Minggu, 13 Oktober 2024

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bioskop ini menarik warga Metro dan sekitarnya untuk menonton gambar bergerak. Jauh di masa lampau, ternyata kehadiran masyarakat dari Jawa ke Lampung juga dipengaruhi oleh sebuah film. Film itu berjudul Tanah Sabrang. Lantas bagaimanakah pengaruh film tersebut hingga membuat orang Jawa mau berpindah ke Lampung?

Oleh: Adi Setiawan

 
Poster Film Tanah Sabrang

(Sumber: vanstarkenburg.com)

 

Pada tahun 1938, Mannus Franken mensutradarai pembuatan film berjudul “Tanah Sabrang: Land Aan de Overkant, Landbouwklonisatie en Wayang” atau dalam Bahasa Indonesia berarti “Tanah Sabrang: Mendarat di Sisi Lain, Kolonisasi Pertanian dan Wayang.” Film yang kemudian lebih dikenal dengan Tanah Sabrang ini merupakan film dokumenter tentang kehidupan masyarakat Jawa yang berada di daerah kolonisasi. Film yang diproduksi oleh Sindikat Perfilman Hindia Belanda (Algemeen Nederlandsch Indisch Filmsyndicaat/ANIF) ini menjadi salah satu media propaganda oleh pemerintah kolonial kepada masyarakat di Pulau Jawa agar tertarik mengikuti program kolonisasi atau transmigrasi.

Program kolonisasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial menargetkan pemindahan penduduk dari Jawa ke Pulau Sumatra, Kalimantan dan Sulawesi. Program kolonisasi merupakan usaha pemerataan penduduk yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, sebagai bagian dari Politik Etis. Pasalnya populasi penduduk di Jawa semakin padat, oleh karena itu pemindahan penduduk menjadi kebijakan yang dianggap menjadi solusi dalam mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa.

Program kolonisasi pertama kali dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dengan membawa masyarakat dari Jawa ke daerah Gedong Tataan, di Karesidenan Lampung. Kolonisasi di tahap awal ini, pemerintah secara terorganisir menyiapkan lahan yang akan digunakan sebagai pemukiman dan pertanian. Tidak hanya itu pemerintah juga menyiapkan biaya pemberangkatan bagi para kolonis. Begitupun setelah mereka sampai di Lampung, kolonis ini diberikan bekal secukupnya.

Selain program kolonisasi yang biayanya disubsidi oleh pemerintah, sistem lain yang digunakan saat itu adalah sistem kolonisasi bawon. Dalam sistem ini, pemerintah mendatangkan kolonis ke Lampung dengan tujuan agar mereka bekerja kepada kolonis yang lebih awal datang. Kolonis baru ini bekerja memanen padi atau membawon. Hasil dari upah membawon digunakan untuk keperluan hidup, sambil mereka membuka dan mengolah lahan garapan. Dengan sistem ini pemerintah dapat menekan biaya yang dikeluarakan untuk para kolonis baru.


Artikel Berita tentang Tanah Sabrang

(Sumber: Het Vaderland, 11 Agustus 1940)


Menariknya selain dengan menggunakan sistem bawon agar penduduk Jawa mau berpindah ke Lampung. Pemerintah kala itu juga berusaha melakukan propaganda lewat berbagai media, seperti foto, buku, selebaran dan film. Dengan media itu, pemerintah kolonial berusaha meyakinkan masyarakat di Pulau Jawa bahwa kondisi tanah kolonisasi dapat memberikan kesejahteraan hidup. Film Tanah Sabrang merupakan sebuah film yang menjadi alat propaganda dan media untuk menarik hati orang Jawa untuk mau membangun hidup di tanah seberang. Film Tanah Sabrang memberikan gambaran mengenai perekrutan kolonis baru dari desa-desa di Jawa Tengah. Juga ditampilkan tentang kehidupan para kolonis tersebut, termasuk di kehidupan kolonis di daerah kolonisasi Sukadana. Film ini dibuat tanpa dukungan pemerintah, hanya atas nama pemerintah. Skenarionya sendiri berasal dari Mannus Franken dan A. Jonkers. Proses pembuatan film dilakukan dalam tanggungjawab Mannus Franken dan Jan van der Kolk. Sementara agar film nampak lebih menarik diberikan alunan musik yang direkam di bawah arahan RAA Danoesoegondo dan R. Ng. Pringgohardana (De Locomotief, 24 Oktober 1939).


Mannus Franken

(Sumber: www.indonesianfilmcenter.com)

 

Tokoh utama dalam film tersebut bernama Sokromo, sebuah nama yang memiliki padanan Jansen dalam bahasa Belanda. Untuk peran ini, seorang lurah di desa Niten, yang cukup menunjukkan bahwa dia bisa berakting untuk film tersebut. Dalam lakon, Sokromo adalah pemuda yang hendak berhijrah bersama istri dan kedua anaknya. Untuk itu Sokromo menemui lurah untuk membicarakan cara hijrah. Ia pun bertemu dengan temannya, Kario yang juga ragu-ragu untuk mengikuti program kolonisasi.

Selain adegan tersebut, dalam film juga ditampilkan adegan wayang kulit. Tokoh semar ditampilkan dengan mata yang indah dan melihat seperti apa masa depan orang yang ragu-ragu di tanah sabrang. Permainan wayang dipilih sebagai salah satu bentuk ekspresi, karena bagaimanapun inilah yang paling berkesan bagi orang Jawa. Terlihat jelas bahwa pemerintah kolonial saat itu berusaha mengambil hati rakyat dengan menggunakan sosio-kultural yang dimiliki oleh masyarakat Jawa. Adegan lainnya adalah ditampilkan perjalanan besar kolonis ke tanah seberang, mulai dari proses kedatangan, pekerjaan, dan panen. Singkatnya, seluruh kehidupan di tanah kolonisasi ditampilkan dalam film ini (Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940). 



