Minggu, 02 Maret 2025

Melawan Lupa: Rapat Umum Ir. Sukarno di Lampung

Ir. Sukarno bertindak sebagai kepala negara sering melakukan perjalanan ke daerah guna meninjau pemerintahan. Kunjungan Presiden Indonesia pertama ini tercatat dalam sejarah pula, ia pernah mengunjungi Lampung. Tepatnya di tahun 1948, 1952 dan 1957. Lalu daerah-daerah mana sajakah yang presiden kunjungi?

Oleh: Adi Setiawan 

Rapat Umum Rakyat dengan Ir. Sukarno di Lapangan Enggal

(Sumber: Soepangat dkk, 1994:305) 

Mengingat kembali hasil Sidang PPKI I, tanggal 18 Agustus 1945 diputuskan bahwa Sukarno dan Mohammad Hatta dipilih secara aklamasi menjadi pengemban tugas Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia. Keduanya dipandang sebagai dua sosok yang dapat diandalkan dalam memimpin urusan kenegaraan. Bersama dengan aparatur pemerintahan lainnya, Sukarno dan Mohammad Hatta kemudian menjalankan roda pemerintahan. Tugas utama dari pemerintahannya adalah menuntuskan kemerdekaan Indonesia yang kala itu masih menjadi tantangan karena dihadapkan pada keinginan Belanda untuk kembali merebut Indonesia. 

Perjalanan waktu kemudian membawa Indonesia dapat benar-benar terlepas dari bayang-bayang penjajahan Belanda. Setelahnya, fokus membangun pemerintahan terus diusahakan, walaupun masalah politik dan ekonomi sering muncul di sana-sini. Dalam menjalankan roda pemerintahan presiden dan wakil presiden seringkali melakukan perjalanan kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. 

Perjalanan di dalam negeri dilakukan dengan mengunjungi daerah-daerah, dengan agenda peninjauan ataupun agenda lainnya. Sukarno dan Mohammad Hatta tercatat sebagai dua pemimpin negara yang pernah melakukan kunjungan ke Lampung. Keduanya menyempatkan diri untuk bertemu dengan masyarakat Lampung disela-sela urusan pemerintahan. 

Kunjungan Sukarno di Lampung, tercatat dalam koran-koran bertitimangsa tahun 1948, 1952 dan 1957. Kunjungan Sukarno di Lampung pada tahun 1948, diberitakan oleh De West (05 Juli 1948). Kunjungan presiden di Lampung ini sebagai bagian dari tur daerah di Sumatera. Adapun agenda presiden di Lampung pada Juni 1948 itu adalah melakukan kesepakatan nota perdagangan dengan perusahaan asal Amerika Serikat, Mayer & Brown. Sejumlah utusan dari Amerika Serikat hadir. Adapun kesepakatan dagang yang diteken adalah mengirim 1000 ton lada Lampung ke Amerika Serikat pada akhir Juli 1948, sebagai pengiriman pertama dari kontrak sebanyak 5000 ton lada. 

Selain agenda dagang, pada tanggal 29 Juni 1948 Presiden Sukarno juga menggelar rapat umum di Lapangan Enggal, Tanjungkarang. Dalam rapat umum itu masyarakat Lampung memberikan sambutan hangat. Aksi defile tentara juga turut memeriahkan kehadiran presiden kala itu. Kehadiran Presiden Sukarno di Lampung, turut juga Ajudan Mayor Sugandhi, Sekretaris Negara Mr. A.K. Pringgodigdo, Gubernur Sumatera Mr. Tengku Muhamad Hasan. Nasir St. Pamuncak. Agenda lain yang dilakukan oleh presiden adalah meresmikan Makam Pahlawan Taman Bahagia dan menulis sebuah prasasti yang berbunyi "Badan dapat binasa, jiwa besar tetap hidup." Selain mengunjungi Tanjungkarang, presiden juga melakukan kegiatan rapat umum di Pringsewu, Metro, dan Kotabumi (Soepangat dkk, 1994:304-307). 

Monumen Taman Makam Pahlawan Tanjungkarang

(Sumber: Soepangat dkk, 1994:304) 

Kunjungan Presiden Sukarno tak berhenti di tahun 1948 itu saja. Empat tahun kemudian atau tepatnya 12 November 1952, Presiden Sukarno kembali berkunjung ke Lampung. Dengan mengendarai pesawat amfibi Catalina, rombongan presiden mendarat di Panjang. Rombongan disambut oleh Gubernur Sumtera Selatan, Mohammad Isa, Penjabat Panglima Teritori II, Kolonel Kosasih, dan Residen Lampung, Mr. Gele Harun (Indische Courant voor Nederland, 19 November 1952). 

Java Bode (14 November 1952) menggambarkan bahwa saat kedua pesawat amfibi lepas landas, terdengar suara "Merdeka" yang nyaring dari ratusan perahu nelayan yang ditambatkan di depan Pandjang, sementara perahu motor membunyikan sirene selama lima menit. Setelah Presiden memeriksa barisan kehormatan militer dan beristirahat selama satu setengah jam, perjalanan dilanjutkan melalui Telukbetung menuju Tanjungkarang. Ribuan orang berbaris di jalan untuk menyambut kepala negara, sementara banyak lengkungan kemenangan menghiasi jalan. 

Rapat Umum Ir. Sukarno di Gadingrejo Tahun 1952

(Sumber: Berandadesa, 04 April 2023) 

Di Tanjungkarang, Presiden Sukarno memberikan pidato di hadapan massa. Ia mengajak masyarakat untuk bekerja keras membangun negara. Ia mengakhiri pidatonya dengan mengajak hadirin untuk bersama-sama meneriakkan "Merdeka". Menteri Mononutu juga menyampaikan pidato dalam pertemuan itu, yang menghimbau agar tetap menjaga persatuan demi terwujudnya pembangunan kembali. 

Kunjungan Presiden Sukarno di Karesidenan Lampung kemudian berlanjut pada 13 November 1952. Presiden mengunjungi Gedongtataan, Gadingrejo, Talangpadang dan Kota Agung. Sama seperti di Tanjungkarang, presiden melakukan rapat umum dengan warga. Kunjungan presiden di Lampung ditutup dengan mengunjungi Kotabumi pada tanggal 14 November 1952. Rombongan presiden melakukan perjalanan dengan kereta api ke Kotabumi. Presiden juga menyempatkan diri menemui masyarakat di daerah Wai Petai (De Nieuwsgier, 24 November 1952). Kunjungan 14 November 1952 ini juga presiden lakukan di daerah Sumberjaya guna meresmikan Transmigrasi Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) terhadap eks-laskar pejuang dari Tasikmalaya, Jawa Barat. 

Pada Maret 1957 Presiden Sukarno kembali ke Lampung. Presiden Sukarno melakukan lawatan seharian ke sejumlah daerah di Lampung. Agenda menemui masyarakat dalam sebuah rapat umum tidak lupa ia lakukan di Tanjungkarang. Presiden menyampaikan pidato dalam rapat umum yang disebut sebagai Pertemuan “Bhinneka Tunggal Ika.” Rapat umum bersama presiden ini, telah dipersiapkan jauh-jauh hari oleh panitia persiapan termasuk masyarakat Lampung dengan Komandan Resimen VI, Letnan Kolonel Worang (De Preangerbode, 20 Maret 1957).

 

Berita Kunjungan Sukarno di Lampung Tahun 1957

(Sumber: De Preangerbode, 20 Maret 1957) 

Sebagai wujud memperingati kunjungan Presiden Sukarno di Lampung, di beberapa daerah seperti di Sumberjaya, Lampung Barat dan Kota Agung, Tanggamus didirikan monumen Sukarno. Harapannya masyarakat akan teredukasi mengenai keberadaan peristiwa bersejarah yang terjadi di masa lampau bersama dengan presiden pertama Republik Indonesia itu. 

Referensi:

De Nieuwsgier, 24 November 1952

De Preangerbode, 20 Maret 1957

De West, 05 Juli 1948

Indische Courant voor Nederland, 19 November 1952

Java Bode, 14 November 1952


Soepangat, dkk. 1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku I. Lampung: DHD Angkatan ‘45

Sabtu, 22 Februari 2025

Mencicip Sejarah Tebu di Lampung

Sudahkah anda mencicip manisnya makanan dan minuman hari ini? Dari gula kita dapat merasa manisnya makanan dan minuman itu. Hari ini, gula banyak diproduksi dari hasil pengolahan tebu. Kedekatan masyarakat Indonesia dengan tebu telah terjalin sejak era lampau. Di era kolonial pembukaan perkebunan tebu marak dilakukan untuk keperluan ekspor. Lalu seperti apakah dunia perkebunan tebu Lampung di era kolonial? 

Oleh: Adi Setiawan

 

Persebaran Perkebunan Tebu di Lampung

(Sumber: disbun.lampungprov.go.id) 

Saat ini, daerah Lampung tercatat sebagai salah satu daerah di Indonesia yang memiliki produksi tebu terbesar di Indonesia. Secara nasional produksi tebu Lampung menduduki posisi kedua setelah Jawa Timur dan nomor satu di Pulau Sumatra. Perkebunan tebu di Lampung, dikelola oleh perusahaan milik negara ataupun milik swasta yang tersebar di beberapa kabupaten. Luas perkebunan tebu di Lampung tahun 2023 lalu berada pada angka 141.200 hektare.  

Melansir dari disbun.lampungprov.go.id bahwa kabupaten yang memiliki luas areal perkebunan tebu terbesar berada di Kabupaten Way Kanan. Dengan luas 14.455 ha dan kapasitas produksi sekitar 97.850 ton per tahun.  Sementara itu, Kabupaten Lampung Tengah menempati posisi pertama produksi gula di Lampung. Berdasarkan data statistik tahun 2020, perkebunan tebu di Provinsi Lampung tersebar di Kabupaten Way Kanan, Kabupaten Lampung Tengah, Kabupaten Lampung Utara dan Kabupaten Tulang Bawang Barat. 

Perkebunan tebu di Lampung dikembangkan secara besar-besar di era pemerintahan Presiden Soeharto. Dua perusahaan gula didirikan di Lampung, yakni Gunung Madu Plantations (GMP) dan PT Gula Putih Mataram. Hasilnya dengan keberadaan perusahaan gula di Lampung itu, turut meramaikan bisnis gula di Indonesia. 

Sementara itu di era kolonial, perkebunan tebu dan perusahaan gula banyak terfokus di Jawa. Terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Digulirkannya program tanam paksa dan sistem ekonomi pintu terbuka di era kolonial telah mendorong industri gula saat itu. Produksi gula kemudian di ekspor ke Belanda, selain untuk keperluan di Indonesia. Indonesia saat itu mencatatkan sebagai produsen gula terbesar kedua setelah Kuba. 

Berbeda halnya dengan di Jawa, F.A.W Miquel dalam Flora van Nederlandsch Indië (1860:78) menjelaskan bahwa tebu merupakan tanaman budidaya yang umum di Sumatera, namun produksi gula untuk ekspor tidak seberapa dibandingkan dengan produksi gula di Jawa. Tebu umumnya ditanam di sekitar pemukiman penduduk saat itu. Belum dilakukan penanaman tebu dengan lahan yang luas sebagaimana yang ada di Pulau Jawa. 

Satu titik sejarah perkebunan tebu era kolonial di Indonesia, ternyata juga terdapat di Lampung. Walaupun pamornya kalah terkenal dengan perkebunan tebu di Pulau Jawa, namun keberadaannya menarik untuk diingat kembali. 

Berdasarkan catatan dari Broersma (1916:152) bahwa tanaman tebu nampaknya sudah lama ditanam di Lampung. Terutama di daerah hulu Sungai Way Seputih, sekitar Sungai Way Sekampung, Kalianda, dan Sungai Rebang. Umumnya masayarakat menanam tebu untuk keperluan pribadi. Tebu diolah dengan cara digiling menggunakan penggilingan tangan sederhana. Sari tebu hasil penggilingan kemudian direbus hingga mengental menjadi gula. Sayangnya, penanaman tebu ini menurut Broersma mengalami penurunan produksinya di tahun 1855.

 

Berita Perkebunan Tebu di Lampung

(Sumber: De Nieuwe Vorstenlanden, 10 Juni 1925) 

Penelitian tahun 1910 tentang kondisi tanah di Lampung, menunjukan cocok digunakan untuk budidaya tebu. Kemudian percobaan pembukaan perkebunana tebu yang lebih luas terjadi pada tahun 1924 oleh pengusaha V. Blommesteyn melalui Perusahaan Kedaton. 

Pada De Nieuwe Vorstenlanden (10 Juni 1925) dengan artikel berjudul Suikerriet in Lampong  menyebutkan bahwa V. Blommesteyn adalah pengusaha yang memiliki pengalaman dalam dunia perkebunan. Sebelumnya ia telah mengusahakan budidaya karet di Lampung. Penanaman tebu ini merupakan salah satu hal yang coba ia usahakan selain karet. Musabab percobaan ini adalah melihat pasang surut tanaman karet. Oleh karena itu, penanaman tebu menjadi alternatif pilihan agar dunia perkebunan tetap dapat berkembang saat itu. Percobaan penanaman tebu ditahap awal ini memiliki luas lahan 250 bau. Juga direncanakan pembangunan pabrik kecil untuk mengolah hasil tebu itu. 

Kemudian percobaan penanaman tebu di Lampung juga pernah diajukan oleh Handelsvereniging Amsterdam. Perusahaan ini mengajukan permohonan yang sangat besar untuk tanah di Lampung, seluas 75 ribu bau pada tahun 1924 (De Sumatra post, 10 Juni 1925).

Produksi Tebu di Indonesia

(Sumber: Kementan, 2022) 

Kabar mengenai percobaan perkebunan tebu di Lampung di era kolonial memang kalah pamor dengan tanaman perkebunan lain. Di tahun 1930an hingga 1940an tanaman karet, sawit dan kopi tetap mendominasi perkebunan-perkebunan di Lampung. Hasil perdagangan tanaman tersebut selalu melengkapi laporan perdagangan di Indonesia kala itu. Sementara pamor perkebunan tebu di Lampung barulah nampak semenjak era Orde Baru berkuasa di Indonesia.

Berdasarkan laporan Kementan (2022:32), secara statistik tahun 2020 produksi gula di Lampung menunujukan bahwa Kabupaten Lampung Tengah mencapai 335,41 ribu ton atau 45,81% dari produksi gula di Provinsi Lampung. Berikutnya adalah Kabupaten Tulang Bawang dengan produksi 195,23 ribu ton gula hablur (26,67%), Kabupaten Way Kanan sebesar 165,27 ribu ton (22,57%), Kabupaten Lampung Utara 35 ribu ton (4,78%), dan Kabupaten Tulang Bawang Barat 1,23 ribu ton (0,17%). 

Referensi:

 

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Sumatra post, 10 Juni 1925

De Nieuwe Vorstenlanden, 10 Juni 1925

disbun.lampungprov.go.id

F.A.W Miquel. 1860. Flora van Nederlandsch Indië. Amsterdam: Friet Fleisciier

Kementan. 2022. Outlook Komoditas Perkebunan Tebu. Jakarta: Kementan

Sabtu, 08 Februari 2025

Labuhan Maringgai: Arus Niaga di Pesisir Timur Lampung

Labuhan Maringgai sebagai satu daerah di Lampung Timur yang terkenal dengan hasil baharinya. Di daerah yang berhadapan langsung dengan Laut Jawa ini juga menjadi salah satu destinasi wisata pantai di Lampung. Lalu seperti apakah sepak terjang Labuhan Maringgai dalam urusan niaga di masa lalu?

Oleh: Adi Setiawan 

Suasana Labuhan Maringgai Tahun 1929

(Sumber: Nationaal Museum, 1927) 

Sejak dahulu, daerah Lampung memainkan peranan dalam perdagangan lada hitam di Nusantara. Keberadaan lada hitam menjadi bagian dalam kehidupan ekonomi masyarakat Lampung. Tanaman lada ditanam di daerah-daerah pedalaman. Saat panen lada tiba, pedagang saat itu lazim menggunakan perahu sebagai sarana angkut antar pulau di Nusantara. Oleh karena itu timbulah berbagai bandar perdagangan lada di Lampung. Terkhusus di daerah timur Lampung, bandar perdagangan terdapat di beberapa tempat seperti di Jabung tepi aliran Way Sekampung, dan Labuhan Maringgai di terletak di pesisir pantai timur Lampung. Selain itu bandar-bandar tersebut, Sukadana juga memainkan peranan dalam perniagaan lada hitam di Lampung.

Sementara itu di dalam Verzameling Van Voorschriften Ten Dienste Van Havenmeesters En Als (1915:152) disebutkan bahwa Labuhan Maringgai sebagai salah satu pelabuhan laut di Lampung, selain daripada pelabuhan Kotaagung, Telukbetung, Kalianda dan Cabang.

Secara khusus di pesisir pantai timur Lampung, Labuhan Maringgai merupakan pelabuhan laut yang memiliki pengaruh dalam ekspor lada hitam ke luar Lampung. Peran serupa juga dilakukan oleh Cabang di muara Way Seputih, dan Menggala di Way Tulangbawang di bagian timur Lampung. Labuhan Maringgai menjadi titik keberangkatan bagi beberapa perahu dagang, yang melakukan perjalanan melalui laut ke Jawa (Broesma, 1916:117).

Dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië 1917-1939, menjelaskan bahwa selama musim panen lada Labuhan Maringgai menjadi ramai. Hasil panen lada diangkut ke Batavia dengan perahu-perahu besar dari pelabuhan ini. Sementara itu, lewat pelabuhan ini pula komoditas seperti minyak bumi, beras, pernak-pernik, kain dan barang-barang lainnya dari Jawa dikirim ke Lampung. Komoditas lain yang juga dikirim ke Lampung melalui Labuhan Maringgai adalah kerbau (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 21 Desember 1933).

Jumlah Pengiriman Lada Lampung

(Sumber: De Locomotief, 17 Desember 1927)

Adapun contoh jumlah lada yang dikirim melalui Labuhan Maringgai pada tahun 1907, Labuhan Maringgai bersama dengan Cabang dan Jabung mencatatkan pengiriman lada sebesar 1.260.000 kg dengan nilai sebesar 503.000 gulden (Rapport Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumatra 1910-1911).

Kemudian pada tahun 1927, pengiriman lada berjumlah 522.322 kg. Jumlah tersebut dikirim ke beberapa daerah di Pulau Jawa. Labuhan Maringgai bersama dengan Kalianda, Menggala, Telukbetung dan Kotaagung tercatat sebagai daerah pengiriman lada ke luar Lampung, baik itu ke Pulau Jawa maupun Singapura (De Locomotief, 17 Desember 1927).

Sebagai daerah pesisir, Labuhan Maringgai juga merupakan sumber hasil bahari terutama ikan laut. Masyarakat di Labuhan Maringgai biasanya menangkap ikan di dekat pantai dengan jaring kecil saat cuaca baik. Perikanan ini menghasilkan hasil bulanan sebesar 30 hingga 40 gulden kotor. Penangkapan ikan yang lebih besar di Labuhan Maringgai dilakukan oleh orang-orang dari Jawa, sebagian besar dari Indramayu. Hasil tangkapan ikan juga dijual ke daerah pedalaman seperti Sukadana (Broesma, 1916:217).

Lebih jauh, Broesma menggambarkan kondisi masyarakat di Labuhan Maringgai sebagai bandar perdagangan memiliki keragaman dalam hal suku.  Menurut Broesma (1916:287) jumlah penduduk di Labuhan Maringgai adalah 639 jiwa. Penduduknya sangat beragam, terdiri atas 60 kepala keluarga orang Lampung, 1 orang Palembang, 42 orang Jawa, dan 41 orang Bugis. Laporan Broesma ini sepertinya menggambarkan jumlah penduduk salah satu kampung di Labuhan Maringgai.

Sementara menurut Uitkomsten Der In De Maand 1920 atau hasil sensus tahun 1920 Onderdistrik Labuhan Maringgai yang merupakan satu daerah di bawah pemerintahan Onderafdeling Sekampung, memiliki jumlah 10.330 jiwa ditambahkan warga Tionghoa sebanyak 62 jiwa.

Referensi:

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Locomotief, 17 Desember 1927

Encyclopaedie van Nederlandsch-Indië 1917-1939

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 21 Desember 1923

Rapport Nopens Den Aanleg Van Staatsspoorwegen in Zuid-Sumatra 1910-1911

Uitkomsten Der In De Maand 1920

Verzameling Van Voorschriften Ten Dienste Van Havenmeesters En Als 1915

Rabu, 05 Februari 2025

Bekri: Lintasan Sejarah Perkebunan dan Kereta Api

 Bekri adalah salah satu kecamatan di bawah Kabupaten Lampung Tengah. Tinggalan kolonial Belanda nampak tersisa di Bekri. Pertama, tinggalan perkebunan sawit yang kini dikelola oleh PTPN VII dan kedua berupa tinggalan stasiun kereta api. Terdapat pula bangunan rumah bergaya indis di sini.

Oleh: Adi Setiawan


                                                                               Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938) 

Berbicara mengenai sejarah Lampung, nyatanya memiliki berbagai macam ruang sejarah. Terdapat sejarah ekonomi dan transportasi yang menarik untuk ditelisik. Era kolonial di Lampung, pemerintah Belanda banyak membuka perusahaan perkebunan atau onderneming. Onderneming-onderneming itu diantaranya adalah Onderneming Pesawaran, Onderneming Wai Awi, Onderneming Wai Berulu, Onderneming Horong, Onderneming Wai Lima, Onderneming Kedondong, Onderneming Wai Semah, Onderneming Wai Halim, Onderneming Wai Ratai, Onderneming Wai Sekampung, Onderneming Wai Tuba dan Onderneming Bekri. Onderneming di Lampung ini memiliki komoditas utama yang dibudidayakan adalah kelapa sawit, karet dan kopi.

Sisi lain yang membuat menarik dari sejarah Lampung adalah keberadaan jaringan kereta api yang menghubungkan Lampung dengan Palembang. Moda transportasi kereta api menjadi pilihan, selain mobil dalam pengangkutan manusia maupun barang. Sejak era kolonial, daerah Lampung telah dibangun belasan stasiun kereta api.

Satu daerah yang memiliki kaitan dengan perkembangan perkebunan dan moda transportasi kereta api itu adalah Bekri. Hingga saat ini keberadaan perkebunan sawit dan stasiun kereta api di Bekri masih eksis. Bahkan letak antara perkebunan sawit Bekri dan Stasiun Bekri ini saling berdekatan, ini membuat nuansa kesejarahan di Bekri semakin terasa. Selain Stasiun Bekri, terdapat pula satu stasiun lagi yakni Stasiun Rengas yang berada di Kampung Bangunsari.

Secara administratif, Bekri adalah daerah yang berbentuk kecamatan di bawah Kabupaten Lampung Tengah saat ini. Kecamatan Bekri terdiri dari 8 kampung, yaitu Kesumadadi, Sinar Banten, Goras Jaya, Kesuma Jaya, Rengas, Bangun Sari, Binjai Agung, dan Kedatuan. Dari kedelapan kampung tersebut Kampung Kesumadadi merupakan pusat kegiatan pemerintahan yang ada di kecamatan Bekri.


                                                                                     Peta Kecamatan Bekri

(Sumber: BPS Lampung Tengah, 2024) 

Pada literatur tinggalan kolonial, nama Bekri lazim ditemui. Terutama menyangkut perkebunan dan stasiun kereta api. Hal ini menunjukan bahwa aktivitas ekonomi dan kemasyarakatan di Bekri berkembang di era kolonial. Bekri menjadi salah satu urat ekonomi di Lampung kala itu.

Onderneming Bekri

Onderneming Bekri berdiri pada tahun 1919, dan memiliki luas wilayah lebih dari 4.200 hektar, termasuk tanah yang belum dikelola yang luasnya 2.240 hektar. Onderneming Bekri dikelola oleh NV Landbouw Maatschappij Bekri, yang didirikan di Den Haag. Onderneming Bekri memfokuskan pada kegiatan budidaya tanaman kelapa sawit. Pada tahun 1919, penaman sawit dilakukan, rencananya dalam dua tahun penanaman sawit dapat selesai dilakukan. Pola tanam yang berbeda digunakan di Onderneming Bekri, yakni di antara barisan pohon kelapa sawit akan ada barisan kopi sebagai penanaman selingan (Nederlandsch-Indisch Rubbertijdschrift, 1 November 1919).

Detail penanaman sawit di Onderneming Bekri dijelaskan pada De Oliepalm: Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm In Nederlandsch-Indië (1924), penanaman sawit pada tahun 1919-1920 seluas 97 hektar, kemudian pada tahun 1920-1921 seluas 225,3 hektar dan tahun 1921-1922 seluas 387,7 hektar. Pada tahun 1923. Onderneming Bekri memproduksi sejumlah 10.888 kg minyak sawit dan 3.629 kg inti sawit. 

Pada tahun 1932, produksi minyak sawit dari Onderneming Bekri sejumlah 1.530.000 kg. Dan menjadi satu-satunya onderneming yang memberikan sumbangan terbesar bagi produksi sawit di Lampung (Notulen van De Conferentie Met De Hoofden van Gewestelijk Best, 1932).

Kemudian produksi buah sawit dari Onderneming Bekri pada tahun 1937 mencapai 3.801.500 kg, atau sekitar 1800 kg per hektar. Bahkan pengelola kemudian memperluas lahan perkebunan seluas 150 hektar pada tahun 1938 (De Indische Courant, 28 September 1938).


                                         Kunjungan Gub. Jenderal Van Starkenborgh di Onderneming Bekri

(Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, 6 Oktober 1938)

Onderneming yang pernah dikunjungi oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Starkenborgh ini memiliki sistem angkut buah sawit ke pabrik pengolahan dengan menggunakan kerata api. Pengolahan buah sawit di Onderneming Bekri sebagaimana dijelaskan oleh Soerabaijasch Handelsblad (28 September 1938), melewati serangkaian tahapan yang dimulai dengan mengukus buah sawit dan perendaman. Tahap berikutnya adalah melepaskan buah sawit dari tandannya. Kemudian buah dipisahkan dari bahan berserat dan sampah. Setelah buah memasuki mesin pemecah, di mana biji melewati pipa berputar, dari sana biji terlempar dengan kuat ke dinding bagian dalam silinder mesin pemecah. Setelah daging buah sawit terpisah dari cangkangnya, barulah dilanjutkan dengan pengolahan minyak sebenarnya dari buah sawit.


                                                         Pengangkutan Sawit di Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938) 

Hasil pengolahan minyak sawit dari Onderneming Bekri ini kemudian dikirim ke Oosthaven atau Pelabuhan Panjang. Di pelabuhan ini minyak ditampung dalam tangki-tangki sebelum dikirim ke Eropa menggunakan kapal. Instalasi tangki milik Onderneming Bekri di Oosthaven memiliki kapasitas penyimpanan 1.100 ton minyak sawit.


                                               Perkebunan Sawit dan Pengolahannya di Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938)

 

Di Onderneming Bekri seorang pekerja di bidang ekstraksi minyak sawit diberikan gaji awal sekitar 350 gulden. Setelah berhasil melewati masa percobaan selama tiga bulan gajinya ditingkatkan menjadi 400 gulden (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 5 Mei 1927).


                                       Stasiun Pompa Minyak Sawit Milik Onderneming Bekri di Oosthaven

(Sumber: Wereldmuseum) 

Onderneming Bekri yang menjadi roda ekonomi, telah menjadi ruang berkumpulnya para pekerja kelapa sawit. Oleh karena itu, muncul desakan agar pemerintah membuat kebijakan mendirikan sekolah di Bekri. Hal ini sebagai cara agar anak-anak yang tinggal di Onderneming Bekri dapat mendapat layanan pendidikan. Jumlah anak di Bekri yang memenuhi syarat usia sekolah sekitar 22 anak. Hal itu sesungguhnya telah melebihi syarat yang dibuat pemerintah yang mempersyaratkan minimal murid berjumlah 15 agar sekolah dapat didirikan.

Dalam pemberitaan yang dilakukan oleh Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië (2 Oktober 1939), pemerintah tidak langsung menunjukan kepastian mengenai pembukaan sekolah di Bekri. Adapun respon pemerintah adalah akan melakukan survei terlebih dahulu guna melihat kondisi yang sebenarnya di Bekri dan sekitarnya akan kebutuhan sekolah. Barulah setelah melihat hasil survei kemudian sekolah didirikan di Onderneming Bekri.


                                                                                Sekolah di Onderneming Bekri

(Sumber: N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938) 

Pada laporan yang diterbitkan oleh N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam tahun 1938, terdapat potret aktivitas sekolah di Onderneming Bekri. Nampak seorang guru yang mengajarkan ilmu matematika kepada sekumpulan murid. Sekolah ini nampak dibangun dari dinding kayu, berlantai tanah dan terdapat beberapa meja dan sebuah papan tulis.

Saat ini, selain tinggalan pabrik pengolahan minyak sawit yang masih dijumpai, juga terdapat tinggalan rumah-rumah bergaya arsitektur indis yang dapat mudah ditemukan di sekitar area pabrik pengolah sawit Bekri. Dengan ciri yang khas berupa pintu dan jendela yang besar, tembok yang dilapisi batu alam memberikan pertanda mengenai lintasan sejarah tempo dulu di Bekri.

Stasiun Bekri

Stasiun Bekri merupakan salah satu stasiun aktif yang beroperasi di wilayah Divisi Regional (Divre) 4 Tanjungkarang yang menghubungkan Tanjungkarang-Palembang. Letak Stasiun Bekri diantara Stasiun Rengas dan Stasiun Haji Pemanggilan.

De Indische Courant (28 September 1938) memberitakan bahwa Stasiun Bekri yang menjadi jalur kereta api tujuan Palembang berada tepat di perbatasan antara areal perkebunan perusahaan Bekri. Kereta ekspres ke Palembang melintas setiap hari melalui stasiun ini.

Letak Stasiun Bekri dengan pabrik pengolahan sawit serta rumah pegawai perkebunan saling berhadapan. Hal ini memberikan gambaran bahwa keberadaan Stasiun Bekri di masa lampau erat kaitannya dalam proses pengangkutan minyak sawit menuju Oosthaven.

Pada Voorwaarden van Vervoer en Tarieven, Zuid Sumatra Staatsspoorwege (1 Januari 1931) dijelaskan bahwa terdapat tarif yang mesti dibayarkan penumpang dengan tujuan daerah-daerah di Sumatera bagian selatan. Sebagai contoh tarif kereta api dari Stasiun Bekri menuju Kertapati sebesar 347 gulden. Kemudian tarif jarak pendek yang menghubungkan Stasiun Bekri dengan Stasiun Rejosari dan Stasiun Natar masing-masing sejumlah 26 dan 29 gulden. Sementara itu dalam Dienstregeling van Den Loop Der Treinen tahun 1930 dijelaskan keberangkatan kereta api dari Stasiun Bekri pada pukul 08.30, 11.29 dan 14.19.

Melansir dari stasiun.kereta.id saat ini Stasiun  Bekri memiliki tiga jalur kereta api dengan jalur 2 merupakan sepur lurus dan jalur 3 yang merupakan sepur belok panjang (long siding) untuk memuat rangkaian kereta api.

Stasiun Rengas

Selain keberadaan Stasiun Bekri, terdapat pula tinggalan stasiun lain yang bernama Stasiun Rengas. Stasiun ini tergolong sebagai setasiun kecil, yang terletak antara Kabupaten Lampung Tengah dengan Kabupaten Pesawaran.


                                                                             Jaringan Rel Kereta Api di Lampung

(Sumber: PT Kereta Api Indonesia, 2019)

Bataviaasch Nieuwsblad (23 Februari 1927) memberitakan perjalanan dengan kereta api dari Teluk Betung ke Palembang. Diberitakan bahwa antara Tegineneng dan Bekri melewati stasiun darurat, yang terdiri dari gerbong barang bekas, yang rangkanya telah dilepas. Ini adalah Stasiun Rengas.

Referensi:

Bataviaasch Nieuwsblad 23 Februari 1927

BPS Lampung Tengah, 2024

De Indische Courant, 28 September 1938

De Oliepalm: Historisch Onderzoek Over Den Oliepalm In Nederlandsch-Indië, 1924

Dienstregeling van Den Loop Der Treinen, 1930

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 2 Oktober 1939

N.V. Internationale Crediet en Handels-Vereeniging Rotterdam, 1938

Nederlandsch-Indisch Rubbertijdschrift, 1 November 1919

Notulen van De Conferentie Met De Hoofden van Gewestelijk Best, 1932

stasiun.kereta.id,

Soerabaijasch Handelsblad 28 September 1938

Voorwaarden van Vervoer en Tarieven, Zuid Sumatra Staatsspoorwege, 1 Januari 1931

Selasa, 14 Januari 2025

Mengingat Kembali Tembakau Lampung

Dalam urusan perkebunan, daerah Lampung memang lebih terkenal dengan hasil lada dan kopinya. Penamanan dua komoditas tersebut, telah menjadi bagian dalam hidup masyarakat Lampung. Pernah, suatu kali ujicoba penanaman tembakau dilakukan di Lampung. Lalu, bagaimanakah hasil dari tanaman bahan baku udut ini?

Oleh: Adi Setiawan


Tembakau

(Sumber: www.istockphoto.com) 

Tembakau menjadi salah satu produk perkebunan Indonesia, hasil dari penjualan tembakau dilakukan pungutan berupa cukai oleh negara. Besarnya pendapatan dari cukai ini, menjadi problem bagi pemerintah untuk menghapuskan tanaman ini. Walaupun dampak buruk bagi kesehatan juga menghantui.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tembakau merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika. Suku-susku asli benua ini, seperti Suku Maya membudidayakan tembakau sebagai keperluan dalam ritual keagamaan. Ketika Spanyol mengenal benua Amerika, mereka memulai bersentuhan dengan tanaman yang dapat beradaptasi dicuaca kering ini. Lantas, tembakau oleh bangsa Spanyol mulai diperkenalkan ke Eropa dan menjadi komoditas dagang saat itu.

Sejarah tanaman tembakau di Indonesia sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1601. Adapun Spanyol adalah bangsa yang berperan dalam memperkenalkan tembakau di Asia Tenggara, diawali di Filipina pada tahun 1575. Dikenalkannya tembakau ini lambat laun mempengaruhi kebiasaan merokok di Nusantara. Daerah-daerah di Pulau Jawa menjadi lahan budidayanya.

Penanaman tembakau secara masif kemudian dilakukan di Sumatra Timur, tepatnya di wilalayah Deli. Perusahaan milik pengusaha Jacobus Nienhuys, Deli Maatschappij mendapatkan izin untuk membuka lahan guna penanaman tembakau. Tembakau Deli ternyata memiliki kualitas yang baik dan menjadi primadona di pasar Eropa.

Penanaman tembakau di Sumatra sebetulnya bukan hanya sekedar di Deli saja. Daerah-daerah di Sumatra bagian selatan pernah pula menjadi ladang-ladang tembakau. Sebelum adanya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, penanaman tembakau sudah dikenal masayarakat Lampung. Namun adanya bencana letusan tersebut memberikan dampak bagi petani untuk kembali memulai menanam tembakau. Pada tahun 1885, atas perintah Residen di Lampung dilakukan percobaan penanaman tembakau kembali dengan benih tembakau dari Deli. Dinas Pertanian memulai melakukan pengujian penanaman tembakau di berbagai tempat di Lampung, sayangnya tidak disebutkan secara detail di mana letak tempat tersebut. (Broesma, 1916:197).

Hasil panen tembakau di tahun itu kemudian dilakukan pengujian kualitas. Hasilnya kualitas tembakau Lampung memiliki kemiripan dengan tembakau Jawa. Jika dibandingkan dengan tembakau Deli, tembakau Lampung dinilai memiliki kualitas di bawahnya. Tembakau Lampung cenderung lembut, agak liar dan batangnya kasar, tapi luka bakarnya cukup bagus.

Kualitas tembakau Lampung yang masih kalah saing dengan tembakau Deli sebetulnya memiliki dasar yang dapat dimengerti. Dalam De Locomotief, (26 April 1887) disebutkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi oleh petani tembakau di Lampung. Tantangan itu adalah tahun 1885 merupakan tahun kemarau yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi masyarakat Lampung dan kekeringan terjadi jauh lebih awal dari biasanya. Sehingga penanaman benih sebenarnya dilakukan terlambat. Kedua, pengawasan ahli sama sekali tidak ada. Ketiga, pengiriman tembakau memakan waktu lama ketika dikirim dari Teluk Betung ke Deli, dan alasan terakhir adalah saat pengiriman tembakau dari Lampung ke Deli terjadi pada musim penghujan yang membuat tembakau menjadi basah. Walaupun demikian percobaan penanaman tembakau ini telah membuka keuntungan. Terutama dalam memproduksi benih tembakau untuk penanaman selanjutnya (Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887).

Pada tahun 1886, pengujian kembali dilakukan, namun kini dengan benih yang dipanen dari masyarakat Lampung sendiri. Hasilnya lebih menguntungkan. Percobaan diulangi pada tahun 1887 dan hasilnya kembali bagus. Sampai tahun 1887 penanaman tembakau di Lampung hanya diupayakan oleh masyarakat sendiri. Modal atau investasi swasta belum hadir guna mendukung penanaman tembakau yang lebih luas di Lampung (Broesma, 1916:198).


Berita tentang Penanaman Tembakau di Lampung

(Sumber: Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887) 

Pandangan terhadap kualitas tembakau Lampung yang lebih rendah dibandingkan dengan tembakau Deli nyatanya tidak menyurutkan masyarakat untuk meninggalkan tanaman ini. Kops (1919:68) dalam bukunya berjudul Overzicht van Zuid Sumatra menjelaskan bahwa di Sumatra Selatan termasuk Lampung penenaman tembakau lebih banyak dilakukan oleh orang per orang. Hasil panen tembakau ini, sebagian dikirim ke Pulau Jawa dan Singapura.

Pada tahun 1910, penanaman tembakau dengan lahan yang luas mulai dilirik oleh pemodal Eropa bernama P.C van de Kamer. Sebelumnya, pemodal ini pernah menanam tembakau di lahan Kebagusan, yang terletak di sebelah Perusahaan Egaharap. P.C van de Kamer mendapatkan hak sewa di daerah Pitu pada tahun 1911 dengan lahan 425 ladang.  Hasil penanaman tembakau di Pitu ini mencapai 11 pikul per bahu atau 2 pikul lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil panen tembakau di Deli. Namun, pada akhir tahun 1914 diputuskan untuk tidak melanjutkan penanaman tembakau di Pitu. Pemodal saat itu lebih memilih untuk menanam kopi dan karet yang dirasa lebih menguntungkan (Broesma, 1916:200).

Penanaman tembakau di Lampung yang dapat dikatakan tidak stabil ini, pada masa-masa berikutnya tetap diupayakan. Pada tahun 1926, jumlah ekspor tembakau jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang mengherankan adalah dari jumlah penjualan tembakau dari Sumatra Selatan, Lampung menyumbang angka terbesar dalam penjualan tembakau ini. Kondisi ini ada, kemungkinan besar disebabkan oleh pengangkutan tembakau Ranau dari Palembang melalui Kereta Api Sumatera Selatan ke daerah Lampung.

Rincian hasil produksi tembakau Lampung dari tahun 1923 hingga 1929 menunjukan bahwa, pada tahun 1923 jumlah tembakau adalah 2 ton dengan nilai 4 ribu gulden. Kemudian tahun 1924, produksi tembakau Lampung mencapai angka 5 ton dengan perolehan nilai sebanyak 5 ribu gulden. Pada tahun 1925, mencapai 8 ton dengan penerimaan nilai 25 ribu gulden. Tahun 1926 menjadi perolehan produksi dan nilai terbesar yakni sebanyak 59 ton dan perolehan nilai 87 ribu gulden. Pada tahun 1927, produksi menurun drastis pada angka 4 ton dengan nilai 5 ribu gulden. Tahun 1928 produksi berkisar 5 ton dengan nilai 6 ribu gulden. Terakhir tahun 1929, panen tembakau Lampung pada perolehan 3 ton dengan nilai 8 ribu gulden (Wellan, 1932:245).

Penanaman tembakau di Lampung pada masa lalu dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya. Hingga hari ini daerah Lampung memang bukan menjadi produsen tembakau utama di Indonesia. Sepertinya tanaman tembakau masih kalah pamor dengan tanaman kopi, lada,  karet, sawit, tebu ataupun singkong.

Referensi:

De Locomotief, 26 April 1887

Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Bruyn Kops. 1919. Overzicht Van Zuid Sumatra. Amsterdam: Druk Van J. H. De Bussy


Wellan, J. W. J. 1932. Zuid-Sumatra: Economisch Overzicht Van de Gewesten Djambi, Palembang, De Lampoengsche Districten en Benkoelen. Wageningen: H. Veenman & Zonen

Sabtu, 11 Januari 2025

Stasiun Blambangan Umpu: Titik Pertemuan Jalur Kereta Api Lampung-Palembang

Sebagai bagian dalam jalur kereta api antara Lampung dengan Palembang, Stasiun Blambangan Umpu menjadi salah satu stasiun pemberhentian. Pada 22 Feberuari 1927, dua kereta api tiba di stasiun ini untuk menandai pertemuan jalur kereta api Lampung dengan Palembang.

Oleh: Adi Setiawan 

Stasiun Blambangan Umpu Tahun 1927

(Sumber: Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1927) 

Blambangan Umpu merupakan ibukota dari Kabupaten Way Kanan, di sini terletak sebuah stasiun yang dibangun pada era kolonial Belanda. Stasiun itu bernama Stasiun Blambangan Umpu yang merupakan satu dari beberapa stasiun yang menghubungkan Lampung dengan Palembang. Stasiun Blambangan Umpu menjadi bagian dari Zuid Sumatra Staatsspoorwegen atau kereta api Sumatra Selatan, yang membawahi daerah operasional Sumatra Selatan dan Lampung. Pembangunan jalur kereta api oleh Zuid Sumatra Staatsspoorwegen di era kolonial erat kaitannya dengan pengangkutan barang dan manusia di kedua daerah tersebut. 

22 Februari 1927 menjadi hari bersejarah bagi Stasiun Blambangan Umpu, pasalnya di tanggal tersebut merupakan hari dimana jalur kereta api Lampung dengan Palembang dapat dihubungkan di stasiun ini. Sebagai bagian dari hari bersejarah itu, sebuah kereta api sengaja diberangkatkan dari Tanjungkarang dan Palembang menuju Blambangan Umpu. Masyarakat menyambut kedatangan kereta dengan meriah, nampak stasiun yang dihias dengan janur. Pada acara seremonial itu, dihadiri pula oleh Kepala Inspektur Perkeretaapian dan Trem Negar, Ir. WF Staargaard (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1927). 


Kereta Api dari Blambangan Umpu Menuju Palembang

(Sumber: Indië; Geïllustreerd Weekblad Voor Nederland En Koloniën, 11 Mei 1927) 

Rencana pembangunan jalur kereta api di Blambangan Umpu menjadi target pemerintah kolonial, setidaknya sejak tahun 1925. Bagi pemerintah kolonial Belanda, pembangunan jalur kereta api di Sumatra bagian selatan adalah cara untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi. Khusus di wilayah Blambangan Umpu dan sekitarnya, keberadaan jalur dan stasiun kereta api diperuntukan untuk pengangkutan lada. Daerah Rebang tercatat menghasilkan lada sekitar 30 ribu pikul per tahun. Di daerah yang sama budidaya kopi juga tengah digiatkan. Termasuk daerah Kasui hingga Blambangan Umpu dengan kesuburan tanahnya, juga merupakan penghasil kopi. Oleh karena itu kereta api menjadi pilihan dalam sarana pengangkutan (De Indische Courant, 2 November 1925). 


Peta Jalur Kereta Api Lampung-Palembang

(Sumber: De Ingenieur; Orgaan van Het Kon. Instituut Van Ingenieurs, 28 Mei 1927)

 

Jalur kereta api yang menghubungkan Lampung dan Palembang sendiri dibangun secara bertahap. Dijelaskan dalam De Ingenieur; Orgaan van Het Kon. Instituut Van Ingenieurs (28 Mei 1927) bahwa detail pembangunan jalur kereta sebagai tersebut: 

1.     Pada tanggal 1 Desember 1914 Oosthaven (Pelabuhan Panjang)-Tanjungkarang (12 km),

2.     Pada tanggal 1 Maret 1915 Tanjungkarang-Labuan Ratu.

3.     Pada tanggal 1 November 1915 Labuan Ratu-Tegineneng, dan juga Kertapati-Prabumulih.

4.     Pada tanggal 1 Februari 1917 dibuka ruas jalur Tegineneng-Hajipemanggilan di sisi Lampung, dimana ruas Lampong dari Panjang-Hajipemanggilan telah mencapai panjang 63 km, sedangkan di sisi Palembang sampai Muara Enim sepanjang 152 km.

5.     Sementara itu, keadaan berlanjut dari sana dan pada tahun 1920 dibuka jalur Blambangan-Kotabumi untuk lalu lintas barang dan pada tahun 1921 untuk lalu lintas penumpang. Panjang jalur saat itu ± 100 km.

6.     Jalur cabang Tanjungkarang-Telukbetung selesai dibangun pada tahun 1921.

7.    Pengerjaan sambungan Lampung-Palembang berjalan lambat pada tahun 1921, di satu sisi sudah sampai Kotabumi, di sisi lain sudah sampai Prabumulih.

8.     Pekerjaan juga dilanjutkan pada jalur Muara Enim-Lahat, yang mulai digunakan pada bulan April 1924.

9.    Dari Palembang ke Peninjawan pada tahun 1922, ke Baturaja pada tahun 1923, dan ke Martapura pada tahun 1925. Jalur ini memiliki panjang total 329 km.

10.  Dari Panjang mereka mencapai Cempaka pada tahun 1923 dan Negara Ratu pada tahun 1926, sehingga jaringan Lampung memiliki panjang 130 km.

11.  Di sisi Palembang, angkutan barang dilakukan dari Martapura ke Giham (23 km) pada tahun 1926.

 

Menurut Korte Geschiedenis Der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramweg (1928:102) pembangunan jalur kereta api sepanjang 528 km yang menghubungkan Lampung hingga Palembang, saat itu menelan sekitar 58.000.000 gulden.

Keberadaan Stasiun Blambangan Umpu yang menjadi bagian dalam proyek Zuid Sumatra Staatsspoorwegen sekaligus menandai sejarah transportasi massal di Lampung, secara khusus di Way Kanan. Saat ini Stasiun Blambangan Umpu tetap menjalankan operasional jalur kereta api Lampung-Palembang. Menurut stasiun.kereta.id Stasiun Blambangan Umpu yang terletak pada ketinggian +51 meter ini, terdapat jalur 1 dijadikan sebagai sepur lurus untuk arah Tanjungkarang. Sedangkan jalur 2 yang dijadikan sebagai sepur lurus untuk arah Baturaja–Prabumulih.

 

Referensi: 

De Indische Courant, 2 November 1925

De Ingenieur; Orgaan van Het Kon. Instituut Van Ingenieurs, 28 Mei 1927

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1927


SA Reitsma. 1928. Korte Geschiedenis Der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramweg. Weltevreden. G. Kolff & Co.

stasiun.kereta.id

Melawan Lupa: Rapat Umum Ir. Sukarno di Lampung

Ir. Sukarno bertindak sebagai kepala negara sering melakukan perjalanan ke daerah guna meninjau pemerintahan. Kunjungan Presiden Indonesia p...

Populer