi antara Belanda dan RI terkait masalah Irian Barat, pemerintahan Djuanda lebih banyak mencurahkan perhatian untuk menemukan sarana yang dapat memperkuat posisi RI dalam melawan Belanda yang lebih unggul dalam pengalaman perang dan persenjataan.

Untuk itu, sejak 1 Agustus 1957, Ir. Djuanda mengangkat Mr. Mochtar Kusumaatmadja untuk mencari dasar hukum guna mengamankan keutuhan wilayah RI. Akhirnya, ia memberikan gambaran ’asas archipelago’ yang telah ditetapkan oleh Mahkamah Internasional pada 1951 seperti yang telah dipertimbangkan oleh RUU sebelumnya namun tidak berani untuk menerapkannya dalam hukum laut Indonesia. Sebagai alternatif terhadap RUU itu, disusun konsep ’asas negara kepulauan’. Dengan menggunakan ’asas archipelago’ sebagai dasar hukum laut Indonesia, maka Indonesia akan menjadi negara kepulauan atau ’archipelagic state’ yang merupakan suatu eksperimen radikal dalam sejarah hukum laut dan hukum tata negara di dunia.

Dalam sidang 13 Desember 1957, Dewan Menteri akhirnya memutuskan penggunaan ’Archipelagic State Principle’ dalam tata hukum di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya ’Pengumuman Pemerintah mengenai Perairan Negara Republik Indonesia’. Dalam pengumuman itu, pemerintah menyatakan bahwa semua perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak Negara Republik Indonesia. Isinya adalah: ”segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulaupulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagianbagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.

Lalu-lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”. Dalam peraturan, yang akhirnya dikenal dengan sebutan Deklarasi Djuanda, disebutkan juga bahwa batas laut teritorial Indonesia yang sebelumnya tiga mil diperlebar menjadi 12 mil diukur dari garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau dari wilayah negara Indonesia pada saat air laut surut. Dengan keluarnya pengumuman tersebut, secara otomatis Ordonantie 1939 tidak berlaku lagi dan wilayah Indonesia menjadi suatu kesatuan antara pulau-pulau serta laut yang menghubungkan antara pulau-pulau tersebut.

Dalam Deklarasi Djuanda terkandung suatu konsepsi negara maritim “Nusantara”, yang melahirkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonesia untuk memperjuangkan serta mempertahankannya hingga mendapat pengakuan internasional. Deklarasi Djuanda merupakan landasan struktural dan legalitas bagi proses integrasi nasional Indonesia sebagai negara maritim. Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, maka Ordonantie 1939 sudah tidak berlaku lagi di Indonesia, dan garis teritorial laut Indonesia yang sebelumnya 3 mil menjadi 12 mil. Namun, tidak lama setelah Indonesia mengeluarkan peraturan tersebut, muncul beberapa reaksi terhadap peraturan tersebut. Reaksi protes datang dari beberapa negara seperti dari Amerika Serikat (tanggal 30 Desember 1957), Inggris (3 Januari 1958), Australia (3 Januari 1958), Belanda (3 Januari 1958), Perancis (8 Januari 1958), dan Selandia Baru (11 Januari 1958). Reaksi penolakan tersebut sudah dipikirkan oleh pemerintah Indonesia, dan sudah pula diumumkan bahwa reaksi-reaksi dari berbagai negara tersebut akan diperhatikan dan dibahas dalam konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang akan diadakan pada 1958 di Jenewa.

Oleh karena itu, pemerintah Indonesia telah siap dengan reaksi protes yang diajukan dan siap berdebat pada konferensi di Jenewa. Delegasi Indonesia yang datang pada konferensi internasional mengenai hak-hak atas lautan yang diadakan di Jenewa terdiri atas Mr. Ahmad Subardjo Djojohadisuryo, S.H. yang pada waktu menjabat sebagai Duta Besar RI di Swiss, Mr. Mochtar Kusumaatmadja, Goesti Moh. Chariji Kusuma, dan M. Pardi (Ketua Mahkamah Pelayaran). Dalam kesempatan itu delegasi Indonesia mengemukakan asas Archipelagic Principle dalam pidatonya. Inilah untuk pertama kali masyarakat internasional mendengar penjelasan mengenai implementasi ’Archipelagic Principle’ terhadap suatu negara yang melahirkan ’Archipelagic State Principle’ yang pada waktu itu masih asing bagi dunia. Asing karena asas ini eksis tapi belum ada satu pun negara di dunia yang menggunakannya.