                                                              Adegan dalam Film Tanah Sabrang

(Sumber: De Tij dan Maasbode)

 

Sementara itu Het Nationale Dagblad, 16 April 1941 membuat kesimpulan atas film berbahasa Jawa ini, sebagai berikut:

De film behandelt de geschiedenis van een jongen Javaanschen boer, die met vrouw en twee kinderen naar “Tanah Sabrang" koloniseert. In het nieuwe gebied aangekomen helpen zij eerst oudere kolonisten bij het binnenhalen van den oogst, waarmede zij zooveel verdienen, dat zij voldoende levensmiddelen hebben voor 5 tot 6 maanden. Daarna beginnen zij voor zichzelf. Hen stuk oerwoud wordt omgehakt en jlatgebrand en in de vruchtbare humuslaag wordt rijst gezaaid. Dit herhaalt zich eenige jaren, totdat de bodem minder vruchtbaar wordt en overgegaan moet worden tot natte rijstbouw. Inmiddels is het bedrijfje dan zoo gcgroeid, dat de kolonisten handen te kort komen, om de rijke oogst binnen tehalen, zoodat zij weer hulp noodig hebben van nieuw aangekomen kolonisten. Zoo komt het Javaansche gezin tot welvaart, dank zij het feit, dat zij den moed hadden naar “Tanah Sabrang" te trekken. 

Terjemahan: 

Film ini berkisah tentang sejarah seorang petani muda Jawa yang menjadi kolonis di “Tanah Sabrang” bersama istri dan kedua anaknya. Ketika mereka tiba di daerah baru, pertama-tama mereka membantu kolonis lama untuk membawa hasil panen (membawon). Dengan usaha ini kolonis baru ini menghasilkan banyak uang sehingga mereka memiliki dapat memenuhi kebutuhan makanan untuk 5 sampai 6 bulan. Kemudian mereka memulai usaha mereka sendiri. Kolonis baru ini mulai menebang hutan dan membakar. Mereka kemudian menanam padi di lapisan humus yang subur. Hal ini berulang selama beberapa tahun, hingga tanah menjadi kurang subur dan perlu beralih ke budidaya padi basah. Hal itu membuat darah kolonisasi berkembang pesat sehingga para kolonis lama kekurangan sumber daya untuk memanen hasil panen yang melimpah. Sehingga mereka kembali membutuhkan bantuan dari kolonis yang baru tiba. Dengan demikian keluarga Jawa menjadi sejahtera karena berani pergi ke "Tanah Sabrang". 

Bagi masyarakat pedesaan, tontonan berupa film sudah barang tentu menarik bagi mereka. Ketika pemerintah menggelar acara pemutaran film Tanah Sabrang, beribu-ribu orang antusias untuk menyaksikannya. Pemerintah kala itu memang membuat sejenis tur berkeliling di desa-desa yang ada kabupaten/kota di Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur. Pemutaran film dilakukan di alun-alun. Ketika film ini diputar, bukan hanya rakyat biasa saja yang turut menyaksikan, pejabat daerah pun turut di dalamnya. Hal itu seperti pemberitaan De Indische Courant 16 Mei 1939, menjelaskan bahwa film Tanah Sabrang telah diputar di Alun-alun Nganjuk. Dihadiri ratusan warga serta pejabat Binnenlands Bestuur dan Bupati setempat.


               Berita Pemutaran Film di Nganjuk

   (Sumber: De Indische Courant, 16 Mei 1939)

 

Pemutaran film yang sama juga terjadi Alun-alun Ambarawa. Antusiasme masyarakat Jawa untuk menonton Tanah Sabrang ditunjukan dengan kerelaan berjalan berjam-jam untuk dapat menyaksikan. Dalam pemberitaan Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940, cuaca hujan juga tidak menyurutkan warga Wonosobo untuk menonton. Tercatat 20.000 orang datang menonton film tersebut.

Film Tanah Sabrang bukan hanya menarik perhatian masyarakat Jawa saja, namun juga Gubernur Jenderal Hindia Belanda Tjarda van Starkenborgh Stachouwer. Bersama istri dan tamu undangan, Gubernur Jenderal diberitakan menyaksikan film Tanah Sabrang di Batavia.  Pertunjukan film di Batavia ini dibuka dengan pidato oleh Tuan Kuneman, seorang anggota Dewan Hindia, dan ketua panitia. Bahkan film propaganda ini juga turut diputar di Belanda yang menarik penonton orang-orang Jawa di sana.

Dengan propaganda film Tanah Sabrang pemerintah menargetkan 100.000 kolonis per tahunnya. Pengiriman kolonis ke daerah transmigrasi kemudian ditujukan pada pembukaan lahan-lahan pertanian baru. Terutama bagi warga Jawa yang akrab dengan pola pertanian basah, pemerintah mengimbangi pembukaan sawah-sawah baru dengan pembangunan sarana irigasi. Oleh karena itu pemerintah berharap dengan penayangan film Tanah Sabrang, masyarakat Jawa akan tertarik untuk mengikuti program transmigrasi. Pemerintah mengharapkan setelah menonton film, muncul gambaran dalam benak orang Jawa bahwa di daerah baru mereka akan hidup makmur seperti memiliki rumah, tanah pekarangan, lahan persawahan yang subur, dan mereka dapat menikmati wayang sehingga mereka merasa seperti hidup di tanah Jawa (Lindayanti, 2006:300).


       Pemutaran Tanah Sabrang di Belanda

(Sumber: Algemeen Handelsblad, 30 November 1940)

 

Referensi

Algemeen Handelsblad, 30 November 1940

De Indische Courant, 16 Mei 1939

De Locomotief, 24 Oktober 1939

Het Nationale Dagblad, 16 April 1941

Nederlandsch Dagblad, 22 Oktober 1940

Lindayanti. 2006. Menuju Tanah Harapan: Kolonisasi Orang Jawa Di Bengkulu. Humaniora. Vol. 18.

Sabtu, 12 Oktober 2024

Kabar Pendidikan di Lampung Era Kolonial

               Pendidikan menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan seorang manusia. Pendidikan menjadi jembatan bagi kemajuan peradaban bangsa. Dengan pendidikan seseorang dilatih, dididik dan diajarkan berbagai penegtahuan, keterampilan dan norma-norma. Maka pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang perlu dienyam sedari dini oleh manusia. Lantas bagaimanakah kondisi pendidikan di Lampung era Kolonial?

Oleh: Adi Setiawan

Sekolah Muhammadiyah di Metro

(Sumber: Kian Amboro)

            Kemajuan peradaban suatu bangsa pasti tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan yang dimiliki manusianya. Berbagai tinggalan sejarah yang membuat takjub adalah saksi bisu dari majunya pengetahuan dan keterampilan manusia di zaman dulu. Karena tanpa pengetahuan dan keterampilan mustahil mereka dapat membuat karya-karya yang monumental itu. Bagi bangsa Indonesia, sejak zaman kuno telah memiliki peradaban yang maju. Tinggalan berupa candi dan lain sebagainya menjadi contoh dari hal itu. Sistem pendidikan selalu berkembang seiring dengan perubahan zaman. Pendidikan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta berupaya untuk mempersiapkan generasi yang cakap dalam menjawab setiap perubahan zaman. 

              Sejarah pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindu-Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, zaman Jepang dan zaman Kemerdekaan. Di setiap zaman, pendidikan yang diselenggarakan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Adakalanya pendidikan diselenggarakan guna melahirkan golongan agamawan seperti zaman Hindu-Budha dan Islam. Kemudian pada zaman kolonial pendidikan di Indonesia diarahkan pada lulusan yang dipersiapkan menjadi pegawai. Pada zaman Jepang pendidikan di Indonesia mengalami penurunan akibat dampak perang. Sedangkan pada era Kemerdekaan pendidikan dikembangkan untuk melahirkan bangsa yang berpengetahuan, terampil dan berakhlak mulia.

            Sebagai daerah yang bersentuhan dengan era Kolonial perkembangan pendidikan di Lampung menarik untuk diketahui. Daerah yang disebut sebagai pintu gerbang pulau Sumatra ini tentunya memiliki sejarah pendidikan yang panjang pula. Dengan berbekal dari laporan jurnalistik era kolonial, pada tulisan singkat ini berusaha untuk mengabarkan pendidikan Lampung pada era Kolonial.

 

Sekolah Muhammadiyah di Metro

Pada pemberitaan De Indische Courant, 23 Februari 1940 dijelaskan bahwa telah diresmikan Sekolah Muhammadiyah di daerah Kolonisasi Sukadana. Sekolah ini terletak di Metro, sebuah daerah yang menjadi pusat dari kolonisasi ini. Dalam acara peresmian ini dilaksanakan di kediaman Penghulu Metro. Berdirinya Sekolah Muhammadiyah di Metro ini tidak terlepas dari kerjasama antara pengurus perkumpulan Muhammadiyah Metro dengan perkumpulan Muhammadiyah Telukbetung. Sekolah Muhammadiyah di Metro ini memiliki kapasitas 50 murid. Kehadiran sekolah Muhammadiyah merupakan harapan masyarakat kolonis di Metro.

Berita Peresmian Sekolah Muhammadiyah Metro

(Sumber: De Indische Courant, 23 Februari 1940)

 

Pada pemberitaan De Indische Courant Sekolah Muhammadiyah lainnya akan segera dibuka di Gedongdalem, yang juga merupakan daerah kolonisasi Sukadana. Tercatat sekitar tahun 1930 pertama kali sebuah sekolah dasar Muhammadiyah didirikan di Telukbetung. Pada tahun 1937, sekolah Muhammadiyah juga telah berdiri di Talang Padang. Salah seorang yang patut dicatat sebagai tokoh pendidikan dari Muhammadiyah di Talangpadang ialah Taib Jailahi yang menjabat sebagai kepala sekolah sampai saat Jepang menguasai daerah Lampung (Depdikbud, 1982:65).

 


Sekolah Muhammadiyah di Metro

(Sumber: Kian Amboro) 

Perlu diketahui pula bahwa perkumpulan Muhammadiyah di Lampung selain menaruh perhatian dalam urusan pendidikan juga memiliki peran dalam membantu rakyat di Lampung melalui kegiatan bakti sosial. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Mei 1939 perkumpulan Muhammadiyah yang bekerjasama dengan masyarakat adat Lampung membentuk sebuah komite yang bertujuan untuk mengumpulkan pakaian-pakaian bekas, peralatan dapur, kaleng dan botol kosong, perabotan dan barang-barang rumah tangga lainnya. Barang-barang itu nantinya akan dibagikan kepada kolonis di Lampung. Memang saat itu kondisi kolonis dalam kondisi hidup yang sulit di tengah hutan, tidak terlindung dari angin dan cuaca, mudah terserang berbagai macam penyakit seperti malaria, disentri, dan lain-lain.

 Maka dalam perkembangannya perkumpulan Muhammadiyah Lampung, menjadi organisasi keagamaan dan sosial. Mereka berfokus dalam pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan dan sosial. Apalagi setelah Indonesia merdeka, perkumpulan Muhammadiyah Lampung banyak mendirikan sekolah mulai dari tingkat dasar hingga pendidikan tinggi.

 

Sekolah Taman Siswa di Lampung

Perguruan Tinggi Taman Siswa merupakan perguruan nasional yang menjiwai pergerakan kebangsaan kita pada zaman pergerakan nasional. Tak lama setelah didirikan di Lampung berdiri Perguruan Taman Siswa untuk tingkat sekolah dasar di Tanjungkarang, Telukbetung dan di Gedong Tataan di sekitar tahun 1925. Sebagaimana kita lihat perkembangan selanjutnya dengan adanya Undang-undang Sekolah Liar maka perguruan Taman Siswa mengalami pasang surut (Depdikbud, 1982:64).

Pada tahun 1938 Ki Hadjar Dewantara, pimpinan lembaga pendidikan nasional Taman Siswa, melakukan kunjungan di Telukbetung untuk meninjau lembaga pendidikan Taman Siswa yang terletak di Lampung. Sebagai penyambutan, diadakan pertemuan di gedung sekolah Taman Siswa Telukbetung yang dihadiri kurang lebih 300 orang. Kunjungan Ki Hajar ini juga diramaikan dengan pertunjukan teater siswa sekolah Taman Siswa di gedung Teater Pusat di Telukbetung. Dalam kunjungannya di Lampung, Ki Hajar Dewantara memberikan ceramah di gedung tersebut tentang pendidikan nasional bagi generasi muda (Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938).


                Berita Taman Siswa di Lampung

          (Sumber: Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938)

Sampai masa pendudukan Jepang Perguruan Taman Siswa sudah terdapat di kota-kota kecil di Lampung, yaitu di Kotabumi, Talangpadang, Kotaagung, Gedong Tataan, Sukadana dan Kalianda. Jumlah murid tidak menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sebagai suatu sekolah nasional dapat menunjukkan prestasi yang baik dalam menunjang perjuangan di daerah Lampung. Salah seorang yang terkenal ialah Pangeran Emir Mochammad Noor merupakan pejuang yang gigih dari daerah Lampung. Beliau adalah guru Taman Siswa di Telukbetung yang dalam tahun 1943 memperoleh pendidikan Gyugun di Pagaralam, Sumatera Selatan. (Depdikbud, 1982:64).

 

Sekolah di Kolonisasi I.E.V Giesting

Salah satu hal yang menarik dari sejarah di Lampung adalah keberadaan kolonisasi yang dilakukan oleh kaum Indo-Eropa di Giesting, Tanggamus. Keberadaan kolonisasi ini tidak terlepas dari berdirinya Indo-Europeesch Verbond (I.E.V), yang berdiri pada tahun 1919 atas prakarsa Karel Zaalberg. Indo-Europeesch Verbond melaksanakan kolonisasi di Giesting pada tahun 1926 adalah karena adanya motif sosial dan ekonomi yang mendorong kaum Indo-Eropa untuk melaksanakan kolonisasi. Tujuan Indo-Europeesch Verbond melaksanakan kolonisasi di Giesting adalah untuk menghidupkan kesejahteraan kaum Indo-Eropa di Indonesia (Aulia Mutiara Putri, 2022).

Masalah kesejahteraan kaum Indo-Eropa yang telah berpindah di Lampung ini kemudian bukan hanya menyangkut pemenuhan ekonomi semata. Kaum Indo-Eropa di Giesting kemudian meminta pemerintah memperhatikan masalah pendidikan bagi anaka-anak mereka. Pasalnya di Kolonisasi Giesting belum ada sekolah yang dapat memberikan layanan pendidikan. Ketiadaan sekolah ini menjadi kekhawatiran yang dirasakan, oleh karena pemerinta diminta mendirikan sekolah dasar di Giesting.

Mendengar harapan dari para kolonis ini, pemerintah kemudian melakukan perencanaan mengenai pendirian sekolah di Giesting. Mengenai rencana sekolah di koloni tersebut, dapat dilaporkan bahwa jumlah minimum murid yang ditentukan untuk pendirian sekolah dasar belum tercapai. Hasilnya, agar pendidikan tetap dapat diberikan kepada anak-anak kolonis maka Departemen Pendidikan mengirim Ibu Dulon Barre ke Giesting, yang suaminya memang tinggal di Lampung. Pemberitaan dari De Sumatra post, 3 Mei 1927 bahwa Ibu Dulon Barre sebelumnya mengajar di Madiun.

Laporan De Indische Courant, 24 Februari 1928 kolonisasi I.E.V diperluas sekitar sepertiga dari jumlah pemukim. Antusiasme untuk menetap di kolonisasi semakin terlihat. Perkembangan kolonisasi ini kemudian berdampak pada perhatian pemerintah pada ketersedian sekolah di Giesting. Pemerintah menilai dengan perluasan kolonisasi ini juga akan mencapai jumlah minimum sejumlah 25 murid yang ditentukan untuk pendirian sekolah (sekolah I.E.V bersubsidi). Departemen Pendidikan kemudian berhasil mendirikan de Lagere School van de Landbouwkolonie Giesting van het I.E.V atau Sekolah Dasar Koloni Pertanian Giesting I.E.V. Dengan dibukanya sekolah ini maka kebutuhan akan sekolah dasar bagi anak-anak kolonis dapat terpenuhi.

       Pada suatu kesempatan Inspektur Pendidikan Dasar, Tuan Kok, berkunjung di Sekolah Giesting yang saat itu memiliki 20 siswa (8 laki-laki dan 12 perempuan). Sekolah Giesting dikelola oleh Ny. Walker, dibantu oleh Miss. E.I. Leckie. Kedua guru tersebut diperbantukan di Giesting oleh Pemerintah dan Departemen Pendidikan. Inspektur Kok mengirimkan laporan kunjungannya ke sekolah Giesting ke Departemen Pendidikan, di mana dalam laporan tersebut ia berbicara dengan sangat menghargai sekolah tersebut dan pendidikan yang diberikan di sana (De Locomotif, 14 Desember 1928).


Berita tentang Sekolah di Giesting

(Sumber De Locomotif, 14 Desember 1928)

 

Kebijakan pemerintah terhadap pendidikan di Giesting kemudian disinkronkan dengan kebijakan kolonisasi. Dimana untuk mencukupi kebutuhan guru, pemerintah mengutamakan mengirim calon kolonis yang istrinya memiliki kemampuan mengajar. Kemudian pada tahun 1938 pemerintah juga berencana mendirikan sebuah panti asuhan di Giesting. Dimana panti asuhan diharapkan dapat berdampak pada peningkatan jumlah murid di Giesting. Panti asuhan ini juga akan memberikan pengajaran bagi anak-anak yang tinggal di panti.

Soerabaijasch Handelsblad, 5 Mei 1938 menuliskan bahwa tujuan panti asuhan adalah untuk mengadakan kursus pendidikan pertanian praktis untuk anak laki-laki, sedangkan pelajaran pendidikan rumah tangga sederhana akan diberikan untuk anak perempuan. Kedua mata kuliah tersebut akan berjalan paralel dengan 3 kelas tertinggi sekolah. Desain ini dipilih untuk memberikan pelatihan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam kerangka pertanian, sehingga mereka akan merasa betah sejak usia dini dan bahwa anak laki-laki akan menjadi kekuatan yang mapan untuk koloni pertanian dan anak perempuan untuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan pertanian tambahan. Realisasi rencana ini tentunya akan bermanfaat bagi masa depan Giesting. Diharapkan panti asuhan tersebut dapat dibuka pada bulan Agustus 1938.

 

HCS Xaverius Tanjungkarang

Pada pemberitaan Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937 diceritakan tentang pembukaan Tahun Ajaran 1937/1938 di Sekolah Xavierius Telukbetung yang merupakan HCS (Hollandsch Chineesche School). Sekolah yang berada di bawah Misi Tanjungkarang ini saat pada Tahun Ajaran 1937/1938 memiliki murid sekitar 350 dari berbagai etnis, kebanyakan orang Tionghoa. Berdirinya sekolah Xaverius di Telukbetung ini tidak terlepas dari usaha Pendeta van Oort dan Ny. Voorsmitde Leau pada tahun 1929. Di awal berdirinya Sekolah Xaverius membuka kelas Frobel (Taman Kanak-kanak) dengan jumlah murid 7 anak.

            Berita tentang HCS Telukbetung

             (Sumber: Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937)

     

 Beranjak tiga tahun dari berdirinya Sekolah Xaverius ini, telah diperluas menjadi Sekolah Umum Eropa yang terdiri dari tujuh kelas dengan total 160 siswa. Sekolah ini dijalankan oleh Suster-suster dari Kongregasi Hati Kudus Yesus. Para orang tua sangat puas dengan pendidikan di sekolah ini. Direktur dan Kepala Sekolah, Suster Wilhelmina, tidak hanya memiliki peran utama dalam masalah manajemen sekolah, tetapi ia juga memiliki kemampuan mengajar bahasa modern (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20 Oktober 1932).

Sekolah Xaverius yang berkembang menjadi HCS Telukbetung ini, kemudian menjadi sekolah kebanggaan masyarakat Eropa di Lampung kala itu. Kebanggaan itu sebagaimana tertulis dalam surat kabar Soerabaijasch Handelsblad:

De resultaten van de Missie van Tandjongkarang wat betreft het onderwijs zijn dus prachtig. Als men op Telokbetong komt dan ziet men aan den Schoolweg een complex gebouwen en een modern, schoolgebouw, de Xaveriusschool, de eerste particuliere H. C. S. in de Lampongs.

Terjemahan:

Oleh karena itu, hasil dari Misi Tanjungkarang dalam hal pendidikan sungguh luar biasa. Sesampainya di Telukbetung, anda akan melihat komplek bangunan dan gedung sekolah modern Sekolah Xaverius, HCS swasta pertama di Lampung.

Selain karena fasilitas gedung yang modern, Sekolah Xaverius ini memang diperhatikan betul dalam hal tenaga pendidik. Untuk itu, Misi Tanjungkarang merekrut guru-guru yang berkompeten. Umumnya guru-guru itu bersal dari Belanda. Sehingga tidak heran dalam tahun ke tahun jumlah murid terus bertambah. Dalam waktu kurang lebih 8 tahun dari didirikan sekolah ini memiliki sebanyak 350 murid. Alumni HCS Telukbetung ini banyak yang kemudian melanjutkan studi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Hogere Burger School (HBS).

            Pada perkembangannya sekolah-sekolah Xaverius, terutama yang setingkat Sekolah Dasar, selain berkembang di Telukbetung juga berkembang Tanjungkarang, Gedongtataan, Pringsewu, Talangpadang. Bahkan selepas Indonesia merdeka juga didirikan sekolah menengah dan atas. Dengan demikian hadirnya sekolah Xaverius ini juga memberikan warna dalam perkembangan pendidikan di daerah Lampung hingga kini.

           

Referensi

Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938

Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Mei 1939

De Indische Courant, 24 Februari 1928

De Indische Courant, 23 Februari 1940

De Locomotif, 14 Desember 1928

De Sumatra post, 3 Mei 1927

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 20 Oktober 1932

Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937

Soerabaijasch Handelsblad, 5 Mei 1938

Putri, Aulia Mutiara. 2022. Perkembangan Kolonisasi Giesting Pada Masa Pemerintahan Hindia Belanda Pada Tahun 1926-1942. Metro: Universitas Muhammadiyah Metro.

Depdikbud. 1982. Sejarah Pendidikan Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

Sabtu, 05 Oktober 2024

Malaria: Musuh Bebuyutan Era Kolonial di Lampung

 Dari sekian banyak penyakit, malaria menjadi penyakit yang ditakuti pada era kolonial. Bahkan hingga saat ini penyakit yang ditularkan oleh nyamuk ini masih menjadi perhatian serius dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Lantas bagaimanakah wabah malaria yang terjadi di Lampung era kolonial?

Oleh: Adi Setiawan

Nyamuk (Sumber: Suara.com)

 

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melalui laman ayosehat.kemkes.go.id menjelaskan bahwa malaria adalah salah satu penyakit yang mematikan di dunia. Itulah sebabnya, pemerintah terus berupaya mengatasi penyakit ini demi mewujudkan Indonesia bebas malaria pada tahun 2024. Penyakit malaria disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, yang beredar pada petang sampai pagi hari. Parasit ini akan menetap di organ hati, berkembang biak, kemudian menyerang sel-sel darah merah. 

Bagi orang yang terjangkit penyakit malaria ditandai dengan gejala seperti demam, lesu, sakit kepala, mual, diare, nyeri otot dan hilangnya nafsu makan. Penyakit yang menular akibat gigitan nyamuk ini sangat rentan terjadi di daerah tropis seperti Indonesia. Penyakit malaria, saat ini sudah dapat diminimalisir, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam hidup bersih dan sehat. Walaupun demikian, pemerintah tetap menaruh perhatian terhadap penyakit ini.

Era kolonial, penyakit malaria juga menjadi perhatian serius. Bahkan bagi warga Batavia malaria merupakan momok yang ditakuti kala itu. Penyakit malaria ini bukan hanya menjadi penyakit yang menjangkiti pribumi Indonesia saja. Bagi orang Eropa di Batavia, malaria juga menjadi ancaman yang serius. Sebagai contoh adalah saat rombongan pelaut dari Inggris yang dipimpin oleh Kapten James Cook tahun 1770 tiba di Batavia, tidak berselang lama dari waktu kedatangan mereka, tujuh awak kapal meninggal akibat penyakit malaria.

Selain di Batavia, merebaknya penyakit malaria juga pernah terjadi di Cirebon. Imas Emalia dalam Malaria Diseases In Java In The Colonial Era: A Study Of Humanitarian Disasters In Cirebon City In The 20 Th Century, menjelaskan bahwa wabah malaria di tahun 1805 menjadi sebuah bencana besar karena mengakibtakan ¼ dari jumlah penduduk di kota Cirebon meninggal. Wabah malaria kemudian menyebar ke daerah pedalaman seperti Kuningan, Majalengka dan Indramayu.

Sedangkan di Lampung pada era kolonial, diaman kondisi kesehatan masyarakat masih kurang baik. Penyakit seperti kolera dan malaria merupakan dua penyakit yang menyebabkan korban jiwa saat itu. Dalam pemberitaan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië pada 10 Maret 1918, di Telukbetung banyak warga yang menderita penyakit malaria. Penyakit malaria juga merebak di wilayah lain seperti di daerah onderneming atau perusahaan perkebunan Kedondong, Way Lima, Rejosari, Negara Ratu, Kedaton, Rotterdam dan Way Halim. Sementara itu, perkampungan yang menjadi perhatian tentang malaria ini diantaranya Kampung Pesawahan, Kampung Kangkung, Kampung, Garuntang, Kampung Kupang, Kampung Kuripan, Kampung Talang, Kampung Sumurr Batu, Kampung Enggal, Kampung Tanjung Karang, Kampung Jayabaya, Kampung Lebak Budi, Kampung Kedaton, KampungRaja Basa, Kampung Haji Mena, Kampung Labuhan Ratu, Kampung Natar dan Kampung Negara Ratu (Van Der Heyden, 1918:18).


                                                          Peta Onderneming di Lampung (Sumber: Van Der Heyden, 1918:17)

 Dalam pemberitaan De Sumatra Post pada 18 Januari 1938, penyakit malaria serta penyakit lainnya merebak di daerah Sukadana. Dimana wabah malaria di daerah kolonisasi ini lebih parah daripada di Gedongtataan. Rupanya penyakit malaria bukan hanya ada di daerah pedalaman semacam Sukadana dan Gedongtaan saja. Soerabaijasch Handelsblad pada 8 Oktober 1938 memberitakan bahwa di Oosthaven, sebuah pelabuhan di Teluk Lampung juga tidak luput dari penyakit ini. Bahkan redaksi koran ini menyebut Oosthaven sebagai wilayah dengan reputasi buruk karena penyakit malaria. Hal itu membuat Oosthaven hanya sebagai daerah tempat berdirinya gudang bea cukai dan dermaga semata. Sedangkan untuk pemukiman penduduk lebih memilih tinggal di Tanjungkarang dan Telukbetung. Tidak ada seorang pun yang tinggal di sana, begitu kapal feri ke Merak berangkat pada malam hari, semua orang bergegas kembali ke Tanjungkarang dan Telukbetung dengan kereta api atau mobil karena Oosthaven menderita malaria, demikianlah tulis Soerabaijasch Handelsblad.

Wabah penyakit malaria di Lampung juga banyak ditemui di daerah-daerah kolonisasi. Perluasan pemukiman dan pertanian dengan cara membuka hutan belantara itu menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk yang menularkan malaria. Menurut Anggota Dewan Rakyat Boestan Soekadiradja, telah terjadi wabah penyakit malaria di kalangan 1.500 perantau Jawa yang datang ke Lampung, lebih tepatnya di sekitar wilayah kolonisasi Gedong Tataan, Untuk mencegah meluasnya dampak penyakit malaria, dibagikan pil kina (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19 Juli 1935).

Pemberitaan Malaria di Lampung

(Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië)

Kemudian penjelasan Dokter Soesilo, seorang Inspektur Dinas Kesehatan Sumatera Selatan menceritakan perjalananya di kolonisasi Gedong Tataan dalam surat kabar Het Vaderland tentang malaria. Dari perjalanan yang ia lakukan pada bulan Maret 1936 itu diketahui bahwa Gedong Tataan mempunyai kurang lebih 35.000 jiwa penduduk. Malaria merupakan penyakit endemik kronis di Gedong Tataan. Para pemukim baru yang berasal dari Pulau Jawa hampir selalu terserang penyakit ini.

 Kondisi ini membuat pemerintah melalui Dienst der volksgezondheid (Dinas Kesehatan Rakyat) menaruh perhatian untuk memberantas malaria. Dienst der volksgezondheid membuat kebijakan yang tepat dalam mencegah kematian penduduk akibat malaria. Tenaga medis mempunyai tugas untuk mendeteksi dan melaporkan orang yang sakit. Sehingga bantuan medis dapat diberikan jika diperlukan (Het Vaderland, 17 April 1936).

Bantuan medis terhadap penduduk, selain diberikan oleh pemerintah melalui dinas kesehatan ternyata juga menarik perhatian dari lembaga-lembaga sosial. Pada 18 Januari1938 De Sumatra Post memberitakan pelayanan kesehatan kepada penduduk di daerah kolonisasi Gedong Tataan dan kolonisasi Sukadana oleh Misi Katolik. Layanan kesehatan yang dilakukan oleh mereka itu bukan hanya kepada penduduk yang berkeyakinan Katolik saja, namun juga kepada masyarakat umum.

Selain upaya pengobatan, pemerintah kala itu juga melakukan tindakan pencegahan. Adapun tindakan pencegahan dilakukan dengan cara meneliti kondisi lingkungan yang memicu berkembangnya nyamuk. Lantas dari hal itu pemerintah kemudian membuat kebijakan pemberantasan nyamuk. Pemerintah berharap dengan pemberantasan itu meminimalisir larva-larva nyamuk yang menetas. Penelitian yang dilakukan terhadap penyebaran penyakit malaria serta jumlah penduduk yang terjangkit dilakukan dibeberapa daerah di Lampung. Selain daerah kolonisasi, daerah perkebunan menjadi wilayah yang juga menjadi target penelitian.

 

Referensi:

ayosehat.kemkes.go.id

De Sumatra Post, 18 Januari1938

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 10 Maret 1918

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19 Juli 1935

Het Vaderland, 17 April 1936

Soerabaijasch Handelsblad, 8 Oktober 1938

Van Der Heyden, 1918. Arbeidersverzorging In De Lampongs. Javasche Boekhandel & Drukkerij: Batavia.

Kamis, 03 Oktober 2024

Sapi di Lampung Zaman Kolonial

Lesunya harga jual sapi tengah dirasakan oleh peternak di Lampung saat ini. Mereka berharap agar harga sapi lekas stabil, mengingat beternak sapi adalah bagian penting dalam menopang kehidupan. Lantas bagaimana harga sapi di Lampung era kolonial?

Oleh: Adi Setiawan

Sapi Penarik Pedati (Sumber: RRI.co.id)

           

           Berbicara mengenai sapi atau lembu tentunya tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia. Hewan berkaki empat ini memiliki hubungan yang erat dalam kehidupan masyarakat sejak tempo dulu. Dalam panel-penel relief candi, terukir jelas kedekatan manusia dengan hewan ini. Sapi menjadi hewan yang didomestikan guna dimanfaatkan tenaga serta dagingnya. Zaman dulu sapi merupakan hewan yang berjasa membantu petani dalam pengolahan lahan. Begitupun dalam pengangkutan barang, sapi juga berjasa dalam menarik pedati atau gerobak.

           Hampir di seluruh kepulaun Nusantara, mengenal sapi sebagai bagian penting kehidupan. Hewan ini juga menjadi bagian penting dalam ritual keagaaman. Sebagai contoh pada pemberitaan Prasasti Yupa, Raja Mulawarman dari Kerajaan Kutai pernah mengorbankan sapi atau lembu. Di Pulau Jawa, ketika Tarumanegara dipimpin oleh Raja Purnawarman pengorbanan sapi juga pernah dilakukan. Kemudian pada saat berkembangnya Islam di Nusantara, sapi tetap menjadi hewan yang tak luput dari kehidupan masyarakat. Sapi menjadi salah satu hewan yang dipilih dalam ibadah qurban, selain kambing dan kerbau.

         Masyarakat pedesaan yang cenderung mengandalkan perekonomian dari sektor agraris, berternak sapi menjadi aktivitas pelengkap selain bertani. Keluarga-keluarga di pedesaan umumnya beranggapan dengan memiliki sapi adalah suatu tabungan atau aset berharga. Peternakan sapi di Indonesia secara umum masih dalam ukuran skala kecil. Daerah-daerah di Indonesia yang menjadi produsen sapi diantaranya adalah Jawa Timur, Sulawesi Selatan, NTB, NTT, Bali, dan Lampung.

       Daerah Lampung merupakan produsen terbesar sapi di Sumatera. Bagi masyarakat di Lampung, terutama di daerah persawahan beternak sapi manjadi pelengkap mata pencaharian. Walaupun harga sapi di Lampung saat ini mengalami ketidakstabilan, namun masyarakat tetap setia beternak hewan mamalia ini. Selain diserap di daerah sendiri, sapi dari Lampung juga banyak dikirim ke Pulau Jawa, khususnya wilayah Jabodetabek.

       Menoleh ke belakang, peternakan sapi di Lampung semakin giat dilakukan setelah dicanangkannya program koloniasasi. Seperti yang dijelaskan di atas, peternakan sapi di era kolonisasi menjadi bagian penting untuk mengolah lahan-lahan milik kolonis. Sapi menjadi hewan yang dimanfaatkan untuk membajak. Kolonis dari Pulau Jawa yang datang ke Lampung umumnya berprofesi sebagai penggarap sawah. Daerah kolonisasi memang memiliki ketersediaan air yang cukup untuk budidaya padi. Pemerinatah Hindia Belanda juga melakukan program pendukung, dengan pembangunan bendungan dan saluran irigasi.

Kolonis di Lampung (Sumber: Museum Ketransmigrasian)

    Hal lain yang dilakukan oleh pemerintah saat itu adalah dengan menyiapkan sapi guna mempermudah petani mengolah sawah mereka. Tercatat dalam Nederlandsch-Indische bladen voor diergeneeskunde en dierenteelt, sebuah majalah kedokteran hewan dan peternakan yang terbit pada 1 Januari 1934, diberitakan bahwa daerah Gedong Tataan yang merupakan daerah kolonisasi perdana di Lampung diberikan kredit bagi kolonis untuk pembelian ternak pembajak dan peralatan pembajak. Kredit sapi dan perlatan bajak ini melalui campur tangan Bupati Karanganjar. Adapun jumlah sapi yang dibeli sebanyak 100 ekor sapi, dengan 2 ekor sapi jantan dan seekor anak sapi jantan di bawah pimpinan Dokter Hewan Pemerintah Magelang, Dr. H. 't Hoen.

Pada bulan Mei 1908 ternak tiba di daerah kolonisasi. Kemudian, hingga tahun 1914, lebih banyak sapi yang diimpor dan diberikan kepada kolonis dengan cara dicicil tunai atau padi. Pada akhir tahun 1930 jumlah ternak para kolonis berjumlah lebih dari 3.000 ekor. Adapun jenis sapi yang diternakan adalah persilangan Benggala, sapi Jawa dan Madura. Sapi-sapi ini umunya di tempat di dalam kandang, bukan dilepas liarkan di padang gembala. Di Lampung saat itu, pakan sapi berupa rumput hijauan sangat banyak dan mudah ditemui dimana-mana. Oleh karena itu tidak sulit bagi petani dalam mencari pakan sapi.

Gerobak Koleksi Museum Transmigrasi (Sumber: Tribun Lampung)

Pada tahun 1920, seekor sapi dihargai ƒ 120. Untuk sapi yang dapat dipekerjakan harganya bisa mencapai ƒ 175. Apalagi sapi-sapi yang terlatih untuk mengangkut gerobak harganya jauh lebih tinggi. Sebagai contoh pada tahun 1931 di Way Jepara seekor lembu berumur 6 tahun yang ditawarkan oleh seorang penanam lada sebesar ƒ 450. Pada tahun 1933 ada sapi penarik gerobak yang dijual dengan harga ƒ 250. Artinya harga jual sapi pada era kolonisasi sangat ditentukan dengan jenis sapi. Apabila sapi yang terlatih untuk membajak atau menarik gerobak memiliki harga yang lebih mahal.

Replika Sapi Menarik Bajak (Sumber: Kompas.id)

Keterikatan masyarakat di Lampung dengan sapi sejauh ini tetap dapat kita jumpai. Di kampung atau desa di Lampung kita dapat mudah menjumpai sapi. Walaupun saat ini sapi bukan manjadi pilihan utama dalam membajak ataupun mengangkut barang di Lampung. Bukti lain dapat dijumpai pula di Museum Transmigrasi, terdapat replika dua ekor sapi yang menarik bajak atau luku. Terdapat pula gerobak yang membuktikan pada masa lalu sapi memang menjadi hewan penting dalam aktivitas pertanian di Lampung. 

 

 

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer