Selasa, 14 Januari 2025

Mengingat Kembali Tembakau Lampung

Dalam urusan perkebunan, daerah Lampung memang lebih terkenal dengan hasil lada dan kopinya. Penamanan dua komoditas tersebut, telah menjadi bagian dalam hidup masyarakat Lampung. Pernah, suatu kali ujicoba penanaman tembakau dilakukan di Lampung. Lalu, bagaimanakah hasil dari tanaman bahan baku udut ini?

Oleh: Adi Setiawan


Tembakau

(Sumber: www.istockphoto.com) 

Tembakau menjadi salah satu produk perkebunan Indonesia, hasil dari penjualan tembakau dilakukan pungutan berupa cukai oleh negara. Besarnya pendapatan dari cukai ini, menjadi problem bagi pemerintah untuk menghapuskan tanaman ini. Walaupun dampak buruk bagi kesehatan juga menghantui.

Beberapa literatur menyebutkan bahwa tembakau merupakan tanaman yang berasal dari benua Amerika. Suku-susku asli benua ini, seperti Suku Maya membudidayakan tembakau sebagai keperluan dalam ritual keagamaan. Ketika Spanyol mengenal benua Amerika, mereka memulai bersentuhan dengan tanaman yang dapat beradaptasi dicuaca kering ini. Lantas, tembakau oleh bangsa Spanyol mulai diperkenalkan ke Eropa dan menjadi komoditas dagang saat itu.

Sejarah tanaman tembakau di Indonesia sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1601. Adapun Spanyol adalah bangsa yang berperan dalam memperkenalkan tembakau di Asia Tenggara, diawali di Filipina pada tahun 1575. Dikenalkannya tembakau ini lambat laun mempengaruhi kebiasaan merokok di Nusantara. Daerah-daerah di Pulau Jawa menjadi lahan budidayanya.

Penanaman tembakau secara masif kemudian dilakukan di Sumatra Timur, tepatnya di wilalayah Deli. Perusahaan milik pengusaha Jacobus Nienhuys, Deli Maatschappij mendapatkan izin untuk membuka lahan guna penanaman tembakau. Tembakau Deli ternyata memiliki kualitas yang baik dan menjadi primadona di pasar Eropa.

Penanaman tembakau di Sumatra sebetulnya bukan hanya sekedar di Deli saja. Daerah-daerah di Sumatra bagian selatan pernah pula menjadi ladang-ladang tembakau. Sebelum adanya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, penanaman tembakau sudah dikenal masayarakat Lampung. Namun adanya bencana letusan tersebut memberikan dampak bagi petani untuk kembali memulai menanam tembakau. Pada tahun 1885, atas perintah Residen di Lampung dilakukan percobaan penanaman tembakau kembali dengan benih tembakau dari Deli. Dinas Pertanian memulai melakukan pengujian penanaman tembakau di berbagai tempat di Lampung, sayangnya tidak disebutkan secara detail di mana letak tempat tersebut. (Broesma, 1916:197).

Hasil panen tembakau di tahun itu kemudian dilakukan pengujian kualitas. Hasilnya kualitas tembakau Lampung memiliki kemiripan dengan tembakau Jawa. Jika dibandingkan dengan tembakau Deli, tembakau Lampung dinilai memiliki kualitas di bawahnya. Tembakau Lampung cenderung lembut, agak liar dan batangnya kasar, tapi luka bakarnya cukup bagus.

Kualitas tembakau Lampung yang masih kalah saing dengan tembakau Deli sebetulnya memiliki dasar yang dapat dimengerti. Dalam De Locomotief, (26 April 1887) disebutkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi oleh petani tembakau di Lampung. Tantangan itu adalah tahun 1885 merupakan tahun kemarau yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi masyarakat Lampung dan kekeringan terjadi jauh lebih awal dari biasanya. Sehingga penanaman benih sebenarnya dilakukan terlambat. Kedua, pengawasan ahli sama sekali tidak ada. Ketiga, pengiriman tembakau memakan waktu lama ketika dikirim dari Teluk Betung ke Deli, dan alasan terakhir adalah saat pengiriman tembakau dari Lampung ke Deli terjadi pada musim penghujan yang membuat tembakau menjadi basah. Walaupun demikian percobaan penanaman tembakau ini telah membuka keuntungan. Terutama dalam memproduksi benih tembakau untuk penanaman selanjutnya (Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887).

Pada tahun 1886, pengujian kembali dilakukan, namun kini dengan benih yang dipanen dari masyarakat Lampung sendiri. Hasilnya lebih menguntungkan. Percobaan diulangi pada tahun 1887 dan hasilnya kembali bagus. Sampai tahun 1887 penanaman tembakau di Lampung hanya diupayakan oleh masyarakat sendiri. Modal atau investasi swasta belum hadir guna mendukung penanaman tembakau yang lebih luas di Lampung (Broesma, 1916:198).


Berita tentang Penanaman Tembakau di Lampung

(Sumber: Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887) 

Pandangan terhadap kualitas tembakau Lampung yang lebih rendah dibandingkan dengan tembakau Deli nyatanya tidak menyurutkan masyarakat untuk meninggalkan tanaman ini. Kops (1919:68) dalam bukunya berjudul Overzicht van Zuid Sumatra menjelaskan bahwa di Sumatra Selatan termasuk Lampung penenaman tembakau lebih banyak dilakukan oleh orang per orang. Hasil panen tembakau ini, sebagian dikirim ke Pulau Jawa dan Singapura.

Pada tahun 1910, penanaman tembakau dengan lahan yang luas mulai dilirik oleh pemodal Eropa bernama P.C van de Kamer. Sebelumnya, pemodal ini pernah menanam tembakau di lahan Kebagusan, yang terletak di sebelah Perusahaan Egaharap. P.C van de Kamer mendapatkan hak sewa di daerah Pitu pada tahun 1911 dengan lahan 425 ladang.  Hasil penanaman tembakau di Pitu ini mencapai 11 pikul per bahu atau 2 pikul lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil panen tembakau di Deli. Namun, pada akhir tahun 1914 diputuskan untuk tidak melanjutkan penanaman tembakau di Pitu. Pemodal saat itu lebih memilih untuk menanam kopi dan karet yang dirasa lebih menguntungkan (Broesma, 1916:200).

Penanaman tembakau di Lampung yang dapat dikatakan tidak stabil ini, pada masa-masa berikutnya tetap diupayakan. Pada tahun 1926, jumlah ekspor tembakau jauh lebih sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang mengherankan adalah dari jumlah penjualan tembakau dari Sumatra Selatan, Lampung menyumbang angka terbesar dalam penjualan tembakau ini. Kondisi ini ada, kemungkinan besar disebabkan oleh pengangkutan tembakau Ranau dari Palembang melalui Kereta Api Sumatera Selatan ke daerah Lampung.

Rincian hasil produksi tembakau Lampung dari tahun 1923 hingga 1929 menunjukan bahwa, pada tahun 1923 jumlah tembakau adalah 2 ton dengan nilai 4 ribu gulden. Kemudian tahun 1924, produksi tembakau Lampung mencapai angka 5 ton dengan perolehan nilai sebanyak 5 ribu gulden. Pada tahun 1925, mencapai 8 ton dengan penerimaan nilai 25 ribu gulden. Tahun 1926 menjadi perolehan produksi dan nilai terbesar yakni sebanyak 59 ton dan perolehan nilai 87 ribu gulden. Pada tahun 1927, produksi menurun drastis pada angka 4 ton dengan nilai 5 ribu gulden. Tahun 1928 produksi berkisar 5 ton dengan nilai 6 ribu gulden. Terakhir tahun 1929, panen tembakau Lampung pada perolehan 3 ton dengan nilai 8 ribu gulden (Wellan, 1932:245).

Penanaman tembakau di Lampung pada masa lalu dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya. Hingga hari ini daerah Lampung memang bukan menjadi produsen tembakau utama di Indonesia. Sepertinya tanaman tembakau masih kalah pamor dengan tanaman kopi, lada,  karet, sawit, tebu ataupun singkong.

Referensi:

De Locomotief, 26 April 1887

Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887

Broersma, R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke

De Bruyn Kops. 1919. Overzicht Van Zuid Sumatra. Amsterdam: Druk Van J. H. De Bussy


Wellan, J. W. J. 1932. Zuid-Sumatra: Economisch Overzicht Van de Gewesten Djambi, Palembang, De Lampoengsche Districten en Benkoelen. Wageningen: H. Veenman & Zonen

Sabtu, 11 Januari 2025

Stasiun Blambangan Umpu: Titik Pertemuan Jalur Kereta Api Lampung-Palembang

Sebagai bagian dalam jalur kereta api antara Lampung dengan Palembang, Stasiun Blambangan Umpu menjadi salah satu stasiun pemberhentian. Pada 22 Feberuari 1927, dua kereta api tiba di stasiun ini untuk menandai pertemuan jalur kereta api Lampung dengan Palembang.

Oleh: Adi Setiawan 

Stasiun Blambangan Umpu Tahun 1927

(Sumber: Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1927) 

Blambangan Umpu merupakan ibukota dari Kabupaten Way Kanan, di sini terletak sebuah stasiun yang dibangun pada era kolonial Belanda. Stasiun itu bernama Stasiun Blambangan Umpu yang merupakan satu dari beberapa stasiun yang menghubungkan Lampung dengan Palembang. Stasiun Blambangan Umpu menjadi bagian dari Zuid Sumatra Staatsspoorwegen atau kereta api Sumatra Selatan, yang membawahi daerah operasional Sumatra Selatan dan Lampung. Pembangunan jalur kereta api oleh Zuid Sumatra Staatsspoorwegen di era kolonial erat kaitannya dengan pengangkutan barang dan manusia di kedua daerah tersebut. 

22 Februari 1927 menjadi hari bersejarah bagi Stasiun Blambangan Umpu, pasalnya di tanggal tersebut merupakan hari dimana jalur kereta api Lampung dengan Palembang dapat dihubungkan di stasiun ini. Sebagai bagian dari hari bersejarah itu, sebuah kereta api sengaja diberangkatkan dari Tanjungkarang dan Palembang menuju Blambangan Umpu. Masyarakat menyambut kedatangan kereta dengan meriah, nampak stasiun yang dihias dengan janur. Pada acara seremonial itu, dihadiri pula oleh Kepala Inspektur Perkeretaapian dan Trem Negar, Ir. WF Staargaard (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1927). 


Kereta Api dari Blambangan Umpu Menuju Palembang

(Sumber: Indië; Geïllustreerd Weekblad Voor Nederland En Koloniën, 11 Mei 1927) 

Rencana pembangunan jalur kereta api di Blambangan Umpu menjadi target pemerintah kolonial, setidaknya sejak tahun 1925. Bagi pemerintah kolonial Belanda, pembangunan jalur kereta api di Sumatra bagian selatan adalah cara untuk memudahkan pengangkutan hasil bumi. Khusus di wilayah Blambangan Umpu dan sekitarnya, keberadaan jalur dan stasiun kereta api diperuntukan untuk pengangkutan lada. Daerah Rebang tercatat menghasilkan lada sekitar 30 ribu pikul per tahun. Di daerah yang sama budidaya kopi juga tengah digiatkan. Termasuk daerah Kasui hingga Blambangan Umpu dengan kesuburan tanahnya, juga merupakan penghasil kopi. Oleh karena itu kereta api menjadi pilihan dalam sarana pengangkutan (De Indische Courant, 2 November 1925). 


Peta Jalur Kereta Api Lampung-Palembang

(Sumber: De Ingenieur; Orgaan van Het Kon. Instituut Van Ingenieurs, 28 Mei 1927)

 

Jalur kereta api yang menghubungkan Lampung dan Palembang sendiri dibangun secara bertahap. Dijelaskan dalam De Ingenieur; Orgaan van Het Kon. Instituut Van Ingenieurs (28 Mei 1927) bahwa detail pembangunan jalur kereta sebagai tersebut: 

1.     Pada tanggal 1 Desember 1914 Oosthaven (Pelabuhan Panjang)-Tanjungkarang (12 km),

2.     Pada tanggal 1 Maret 1915 Tanjungkarang-Labuan Ratu.

3.     Pada tanggal 1 November 1915 Labuan Ratu-Tegineneng, dan juga Kertapati-Prabumulih.

4.     Pada tanggal 1 Februari 1917 dibuka ruas jalur Tegineneng-Hajipemanggilan di sisi Lampung, dimana ruas Lampong dari Panjang-Hajipemanggilan telah mencapai panjang 63 km, sedangkan di sisi Palembang sampai Muara Enim sepanjang 152 km.

5.     Sementara itu, keadaan berlanjut dari sana dan pada tahun 1920 dibuka jalur Blambangan-Kotabumi untuk lalu lintas barang dan pada tahun 1921 untuk lalu lintas penumpang. Panjang jalur saat itu ± 100 km.

6.     Jalur cabang Tanjungkarang-Telukbetung selesai dibangun pada tahun 1921.

7.    Pengerjaan sambungan Lampung-Palembang berjalan lambat pada tahun 1921, di satu sisi sudah sampai Kotabumi, di sisi lain sudah sampai Prabumulih.

8.     Pekerjaan juga dilanjutkan pada jalur Muara Enim-Lahat, yang mulai digunakan pada bulan April 1924.

9.    Dari Palembang ke Peninjawan pada tahun 1922, ke Baturaja pada tahun 1923, dan ke Martapura pada tahun 1925. Jalur ini memiliki panjang total 329 km.

10.  Dari Panjang mereka mencapai Cempaka pada tahun 1923 dan Negara Ratu pada tahun 1926, sehingga jaringan Lampung memiliki panjang 130 km.

11.  Di sisi Palembang, angkutan barang dilakukan dari Martapura ke Giham (23 km) pada tahun 1926.

 

Menurut Korte Geschiedenis Der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramweg (1928:102) pembangunan jalur kereta api sepanjang 528 km yang menghubungkan Lampung hingga Palembang, saat itu menelan sekitar 58.000.000 gulden.

Keberadaan Stasiun Blambangan Umpu yang menjadi bagian dalam proyek Zuid Sumatra Staatsspoorwegen sekaligus menandai sejarah transportasi massal di Lampung, secara khusus di Way Kanan. Saat ini Stasiun Blambangan Umpu tetap menjalankan operasional jalur kereta api Lampung-Palembang. Menurut stasiun.kereta.id Stasiun Blambangan Umpu yang terletak pada ketinggian +51 meter ini, terdapat jalur 1 dijadikan sebagai sepur lurus untuk arah Tanjungkarang. Sedangkan jalur 2 yang dijadikan sebagai sepur lurus untuk arah Baturaja–Prabumulih.

 

Referensi: 

De Indische Courant, 2 November 1925

De Ingenieur; Orgaan van Het Kon. Instituut Van Ingenieurs, 28 Mei 1927

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Februari 1927


SA Reitsma. 1928. Korte Geschiedenis Der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramweg. Weltevreden. G. Kolff & Co.

stasiun.kereta.id

Rabu, 08 Januari 2025

Lim Giok Keng & Bisnisnya di Lampung

Salah satu komponen dalam dunia ekonomi di Lampung adalah dalam etnis Tionghoa. Mereka memiliki beragam usaha, mulai dari perdagangan, industri maupun jasa. Lalu bagaimanakah kiprah pengusaha Tionghoa era kolonial di Lampung?

Oleh: Adi Setiawan

 

Sebuah Iklan Mobil dengan Menyertakan Nama Lim Giok Keng

(Sumber: Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 Desember 1930) 

Tionghoa merupakan salah satu etnis yang terdapat di Indonesia. Etnis Tionghoa berdasarkan latar belakang sejarahnya berasal dari daratan Tiongkok yang bermigrasi ke Indonesia sejak berabad-abad lalu. Kedatangan etnis Tionghoa ke Indonesia tidak terlepas dari kegiatan niaga dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia saat itu. Orang-orang Tionghoa kemudian banyak menetap di Indonesia, terutama di kota-kota pelabuhan atau bandar perdagangan. Mereka lantas terlibat dalam jual beli komoditas dengan masyarakat hingga daerah pedalaman.

Kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa juga terjadi di Lampung. Keberadaan komoditas lada menjadi salah satu daya tarik mereka untuk datang. Pada Het Chineesche Zakenleven in Nederlandsch-Indië (1926:144-145) di jelaskan bahwa masyarakat Tionghoa yang tinggal di Lampung hampir seluruhnya adalah 'Singkeh', yang mempunyai sedikit atau tidak punya harta tetap. Orang Tionghoa yang kaya jarang ditemukan dan sebagian besar pedagang Tionghoa bekerja dengan kredit dari sesamanya, baik dari Singapura, atau dari Jawa. Mereka juga mendapatkan kredit yang disediakan oleh cabang-cabang rumah dagang Eropa yang berlokasi di Lampung.

Sementara itu keterlibatan orang-orang Tionghoa dalam perdagangan lada terlihat di beberapa kota di Lampung seperti Sukadana, Kotabumi, Cempaka, Labuhan Maringgai, Kalianda. Kota Agung dan Talang Padang. Pedagang-pedagang Tionghoa di daerah tersebut menunjukan persaingan dengan saudagar setempat yang disebut Haji. Bahkan Di Teluk Betung pembeli utama lada adalah 5 orang haji dan 5 orang Tionghoa.

Peranan pedagang Tionghoa dalam perdagangan di Lampung bukan sekedar membeli lada. Pedagang Tionghoa juga memainkan peranan dalam jaul beli padi di daerah kolonisasi. Seperti di daerah kolonisasi Gedong Tataan, hasil panen padi yang sekitar 130.000 pikol padi pada tahun 1920 dan 300.000 pikol pada tahun 1924 sebagian besar penjualan dibeli oleh pedagang Tionghoa. Penduduk Gedong Tataan, segera setelah panen menjual sebagian besar padinya untuk mendapatkan uang tunai dari pedagang Tionghoa, meskipun ada peluang untuk menyimpannya untuk mengantisipasi harga yang lebih baik.

Sepak terjang pedagang Tionghoa dalam perdagangan di Lampung diperkuat dengan mendirikan suatu perkumpulan dagang. Tujuannya adalah untuk memerangi anjloknya harga komoditas, seperti lada secara besar-besaran. (De Tijd: Godsdienstig-Staatkundig Dagblad, 11 Desember 1933).

Salah satu pengusaha Tionghoa yang cukup berperan dalam kepengurusan perkumpulan pedagang Tionghoa adalah Lim Giok Keng. Lim Giok Keng memiliki usaha dalam hal pembangkit listrik, pabrik es, jual beli minyak dan pengangkutan di Lampung, khususnya Teluk Betung dan Tanjung Karang.

Pada usaha perdagangan minyak, diberitakan dalam Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië 3 November 1932, bahwa agen penjualan BPM dan Sonony bertemu di gedung Asosiasi Perdagangan Tionghoa untuk menentukan tarif seragam yang diusulkan oleh kedua perusahaan minyak tersebut untuk penjualan minyak bumi di Lampung. Adapun pengusaha Tionghoa yang bertanggung jawab dalam atas perdagangan minyak ini adalah Lim Giok Keng dan Tan Lam Tjo.

Pengusaha Lim Giok Keng dalam bidang otomotif merupakan distributor mobil di daerah Lampung. Pada tahun 1927, General Motors Agency berdiri di Lampung. Melalui perusahaan ini Lim Giok Keng menjual mobil-mobil merk Chevrolet Truck, G.M.C Truck, Pontiac Sedan, Buick Limousine. Nama perusahaan penjualan mobil milik Lim Giok Keng tertera dalam iklan di beberapa koran Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië terbitan tahun 1928-1930. (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 September1932).

                                                                                          Iklan Mobil Chevrolet

(Sumber: Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 13 April 1928) 

Sementara itu di bidang jasa angkutan, Lim Giok Keng juga terlibat dalam pengangkutan barang dari Teluk Betung ke Oosthaven (Pelabuhan Panjang). Dalam usaha ini, pengusaha Lim Giok Keng bersaing ketat dengan jasa angkutan milik Tuan Hoffmann. Persaingan ini ditunjukan dengan tarif angkutan yang memiliki selisih. Jika Tuan Hoffmann mematok tarif 8 sen per pikul lada atau kopi, maka jasa angkutan Lim Giok Keng mematok harga 6 sen saja per pikul lada atau kopi dari Teluk Betung ke Oosthaven (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 19 November 1932).

Kemudian di luar Teluk Betung dan Tanjung Karang, sepak terjang pengusaha Lim Giok Keng juga terdapat di Kota Bumi. Di daerah ini, Lim Giok Keng mendapatkan izin dari pemerintah untuk menyediakan pasokan listrik. Ia mengeluarkan dana sekitar 35.000 gulden untuk menyediakan fasilitas listrik di Kotabumi (De Indische Courant, 30 Oktober 1939).

Setelah izin perusahaan listrik di Kotabumi berhasil, di daerah inipun kemudian Lim Giok Keng melebarkan sayap usaha dengan mendirikan pabrik pembuatan es. Izin pembukaan pabrik es ini diperoleh di tahun 1940. Ini merupakan pabrik es ketiga, setelah yang ada di Tanjung Karang dan Teluk Betung (Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Februari 1940).

Penggilingan Padi Lim Giok Keng di Pringsewu

(Sumber: werelculteren, 1935)

Di daerah Pringsewu, penguasaha Lim Giok Keng juga memiliki perusahaan penggilingan padi. Bidang usaha lain yang ditekuni oleh Lim Giok Keng adalah jual beli garam di Teluk Betung. Pernah suatu kali terjadi masalah dalam perdagangan garam antara pemerintah setempat dengan pedagang-pedagang Tionghoa. Untuk menyelesaikan itu, Lim Giok Keng menunjukan peranannya, sehingga masalah dapat di atasi (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 26 Oktober 1932).

Dalam bidang hiburan nama Lim Giok Keng juga tercatat pernah mengelar pertunjukan pasar malam di Teluk Betung dari 12 Desember 1937 hungga 12 Maret 1938. Pasar malam ini memiliki desain yang sangat sederhana. Meski demikian, hasil yang diperoleh benar-benar di luar ekspektasi. Pasar malam meraup untung lebih dari 12.500 gulden (Bataviaasch Nieuwsblad, 15 Maret 1938). Terakhir nama Lim Giok Keng juga disebut dalam panitia rencana pembangunan museum di Lampung pada tahun 1938.


Referensi:

Bataviaasch Nieuwsblad, 5 Februari 1940

De Indische Courant, 30 Oktober 1939

De Tijd: Godsdienstig-Staatkundig Dagblad, 11 Desember 1933

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 September1932

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 26 Oktober 1932

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 3 November 1932

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 19 November 1932

Jl Vleming Jr. 1926. Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indië. Weltevreden: Dienst Der Belastingen in Nederlandsch-Indië


Minggu, 05 Januari 2025

Edukasi Sejarah Lokal, Warta Sejarah Adakan Bakti Sosial di Desa Trimulyo, Sekampung, Lampung Timur


Warta Sejarah adakan kegiatan bakti sosial dengan melakukan pemasangan papan informasi sejarah serta pembersihan makam R. Soekarso ddengan sejumlah komunitas pegiat sejarah lokal, Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro, MGMP Sejarah Lampung Timur, Mahasiswa ITERA serta aparat dan warga desa Trimulyo. Kegiatan berlangsung di Desa Trimulyo, Sekampung, Lampung Timur pada Minggu 05 Januari 2025. Kegiatan pemasangan papan informasi sejarah ini diinisiasi oleh Warta Sejarah dengan Kian Amboro, seorang pegiat sejarah lokal di Lampung. Kegiatan bakti sosial ini sebagai wujud kepedulian terhadap perjuangan tokoh R. Soekarso di era Agresi Militer Belanda II, khususnya di daerah Sekampung.

Kegiatan diawali dengan pembersihan makam oleh aparatur dan warga Desa Trimulyo, Mahasiswa KKN ITERA, Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Muhammadiyah Metro dan komunitas pegiat sejarah. Kegiatan dilanjutkan dengan pemasangan papan informasi di area makam R. Soekarso.

Berdasarkan catatan sejarah, R. Soekarso mulanya merupakan salah satu pegawai pemerintah kolonial yang bertugas di Dinas Pekerjaan Umum (Verkeer en Waterstaatsdienst) di wilayah Kolonisasi Sukadana.


Setelah proklamasi kemerdekaan R. Soekarso menjadi Kepala Djawatan PU di Kawedanaan Metro, Kabupaten Lampung Tengah. Saat Belanda tengah berupaya kembali menjajah melalui aksi agresi militernya, R. Soekarso banyak mengambil peran penting perjuangan melawan Belanda, diantaranya turut menginisiasi Rapat Kilat 1 Januari 1949 di Gedung PU Metro untuk menyusun strategi menghadapi Belanda, menjadi Koordinator Penerangan, Agitasi, dan Propaganda Pemerintahan Darurat Kawedanaan Metro di bedeng 49 Batanghari, hingga turut bergerilya bersama TNI serta Laskar Rakyat.

Saat pemerintahan darurat tak berhasil dipertahankan, perang gerilya terus dilangsungkan hingga kondisi terdesak, R. Soekarso tertangkap dan ditembak Belanda. R. Soekarso gugur pada 19 April 1949 dan dimakamkan tak jauh dari lokasi ia dieksekusi di bedeng 63 atau kini Desa Trimulyo, Kecamatan Sekampung, Lampung Timur.

Di Kota Metro, bekas ibukota Kabupaten Lampung Tengah, nama R. Soekarso kemudian diabadikan menjadi salah satu nama jalan di pusat kota dan masih dipertahankan hingga saat ini, ujar Kian Amboro.


Selain pemasangan papan informasi juga dilakukan diskusi singkat terkait dengan perjuangan R. Soekarso. Adi Setiawan, salah seorang pegiat sejarah dari Warta Sejarah menjelaskan mengenai kronologis terjadinya Agresi Militer Belanda II di Lampung yang dampaknya memunculkan pemerintahan darurat di Metro. Dijelaskan pula mengenai peristiwa R. Soekarso gugur di Desa Trimulyo.

Dalam kegiatan diskusi tersebut, Setio Widodo, selaku Ketua MGMP Sejarah Lampung Timur menambahkan bahwa perjuangan R. Soekarso memiliki keterkaitan dengan peristiwa-peristiwa perang gerilya di daerah Lampung Tengah di tahun 1949, seperti peristiwa di Tempuran Trimurjo dan Peristiwa di Gantiwarno, Pekalongan.


Kian Amboro, salah seorang akademisi Universitas Muhammadiyah Metro menerangkan bahwa dengan pemasangan papan informasi ini diharapkan dapat membantu dalam memberikan edukasi sejarah kepada pengunjung. Harapannya generasi muda akan mengetahui perjuangan Raden Soekarso di era kemerdekaan, ujar Kian Amboro.

Kegiatan bakti sosial ini didukung oleh pemerintah Desa Trimulyo beserta warga. Kepala Desa Trimulyo, Sugiyatman, S.E serta Sekretaris Desa, Abid Ardiyanto, S.Pd menyambut positif kegiatan ini. Dengan pemasangan papan informasi sejarah mereka berharap akan semakin memberikan dampak informatif kepada masyarakat di Desa Trimulyo tentang sejarah keberadaan makam pahlawan di desa mereka. Abid Ardiyanto menambahkan pihak desa ke depan akan terus melakukan perawatan papan informasi yang terpasang agar setiap pengunjung yang datang untuk berziarah dapat mendapatkan informasi mengenai pahlawan yang dimakamkan di komplek tersebut.


Jumat, 03 Januari 2025

Motor dan Mobil di Lampung Tahun 1930an

Motor dan Mobil menjadi dua pilihan kendaraan favorit bagi masyarakat Indonesia dalam beraktivitas. Hal yang sama juga terjadi di Lampung. Dari arsip foto, diketahui bahwa pada tahun 1930an jalanan di Lampung telah dilalui oleh kendaraan motor dan mobil.

Oleh: Adi Setiawan 


Motor Harley Davidson

 di Lampung dengan Plat BE Tahun 1935

(Sumber: KITLV, 1935)

 

Setiap saat kita melihat lalu lalang mobilisasi manusia dengan menggunakan berbagai kendaraan. Baik di kota maupun di desa, keberadaan bermotor saat ini menjadi suatu hal yang mudah dijumpai. Kendaraan bermotor menjadi pilihan manusia karena dirasa lebih mudah dan efisien ketimbang kendaraan tradisional.

Perkembangan kendaraan bermotor di Indonesia dimulai sejak era kolonial. Adapun pada tahun 1893 motor pertama kali diimpor ke Indonesia melalui Pelabuhan Semarang. Motor pertama di Indonesia itu adalah hasil produksi dari perusahaan Jerman bernama Hildebrand und Wolfmüller.

Setahun setelah hadirnya motor di Indonesia, mobil juga mulai melaju di Indonesia. Adapun sosok pertama yang memiliki mobil di Indonesia adalah Susuhunan Pakubuwono X. Saat itu ia memesan mobil Benz Viktoria seharga 10.000 gulden.

Pada perkembangannya keberadaan motor dan mobil di Indonesia terus mengalami perkembangan dalam hal kuantitas. Kendaraan bermotor kemudian menjadi pilihan, baik dalam angkutan manusia maupun angkutan barang. Salah satu daerah yang tidak luput dari keberadaan kendaraan bermotor adalah Lampung.


Mobil di Lampung dengan Plat BE 46 Tahun 1935

(Sumber: KITLV, 1935)

 

Keberadaan kendaraan bermotor di Lampung difungsikan dalam pengangkutan manusia dan barang. Daerah ini di tahun 1930an memiliki kesibukan lalu lintas manusia dan barang. Adanya perkebunan dan proyek kolonisasi menjadikan arus transportasi berkembang saat itu. Beberapa foto lama mengabadikan masyarakat di Lampung yang bepergian dengan berkendara motor dan mobil. Walaupun jumlah kendaraan bermotor saat itu masih terbilang sedikit serta tidak semua orang dapat memiliki barang tersebut.

Keberadaan motor di Lampung berdasarkan arsip foto, dijumpai pada tahun 1935 telah menunjukan aktivitas manusia dengan motor. Dalam arsip KITLV A292, dengan judul Een ritje met de Harley Davidson, nummer BE 1250, over de nieuw aangelegde knuppelweg voor de kolonie Metro, Lampongs. In de zijspan ir J.H. Brinkgreve menunjukan seorang pejabat kolonial bernama J.H. Brinkgreve yang mengendarai motor Harley Davidson di jalanan Metro. Nampak pada motor yang dikendarainya tertulis BE 1250.

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, memberitakan pada 23 September 1932 bahwa pada tahun 1925 terdapat sekitar 500 mobil di Lampung, sebagian besar mobil Ford (yang terkenal dengan roda tinggi), yang dulunya merupakan salah satu mobil paling irit. Perkembangan mobil di Lampung didukung oleh keberadaan General Motors Agency pada tahun 1927. Adalah pengusaha bernama Lim Giok Keng yang berkecimpung dalam penjulan mobil ini. Melalui perusahaannya Lim Giok Keng memperkenalkan mobil merek Chevrolet ke Lampong. Perusahaan mobil milik Lim Giok Keng ini tercatat tetap memiliki eksistensi pada tahun 1930an.

Pada tahun 1932, jumlah kendaraan mobil di Lampung mencapai 1.800 mobil. Di antara mobil-mobil tersebut berjenis mobil penumpang dan truk. Kendaraan berjenis truk di Lampung bukan hanya sekedar untuk mengangkut barang, akan tetapi dalam arsip KITLV A292 juga menunjukan truk yang digunakan mengangkut penumpang.


Truk di Lampung yang Mengangkut Barang dan Penumpang

(Sumber: KITLV, 1935)

 

Moda transportasi mobil penumpang seperti bus menjadi salah satu pilihan guna berpergian antar daerah di Lampung. Tercatat pada tahun 1930an pengangkutan penumpang dari Oosthaven ke Metro banyak menggunakan kendaraan ini. Uniknya, perkembangan pesat mobil penumpang di Lampung membuat penurunan penumpang kereta api, yang membuat Zuid Sumatra Staatsspoorwegen merasa rugi.


Bus dari Oosthaven (Pelabuhan Panjang) ke Metro

(Sumber: KITLV, 1935)

 

Perkembangan kendaran bermotor di Lampung kemudian membuat pemerintah kolonial saat itu membuat kebijakan pungutan pajak kendaraan bermotor. Selain pendapatan dari pajak, pemerintah juga membuka lahan-lahan parkir. Adapun untuk mengoperasikan lahan parkir ini pemerintah kolonial menyediakan lahan untuk disewakan. Harga sewa lahan parkir ini sejumlah 200 gulden per bulan. Adapun tarif parkir pada tahun 1932, bagi pemilik dan supir taksi dikenakan dua puluh sen per hari untuk parkir di Oosthaven atau Pelabuhan Panjang (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 14 Desember 1932).

Jika kita lihat data sejarah di atas, bahwa diawal perkembangan mobil di Lampung didominasi oleh mobil-mobil buatan Amerika Serikat dan Eropa. Hal itu tentu sejalan dengan perkembangan industri transportasi yang saat itu memang memulai perkembangnya di dua benua tersebut. Berbeda dengan hari dulu, keberadaan merek mobil di Lampung saat ini sangat beragam. Saat ini secara kuantitas mobil dari perusahaan Jepang dan Asia Timur lainnya sangat mendominasi.

Referensi:

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 23 September 1932

Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch-Indië, 14 Desember 1932


Kamis, 02 Januari 2025

Pertanian Padi di Lampung Era Kolonial

Dewasa ini daerah Lampung tercatat sebagai penghasil padi terbesar ke 6 di Indonesia dan peringkat kedua di Pulau Sumatra. Adapun jumlah produksi beras di Lampung pada tahun 2024 mencapai 1.545.296,21 ton. Kabupaten Lampung Tengah, Lampung Timur, Lampung Selatan, Mesuji dan Tulang Bawang merupakan daerah-daerah lumbung padi terbesar di Lampung. Lalu seperti apakah pertanian padi di Lampung masa kolonial?

Oleh: Adi Setiawan


Panen Padi di Dekat Metro

(Sumber: KITLV, 1935)

Perkembangan dunia pertanian padi di Lampung, diupayakan melalui sistem pertanian persawahan yang didukung oleh keberadaan bendungan. Bendungan di Lampung ada yang berukuran besar dan kecil. Adapun bendungan terbesar adalah Bendungan Batu Tegi di Tanggamus.

Pemanfaatan sungai untuk mensuplai pengairan sawah, secara masif mulai berlaku pada masa kolonial. Pemerintah kolonial yang menjalankan salah satu program Politik Etis yakni irigasi, melakukan program pengairan sawah dengan tujuan peningkatan produksi beras.

Adapun beberapa bendungan di Lampung yang dibangun di era kolonial seperti Bendung Argo Guruh yang membendung Sungai Way Sekampung. Bendung Argo Guruh yang tercatat selesai pembangunannya pada tahun 1935 ini, mengairi persawahan di kawasan Trimurjo, Metro, Pekalongan, Batanghari, Sekampung, Punggur dan Kotagajah. Bendungan lain yang dibangun pada masa kolonial adalah Bendung Way Padangratu dan Bendung Way Tebu.

Keberadaan bendung-bendung tersebut sebagai upaya membantu produksi pertanian di daerah kolonisasi. Daerah kolonisasi yang umumnya adalah masayarakat Jawa diusahakan sebagai petani padi. Maka keberadaan bendungan dan saluran irigasi di dalamnya sangat diperlukan.


Tempat Pembibitan Padi di Dekat Metro

(Sumber: KITLV, 1935) 

Masyarakat Jawa dikenal sebagai masyarakat agraris yang cenderung mengupayakan pertanian padi. Saat dilaksanakannya progran kolonisasi dan transmigrasi bagi orang-orang Jawa ke Lampung, pertanian padi tetap menjadi pilihan utama dalam kegiatan bercocok tanam.

Berdasarkan pemberitaan Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië tanggal 15 Maret 1939, setidaknya di tahun 1939 sebanyak 5.500 keluarga Jawa pindah ke Lampung. Kedatangan para kolonis ini lantas disambut dengan pembukaan sawah-sawah baru dengan fasilitas irigasi. Selain mengusahakan pertanian padi di sawah, beberapa kolonis juga mengusahakan padi darat atau padi gogo.


Panen Padi Di Menggala

(Sumber: KITLV, 1935)

 

Dikenalkannya sistem kolonisasi bawon di Lampung juga menjadi indikator bahwa pertanian padi menjadi hal yang intensif dilakukan oleh kolonis dari Jawa tersebut. Sistem bawon sendiri banyak dilakukan di wilayah kolonisasi seperti wilayah kolonisasi di Soekadana dan Kota Agung, di mana para tani Jawa dapat memperoleh upah panen yang baik dari bawon pada pemotongan padi (De Avondpost, 23 Februari 1936).

Pertanian padi di Lampung di era kolonial memiliki lahan yang cukup luas, sebagai contoh luasan sawah yang dialiri air dari Bendung Argo Guruh di wilayah kolonisasi Sukadana seluas 10.000 bau pada tahap awal pengoperasian bendung. Luasan sawah yang dialiri air ini kemudian diperluas hingga mencapai 70.000 bau.

Gambaran kondisi pertanian padi di Lampung juga dijelaskan oleh Sjamsu, bahwa luas tanah pertanian seluruh kolonisai dikeresidenan Lampung dalam tahun 1939 ada 27.703 ha. Dari jumlah tersebut tanah pertanian di Sukadana saja ada 11.072 ha. Pengasilan padi dalam tahun 1939 di kolonisasi Sukadana antara lain dari sawah 17 sampai 58kw/ha atau rata- rata 23 kw/ha, dari ladang bekas alanag-alang ada antara 13 sampai 45 kw/ha atau rata-rata 23 kw/ha dan dari ladang bekas hutan ada antara 13 sampai 49 kw/ha atau rata rata 30 kw/ha.

 

Panen Padi Pertama di  Metro

(Sumber: KITLV, 1935)

Produksi beras yang cukup besar di Lampung saat itu, selain digunakan untuk mencukupi kebutuhan pangan di daerah beberapa hasil produksi juga dikirim ke luar pulau. Daerah pertema yang menjadi tujuan penjulan beras dari Lampung adalah Jakarta. Pengiriman beras dari Lampung ke Batavia terjadi pada tahun 1936. Beras dari Lampung memiliki kualitas yang dikenal bagus oleh masyarakat Batavia. Beras itu dihargai 3,30 gulden hingga 3,40 gulden per pikul (De Locomotief, 24 April 1936).

Referensi:

Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch-Indië, 15 Maret 1939

De Avondpost, 23 Februari 1936

De Locomotief, 24 April 1936

Sjamsu, M., A. 1960. Dari Kolonisasi ke Transmigrasi 1905-1955. Djambatan.

Rabu, 01 Januari 2025

1 Januari 1949: Respons Masyarakat Metro (Lampung Tengah) terhadap Serangan Belanda di Pelabuhan Panjang

1 Januari 1949 adalah hari bersejarah dalam sejarah revolusi fisik alias mempertahankan kemerdekaan di Lampung. Di tanggal yang sama muncul gagasan pembentukan pemerintahan darurat jika daerah Metro dikuasai oleh Belanda.

Oleh: Adi Setiawan


Tugu Pos Komando Tentara Revolusi di Rejoagung, Batanghari

(Sumber: Dok. Pribadi)


Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer Belanda II dilakukan terhadap ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta. Serangan tersebut memaksa pemerintahan pusat di Yogyakarta terhenti. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta serta beberapa tokoh Republik di asingkan Belanda ke luar Pulau Jawa. Melalui sebuah instruksi Mr. Syafruddin Prawiranegara yang tengah berada di Sumatra Barat segera membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Layaknya di daerah lain, di Lampung juga terjadi agresi militer oleh Belanda. Serangan Belanda terhadap Lampung mulai terjadi di tanggal 1 Januari 1949. Pada hari itu Belanda mulai melakukan serangan terhadap Pelabuhan Panjang guna mendaratkan pasukannya. Usaha Belanda menguasi ibukota Karesidenan Lampung disambut dengan tembakan dari darat oleh ALRI dan diikuti dengan pembumihangusan objek-objek penting sebagai langkah antisipasi terhadap pergerakan Belanda.

Pergerakan pasukan Belanda yang awalnya hanya di Pelabuhan Panjang kemudian mulai menguasai Teluk Betung dan Tanjung Karang. Serangan Belanda kemudian dilanjutkan dibeberapa daerah lain di Lampung. Di daerah Metro, serangan Belanda di Lampung kemudian direspon dengan menggelar pertemuan atau rapat.

Tak banyak orang tahu pada tanggal 1 Januari 1949 saat hari beranjak gelap terjadi sebuah rapat bersejarah di Gedung PU Metro. Rapat itu terlaksana tidak terlepas dari ide R. Soekarso, ia merupakan Kepala Jawatan Pekerjaan Umum (PU) Metro. Pada sumber lain disebutkan bahwa rapat terjadi atas usulan dari Wedana Metro, Idris Reksoatmodjo.

Pada rapat itu berkumpulah para pemimpin di Kawedanaan Metro, ada pimpinan pemerintahan, pimpinan tentara, pimpinan berbagai partai politik, pimpinan laskar rakyat serta badan-badan perjuangan. Mereka berkumpul sebagai langkah mengambil ‘ancang-ancang’ menghalau serangan Belanda di Metro. Karena sebelumnya, Belanda telah berhasil memaksa pemerintahan Karesidenan Lampung mundur keluar kota. Menghadapi kenyataan itu, pemerintahan di Metro berusaha untuk mengambil strategi menghadapi gerak laju pasukan Belanda.

Rapat dimulai sekitar pukul 19.00 WIB dan berlangsung sekitar 4 jam itu dihadiri tokoh-tokoh penting di Lampung Tengah, diantaranya adalah: 

  1. Zainabun Djayasinga (Bupati Lampung Tengah)
  2. Idris Reksoatmodjo (Wedana Metro)
  3. R. Soeroto (Camat Trimurjo/Koordinator Kawedanan)
  4. Dastro Gondowardoyo (Lurah Metro)
  5. Wirjohardjo (Dinas Pertanian)
  6. R. Soekarso (Kepala PU Metro)
  7. Suleman (Komisaris Polisi)
  8. Arif Mahya (Pimpinan Hisbullah)
  9. Imam Mangkudun (Pimpinan Masyumi)
  10. Tajudin (Pimpinan Sabillilah)
  11. Surowinoto
  12. Dirdjopawiro
  13. Kiyai Kayad (Kepala Jawatan Agama0
  14. Slamet (Kepala Jawatan Penerangan)
  15. Dokter Kasmir
  16. Kapten Harun Hadimarto (Perwira Distrik Militer)
  17. Letda Sutrasno (Bintara Onder Distrik Militer)
  18. Komandan CPM Serma Yahya Murad)
  19. Hardjo Wasito (Pendeta)
  20. R. Soedarsono (Pimpinan Laskar Rakyat)

 

Mengutip buku Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung hasil rapat memutuskan bahwa seluruh aparat pemerintah, tentara dan rakyat melakukan perlawanan total terhadap serangan Belanda, kapan pun Belanda datang ke Lampung Tengah. Pemerintah Darurat dibentuk di luar kota, bila Belanda masuk ke Metro. Gedung-gedung pemerintah dan pasar dibumihanguskan termasuk diantaranya rumah Bupati dan rumah Wedana Metro (kecuali rumah sakit, masjid, gereja, serta sekolah). Pemerintahan Darurat dipersiapkan di sayap kiri di desa Rejoagung (Bedeng 49) di bawah pimpinan Idris Reksoatmodjo dengan lindungan PDM (Perwira Distrik Militer) di desa Adiwarno (Bedeng 45) di bawah pimpinan Kapten Harun Hadimarto. Pertahanan di sayap kanan dikoordinir di desa Wonosari (Bedeng 35) di bawah pimpinan R. Soedarsono.

Perlu diketahui bahwa pada masa revolusi fisik, Lampung Tengah merupakan daerah pertahanan di bawah Komado Front Utara yang berpusat di Kotabumi. Waktu itu beberapa kota strategis di Lampung Tengah selalu menjadi incaran Belanda karena mempunyai letak strategis. Karena itu pemerintah bersama rakyat berusaha mempertahankan Kawedanan Metro dari serangan Belanda. Nyatanya memang benar selepas pasukan Belanda menguasai Teluk Betung dan Tanjungkarang, mereka kemudian melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah lain di Lampung. Belanda masuk ke Metro melalui Tegineneng pada tanggal 3 Januari 1949. Adapun pasukan Belanda yang melakukan penyerbuan ke Metro berjumlah kurang lebih satu pleton.

R. Soekarso
(Sumber: Dok. Pribadi)

R. Soedarsono menjelaskan dalam artikelnya yang berjudul Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso bahwa pertempuran menghadapi pasukan Belanda tidak seimbang, karena saat itu pasukan Republik yang disiagakan mengahadapi serangan Belanda hanya berjumlah satu regu pasukan. Metro akhirnya jatuh ke tangan pasukan Belanda. Karena Metro telah dikuasai oleh Belanda maka sesuai dengan hasil rapat 1 Januari 1949 dilakukan pemerintahan darurat di luar kota serta diiringi koordinasi pertahanan dengan Komando Front Utara Kapten Nurdin. Maka perlawanan gerilya dan aksi sabotase dilakukan oleh Kapten Harun Hadimarto bersama pasukan Batalyon Tempur Front Utara diantaranya Pasukan Bursyah, Pasukan Masno Asmono, Pasukan Suripno, Pasukan Surotomo, Pasukan Barmo dan Pasukan Haryanto. Sejak tanggal 3 Januari 1945, pertempuran kecil-kecilan atau istilahnya tembak lari, taktik perang gerilya berkecamuk di Kawedanan Metro.

Menyadari bahwa pergerakan pasukan Belanda di Kawedanan Metro yang mulai meluas, maka dilakukan evaluasi terhadap strategi dan taktik menghadapinya. R. Soedarsono dalam artikelnya menuliskan bahwa: Berkumpulah pejuang sipil dan militer di desa 49 (Rejoagung) di rumah pak Sartono mantan lurah. Untuk evaluasi dan menentukan sikap. Hadirlah diantara yang saya ingatpada waktu pertemuan itu Raden Idris Reksoatmodjo, Mayor (Harun) Hadimarto, Letnan II Sutrisno, R. Soedarsono, Letnan Muda Soerotom, Camat Metro, Arifin Samil, Camat R. Soeroto, Soerowinoto, Dirjoprawiro, Agus Ganda Saputra, Kapten R. Soemarto, Letnan Soepardi, Lurah Bedeng 44, 45, 46, 47, 49 dan beberapa orang yang tidak kami ingat lagi.

Demikianlah memori R. Soedarsono menyangkut dengan rapat yang dilakukan pada tanggal 7 Januari 1949 itu. Pada sumber lain bahwa rapat tersebut juga dihadiri oleh R. Soekarso. Mengenai hasil rapat diputuskan pembentukan Pemerintahan Darurat dengan susunan sebagai berikut:

  1. Idris Reksoatmodjo (Bupati Perang)
  2. Arifin Samil (Penghubung dengan Pemerintahan Darurat di Sukoharjo, Pringsewu)
  3. R. Soeroto (Penghubung dengan Seluruh Camat di Kawedanan Metro)
  4. R. Soekarso dan Agus Ganda Saputra (Bagian Penerangan dan Agitasi Propaganda)
  5. R. Soedarsono (Penggerak Pemuda dan Laskar)
  6. Soerowinoto (Ketua Bagian Logistik)
  7. Dirjoprawiro (Wakil Ketua Bagian Logistik)

Seluruh camat di Kawedanan Metro menjadi camat perang dan diwajibkan memberikan bantuan.

Begitulah hasil pembentukan Pemerintahan Darurat guna menjaga eksistensi pemerintahan Republik Indonesia di Metro khususnya dan di Lampung Tengah pada umumnya. Pada perkambangan selanjutnya markas atau pusat Pemerintahan Darurat terpaksa harus berpindah-pindah untuk menghindari serangan pasukan Belanda. Pemindahan markas awalnya masih berada di wilayah Kawedanan Metro, namun kemudian terpaksa harus dipindahkan ke Kawedanan Sukadana dan Kawedanan Gunung Sugih.

 Referensi:

 R. Soedarsono. Tt. Sejarah Singkat Makam Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia R. Soekarso

 

Supangat. 1994. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Lampung Buku I. Bandar Lampung: DHD Angkatan 45

 

Melawan Lupa: Rapat Umum Ir. Sukarno di Lampung

Ir. Sukarno bertindak sebagai kepala negara sering melakukan perjalanan ke daerah guna meninjau pemerintahan. Kunjungan Presiden Indonesia p...

Populer