Meskipun telah dijelaskan lewat pidato, negara-negara yang pernah menyampaikan protes kepada pemerintah Indonesia belum dapat menerima. Hanya, Indonesia mendapatkan dukungan dari Ekuador, Filipina, dan Yugoslavia. Pemerintah Indonesia kemudian menggunakan beberapa cara untuk mendapat simpati dari negara-negara lain, misalnya dengan menyebarkan tulisan The Indonesian Delegation to the Conference on the Law of the Sea. Usaha itu mulai membuahkan hasil dan setelah itu mulai banyak negaranegara yang bersimpati dengan perjuangan Indonesia. Pemerintah Indonesia kemudian merancang peraturan 13 Desember menjadi undang-undang agar kedudukannya menjadi lebih kuat. Pada tahun 1960 pengumuman tersebut dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) No. 4/1960.

Produk hukum inilah yang kemudian juga disampaikan pada Konferensi Hukum Laut PBB ke-2 yang diselenggarakan tahun 1960, namun usul Indonesia masih belum dapat diterima. Pada tahun 1962, Indonesia kembali menerbitkan PERPU No. 8/1962 mengenai ’Lalu-lintas Laut Damai Kapal Asing dalam Perairan Indonesia, dan masih terus menyempurnakan implementasi Asas Negara Kepulauan dalam sistem hukum di Indonesia. Jalan Indonesia untuk memperjuangkan diakuinya Asas Negara Kepulauan mulai menemui kemudahan ketika pada tahun 1971 Indonesia dipilih menjadi anggota Committee of the Peaceful Uses of the Sea-Bed and Ocean Floor beyond the Limit of National Jurisdiction yang merupakan badan PBB untuk mempersiapkan Konferensi Hukum Laut PBB. Dipilihnya Indonesia sebagai anggota badan tersebut, membuat Indonesia lebih mudah dalam menyosialisasikan implementasi prinsip negara kepulauan agar mendapatkan pengakuan dari pihak internasional. 12 Maret 1980, dengan menggunakan dasar Hukum Laut Internasional mengenai Economic Exclusive Zone Pemerintah Indonesia juga mengumumkan peraturan tentang Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) selebar 200 mil diukur dari garis dasar.

Pada tahun 1983, pengumuman ini disahkan menjadi Undang-undang RI No. 5/1983. Konsep negara kepulauan sendiri baru disetujui oleh mayoritas negaranegara di dunia pada 10 Desember 1982 pada Konvensi Hukum Laut Internasional.Tidak hanya konsep negara kepulauan saja yang disetujui, namun juga mengenai ZEE. Lebih dari itu, konsep negara kepulauan juga dimasukkan sebagai bagian dari Konvensi Hukum Laut PBB. Suatu kemenangan diplomasi Indonesia yang patut dicatat sejarah. Karena itulah kini tanggal 13 Desember, hari di saat UU Wilayah Perairan Indonesia dan Lingkungan Maritim dan diterimanya Asas Negara Kepulauan, diperingati sebagai Hari Nusantara. J

ika pada Sumpah Pemuda (1928) rakyat Indonesia menyatakan diri sebagai suatu bangsa, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikan kemerdekaan bangsa tersebut, maka pada tanggal 13 Desember 1957 ini dinyatakanlah wilayah yang menjadi tanah airnya. Dalam Konvensi Hukum Laut Internasional tahun 1982 melalui United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) hingga kini telah diratifikasi oleh 140 negara. Negara-negara kepulauan (Archipelago States) memperoleh hak mengelola Zona Ekonomi Ekslkusif (ZEE) seluas 200 mil laut di luar wilayahnya. Hal ini kemudian dituangkan ke dalam Undang- Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut).

