Dalam urusan perkebunan, daerah Lampung memang lebih terkenal dengan hasil lada dan kopinya. Penamanan dua komoditas tersebut, telah menjadi bagian dalam hidup masyarakat Lampung. Pernah, suatu kali ujicoba penanaman tembakau dilakukan di Lampung. Lalu, bagaimanakah hasil dari tanaman bahan baku udut ini?
Oleh:
Adi Setiawan
Tembakau
(Sumber: www.istockphoto.com)
Tembakau
menjadi salah satu produk perkebunan Indonesia, hasil dari penjualan tembakau
dilakukan pungutan berupa cukai oleh negara. Besarnya pendapatan dari cukai ini,
menjadi problem bagi pemerintah untuk menghapuskan tanaman ini. Walaupun dampak
buruk bagi kesehatan juga menghantui.
Beberapa
literatur menyebutkan bahwa tembakau merupakan tanaman yang berasal dari benua
Amerika. Suku-susku asli benua ini, seperti Suku Maya membudidayakan tembakau
sebagai keperluan dalam ritual keagamaan. Ketika Spanyol mengenal benua Amerika,
mereka memulai bersentuhan dengan tanaman yang dapat beradaptasi dicuaca kering
ini. Lantas, tembakau oleh bangsa Spanyol mulai diperkenalkan ke Eropa dan
menjadi komoditas dagang saat itu.
Sejarah
tanaman tembakau di Indonesia sendiri mulai diperkenalkan pada tahun 1601.
Adapun Spanyol adalah bangsa yang berperan dalam memperkenalkan tembakau di Asia
Tenggara, diawali di Filipina pada tahun 1575. Dikenalkannya tembakau ini
lambat laun mempengaruhi kebiasaan merokok di Nusantara. Daerah-daerah di Pulau
Jawa menjadi lahan budidayanya.
Penanaman
tembakau secara masif kemudian dilakukan di Sumatra Timur, tepatnya di wilalayah
Deli. Perusahaan milik pengusaha Jacobus Nienhuys, Deli Maatschappij
mendapatkan izin untuk membuka lahan guna penanaman tembakau. Tembakau Deli ternyata
memiliki kualitas yang baik dan menjadi primadona di pasar Eropa.
Penanaman
tembakau di Sumatra sebetulnya bukan hanya sekedar di Deli saja. Daerah-daerah
di Sumatra bagian selatan pernah pula menjadi ladang-ladang tembakau. Sebelum
adanya letusan Gunung Krakatau tahun 1883, penanaman tembakau sudah dikenal
masayarakat Lampung. Namun adanya bencana letusan tersebut memberikan dampak
bagi petani untuk kembali memulai menanam tembakau. Pada tahun 1885, atas
perintah Residen di Lampung dilakukan percobaan penanaman tembakau kembali
dengan benih tembakau dari Deli. Dinas Pertanian memulai melakukan pengujian penanaman
tembakau di berbagai tempat di Lampung, sayangnya tidak disebutkan secara
detail di mana letak tempat tersebut. (Broesma, 1916:197).
Hasil
panen tembakau di tahun itu kemudian dilakukan pengujian kualitas. Hasilnya
kualitas tembakau Lampung memiliki kemiripan dengan tembakau Jawa. Jika
dibandingkan dengan tembakau Deli, tembakau Lampung dinilai memiliki kualitas
di bawahnya. Tembakau Lampung cenderung lembut, agak liar dan batangnya kasar,
tapi luka bakarnya cukup bagus.
Kualitas
tembakau Lampung yang masih kalah saing dengan tembakau Deli sebetulnya
memiliki dasar yang dapat dimengerti. Dalam De Locomotief, (26 April
1887) disebutkan bahwa terdapat tantangan yang dihadapi oleh petani tembakau di
Lampung. Tantangan itu adalah tahun 1885 merupakan tahun kemarau yang belum
pernah terjadi sebelumnya bagi masyarakat Lampung dan kekeringan terjadi jauh
lebih awal dari biasanya. Sehingga penanaman benih sebenarnya dilakukan
terlambat. Kedua, pengawasan ahli sama sekali tidak ada. Ketiga, pengiriman
tembakau memakan waktu lama ketika dikirim dari Teluk Betung ke Deli, dan alasan
terakhir adalah saat pengiriman tembakau dari Lampung ke Deli terjadi pada
musim penghujan yang membuat tembakau menjadi basah. Walaupun demikian
percobaan penanaman tembakau ini telah membuka keuntungan. Terutama dalam
memproduksi benih tembakau untuk penanaman selanjutnya (Sumatra Courant:
Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887).
Pada
tahun 1886, pengujian kembali dilakukan, namun kini dengan benih yang dipanen
dari masyarakat Lampung sendiri. Hasilnya lebih menguntungkan. Percobaan
diulangi pada tahun 1887 dan hasilnya kembali bagus. Sampai tahun 1887
penanaman tembakau di Lampung hanya diupayakan oleh masyarakat sendiri. Modal
atau investasi swasta belum hadir guna mendukung penanaman tembakau yang lebih
luas di Lampung (Broesma, 1916:198).
Berita tentang Penanaman Tembakau di Lampung
(Sumber:
Sumatra Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887)
Pandangan
terhadap kualitas tembakau Lampung yang lebih rendah dibandingkan dengan
tembakau Deli nyatanya tidak menyurutkan masyarakat untuk meninggalkan tanaman
ini. Kops (1919:68) dalam bukunya berjudul Overzicht van Zuid Sumatra
menjelaskan bahwa di Sumatra Selatan termasuk Lampung penenaman tembakau lebih
banyak dilakukan oleh orang per orang. Hasil panen tembakau ini, sebagian dikirim
ke Pulau Jawa dan Singapura.
Pada
tahun 1910, penanaman tembakau dengan lahan yang luas mulai dilirik oleh
pemodal Eropa bernama P.C van de Kamer. Sebelumnya, pemodal ini pernah menanam
tembakau di lahan Kebagusan, yang terletak di sebelah Perusahaan Egaharap. P.C
van de Kamer mendapatkan hak sewa di daerah Pitu pada tahun 1911 dengan lahan 425
ladang. Hasil penanaman tembakau di Pitu ini mencapai 11 pikul per bahu
atau 2 pikul lebih tinggi dibandingkan rata-rata hasil panen tembakau di Deli.
Namun, pada akhir tahun 1914 diputuskan untuk tidak melanjutkan penanaman
tembakau di Pitu. Pemodal saat itu lebih memilih untuk menanam kopi dan karet
yang dirasa lebih menguntungkan (Broesma, 1916:200).
Penanaman
tembakau di Lampung yang dapat dikatakan tidak stabil ini, pada masa-masa
berikutnya tetap diupayakan. Pada tahun 1926, jumlah ekspor tembakau jauh lebih
sedikit dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Namun yang mengherankan
adalah dari jumlah penjualan tembakau dari Sumatra Selatan, Lampung menyumbang
angka terbesar dalam penjualan tembakau ini. Kondisi ini ada, kemungkinan besar
disebabkan oleh pengangkutan tembakau Ranau dari Palembang melalui Kereta Api
Sumatera Selatan ke daerah Lampung.
Rincian
hasil produksi tembakau Lampung dari tahun 1923 hingga 1929 menunjukan bahwa,
pada tahun 1923 jumlah tembakau adalah 2 ton dengan nilai 4 ribu gulden.
Kemudian tahun 1924, produksi tembakau Lampung mencapai angka 5 ton dengan
perolehan nilai sebanyak 5 ribu gulden. Pada tahun 1925, mencapai 8 ton dengan
penerimaan nilai 25 ribu gulden. Tahun 1926 menjadi perolehan produksi dan
nilai terbesar yakni sebanyak 59 ton dan perolehan nilai 87 ribu gulden. Pada
tahun 1927, produksi menurun drastis pada angka 4 ton dengan nilai 5 ribu
gulden. Tahun 1928 produksi berkisar 5 ton dengan nilai 6 ribu gulden. Terakhir
tahun 1929, panen tembakau Lampung pada perolehan 3 ton dengan nilai 8 ribu
gulden (Wellan, 1932:245).
Penanaman
tembakau di Lampung pada masa lalu dapat dikatakan belum berhasil sepenuhnya.
Hingga hari ini daerah Lampung memang bukan menjadi produsen tembakau utama di
Indonesia. Sepertinya tanaman tembakau masih kalah pamor dengan tanaman kopi,
lada, karet, sawit, tebu ataupun
singkong.
Referensi:
De
Locomotief, 26
April 1887
Sumatra
Courant: Nieuws en Advertentieblad, 26 Mei 1887
Broersma,
R. 1916. De Lampongsche Districten. Ruswijk: Javasche Boekhandel & Drukke
De
Bruyn Kops. 1919. Overzicht
Van
Zuid Sumatra.
Amsterdam: Druk Van J. H. De Bussy
Wellan, J. W. J. 1932.
Zuid-Sumatra: Economisch Overzicht Van de Gewesten Djambi, Palembang, De Lampoengsche
Districten en Benkoelen. Wageningen: H. Veenman & Zonen