Selasa, 14 Januari 2025

Mengingat Kembali Tembakau Lampung

Dalam urusan perkebunan, daerah Lampung memang lebih terkenal dengan hasil lada dan kopinya. Penamanan dua komoditas tersebut, telah menjadi bagian dalam hidup masyarakat Lampung. Pernah, suatu kali ujicoba penanaman tembakau dilakukan di Lampung. Lalu, bagaimanakah hasil dari tanaman bahan baku udut ini?

Oleh: Adi Setiawan


Tembakau

(Sumber: www.istockphoto.com) 

Tembakau menjadi salah satu produk perkebunan Indonesia, hasil dari penjualan tembakau dilakukan pungutan berupa cukai oleh negara. Besarnya pendapatan dari cukai ini, menjadi problem bagi pemerintah untuk menghapuskan tanaman ini. Walaupun dampak buruk bagi kesehatan juga menghantui.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tembakau merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika. Suku-susku asli benua ini, seperti Suku Maya membudidayakan tembakau sebagai keperluan dalam ritual keagamaan. Ketika Spanyol mengenal benua Amerika, mereka memulai bersentuhan dengan tanaman yang dapat beradaptasi dicuaca kering ini. Lantas, tembakau oleh bangsa Spanyol mulai diperkenalkan ke Eropa dan menjadi komoditas dagang saat itu.

Sejarah tanaman tembakau di Indonesia sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1601. Adapun Spanyol adalah bangsa yang berperan dalam memperkenalkan tembakau di Asia Tenggara, diawali di Filipina pada tahun 1575. Dikenalkannya tembakau ini lambat laun mempengaruhi kebiasaan merokok di Nusantara. Daerah-daerah di Pulau Jawa menjadi lahan budidayanya.

Penanaman tembakau secara masif kemudian dilakukan di Sumatra Timur, tepatnya di wilalayah Deli. Perusahaan milik pengusaha Jacobus Nienhuys, Deli Maatschappij mendapatkan izin untuk membuka lahan guna penanaman tembakau. Tembakau Deli ternyata memiliki kualitas yang baik dan menjadi primadona di pasar Eropa.

Penanaman tembakau di Sumatra sebetulnya bukan hanya sekedar di Deli saja. Daerah-daerah di Sumatra bagian selatan pernah pula menjadi ladang-ladang tembakau. Sebelum adanya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, penanaman tembakau sudah dikenal masayarakat Lampung. Namun adanya bencana letusan tersebut memberikan dampak bagi petani untuk kembali memulai menanam tembakau. Pada tahun 1885, atas perintah Residen di Lampung dilakukan percobaan penanaman tembakau kembali dengan benih tembakau dari Deli. Dinas Pertanian memulai melakukan pengujian penanaman tembakau di berbagai tempat di Lampung, sayangnya tidak disebutkan secara detail di mana letak tempat tersebut. (Broesma, 1916:197).

Hasil panen tembakau di tahun itu kemudian dilakukan pengujian kualitas. Hasilnya kualitas tembakau Lampung memiliki kemiripan dengan tembakau Jawa. Jika dibandingkan dengan tembakau Deli, tembakau Lampung dinilai memiliki kualitas di bawahnya. Tembakau Lampung cenderung lembut, agak liar dan batangnya kasar, tapi luka bakarnya cukup bagus.

Kualitas tembakau Lampung yang masih kalah saing dengan tembakau Deli sebetulnya memiliki dasar yang dapat dimengerti. Dalam De Locomotief, (26 April 1887) disebutkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi oleh petani tembakau di Lampung. Tantangan itu adalah tahun 1885 merupakan tahun kemarau yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi masyarakat Lampung dan kekeringan terjadi jauh lebih awal dari biasanya. Sehingga penanaman benih sebenarnya dilakukan terlambat. Kedua, pengawasan ahli sama sekali tidak ada. Ketiga, pengiriman tembakau memakan waktu lama ketika dikirim dari Teluk Betung ke Deli, dan alasan terakhir adalah saat pengiriman tembakau dari Lampung ke Deli terjadi pada musim penghujan yang membuat tembakau menjadi basah. Walaupun demikian percobaan penanaman tembakau ini telah membuka keuntungan. Terutama dalam memproduksi benih tembakau untuk penanaman selanjutnya (Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887).

Pada tahun 1886, pengujian kembali dilakukan, namun kini dengan benih yang dipanen dari masyarakat Lampung sendiri. Hasilnya lebih menguntungkan. Percobaan diulangi pada tahun 1887 dan hasilnya kembali bagus. Sampai tahun 1887 penanaman tembakau di Lampung hanya diupayakan oleh masyarakat sendiri. Modal atau investasi swasta belum hadir guna mendukung penanaman tembakau yang lebih luas di Lampung (Broesma, 1916:198).


Berita tentang Penanaman Tembakau di Lampung

(Sumber: Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887) 

Pandangan terhadap kualitas tembakau Lampung yang lebih rendah dibandingkan dengan tembakau Deli nyatanya tidak menyurutkan masyarakat untuk meninggalkan tanaman ini. Kops (1919:68) dalam bukunya berjudul Overzicht van Zuid Sumatra menjelaskan bahwa di Sumatra Selatan termasuk Lampung penenaman tembakau lebih banyak dilakukan oleh orang per orang. Hasil panen tembakau ini, sebagian dikirim ke Pulau Jawa dan Singapura.

Pada tahun 1910, penanaman tembakau dengan lahan yang luas mulai dilirik oleh pemodal Eropa bernama P.C van de Kamer. Sebelumnya, pemodal ini pernah menanam tembakau di lahan Kebagusan, yang terletak di sebelah Perusahaan Egaharap. P.C van de Kamer mendapatkan hak sewa di daerah Pitu pada tahun 1911 dengan lahan 425 ladang.  Hasil penanaman tembakau di Pitu ini mencapai 11 pikul per bahu atau 2 pikul lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil panen tembakau di Deli. Namun, pada akhir tahun 1914 diputuskan untuk tidak melanjutkan penanaman tembakau di Pitu. Pemodal saat itu lebih memilih untuk menanam kopi dan karet yang dirasa lebih menguntungkan (Broesma, 1916:200).

Penanaman tembakau di Lampung yang dapat dikatakan tidak stabil ini, pada masa-masa berikutnya tetap diupayakan. Pada tahun 1926, jumlah ekspor tembakau jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang mengherankan adalah dari jumlah penjualan tembakau dari Sumatra Selatan, Lampung menyumbang angka terbesar dalam penjualan tembakau ini. Kondisi ini ada, kemungkinan besar disebabkan oleh pengangkutan tembakau Ranau dari Palembang melalui Kereta Api Sumatera Selatan ke daerah Lampung.

Rincian hasil produksi tembakau Lampung dari tahun 1923 hingga 1929 menunjukan bahwa, pada tahun 1923 jumlah tembakau adalah 2 ton dengan nilai 4 ribu gulden. Kemudian tahun 1924, produksi tembakau Lampung mencapai angka 5 ton dengan perolehan nilai sebanyak 5 ribu gulden. Pada tahun 1925, mencapai 8 ton dengan penerimaan nilai 25 ribu gulden. Tahun 1926 menjadi perolehan produksi dan nilai terbesar yakni sebanyak 59 ton dan perolehan nilai 87 ribu gulden. Pada tahun 1927, produksi menurun drastis pada angka 4 ton dengan nilai 5 ribu gulden. Tahun 1928 produksi berkisar 5 ton dengan nilai 6 ribu gulden. Terakhir tahun 1929, panen tembakau Lampung pada perolehan 3 ton dengan nilai 8 ribu gulden (Wellan, 1932:245).

Penanaman tembakau di Lampung pada masa lalu dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya. Hingga hari ini daerah Lampung memang bukan menjadi produsen tembakau utama di Indonesia. Sepertinya tanaman tembakau masih kalah pamor dengan tanaman kopi, lada,  karet, sawit, tebu ataupun singkong.

Referensi:

De Locomotief, 26 April 1887

Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Bruyn Kops. 1919. Overzicht Van Zuid Sumatra. Amsterdam: Druk Van J. H. De Bussy


Wellan, J. W. J. 1932. Zuid-Sumatra: Economisch Overzicht Van de Gewesten Djambi, Palembang, De Lampoengsche Districten en Benkoelen. Wageningen: H. Veenman & Zonen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Melawan Lupa: Rapat Umum Ir. Sukarno di Lampung

Ir. Sukarno bertindak sebagai kepala negara sering melakukan perjalanan ke daerah guna meninjau pemerintahan. Kunjungan Presiden Indonesia p...

Populer