Membuka pustaka lama era kolonial ternyata memberikan petunjuk mengenai Jabung. Pada catatan tinggalan era kolonial seperti Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten karya J.C Köhler, Nota Over De Lampoengsche Merga's karya Van Royen, De Lampongsche Districten karya Broersma dan Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten karya F.G Steck memuat informasi mengenai kampung-kampung yang ada di aliran Way Sekampung. Bagaimankah kondisi perdagangan dan masyarakat Jabung era kolonial?
Oleh: Adi Setiawan
Peta
Marga di Lampung, Nomor 45 Menunjukan Jabung (Sumber:
Nota Over De Lampoengsche Merga's)
Pada Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten karya J.C Köhler, Nota Over De Lampoengsche Merga's karya Van Royen, De Lampongsche Districten karya Broersma dan Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten karya F.G Steck menjelaskan kondisi Lampung baik dari sisi kemasayarakat, ekonomi dan bentang alam. Juga memuat kampung-kampung yang ada di aliran Way Sekampung. Kampung-kampung yang dikisahkan dalam laporan
dan artikel-artikel tersebut saat ini beberapa diantaranya berada dalam wilayah Kecamatan Jabung.
Beberapa kampung lainnya saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Marga Sekampung,
Sekampung Udik dan Margatiga. Dari laporan dan artikel-artikel tersebut, dalam
tulisan ini ingin menyajikan kembali kondisi Jabung di era kolonial. Ada hal-hal
yang sesungguhnya dapat diketahui tentang masa silam dari daerah Jabung.
Daerah
Jabung saat ini adalah salah satu kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten
Lampung Timur. Kecamatan Jabung terdiri dari 15 Desa, yaitu Desa Mekar Jaya,
Adirejo, Asahan, Belimbing Sari, Gunung Mekar, Benteng Sari, Mumbang Jaya,
Gunung Sugih Kecil, Pematang Tahalo, Negara Batin, Negara Saka, Jabung, Adi
Luhur, Tanjung Sari dan Sambi Rejo. Desa terluas adalah Adirejo dengan luas
wilayah 81.70 km² yang mencakup 30.47% wilayah Jabung. Sementara itu, desa
terkecil adalah Gunung Sugih Kecil dengan luas wilayah 3,50 km² yang mencakup
1,31% dari luas Jabung (BPS, 2023:7).
Di
antara nama-nama desa yang ada di Kecamatan Jabung saat ini telah tercatat
dalam laporan yang dibuat oleh Asisten Residen Lampung, J.C Kohler yang
melakukan perjalanan di daerah Way Sekampung tahun 1855. Beberapa desa yang
tercantum dalam laporan J.C Kohler diantaranya adalah Kampung Jabung, Kampung
Asahan, dan Kampung Negara Batin. Terdapat pula nama-nama kampung yang
disinggahi oleh J.C Kohler seperti Kampung Bungkuk, Kampung Gunung Raya,
Kampung Toba, dan Kampung Gedong.
Way
Sekampung atau Sekampung pada era kolonial merupakan sebuah distrik di dalam
karaseidenan Lampung. Pada masa lalu nama-nama distrik di Lampung banyak yang
disesuaikan dengan nama sungai. Sebagai contoh selain Distrik Sekampung, terdapat
pula nama distrik yang menggunakan nama sungai yakni Distrik Semaka dan Distrik
Seputih. Pusat pemerintahan dari karesidenan saat itu berada di Teluk Betung.
J.C
Kohler merupakan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang diperintahkan ke
Lampung mulai tahun 1853. Ia tercatat sebagai pemimpin militer sekaligus sipil,
wakil dari pemerintah kolonial di Lampung (Bukri, 1997:92). Pada tahun 1855 J.C
Kohler berkesempatan melakukan perjalanan di Distrik Sekampung. Perjalanannya
di Sekampung ini dilaporkan dalam sebuah verslag atau laporan yang
berjudul Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten.
Pada laporan J.C Kohler inilah nama desa-desa yang saat ini menjadi bagian dari
Kecamatan Jabung disebut oleh J.C Kohler. Pada catatan ini J.C Kohler
mendeskripsikan keadaan desa-desa itu, mulai dari jumlah rumah, jumlah
penduduk, kondisi ekonomi serta alam yang ia temui.
Pada
verslag yang dibuat oleh J.C Kohler digambarkan bahwa perjalanan antar
desa atau kampung saat itu lazimnya menggunakan perahu melintasi sungai Way
Sekampung. Terdapat pula jalan setapak yang penduduk gunakan dalam
beraktivitas. Kendaraan darat yang lazim digunakan saat itu adalah kuda dan
pedati. Untuk saat ini di daerah Sekampung Udik, Marga Sekampung dan Jabung
beberapa masyarakat masih memanfaatkan pedati atau gerobak dalam aktivitas angkutan
pertanian, boleh jadi kondisi ini adalah kelanjutan dari budaya transportasi
masa lalu di daerah tersebut.
Pada
halaman yang lain, J.C Kohler memaparkan bahwa perjalanan dari Kampung Jabung menuju
Kampung Asahan melewati Kampung Negarabatin memakan waktu 2 jam perjalanan
dengan pedati. Kampung Negarabatin mempunyai 60 rumah dan 346 jiwa, sementara
untuk Kampung Asahan yang memiliki 15 rumah dan 70 jiwa. Menariknya di Kampung
Asahan penduduknya bukan hanya terdiri atas suku Lampung namun juga dihuni oleh
suku Jawa dan Bugis.
Terdapat
hamparan daratan yang tertutup alang-alang antara Negarabatin dan Asahan
terbentang luas dan panjang. Kondisi tanahnya berpasir dan bercampur dengan
tanah liat. Hutan sekitar kampung Assahan dan Negarabatin dapat ditemukan
banyak pohon jati dan maris. Pohon jati ditanam oleh penduduk atas perintah Sultan
Banten. Kondisi Kayu jati di sini menurut laporan Kepala Kampung Asahan tidak sebaik
yang ada di Pulau Jawa. Maris merupakan jenis kayu keras dan berat yang
digunakan untuk paku dalam pembuatan kapal.
Pada
masa itu kayu jati boleh dimanfaatkan siapapun. Sebagai contoh setiap pedagang
yang datang ke sini dengan kapalnya memanfaatkan kesempatan ini untuk
memperbaiki perahunya secara gratis dan menebang kayu sesuka hati. Oleh karena
itu jumlah pohon yang besar dan tua sangat sedikit. Dari Asahan ada jalan yang
mengarah daerah pedalaman ke arah utara menuju Kampung Gunung Sugih. Di Gunung
Sugih terdapat dengan 4 rumah dan 40 jiwa. Terdapat kampung lain yakni Kampung
Peniangan, dengan 9 rumah dan 45 jiwa.
Kampung
Asahan, merupakan pusat perdagangan utama di Distrik Sekampung, walaupun demikian
perdagangan belum dapat dikatakan maju saat itu. Laporan J.C Kohler yang
berasal dari penuturan kepala kampung menunjukan perdagangan di Asahan berupa
500 pikul lada, 300 pikul kapuk dan 50 pikul damar kucing setiap tahunnya. Sementara
itu, Asahan membeli produk dari luar seperti garam, gambir, kapas, kain,
sarung, barang besi, gerabah, dan lain-lain. Perdagangan sebagian besar
dilakukan dengan Pulau Jawa dan Bawean, termasuk dengan Sulawesi, Lingga, dan
Singapura.
Peta Way
Sekampung, Tercantum Campong Atjahan (Kampung Asahan)
(Sumber: Kian Amboro)
Produk yang dijual dari Asahan dikirim melalui Sungai Way
Sekampung, pelayaran ini umumnya dilakukan pada permukaan air sedang dan tinggi
menggunakan rakit bambu. Pada
Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten juga
dijelaskan bahwa ketika permukaan air sangat tinggi, masyarakat pegunungan
membawa hasil hutan mereka ke Assahan dengan rakit bambu, yang mereka
tahu cara mengemudikannya dengan keahlian khusus, dan jarang sekali kita
mendengar adanya kecelakaan. Dari Assahan sungai dapat dilayari
dengan 10 perahu. Sedangkan pada
permukaan air yang rendah, sampan atau sampan kecil digunakan. Hanya sedikit
produk yang diangkut melalui darat. Penjelasan dalam Topograpihsche
en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten menguatkan
penjelasan J.C Kohler bahwa Asahan saat itu merupakan bandar perdagangan yang
penting di Distrik Sekampung. Penduduk menjul hasil hutan dan perkebunan di
Asahan sekaligus membeli kebutuhan lain di sini. Bahkan dalam Topograpihsche
en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten menyatakan Asahan
sebagai salah satu pasar penting di Lampung selain pusat perdagangan yang ada
di Teluk Betung, Bornai di Teluk Semangka, Rantau Jaya di Way Pegadungan,
Seringkebow di Way Seputih dan Menggala di Way Tulangbawang.
Pada masa Lampung berada di bawah kekuasaan Sultan
Banten, perdagangan di Asahan berada di bawah pengawasan seorang kepala suku
pribumi bergelar sabandar yang diangkat oleh Sultan Banten. Segala
perselisihan antara para pedagang, orang-orang yang berada di atas kapal, atau
mengenai perdagangan diselesaikan oleh sabandar menurut adat istiadat yang
dianut.
Keberadaan
sabandar selain di Asahan juga ditemui di Kampung Gunung Raya dan Gedong. Hal
yang membedakan sabandar di Asahan dan di kedua kampung tersebut adalah wewenang
yang dimiliki sabandar Asahan lebih besar karena diperkenankan menangani
perdagangan, berbeda dengan sabandar Gunung Raya dan Gedong yang hanya
bertanggung jawab terhadap masyarakat di kampungnya saja, demikian penjelasan
J.C Kohler.
Lada
merupakan produk utama di daerah Jabung saat itu. Daerah penghasil lada lainya adalah
Kampung Bojong, Gunung Sugih, Gunung Raya dan Peniangan. Kebun lada di kampung-kampung tersebut
berdasarkan pengamatan J.C Kohler termasuk dalam kebun lada yang tua.
Jalan-jalan di sana lebar dan pengangkutan lada menggunakan pedati.
Pada
perjalannya lainya J.C Kohler menjumpai Kampung Batu Badak. Nama Batu Badak
diambil dari sebuah batu besar yang terletak di sungai, masyarakat Lampung di
sana menyebutnya berbentuk mirip badak. Di kampung ini mempunyai 17 rumah dan
96 jiwa. Dari Batu Badak dengan melewati jalan setapak pada tepian sungai dapat
menjumpai Kampung Bungkuk, jarak tempuhnya sekitar satu jam. Di Kampung Bungkuk,
dijumpai 16 rumah dan 199 jiwa penduduk. Sekitar satu jam perjalanan ke timur, dapat
ditemukan Kampung Putak dengan 20 rumah dan 227 jiwa. Dari Kampung Putak ini
perjalanan melewati pohon pinus dapat menuju Kampung Jabung, Negarabatin dan
Asahan.
Referensi:
BPS. 2023. Kecamatan Jabung dalam Angka.
Lampung Timur: Badan Pusat Statistik
Bukri, dkk. 1997. Sejarah Daerah
Lampung. Jakarta: Depdikbud
J.C Kohler. 1855. Verslag Eener Reis
Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten dalam Tijdschrift Voor
Indische Taal, Land En Volkenkunde. Batavia: Bataviaasch Genootschap Van
Kunsten En Wetenschappen
Van
Royen. 1930. Nota Over De Lampoengsche Merga's. Weltevreden:
Landsdrukkerij
R.
Broersma. 1916. De Lampongsche Districten. Batavia: Javasche Boekhandel
& Drukkerij
F.G
Steck. 1855. Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche
Distrikten