Dengan ditetapkannya Deklarasi Djuanda dan diresmikannya deklarasi itu menjadi UU No.4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.Wilayah negara RI yang semula luasnya 2.027.087 km2 (daratan) bertambah luas lebih kurang menjadi 5.193.250 km2 (terdiri atas daratan dan lautan). Ini berarti bertambah kira-kira 3.106.163 km2 atau 145%. Manfaat dari deklarasi Djuanda ini berlanjut kepada bertambah besarnya perairan laut Indonesia. Deklarasi ini mengandung konsep tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa tetapi dinilai sebagai alat pemersatu dan wahana pembangunan nasional.

7. Jakarta Informal Meeting (JIM) I dan II

Pada tahun 1970 di Kamboja, terjadi kudeta yang pada saat itu dipimpin oleh Pangeran Norodom Sihanouk. Ketika itu, Pangeran Norodom Sihanouk sedang berada di luar negeri, keponakannya yang bernama Pangeran Sisowath Sirik Matak bersama Lo Nol melakukan kudeta kekuasaan, sejak peristiwa itu terjadi perang saudara yang berlangsung lama dan berlarut-larut. Sihanouk kemudian memilih untuk mengasingkan diri di Beijing dan memutuskan untuk beraliansi dengan Khmer Merah, yang bertujuan untuk menentang pemerintahan Lon Nol dan akhirnya dapat merebut kembali tahtanya.

Pada tahun 1975 Khmer Merah di bawah pimpinan Pol Pot berhasil menggulingkan Lon Nol dan mengubah format kerajaan menjadi sebuah Republik Demokratik Kamboja (Democratic Kampuchea/ DK) yang dipimpin oleh Pol Pot. Namun sayangnya, semasa Pol Pot berkuasa Kamboja terperosok dalam tragedi yang mengenaskan di mana Khmer Merah menjalankan program Cambodia the Year Zero, yaitu dengan menjadikan Kamboja sebagai Negara Agraris. Namun program ini justru berakhir dengan tewasnya sekitar tiga juta orang rakyat Kamboja akibat kelaparan, wabah penyakit dan pembantaian.

Pada akhir 1978, terjadi bentrokan di perbatasan antara rezim Khmer Merah dengan Vietnam. Dalam kurun waktu itu juga terjadi pembantaian orang- orang keturunan Vietnam di Kamboja, sehingga Vietnam menyerbu Kamboja dengan tujuan untuk menghentikan genosida besar-besaran tersebut. Invasi Vietnam berhasil menggulingkan rezim Khmer Merah dan pada bulan Januari 1979, Vietnam mendirikan rezim baru di Kamboja dengan Heng Samrin bertindak sebagai kepala negaranya. Pembentukan pemerintahan baru ini ditentang keras oleh Kaum Nasionalis Kamboja, termasuk Sihanouk sendiri, yang kemudian membentuk kelompok perlawanan yang dikenal sebagai Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) yang terdiri atas kelompok Khmer Merah yang baru saja ditumbangkan Vietnam, Front Uni National pour un Cambodge Independent, Neutre Pacifique et Cooperatif (FUNCINPEC) di bawah pimpinan Sihanouk dan Khmer People Liberation Front (KPNLF) di bawah pimpinan Son Sann.

Perang saudara kemudian terus berlanjut tanpa ada tanda-tanda penyelesaian.Kenyataan yang menyebabkan kesengsaraan yang sangat memprihatinkan bagi rakyat Kamboja inilah yang kemudian mendorong Indonesia bersama-sama negara-negara anggota ASEAN lainnya memulai prakarsa serta berbagai upaya mediasi guna mencari penyelesaian yang damai, adil, langgeng dan menyeluruh. Pada gilirannya, konflik internal ini melibatkan campur tangan dari pihak di luar Kamboja dalam upaya penanganan masalah yang dinilai dapat mengancam perdamaian dan keamanan internasional. Dalam kerangka penyelesaian konflik Kamboja, berbagai upaya telah dilaksanakan untuk mencapai sebuah perdamaian. Salah satu negara yang memainkan peran signifikan dalam penyelesaian konflik Kamboja, adalah Indonesia. Hal tersebut bermula dari awal tahun 1980-an di mana konflik internal tengah mengalami eskalasi yang memprihatinkan, Indonesia semakin meningkatkan perhatiannya terhadap masalah yang terjadi di Kamboja.

Hal ini tentunya sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang turut aktif dalam menghadapi permasalahan-permasalahan dunia seperti juga yang termuat dalam Mukadimah UUD 1945 yaitu turut mewujudkan perdamaian dunia. Di sisi lain, Indonesia sebagai salah satu pendiri dan soko guru ASEAN juga harus menunjukkan kapasitasnya sebagai stabilisator utama di kawasan, di mana hal ini juga tentunya sejalan dengan tujuan ASEAN dalam upayanya untuk mengatasi konflik yang berkepanjangan di negara tersebut sehingga demi perdamaian dapat tercapai di kawasan. Pembentukan Coalition Government of Democratic Kampuchea (CGDK) pada tahun 1982 dengan Sihanouk selaku Presidennya, diakui oleh ASEAN dan didukung oleh negara-negara Barat dan anggota PBB lainnya. Peristiwa ini mendorong dipercepatnya penyelesaian konflik Kamboja di meja perundingan, baik pada tingkatan regional maupun internasional.

Di lain pihak, reputasi Indonesia sebagai mediator/penengah yang disegani di kawasan telah memperoleh pengakuan oleh negara-negara ASEAN. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya Indonesia sebagai ‘penghubung” antara ASEAN dan Vietnam yang menunjukan semakin menonjolnya peranan Indonesia dalam penyelesaian konflik ataupun rekonsiliasi di Kamboja. Tercatat pada bulan Mei 1984 berlangsung pertemuan tahunan ASEAN tingkat menteri di Jakarta, yang tujuan pokoknya adalah rekonsiliasi nasional dan pembahasan upaya penyelesaian konflik Kamboja melalui jalan damai. Dalam pertemuan tersebut, Indonesia kemudian terpilih sebagai “penghubung” antara ASEAN dan Vietnam dengan tugas memperjuangkan tercapainya dialog murni dengan Vietnam dalam rangka mencari suatu pendekatan yang aktif terhadap penyelesaian masalah dalam kerangka keamanan strategis kawasan.

Perjuangan diplomasi Indonesia tersebut kemudian ditindak lanjuti oleh Menteri Luar Negeri Indonesia Mochtar Kusumaatmaja yang secara aktif mulai menyusun berbagai strategi sebagai Interlocutor guna mengupayakan penyelesaian konflik secara damai di Kamboja. Mochtar Kusumatmadja merintis perjuangan awal diplomasi Indonesia untuk mengundang para pihak terkait yang terlibat dalam pertikaian untuk duduk bersama di meja perundingan, dan mengusulkan agar pertemuan yang dimaksud harus diadakan di tempat yang netral seperti Indonesia, yaitu agar pihak-pihak yang saling bertikai merasa bebas dalam membicarakan masalah Kamboja dan masa depannya. Penujukan mandat kepada Indonesia, berhasil diemban dengan baik oleh Mochtar Kusumaatmadja yang sukses meyakinkan Vietnam untuk dapat turut berpartisipasi dalam perundingan dengan faksifaksi yang bertikai di Kamboja melalui Ho Chi Minh City Understanding.

Berangkat dari gagasan awal Indonesia, perjuangan selanjutnya dalam upaya membawa perdamaian atas konflik internal yang berkecamuk di Kamboja kemudian dijalankan oleh Menteri Luar Negeri Ali Alatas (pengganti Mochtar Kusumatmadja) yang bertindak sebagai tokoh kunci, dan sebagai “pelaksana” terhadap jalannya berbagai proses mediasi, hingga tercapai suatu babak baru dalam lembaran sejarah perdamaian di Kamboja. Ali Alatas yang baru menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RI pada tahun 1988 segera membuat gebrakan awal dengan melakukan kunjungan perkenalan ke ibukota negara-negara ASEAN, yaitu dalam rangka menindaklanjuti usulan Mochtar untuk mengadakan pertemuan informal di Jakarta. Konsep ini pada awalnya kurang mendapat dukungan dari Menlu ASEAN lainnya, namun melalui serangkaian kunjungan dan pendekatan yang dilakukan oleh Ali Alatas tersebut, pada akhirnya Indonesia dapat memperoleh dukungan yang kuat dari masyarakat internasional.

Dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya, Indonesia memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Vietnam. Hal ini terlihat dengan tindakan Indonesia sebagai negara Asia Tenggara pertama yang membuka hubungan diplomatik dengan Vietnam pada tahun 1955. Hal tersebut pada prinsipnya didasarkan pada kesamaan pandangan antara Indonesia dan Vietnam mengenai latar belakang sejarah, di mana perjuangan Indonesia dan Vietnam untuk mendapat pengakuan terhadap kemerdekaannya memiliki jalan yang hampir sama yaitu melalui perang kemerdekaan. Mengemban tugas sebagai “penghubung”, Indonesia mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik. Tercatat pada pertengahan tahun 1987 Indonesia memprakarsai Cocktail Party sehingga berhasil mendapatkan kesepakatan Ho Chi Minh City Understanding antara Menlu RI-Menlu Vietnam dan ditindak lanjuti dengan Jakarta Informal Meeting (JIM) I. Pertemuan yang merupakan babak baru dalam upaya mewujudkan perdamaian ini untuk pertama kalinya berhasil mempertemukan masing-masing faksi yang bertikai di Kamboja. Dengan demikian, Indonesia memainkan peran sentral dalam upaya mediasi penyelesaian konflik internal di Kamboja ini. Perkembangan dari pembicaraan tersebut kemudian dilanjutkan melalui Jakarta Informal Meeting II (JIM II) .

Selanjutnya, pertemuan-pertemuan pasca JIM I dan II mulai melibatkan negara-negara di luar ASEAN yang menunjukan bahwa upaya untuk mencapai perdamaian di Kamboja telah mencapai tingkat internasional. Bahkan memasuki tahun 1980 terobosan untuk mencapai resolusi atas konflik Kamboja yang diperankan oleh Indonesia selaku mediator memasuki tahapan yang lebih progresif lagi dengan adanya partisipasi aktif PBB melalui Dewan Keamanan dalam berbagai tahapan mediasi. Melalui kesepakatan yang dicapai pada Konferensi Internasional Paris/Paris International Conference (PIC), dihasilkan suatu kerangka kerja PBB yaitu dengan dibentuknya Supreme National Council of Cambodia (SNC). Kemudian dalam rangka menggodok kerangka kerja tersebut guna mencapai suatu dokumen akhir tentang penyelesaian damai yang menyeluruh terhadap konflik Kamboja, digelarlah Informal Meeting on Cambodia (IMC) I dan II di Jakarta.

Akhirnya, setelah melalui proses perundingan yang panjang, maka pada tanggal 23 Oktober 1991, digelarlah Paris International Conference on Cambodia (PICC) di bawah pimpinan Ketua bersama (Co-Chairman) Indonesia dan Perancis yang memberi hasil ditandatanganinya dokumen Perjanjian Paris. Kesepakatan ini telah menandai perjuangan akhir dari upaya perdamaian di Kamboja dan memulai babak baru dalam pemerintahan yang demokratis di negara ini. Paparan bab ini memperlihatkan proses lahirnya kebijakan politik luar negeri Indonesia bebas aktif dan dinamikanya sejak kemerdekaan hingga masa reformasi, serta peran aktif Indonesia dalam memelihara perdamaian dunia baik di tingkat regional dan global. Peran tersebut sesuai dengan komitmen bangsa sebagaimana tertuang dalam alinea keempat UUD 1945, yang menekankan pentingnya peran Indonesia dalam ikut serta mewujudkan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer