Senin, 30 Desember 2024

Cahaya di Kotabumi: Awal Mula Listrik di Kotabumi

Tahun 1939 menjadi tahun yang bersejarah bagi elektrifikasi di Kotabumi. Masuknya listrik di Kotabumi disebutkan oleh koran-koran sebagai sebuah kemajuan. Koran lainya menyebut dengan Cahaya di Kotabumi atau Licht in Kotaboemi.

Oleh: Adi Setiawan


Berita Mengenai Listrik di Kotabumi

(Sumber: Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië, 22 Maret 1939)

 

Listrik menjadi sumber energi yang penting bagi kehidupan manusia. Manusia yang hidup modern saat ini, tentu semua perangkat teknologi yang digunakannya tidak terlepas pula dari listrik. Ponsel yang kita gunakan pasti memerlukan daya listrik, televisi yang kita saksikan juga bersumber dari daya listrik termasuk beberapa alat transportasi dewasa ini juga telah menggunakan energi listrik sebagai bahan bakarnya.

Jika listrik padam seperti terjadi krisis besar bagi manusia. Hal ini juga yang sempat dirasakan oleh masyarakat di Lampung beberapa bulan terakhir. Karena listrik padam aktivitas menjadi sulit, hal ini karena semua alat di rumah dan di tempat kerja semua bergerak karena bersumber dari energi listrik.

Berbicara mengenai energi listrik, saat ini menjadi tanggungjawab dari PT Perusahaan Listrik Negara (PT PLN). Perusahaan milik negara ini menjadi memproduksi dan mendistribusikan listrik ke seantero negeri.

Pada era kolonial pemanfaatan energi listrik banyak diupayakan oleh perusahaan-perusahaan milik Belanda. Tahun 1882 perusahaan Nederlandsch Indische Gasmaatschappij (NIGM) memproduksi listrik di Semarang dengan memanfaatkan tenaga uap. Tahun 1897 di Jakarta didirikan perusahaan Nederlandsche Indische Electriciteit Maatschappij (NIEM) dengan kantor pusat di Gambir.

Keperluan energi listrik yang dirasakan lebih besar kemudian membuat pemerintah kolonial mendirikan s'Lands Waterkracht Bedriven (LWB) tahun 1927 yang mengelola PLTA dan PLTU di beberapa wilayah. Sementara itu, sejarah kelistrikan nasional setelah Indonesia merdeka dimulai pembentukan membentuk Jawatan Listrik dan Gas di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga pada 27 Oktober 1945.

Bila kita membuka koran-koran lama yang terbit di era kolonial, menyebutkan listrik sebagai bagian dari kehidupan modern atau kemajuan. Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit pada 10 Juni 1938 menyebutkan hal tersebut saat listrik masuk di Kotabumi, Lampung. Koran ini mengawali artikelnya dengan judul Kotaboemi Vooruit atau Kotabumi Maju. Dalam artikel ini disebutkan bahwa masuknya listrik di Kotabumi dilatar belakangi oleh posisi daerah ini sebagai pusat perdagangan lada dan kopi. Selain itu, Kotabumi merupakan daerah yang dilalui oleh rel kereta api Sumatra Selatan (Zuid Sumatra Staatsspoorwegen/ZSS), tentunya membutuhkan penerangan listrik untuk berbagai toko, penerangan jalan, dan banyak rumah pegawai perusahaan kereta api tersebut.

De Indische Courant yang terbit pada 30 Oktober 1939 menyebutkan perusahaan penyedia energi listrik di Kotabumi itu dikelola oleh perusaahan milik pengusaha Tionghoa bernama Lim Giok Keng. Ia adalah penguasaha yang memiliki banyak perusahaan di Lampung, khususnya di Teluk Betung dan Tanjung Karang. Biaya pembangunan fasilitas listrik di Kotabumi memakan biaya sebesar 35.000 gulden. Adapun letak pembangkit listrik ini berada sekitar 10 Km dari stasiun kereta api Kotabumi (De Sumatra Post, 25 Maret 1939).

Kehadiran listrik di Kotabumi saat itu menjadi satu hal yang ditunggu-tunggu. Dalam pidato peresmian listrik itu disebutkan oleh Residen G.W Meindersma bahwa pembangunan fasilitas kelistrikan di Kotabumi telah direncanakan selama 10 tahun. Barulah pada di tahun 1939 listrik dapat dialirkan di Kotabumi. Walaupun demikian, fasilitas listrik yang masuk di Kotabumi belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh semua penduduk. Selain fasilitas perekonomian dan kereta api, sebagian aliran listrik dialirkan untuk warga Eropa yang menjadi pegawai Zuid Sumatra Staatsspoorwegen.

Namun ada hal menarik lain setelah listrik masuk di Kotabumi, kemudian membuka peluang bagi pemodal untuk membuka usaha di daerah ini. Sebagai contoh adalah muncul niat dari Lim Giok Keng yang ingin membuka pabrik pembuatan es di Kotabumi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masuknya fasilitas listrik berpengaruh terhadap perubahan sosial dan ekonomi masyarakat di Kotabumi.

 

Referensi:

Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië, 22 Maret 1939

Bataviaasch Nieuwsblad, pada 10 Juni 1938

De Sumatra Post, 25 Maret 1939

Jumat, 27 Desember 2024

Telegraf dan Telepon di Lampung

Telegraf dan telepon menjadi dua alat komunikasi modern yang turut hadir di Lampung pada era kolonial. Beberapa kota di Lampung memiliki akses terhadap dua teknologi ini.

Oleh: Adi Setiawan


Kantor Pos dan Telepon Tanjung Karang Tahun 1937

(Sumber: De Indische Courant, 27 November 1937) 

Sebagai wujud kemajuan manusia dewasa ini, salah satunya diukur dari pencapaian dalam penemuan teknologi. Penggunaan teknologi telah mengubah berbagai sendi kehidupan manusia. Teknologi adalah perangkat yang diupayakan manusia untuk mempermudah aktivitas. Berbagai macam teknologi telah berkembang dari yang tradisional hingga modern.

Penemuan telegraf dan telepon adalah dua contoh nyata dari kemajuan manusia dalam bidang komunikasi dan informasi. Kedua teknologi itu telah mempermudah jangkauan komunikasi lintas ruang. Antonio Meucci dan Alexander Graham Bell adalah dua tokoh yang berjasa dalam pengembangan teknologi telepon. Sedangkan Samuel Finley Breese Morse adalah tokoh yang berjasa dalam pengembangan teknologi telegraf.

Masuknya teknologi telegraf dan telepon di Indonesia dimulai sejak era kolonial. Tercatat bahwa telegraf lebih awal berkembang di Indonesia ketimbang telepon. Telegraf mulai ada di Indonesia tahun 1855 dan telepon pada tahun 1882. Di awal perkembangannya, kedua teknologi ini diperuntukan untuk daerah-daerah di Pulau Jawa, seperti Jakarta dan Bogor. Serta menyusul di daerah-daerah lain.

Keberadaan telegraf dan telepon saat itu bukan hanya sebagai media komunikasi antar daerah di Indonesia, namun keberadaannya juga ditujukan sebagai alat komunikasi dengan masyarakat di luar negeri. Perkembangan jaringan telegraf di Indonesia pada masa kolonial banyak yang dibangun mengikuti jalur rel kereta api.

Kemudahan komunikasi dengan menggunakan telegraf dan telepon lantas dikembangkan dengan mendirikan perangkat telegraf dan telepon di berbagai daerah di Indonesia. Keberadaan teknologi telegraf dan telepon juga berkembang di Lampung. Beberapa pemberitaan menyebutkan informasi tentang penggunaan telegraf dan telepon di beberapa daerah di Lampung. Lampung tercatat sebagai salah satu daerah pertama di Sumatra yang memiliki jaringan telegraf. Keberadaan telegraf di Lampung mulai dibangun pada pemerintahan Residen Pruys van der Hoeven. Dalam Veertig Jaren Indische Dienst (1894:198) Pruys van der Hoeven menerangkan bahwa:

Na mijne benoeming tot resident van de Lampongs bij den Gouverneur- Generaal Mijer ter audientie ontvangen, wenschte Z. E. mij geluk met het beheer over dat gewest, ' t welk men, zoo zeide hij, het bruggenhoofd zou kunnen noemen van Java. Eenigen tijd na mijn optreden werd tusschen Anjer en Telok Betong een electrische brug, een telegraafkabel, Java met Sumatra verbindende, gelegd, waarvoor het engelsch kabelschip de "Envestigator" dienst deed.

Dari penjelasan di atas, memberikan pengertian bahwa teknologi telegraf yang dibangun masa Residen Pruys van der Hoeven mennghubungkan Teluk Betung-Anyer. Pada buku Gambaran Singkat Sejarah Perkembangan Jasa Pos, Telegraf (1914:14) dijelaskan bahwa pembangunan jaringan telegraf di Lampung, yang dimulai di Teluk Betung diperkirakan ada pada tahun 1866. Setelah jaringan telegraf di Teluk Betung ini kemudian disusul pembangunan jaringan telegraf di Sumatra lainnya seperti Palembang, Padang dan Singkel yang selesai seluruhnya pada tahun 1873.

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, pada terbitan 26 Januari 1911 menyebutkan bahwa pada tahun 1911 jalur telegraf  dibangun antara kantor Kalianda dan Kotabumi melalui Teluk Betung, Gunung Sugih dan Menggala. 

Jalur Telegraf di Lampung

(Sumber: Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 26 Januari 1911) 

Sementara itu menurut Beschrijving der Telegraafverbindingen in Nederlandsch-Indië tahun 1920 beberapa daerah di Lampung yang memiliki ketersambungan jaringan telegraf antara lain Kalianda-Teluk Betung, Teluk Betung-Tanjung Karang, Tanjung Karang-Gunung Sugih, Gunung Sugih-Menggala, Menggala-Blambangan Umpu, dan Blambangan Umpu-Kotabumi. 

Selain penggunaan telegraf, teknologi telepon menjadi pilihan lain dalam media komunikasi di Lampung. Beberapa daerah di Lampung yang memiliki sarana telepon diantaranya adalah Teluk Betung, Kotabumi, Gunungsugih dan Menggala. Pada hari kerja, saluran ini digunakan khusus untuk keperluan telepon selama empat setengah jam, yaitu pukul 09.00-09.30, 12.00-2.30, 14.30-15.00, dan 16.30-17.00 (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 26 Januari 1911).

Sementara itu, teknologi telepon di Tanjung Karang berada dalam kepengurusan kantor pos di kota tersebut. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, pada terbitan 16 November 1932 menyebutkan bahwa kantor telepon dan pos di Tanjung Karang berada di pusat kota, menyatu dengan gedung-gedung milik pemerintah lainnya.

 

Referensi:

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 26 Januari 1911

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 16 November 1932

B. Wieringa.1914. Kort Overzicht Van De Ontwikkelingsgeschiedenis Der Posterijen, Telegrafie En Telefonie in Nederlandsch-Indië. Weltevreden: Boekhandel Visser & co

Gouvernements Post, Telegraaf en Telefoondiens. 1920. Beschrijving der Telegraafverbindingen in Nederlandsch-Indië. Weltevreden: Boekhandel Visser & co

Pruys van der Hoeven. 1894. Veertig Jaren Indische Dienst. Gebr. Belinfante

 

Rabu, 25 Desember 2024

Gempa Bumi Liwa Tahun 1933

Gempa besar pernah terjadi di Sumatra Selatan, titik gempa berada di daratan yang mengakibatkan ribuan rumah hancur dan ratusan manusia meninggal. Dampak gempa ini bahkan membuat terjadinya ledakan di Souh, Lampung Barat.

Oleh: Adi Setiawan 

Dampak Gempa di Krui

(Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Juni 1933)

 

Daerah Lampung, terutama di bagian baratnya merupakan daerah yang memiliki sejarah akan bencana alam gempa bumi. Tercatat telah beberapa kali gempa bumi menghampiri masyarakat di Lampung Barat dan sekitarnya. Hal ini tidak mengherankan karena secara kewilayahan daerah Lampung bagian barat merupakan letak dari lempeng dan sesar aktif. Aktivitas lempeng dan sesar inilah yang membuat sering terjadinya getaran bumi dan memicu gempa.

Berbicara mengenai bencana gempa bumi di Lampung, diantaranya pernah terjadi pada 25 Juni 1933 yang berdampak luas bagi masyarakat di pesisir barat Lampung. Gempa bumi ini dikenal dengan Gempa Bumi Sumatra 1933 atau Gempa Liwa. Gempa bumi ini diperkirakan memiliki magnitudo gelombang permukaan (Ms) sebesar 7,7 dan terjadi pada kedalaman dangkal 20 km. Korban jiwa gempa ini mencapai lebih dari 700 orang yang tersebar di Karesidenan Lampung, Bengkulu dan Palembang.


Dampak Gempa di Kota Agung

(Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Juni 1933)

 

Bataviaasch Nieuwsblad yang terbit pada 28 Juni 1933 melaporkan dampak gempa dibeberapa daerah di Lampung, seperti Kota Agung, Krui dan Liwa. Dampak dari gempa ini telah membuat keretakan dan kehancuran jalan dan rumah-rumah warga. Beberapa korban meninggal dakibatkan oleh tertimpa material bangunan rumah. Bagi mereka yang selamat namun mengalami luka-luka disediakan penanganan medis darurat.

Rumah Sakit Perusahaan Sapatoehoe (Sindikat Pertanahan Sumatera Selatan) menyediakan tempat penampungan sementara dan perawatan bagi korban luka. Selama hari Minggu dan Senin, lebih dari 70 orang yang mengalami luka berat dirawat di sini, sedangkan jumlah orang yang mengalami luka ringan yang dirawat tidak dapat dihitung (Nieuwe Utrechtsche Courant, 25 Juli 1933).

Dampak gempa di Krui mengakibatkan hancurnya masjid. Selain itu hampir sebagian besar rumah di Krui hancur total atau rusak parah. Lima orang tewas dan sebelas luka-luka di kota itu. Sementara itu dampak gempa di Danau Ranau mengakibatkan jumlah korban 93 orang, sementara 70 orang luka berat.

 


Peta Daerah Terdampak Gempa

(Sumber: Het Vaderland, 6 Agustus 1933)

Masih dalam pemberitaan Bataviaasch Nieuwsblad, menyebutkan bahwa dampak korban jiwa dari gempa ini mengakibatkan 29 meninggal dunia dan luka berat 19 orang di Sukau, 27 orang meninggal dunia di Kembahang dan ada sekitar 150 korban jiwa di Liwa. Gempa Sumatra tahun 1933 ini juga berdampak pada munculnya mata air panas serta memicu ledakan di Suoh dua minggu kemudian, serta menewaskan beberapa orang.

Kerusakan jalan akibat gempa ini diantaranya terjadi pada ruas jalan perbatasan Palembang hingga Liwa dan Jjalan antara Liwa hingga Krui. Kerusakan jalan ini adalah karena longsoran tanah, yang muncul efek dari gempa bumi (Leeuwarder Nieuwsblad, 29 Juni 1933).

Soerabaijasch Handelsblad pada 4 Juli 1933 memberitakan bahwa korban gempa yang selamat beberapa diantara mereka memilih untuk mengungsi guan mencari tempat berlindung yang aman. Di Liwa para pengungsi tampak membawa barang-barang yang masih tersisa. Ketakutan dan kecemasan nampak dari wajah-wajah pengungsi, beberapa diantara pengungsi bahkan mengakui kekurangan makanan selama gempa terjadi, demikian berita Soerabaijasch Handelsblad.

Beberapa foto lainnya tentang dampak gempa:


Dampak Gempa di Kota Agung

(Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Juni 1933)

 

Kerusakan Bangunan

(Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, 4 Juli 1933)

Referensi:

Bataviaasch Nieuwsblad, 28 Juni 1933

Leeuwarder Nieuwsblad, 29 Juni 1933

Nieuwe Utrechtsche Courant, 25 Juli 1933

Soerabaijasch Handelsblad, 4 Juli 1933

Selasa, 24 Desember 2024

“Gunung PSII” dan “Jembatan PSII”: Bukti Kiprah PSII di Lampung

Sarekat Islam (SI) adalah organisasi pergerakan nasional yang memiliki banyak cabang di daerah. Sarekat Islam yang kemudian menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) ini juga memiliki banyak cabang di Lampung. Bagaimanakah kiprah PSII di Lampung.

Oleh: Adi Setiawan

 

                      Gunung Seminung/Gunung PSII

(Sumber: De Locomotief 18 April 1936)

 

Laju pendidikan di Indonesia menjadi titik penting dalam bergulirnya pemikiran untuk menggerakkan kemerdekaan. Pendidikan menjadi suatu media dalam menumbuhkan aspirasi dan motivasi merebut kemerdekaan dari penjajahan Belanda. Para pelajar yang telah mengenyam pendidikan sedikit banyak mengetahui bahwa lewat perkumpulan atau organisasi, merupakan wadah penting dalam mencapai kedaulatan.

Memasuki awal abad 20, organisasi-organisasi pergerakan dengan berbagai sifatnya terus tumbuh dan berkembang. Tercatat, organisasi yang saat itu bermunculan diantaranya adalah Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia, Partai Nasional Indonesia dan sebagainya. Organisasi-organisasi pergerakan tersebut berkeinginan memajukan bangsa Indonesia hingga bermuara pada kemerdekaan lahir dan batin dari penjajahan Eropa.

Sarekat Islam adalah organisasi pergerakan yang berawal dari organisasi Sarekat Dagang Islam yang berdiri di Solo atas prakarsa dari Haji Samanhudi. Tujuan awal berdirinya Sarekat Dagang Islam adalah memajukan sektor ekonomi. Terutama dalam memajukan pedagang batik di Solo, yang saat itu bersaing ketat dengan para pengusaha batik Tionghoa. Harapannya dengan berkumpul, maka akan dapat memberikan dampak yang positif bagi pengusaha atau pedagang batik.

Pada perkembangannya, Sarekat Dagang Islam kemudian berubah menjadi Sarekat Islam (SI). Organisasi ini lantas mengambil cara yang lebih progresif guna mensejahterakan masyarakat. Tokoh yang memiliki peran besar dalam proses pengembangan organisasi SI ini adalah Tjokroaminoto. Ia selalu berusaha hadir dalam setiap rapat terbuka di Jawa maupun di luar Jawa. Selain itu, ia juga berperan secara aktif dalam Kongres SI yang diselenggarakan beberapa kali di beberapa kota. Sebagai pengurus Central Sarekat Islam (CSI), ia berusaha untuk melakukan audiensi dengan wali negeri sebagai pemimpin tertinggi di negeri ini. Ia juga mencari berbagai upaya agar organisasi ini memiliki status hukum yang jelas (Djoko Marihandono dkk, 2015:2-3).

Sarekat Islam merupakan organisasi pergerakan yang memiliki berbagai cabang di Indonesia. Dalam kongres SI di Surabaya pada tanggal 26 Januari 1913 dihadiri oleh berbagai simpatisan SI dari berbagai daerah. Adapun anggota simpatisan SI tidak kurang dari 80.000 orang. Dari berbagai daerah yang memiliki cabang Sarekat Islam adalah daerah Lampung. Sarekat Islam dibawa ke Lampung pada tahun 1920 oleh R. Gunawan. Mulai menyebar dari Menggala kemudian menyebar ke seluruh pelosok Lampung (Bukri dkk, 1997:119).

Ketika organisasi Sarekat Islam berubah nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), kegiatan organisasi ini semakin berkembang di Lampung. Berdirilah cabang-cabang PSII di Way Kunang, Kotabumi, Menggala, Teluk Betung dan bahkan hampir seluruh Lampung terdapat cabang-cabang PSII. Tokoh-tokoh PSII yang dipelopori oleh Wa Rahman Kadir dan Burnawi bergerak di daerah Lampung Utara.

Pada tanggal 09 September 1932 Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië memberitakan kunjungan Tjokroaminoto di Menggala. Ia didampingi sekretarisnya, Sastro Moeljono. Di Menggala, Tjokroaminoto melakukan pertemuan baik secara pribadi maupun publik dari tanggal 5 hingga 8 September 1932. Pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh Tjokroaminoto di Menggala untuk membahas kepentingan organisasi dan membela nasib rakyat. Terutama untuk memprotes pajak yang terlalu tinggi dan tugas militer yang berlebihan.


          Berita Kunjungan Tjokroaminoto di Menggala

(Sumber: Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 09 September 1932) 

Perlu kita ketahui bahwa Menggala merupakan daerah di Lampung yang memiliki kemajuan dalam organisasi pergerakan saat itu. Penentangan terhadap kebijakan pemerintah kolonial sering disuarakan di kota ini. Sebagai contoh adalah aksi yang dilakukan oleh Alfian Ratoe Maulana. Ia adalah salah seorang pengurus PSII di Menggala. Apa yang dialami oleh Alfian Ratoe Maulana ini mendapat perhatian dari Tjokroaminoto.

Keberadaan PSII di Lampung, berupaya memberikan dampak positif bagi masyarakat. Berdasarkan Overzicht van de Inlandsche, 12 Juni 1937 menuliskan bahwa:

Mengingat kembali isu di Ranau beberapa tahun lalu dalam konteks ini. Seseorang telah berhasil mendapatkan sewa tanah jangka panjang di Gunung Seminung dengan persetujuan para kepala masyarakat. Masyarakat yang bodoh pada awalnya tidak menyadari pentingnya masalah ini. Hanya ketika penyewa memulai pekerjaannya barulah menjadi jelas bahwa sebidang tanah subur yang luas telah disita dari wilayahnya. Mereka meminta bantuan PSII dan protes dibuat dan ketika masyarakat menerima lebih banyak informasi, rasa akan hak mereka semakin meningkat dan disadari bahwa jika situasi tidak berubah, mereka akan menghadapi kesulitan serius di masa depan. Pemerintah turun tangan dalam masalah ini dan tanah di Gunung Seminung dikembalikan kepada penduduk, yang kemudian memberi nama gunung tersebut “Gunung PSII”.

Hal itu memberikan gambaran bahwa kegiatan organisasi PSII di Lampung langsung bersentuhan dengan permasalah yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam hal media massa, kader-kader PSII cabang Lampung mendirikan media massa Fajar Sumatra dan Lampung Review yang giat dalam persurat kabaran. Adapula kader-kader PSII di Lampung yang berupaya memberikan pencerahan dengan mendirikan sekolah-sekolah seperti yang dilakukan oleh Ismail Kesuma, Kamaruddin, Zainal Abidin dan Sumitro. Beberapa daerah yang menjadi lokasi sekolah tersebut adalah Enggal, Gedong Pakuan, Kalianda, Talangpadang, Mulang Maya, Banjarmasin, dan Kotabumi.

Pergerakan yang dilakukan oleh PSII di Lampung memiliki tujuan utama yakni menumbuhkan nasionalisme. Untuk itu tokoh-tokoh PSII di Lampung aktif dalam mendirikan cabang-cabang PSII di daerah. Seperti yang dilakukan oleh Junaid Surapati bekerja sama dengan Anwar dan Harsono Tjokroaminoto mendirikan PSII di Sukadana. Tokoh-tokoh lain yang berkecimpung dalam tubuh PSII Lampung adalah Hasan, Hamzah, Nurdin, Mas Ace Padmawijaya dan Ki Agus M. Zen.

Jika kita simpulkan terlihat bahwa kegiatan organisasi Sarekat Islam kemudian berganti menjadi PSII di Lampung berupaya berkontribusi dalam kehidupan masyarakat. Kegiatan pendampingan bagi masyarakat, jurnalistik, dan lembaga edukasi. Kiprah PSII di Lampung yang begitu terasa membuat pemerintah kolonial merasa khawatir. Beberapa kader PSII di Lampung bahkan ditangkap oleh pemerintah kolonial dengan berbagai macam dakwaan. Mereka kemudian mendapatkan hukuman bekerja dalam proyek pembangunan jembatan. Jembatan yang dibangun itu lantas dikenal dengan nama “Jembatan PSII” yang menghubungkan daerah Kotanegara dan Negeri Batin. 

Referensi:

Bukri, dkk. 1997. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

Djoko Marihandono, dkk. 2015. H.O.S Tjokroamonoto, Penyemai Pergerakan Kebangsaan & Kemerdekaan. Jakarta: Kemdikbud

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indie, 09 September 1932

Overzicht van de Inlandsche, 12 Juni 1937

 

 

Minggu, 22 Desember 2024

Lapangan Terbang Enggal: Sejarah Penerbangan di Lampung yang Terlupa

Jika ada pertanyaan Bandara pertama di Lampung, rata-rata pasti akan menjawab Bandara Raden Intan II. Lalu benarkah Bandara Raden Intan II adalah lokasi penerbangan pertama di Lampung atau adakah lapangan terbang pertama sebelum itu?

Oleh: Adi Setiawan


Lapangan Terbang Enggal

(Sumber: Fotoantix) 

Berbicara mengenai dunia penerbangan di Lampung tentunya akan teringat pada salah satu Bandar Udara (Bandara) Raden Intan II di Branti, Natar, Lampung Selatan. Bandara Raden Intan II merupakan Bandara yang melayani penerbangan antar kota di Indonesia, yang menjadi Bandara kebanggaan masyarakat Lampung. Bandara Raden Intan II merupakan Bandara yang dibangun era penjajahan Jepang sekitar tahun 1943. Setelah kemerdekaan Indonesia, Bandara Raden Intan II atau yang dahulunya dikenal dengan nama Pelabuhan Udara Branti ini dikelola oleh kesatuan TNI Angkatan Udara. Kemudian pada tahun 1963, Pelabuhan Udara Branti secara resmi diserahkan kepada pemerintah di Lampung. Kemudian pada 1964, pengelolaannya diserahkan kepada Djawatan Penerbangan Sipil (DPS). Saat ini Bandara Raden Intan II dikelola oleh PT Angkasa Pura II (AP II).

Selain Bandara Raden Intan II di Bumi Ruwa Jurai juga tersebar Bandara lainnya. Adapun Bandara tersebut yakni Bandara Taufiq Kiemas di Pekon Serai yang berada di Pesisir Tengah, Kabupaten Pesisir Barat dan Bandara Gatot Subroto di Way Tuba, Kabupaten Way Kanan. Keberadaan tiga Bandara di Lampung ini diharapkan akan mempermudah arus transportasi dan mobilisasi masyarakat di Lampung khususnya dan Indonesia pada umumnya.

Jika Bandara Raden Intan II dan Bandara Gatot Subroto adalah dua bandara yang dibangun pada masa penjajahan Jepang, ternyata terdapat sebuah lapangan terbang di Lampung yang didirikan pada era kolonial Belanda. Jejak keberadaan lapangan terbang ini memang sulit diketahui saat ini. Lapangan terbang yang memiliki nilai sejarah penerbangan di Lampung ini, adalah Lapangan Terbang Enggal. Nama Enggal jika dilihat dalam sisi kewilayahan adalah salah satu kecamatan di Bandar Lampung saat ini. Letaknya strategis di kota Tapis Berseri.

Keberadaan Lapangan Terbang Enggal di masa kolonial tentunya menjadi suatu khazanah tersendiri bagi dunia penerbangan di Lampung. Sebagai daerah yang strategis di Pulau Sumatra ternyata secara segi transportasi di masa lalu, daerah ini telah memiliki sarana transportasi yang lengkap, baik itu pelabuhan laut, stasiun kereta dan lapangan terbang.

 


Peta Lapangan Terbang Enggal

(Sumber: Fotoantix) 

Berdasarkan pemberitaan pada tanggal 19 November 1926 oleh Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, bahwasanya Lapangan Terbang Enggal atau Vliegveld Enggal diresmikan pada tanggal 18 November 1926. Lapangan terbang ini dibangun dibekas perkebunan ketela dan jagung. Panjang lintasan pesawat di Lapangan Terbang Enggal adalah 600 x 400 meter. Di sisi utara lapangan, telah disiapkan lima hanggar sementara (De Sumatra Post, 26 November 1926).

Keberadaan Lapangan Terbang Enggal menjadi harapan untuk keterhubungan Pulau Jawa dan Sumatera dalam transportasi udara di masa itu. Pada buku 25 Tahun Penerbangan Militer Di Hindia Belanda (25 Jaar Militaire Luchtvaart In Nederlandsch-Indië) tahun 1939 disebutkan bahwa pendaratan pertama di Lapangan Terbang Enggal adalah pesawat6 DH9 3 DCI dan 3 C. IV. Pesawat di bawah komando Komandan Divisi Penerbangan Mayor Staf Umum PF Hoeksema De Groot.


Hanggar Pesawat Darurat di Lapangan Terbang Enggal

(Sumber: Fotoantix)

 

Sebelum pendaratan pertama itu dilakukan, otoritas penerbangan sebelumnya telah melakukan pengecekan lintasan. Pemerintah menerjunkan dua petugas yakni Letnan Pilot UMJ Wegener dan Kepala Kantor Penarikan LA-TD Walraven (M. van Heselen, 1939:67). Adapun lintasan pacu pesawat kondisi saat itu berupa hamparan tanah berumput.

Pada hari peresmian Lapangan Terbang Enggal, banyak koran yang memberitakan tentang sambutan masyarakat yang antusias. Bagi masyarakat melihat penerbangan pesawat menjadi suatu pengelaman yang berkesan, terlebih bagi mereka yang tidak familiar dengan pesawat sebelumnya. Bahkan diberitakan bahwa hari peresmian Lapangan Terbang Enggal diibaratkan sebagai hari raya di Teluk Betung. Kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah libur, sementara sebagian besar kantor pemerintah hanya bekerja setengah hari pada hari itu (Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië, De Sumatra Post).


Berita Peresmian Lapangan Terbang Enggal

(Sumber: Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 19 November 1926) 

Peresmian Lapangan Terbang Enggal yang menyita perhatian banyak orang, juga dihadiri Residen  Volmering. Untuk pertama kalinya dilakukan penerbangan perdana dari Lapangan Terbang Andir (Bandung) menuju Lampung. Seperti yang dituliskan di awal penerbangan dikomandoi oleh PF Hoeksema De Groot. Ia bersama kesatuanya mengendarai 6 pesawat Fokker dan 6 De Havillands dengan rute Andir melalui Batavia (Jakarta) untuk mendarat di Enggal (Bataviaasch Nieuwsblad, 19 November 1926).

 

Referensi:

M. van Heselen. 1939. 25 Jaar Militaire Luchtvaart In Nederlandsch-Indië 1914-1939. Militaire Luchtvaart In Nederlandsch-Indië

Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 19 November 1926

Bataviaasch Nieuwsblad, 19 November 1926

De Sumatra Post, 26 November 1926

Kamis, 19 Desember 2024

Kunjungan Mohammad Hatta di Lampung

Mohammad Hatta adalah wakil presiden Republik Indonesia pertama. Ia tercatat sebagai salah satu tokoh yang pernah mengunjungi Lampung. Apa yang dilakukannya saat berkunjung di Lampung? Serta daerah mana sajakah yang ia kunjungi?

 Oleh: Adi Setiawan

 

Kunjungan Mohammad Hatta di Lampung

(Sumber: Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Metro)


Melangkahkan waktu di bulan Desember tentunya akan teringat pada satu peristiwa penting bagi bangsa Indonesia, Konferensi Meja Bundar (KMB) di tahun 1949 yang hasilnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia. Jalan terjal dan berdarah-darah telah dilalui oleh bangsa Indonesia selama masa revolusi fisik. Perjuangan itu terus berlanjut hingga pada perundingan yang paling bersejarah antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda. Pada perundingan yang berlangsung di negeri Belanda itu, pemerintah Indonesia dipimpin oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta. Puncaknya ditandatangani hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 27 Desember 1949.

Selalu ada yang unik dari Mohammad Hatta, tokoh Indonesia kelahiran Sumatra Barat ini merupakan wakil presiden Indonesia yang pertama. Tidak banyak yang tahu jika Mohammad Hatta sewaktu ia lahir orang tuanya memberi nama Mohammad Athar. Pria yang hobi membaca ini adalah anak dari saudagar dari Sumatra Barat. Masa kecil Hatta banyak dihabiskan di kampung halaman di Sumatra Barat. Menghabiskan waktu bersama teman-temannya dengan belajar dan mengaji di surau dekat rumahnya. Namun di luar kegiatan itu Hatta adalah anak yang hobi bermain sepak bola.

Setelah lulus sekolah di Sumatra Barat ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Batavia. Di sana ia tinggal bersama pamannya. Setelah menamatkan Sekolah Dagang di Batavia, Hatta kemudian melanjutkan pendidikan di Rotterdam. Selama di Belanda Hatta tidak menyia-nyiakan waktunya untuk menimba ilmu. Bahkan ia sempatkan untuk berkeliling Eropa menyuarakan kepada dunia agar Indonesia merdeka dari penjajahan Belanda. Karena saat itu negara kita ini masih dikuasai oleh Belanda. Hatta melihat banyak penderitaan dialami oleh rakyat karena sikap Belanda yang semena-mena terhadap rakyat Indonesia. Jiwa Hatta bersama kawan-kawannya terpangil untuk membebasakan rakyat Indonesia walaupun harus dihadapinya dengan hukuman penjara dan pembuangan oleh pemerintah penjajah Belanda.

Setelah ia memperoleh Sarjana Ekonomi dari Univeritas Roterdam, Hatta kembali ke Indonesia dan meneruskan perjuangan. Jika selama di Belanda ia berjuang dengan organisasi Perhimpunan Indonesia, setelah pulang ia bergabung dengan organisasi Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru). Selama berjuang ia banyak berkolaborasi dengan Ir. Soekarno dan tokoh lainnya seperti Soetan Sjahrir. Belanda yang tidak suka dengan perjuangan Hatta, kemudian menangkap dan membuangnya ke Boven Digul (Papua Barat), ia kemudian di pindahkan ke Banda Neira, Pulau Maluku.

Selama di tanah pembuangan, ia tetap berjuang dengan menulis gagasannya lewat koran-koran. Yang unik lain dari Hatta, ia adalah seorang kutu buku. Tidak main-main koleksi bukunya jumlahnya beribu-ribu. Buku itu sudah ia kumpulkan sejak ia kuliah di Belanda. Jika tidak heran jika Hatta adalah salah satu tokoh Indonesia yang pandai menulis. Selama di Banda Neira, Hatta mendapat julukan jam berjalan oleh penduduk di sana. Hal itu karena sikap Hatta yang sangat disiplin, ia selalu memulai dan melakukan kegiatan sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Sebagai contoh jika Hatta telah berjalan melewati kebun pala warga berarti sudah menunjukan pukul 4 sore. Dari situlah munculnya sebutan jam berjalan dari warga Banda Neira untuk Hatta.

Saat Jepang menyerang Indonesia di tahun 1942, oleh Belanda Hatta dibawa ke Sukabumi. Setalah Jepang menggantikan kekuasaan dari Belanda di Indonesia, Hatta tetap meneruskan perjuangan dengan menjadi pengurus organisasi Putera bersama Ir. Soekarno, Ki Hajar Dewantara, dan K.H Mas Manshur. Di akhir penjajahan Jepang Ir. Soekarno dan Hatta sempat diculik ke Rengasdengklok oleh sekelompok pemuda yang menuntut proklamasi kemerdekaan segera dilakukan. Atas musyawarah bersama, keduanya kemudian dibebasakan dan pulang kembali Jakarta guna menyusun teks proklamasi. Keesokan hari tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di kediaman Ir. Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Pada sidang PPKI, Mohammad Hatta kemudian terpilih sebagai wakil presiden Republik Indonesia.

Sebagai seorang wakil presiden, Mohammad Hatta tentunya berpengaruh dalam roda pemerintahan Republik Indonesia. Kesibukan sebagai wakil presiden membawa Hatta menjalani kunjungan kenegaraan baik di daerah maupun di luar negeri. Lampung adalah salah satu daerah yang pernah dikunjungi oleh Hatta, baik saat statusnya masih wakil presiden maupun setelah tidak lagi menyadang gelar wakil presiden. Dokumentasi kunjungan Mohammad Hatta di Lampung terekam dalam beberapa foto dan pemberitaan koran. Kunjungan Hatta di Lampung tentunya sebagai bentuk menjalankan pemerintahan sekaligus menemui rakyat yang ia cintai.

 

Kunjungan Mohammad Hatta di Gedong Tataan

(Sumber: Algemeen Indisch Dagblad de Preangerbode, 10-7-1954)

 Foto di atas adalah salah satu pemberitaan dalam Algemeen Indisch Dagblad de Preangerbode tanggal 10 Juli 1954 yang menerangkan kunjungan Mohammad Hatta di Gedong Tataan, Lampung. Dalam kunjungan tersebut Hatta disambut oleh penduduk Lampung, diantara mereka terdapat gadis berpakaian adat Lampung dengan mengenakan siger.

Selain foto di atas, terdapat dokumentasi lain tentang kunjungan Hatta di Lampung. Pada publikasi Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Metro terdapat beberapa foto Mohammad Hatta yang menyambangi rakyat di alun-alun atau lapangan merdeka Metro. Pada 3 Juli 1954 Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta mengadakan kunjungan ke beberapa tempat di Lampung Tengah untuk meninjau pembuatan dam pengairan dan Rapat Umum di Metro.

 

Sambutan Masyarakat Metro saat Kunjungan Mohammad Hatta

(Sumber: Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Metro) 

   
Hatta meninjau Proyek Irigasi di Lampung

(Sumber: Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kota Metro) 

Kunjungan Mohammad Hatta tak cukup sampai tahun 1954 itu saja di Lampung. Setelah ia melepaskan statusnya sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956, Hatta masih menyempatkan diri berkunjung di Lampung. Koran Het Nieuwsblad Voor Sumatra, pada pemberitaan 21 Juni 1957 menerangkan bahwa di Lampong saat ini sedang disiapkan panitia oleh pemerintah setempat yang akan mengatur kunjungan Dr. Mohammad Hatta ke daerah ini. Panitia penyambutan terdiri dari staf gubernur militer setempat dan pejabat sipil, dibantu oleh tokoh masyarakat Tanjungkarang. Kunjungan Hatta di Lampung ini adalah sebagai bagian dari tur ke Sumatra Selatan. Saat itu Hatta mengunjungi daerah lain seperti Palembang, Plaju, Sungau Gerong, Tanjungeneim, Bangka dan Belitung. Kunjungan di Lampung diperuntukan untuk meninjau proyek-proyek transmigrasi (Algemeen Indisch Dagblad: de Preangerbode, 17 Juni 1957). 

Kunjungan Hatta di Kota Metro

(Sumber: Indische Courant voor Nederland, 17-7-1957) 

Dalam kunjungannya ke Sumutra Selatan, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta juga sempat mengunjungi Kota Metro. Masyarakat tempat ini menyambut kedatangan Hatta dengan sangat hangat. Saat bertemu warga Metro, Mohammad Hatta memberi usulan untuk menabung kepada penduduk. Maka dari usulan Hatta tersebut dicanangkanlah kampanye menabung. Oleh karena itu sebagai bagian dari perayaan 17 Agustus di tahun 1957 itu, kampanye menabung akan dimulai di Metro (Lampung Tengah), dengan setiap penduduk menerima Rp 1. Kampanye menabung ini diselenggarakan sesuai dengan usulan mantan Wakil Presiden Hatta saat berkunjung ke daerah tersebut untuk menggalang modal bagi pendirian bank pinjaman petani. Pada Hari Peringatan tersebut, masyarakat Lampung Tengah juga akan ikut serta dalam pekerjaan perbaikan jalan di kampung-kampung (Java Bode, 8 Agustus 1957).

Referensi:

Algemeen Indisch Dagblad:de Preangerbode,10 Juli 1954

Algemeen Indisch Dagblad: de Preangerbode, 17 Juni 1957

Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 21 Juni 1957

Indische Courant voor Nederland, 17 Juli 1957

Java Bode, 8 Agustus 1957


Rabu, 18 Desember 2024

Perdagangan dan Masyarakat Jabung Era Kolonial

Membuka pustaka lama era kolonial ternyata memberikan petunjuk mengenai Jabung. Pada catatan tinggalan era kolonial seperti Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten karya J.C Köhler, Nota Over De Lampoengsche Merga's karya Van Royen, De Lampongsche Districten karya Broersma dan Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten karya F.G Steck memuat informasi mengenai kampung-kampung yang ada di aliran Way Sekampung. Bagaimankah kondisi perdagangan dan masyarakat Jabung era kolonial?

Oleh: Adi Setiawan


                                                             Peta Marga di Lampung, Nomor 45 Menunjukan Jabung 

(Sumber: Nota Over De Lampoengsche Merga's)

 

Pada  Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten karya J.C Köhler, Nota Over De Lampoengsche Merga's karya Van Royen, De Lampongsche Districten karya Broersma dan Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten karya F.G Steck menjelaskan kondisi Lampung baik dari sisi kemasayarakat, ekonomi dan bentang alam. Juga memuat kampung-kampung yang ada di aliran Way Sekampung. Kampung-kampung yang dikisahkan dalam laporan dan artikel-artikel tersebut saat ini beberapa diantaranya  berada dalam wilayah Kecamatan Jabung. Beberapa kampung lainnya saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Marga Sekampung, Sekampung Udik dan Margatiga. Dari laporan dan artikel-artikel tersebut, dalam tulisan ini ingin menyajikan kembali kondisi Jabung di era kolonial. Ada hal-hal yang sesungguhnya dapat diketahui tentang masa silam dari daerah Jabung.

Daerah Jabung saat ini adalah salah satu kecamatan yang menjadi bagian dari Kabupaten Lampung Timur. Kecamatan Jabung terdiri dari 15 Desa, yaitu Desa Mekar Jaya, Adirejo, Asahan, Belimbing Sari, Gunung Mekar, Benteng Sari, Mumbang Jaya, Gunung Sugih Kecil, Pematang Tahalo, Negara Batin, Negara Saka, Jabung, Adi Luhur, Tanjung Sari dan Sambi Rejo. Desa terluas adalah Adirejo dengan luas wilayah 81.70 km² yang mencakup 30.47% wilayah Jabung. Sementara itu, desa terkecil adalah Gunung Sugih Kecil dengan luas wilayah 3,50 km² yang mencakup 1,31% dari luas Jabung (BPS, 2023:7).

Di antara nama-nama desa yang ada di Kecamatan Jabung saat ini telah tercatat dalam laporan yang dibuat oleh Asisten Residen Lampung, J.C Kohler yang melakukan perjalanan di daerah Way Sekampung tahun 1855. Beberapa desa yang tercantum dalam laporan J.C Kohler diantaranya adalah Kampung Jabung, Kampung Asahan, dan Kampung Negara Batin. Terdapat pula nama-nama kampung yang disinggahi oleh J.C Kohler seperti Kampung Bungkuk, Kampung Gunung Raya, Kampung Toba, dan Kampung Gedong.

Way Sekampung atau Sekampung pada era kolonial merupakan sebuah distrik di dalam karaseidenan Lampung. Pada masa lalu nama-nama distrik di Lampung banyak yang disesuaikan dengan nama sungai. Sebagai contoh selain Distrik Sekampung, terdapat pula nama distrik yang menggunakan nama sungai yakni Distrik Semaka dan Distrik Seputih. Pusat pemerintahan dari karesidenan saat itu berada di Teluk Betung.

J.C Kohler merupakan pegawai pemerintah Hindia Belanda yang diperintahkan ke Lampung mulai tahun 1853. Ia tercatat sebagai pemimpin militer sekaligus sipil, wakil dari pemerintah kolonial di Lampung (Bukri, 1997:92). Pada tahun 1855 J.C Kohler berkesempatan melakukan perjalanan di Distrik Sekampung. Perjalanannya di Sekampung ini dilaporkan dalam sebuah verslag atau laporan yang berjudul Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten. Pada laporan J.C Kohler inilah nama desa-desa yang saat ini menjadi bagian dari Kecamatan Jabung disebut oleh J.C Kohler. Pada catatan ini J.C Kohler mendeskripsikan keadaan desa-desa itu, mulai dari jumlah rumah, jumlah penduduk, kondisi ekonomi serta alam yang ia temui.

Pada verslag yang dibuat oleh J.C Kohler digambarkan bahwa perjalanan antar desa atau kampung saat itu lazimnya menggunakan perahu melintasi sungai Way Sekampung. Terdapat pula jalan setapak yang penduduk gunakan dalam beraktivitas. Kendaraan darat yang lazim digunakan saat itu adalah kuda dan pedati. Untuk saat ini di daerah Sekampung Udik, Marga Sekampung dan Jabung beberapa masyarakat masih memanfaatkan pedati atau gerobak dalam aktivitas angkutan pertanian, boleh jadi kondisi ini adalah kelanjutan dari budaya transportasi masa lalu di daerah tersebut.

Pada halaman yang lain, J.C Kohler memaparkan bahwa perjalanan dari Kampung Jabung menuju Kampung Asahan melewati Kampung Negarabatin memakan waktu 2 jam perjalanan dengan pedati. Kampung Negarabatin mempunyai 60 rumah dan 346 jiwa, sementara untuk Kampung Asahan yang memiliki 15 rumah dan 70 jiwa. Menariknya di Kampung Asahan penduduknya bukan hanya terdiri atas suku Lampung namun juga dihuni oleh suku Jawa dan Bugis.

Terdapat hamparan daratan yang tertutup alang-alang antara Negarabatin dan Asahan terbentang luas dan panjang. Kondisi tanahnya berpasir dan bercampur dengan tanah liat. Hutan sekitar kampung Assahan dan Negarabatin dapat ditemukan banyak pohon jati dan maris. Pohon jati ditanam oleh penduduk atas perintah Sultan Banten. Kondisi Kayu jati di sini menurut laporan Kepala Kampung Asahan tidak sebaik yang ada di Pulau Jawa. Maris merupakan jenis kayu keras dan berat yang digunakan untuk paku dalam pembuatan kapal.

Pada masa itu kayu jati boleh dimanfaatkan siapapun. Sebagai contoh setiap pedagang yang datang ke sini dengan kapalnya memanfaatkan kesempatan ini untuk memperbaiki perahunya secara gratis dan menebang kayu sesuka hati. Oleh karena itu jumlah pohon yang besar dan tua sangat sedikit. Dari Asahan ada jalan yang mengarah daerah pedalaman ke arah utara menuju Kampung Gunung Sugih. Di Gunung Sugih terdapat dengan 4 rumah dan 40 jiwa. Terdapat kampung lain yakni Kampung Peniangan, dengan 9 rumah dan 45 jiwa.

Kampung Asahan, merupakan pusat perdagangan utama di Distrik Sekampung, walaupun demikian perdagangan belum dapat dikatakan maju saat itu. Laporan J.C Kohler yang berasal dari penuturan kepala kampung menunjukan perdagangan di Asahan berupa 500 pikul lada, 300 pikul kapuk dan 50 pikul damar kucing setiap tahunnya. Sementara itu, Asahan membeli produk dari luar seperti garam, gambir, kapas, kain, sarung, barang besi, gerabah, dan lain-lain. Perdagangan sebagian besar dilakukan dengan Pulau Jawa dan Bawean, termasuk dengan Sulawesi, Lingga, dan Singapura.


                                          Peta Way Sekampung, Tercantum Campong Atjahan (Kampung Asahan)

(Sumber: Kian Amboro)

 

Produk yang dijual dari Asahan dikirim melalui Sungai Way Sekampung, pelayaran ini umumnya dilakukan pada permukaan air sedang dan tinggi menggunakan rakit bambu.  Pada Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten juga dijelaskan bahwa ketika permukaan air sangat tinggi, masyarakat pegunungan membawa hasil hutan mereka ke Assahan dengan rakit bambu, yang mereka tahu cara mengemudikannya dengan keahlian khusus, dan jarang sekali kita mendengar adanya kecelakaan. Dari Assahan sungai dapat dilayari dengan 10 perahu. Sedangkan pada permukaan air yang rendah, sampan atau sampan kecil digunakan. Hanya sedikit produk yang diangkut melalui darat. Penjelasan dalam Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten menguatkan penjelasan J.C Kohler bahwa Asahan saat itu merupakan bandar perdagangan yang penting di Distrik Sekampung. Penduduk menjul hasil hutan dan perkebunan di Asahan sekaligus membeli kebutuhan lain di sini. Bahkan dalam Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten menyatakan Asahan sebagai salah satu pasar penting di Lampung selain pusat perdagangan yang ada di Teluk Betung, Bornai di Teluk Semangka, Rantau Jaya di Way Pegadungan, Seringkebow di Way Seputih dan Menggala di Way Tulangbawang.

Pada masa Lampung berada di bawah kekuasaan Sultan Banten, perdagangan di Asahan berada di bawah pengawasan seorang kepala suku pribumi bergelar sabandar yang diangkat oleh Sultan Banten. Segala perselisihan antara para pedagang, orang-orang yang berada di atas kapal, atau mengenai perdagangan diselesaikan oleh sabandar menurut adat istiadat yang dianut.

Keberadaan sabandar selain di Asahan juga ditemui di Kampung Gunung Raya dan Gedong. Hal yang membedakan sabandar di Asahan dan di kedua kampung tersebut adalah wewenang yang dimiliki sabandar Asahan lebih besar karena diperkenankan menangani perdagangan, berbeda dengan sabandar Gunung Raya dan Gedong yang hanya bertanggung jawab terhadap masyarakat di kampungnya saja, demikian penjelasan J.C Kohler.

Lada merupakan produk utama di daerah Jabung saat itu. Daerah penghasil lada lainya adalah Kampung Bojong, Gunung Sugih, Gunung Raya dan Peniangan.  Kebun lada di kampung-kampung tersebut berdasarkan pengamatan J.C Kohler termasuk dalam kebun lada yang tua. Jalan-jalan di sana lebar dan pengangkutan lada menggunakan pedati.

Pada perjalannya lainya J.C Kohler menjumpai Kampung Batu Badak. Nama Batu Badak diambil dari sebuah batu besar yang terletak di sungai, masyarakat Lampung di sana menyebutnya berbentuk mirip badak. Di kampung ini mempunyai 17 rumah dan 96 jiwa. Dari Batu Badak dengan melewati jalan setapak pada tepian sungai dapat menjumpai Kampung Bungkuk, jarak tempuhnya sekitar satu jam. Di Kampung Bungkuk, dijumpai 16 rumah dan 199 jiwa penduduk. Sekitar satu jam perjalanan ke timur, dapat ditemukan Kampung Putak dengan 20 rumah dan 227 jiwa. Dari Kampung Putak ini perjalanan melewati pohon pinus dapat menuju Kampung Jabung, Negarabatin dan Asahan.

 

Referensi:

BPS. 2023. Kecamatan Jabung dalam Angka. Lampung Timur: Badan Pusat Statistik

Bukri, dkk. 1997. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

J.C Kohler. 1855. Verslag Eener Reis Door Een Gedeelte Der Lampongsche Distrikten dalam Tijdschrift Voor Indische Taal, Land En Volkenkunde. Batavia: Bataviaasch Genootschap Van Kunsten En Wetenschappen

Van Royen. 1930. Nota Over De Lampoengsche Merga's. Weltevreden: Landsdrukkerij

R. Broersma. 1916. De Lampongsche Districten. Batavia: Javasche Boekhandel & Drukkerij

F.G Steck. 1855. Topograpihsche en Geograpische Beschrijving Der Lampongsche Distrikten

Melawan Lupa: Rapat Umum Ir. Sukarno di Lampung

Ir. Sukarno bertindak sebagai kepala negara sering melakukan perjalanan ke daerah guna meninjau pemerintahan. Kunjungan Presiden Indonesia p...

Populer