Rabu, 29 Maret 2023

Mengenang Insiden Berdarah di Bedeng 42 Batanghari Masa Revolusi Fisik

 Penulis: Adi Setiawan

Makam K.H Abdul Wahab (Dok. Penulis)


Jumat 17 Maret 2023 lalu penulis berkesempatan bertemu dengan Mbah Rasmin. Beliau adalah warga desa Bumi Emas Bedeng 42, Batanghari, Lampung Timur. Laki-laki kelahiran tahun 1924 ini masih begitu sehat. Di saat penulis menyambangi rumahnya, beliau menyambut dengan senyuman nan bersahaja. Walaupun penulis dan Mbah Rasmin belum saling mengenal namun nuansa ramah hadir dalam diri Mbah Rasmin saat itu.

Mbah Rasmin adalah salah seorang kolonis yang masih tersisa di Bedeng 42, menurut penuturan warga  dikatakan beliaulah satu-satunya kolonis yang masih hidup. Niat utama penulis menemui Mbah Rasmi adalah guna mengetahui lebih dalam tentang insiden penembakan oleh macan loreng Belanda kepada pejuang kemerdekaan di Bedeng 42 masa revolusi fisik. Dari info yang penulis dapatkan Mbah Rasmin adalah salah seorang saksi terjadinya insiden tersebut.

Cuaca yang tengah terik saat penulis tiba di rumah Mbah Rasmin, setelah mengenalkan diri penulis kemudian mengutarakan niat di atas. Maka timbulah obrolan sejarah antara kami. Sebelum menjelaskan tentang insiden penembakan, Mbah Rasmin mengajak penulis untuk kembali ke tahun 1942. Beliau masih mengingat betul masa-masa pendudukan oleh Jepang. Mbah Rasmin bercerita bahwasanya Jepang datang dan menguasai Indonesia setelah mengalahkan Belanda.

“Jepang tidak lama menjajah, istilahnya seumur jagung” ungkap Mbah Rasmin`

Beliau melanjutkan “walaupun sebentar penjajahan Jepang sangat buruk saat itu, penduduk kurang makanan.”

Beliau menyampaikan jika masa pendudukan Jepang pernah makan batang pepaya. Mbah Rasmin kemudian bercerita ihwal Jepang kalah karena di bom oleh Sekutu. Lantas setelah Jepang kalah Belanda atau beliau menyebutnya macan loreng kembali datang ingin menguasai Indonesia. Terjadilah perang, termasuk di Batanghari penduduk bersiap untuk perang dengan menyiapkan senjata salah satunya golok.

“macan loreng biasanya mencari laki-laki yang dicurigai sebagai pejuang” jelas Mbah Rasmin.

Mbah Rasmin bercerita jika salah satu orang yang dicari oleh macan loreng adalah Haji Wahab atau K.H Abdul Wahab, seorang tokoh dari Desa Balerejo Bedeng 40, Batanghari. Dalam literatur Revolusi Fisik di Provinsi Lampung nama K.H Abdul Wahab adalah pimpinan Hizbullah Batanghari pada masa revolusi fisik. Posisi inilah yang kemungkinan besar membuat K.H Abdul Wahab menjadi target macan loreng. Karena pada masa revolusi fisik organisasi Hizbullah memiliki peranan dalam membantu peperangan melawan Belanda. Hizbullah yang dikatakan sebagai laskar rakyat bahu membahu bersama tentara mempertahankan kemerdekaan Indonesia secara fisik.

Di Lampung pun, peranan Hizbullah juga nampak. Beberapa pejuang yang tergabung dalam Laskar Hizbullah adalah K.H Ahmad Hanafiah, ulama dari Sukadana dan K.H Gholib, seorang ulama dari Pringsewu. Jika dilihat dari kemunculannya Hizbullah berdiri pada masa pendudukan Jepang yang berawal di pulau Jawa. Dalam perkembangnnya Hizbullah kemudian memiliki cabang-cababg di daerah salah satunya di Lampung. Laskar Hizbullah pun menyebar ke berbagai kawasan, seperti Teluk Betung, Tanjung Karang, Pringsewu, Metro, dan Sukadana. 

Pada masa revolusi fisik tercatat bahwa pertempuran melawan Belanda di daerah Teluk Betung juga dilakukan Laskar Hizbullah. Bahkan Laskar Hizbullah pimpinan K.H Ahmad Hanafiah membantu perjuangan di Kemarung, Sumatera Selatan.

Kembali  dalam obrolan penulis dengan Mbah Rasmin. “waktu itu pak haji (Haji Wahab) hendak ke rumah keluarganya di Sekampung” ungkap Mbah Rasmin.

Pejalanan ke Sekampung dilakukan bersama dengan keluarganya, di Sekampung K.H Abdul Wahab menginap satu malam. Esok harinya K.H Abdul Wahab pulang kembali ke Bedeng 40. Namun naas setiba di Bedeng 42, (saai ini: sekitar pertigaan ringin Bedeng 42) K.H Abdul Wahab berjumpa dengan tentara macan loreng Belanda.

Mbah Rasmin saat itu yang berada di rumahnya tak jauh dari lokasi mendengar bunyi letusan. Setelah diperiksa ternyata K.H Abdul Wahab dan seorang pemuda (calon menantu K.H Abdul Wahab) telah gugur tertembak oleh macan loreng.

Mbah Rasmin, saksi sejarah menunjukan lokasi penembakan (Dok. Penulis)

Raut wajah sedih Mbha Rasmin saat mengisahkan tertambaknya K.H Abdul Wahab. Ia tidak menyangka jika suara letusan itu adalah tembakan terhadap K.H Abdul Wahab dan calon menantunya. Janazahnya lantas dikebumikan di Desa Balerejo Bedeng 40. Bagi masyarakat Balerejo gugurnya K.H Abdul Wahab masih teringat dalam ingatan warga sebagai bagian sejarah kejamnya agresi militer Belanda II. K.H Abdul Wahab adalah pejuang, sebagai tanda kehormatan di atas kuburnya tertancap bendera merah putih.

Gugurnya K.H Abdul Wahab bukan hanya sekedar menjadi cerita zaman revolusi fisik namun dapat memberikan nilai-nilai bagi generasi muda khususnya di Batanghari untuk dapat mencontoh keteladan perjuangan untuk bangsa dan negara. Itulah yang disebut dengan patrioisme dari seoarang anak bangsa kepada negaranya.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer