Senin, 30 Januari 2023

Dayung-dayung, Laju-laju: Kisah Migrasi di Kepulauan Indonesia

Penulis: Adi Setiawan

Perahu memainkan peran penting dalam pergerakan manusia di Kepulauan Indonesia masa lalu.

Perahu Bercadik (Sumber: Narasi Sejarah)

 

Indonesia sebagai kepulauan terbesar di dunia senantiasa memainkan peran yang aktual sebagai tempat pembauran migrasi manusia menuju wilayah-wilayah yang mengarah ke Oseania, seperti Papua Nugini, Australia, dan lebih jauh ke timur, pulau-pulau di Lautan Pasifik. Fenomena ini telah diamati dengan mengambil zaman prasejarah sebagai titik tolak dan menjadikan Indonesia sebagai tempat menetap terakhir, persilangan, dan hulu dari berbagai aliran genetis dan budaya (Hubert Forestier 2007:25).

Perpindahan manusia di kepulauan Indonesia, khususnya dari sebelah utara memang telah terjadi sejak masa pra-aksara. Dan hal ini kemudian berlanjut hingga masa saat ini. Perpindahan tersebut, telah menjadikan Indonesia sebagai wilayah dengan keaneragaman yang tinggi.

Perpindahan manusia pada masa pra-aksara ke Indonesia, para ahli mempunyai banyak penjelasan, adapun alasan mengapa mereka melakukan migrasi ke Indonesia di antara adalah keinginan manusia masa pra-aksara untuk mencari lingkungan baru yang menyediakan kebutuhan hidupnya, yang mungkin sudah tidak dapat dipenuhi ditempat asalnya. Selain itu perpindahan mereka erat kaitanya dengan kompetisi antar manusia, mereka yang tidak bisa memenangkan persaingan kemudian memilih bermigrasi dari tempat asalnya.

Indonesia sebagai wilayah lautan yang ditaburi gugusan pulau, yang terpisah dengan daratan benua Asia di sebelah utara tidak dapat dijangkau bila tanpa sarana angkut perairan. Migrasi yang dilakukan pada masa pra-aksara tentunya tidak akan dapat dilepaskan dari alat angkut berupa perahu. Walaupun fungsi awalnya, mungkin hanya terbatas pada bisa dipakai bergerak di atas air. Penggunaannya terutama untuk berburu dan memancing (Andi Nur Aminah 2011:24).

Namun besar kemungkinan jika perahu kemudian memiliki peran sentral dalam proses migrasi nenek moyang.Peranan penting perahu pada proses migrasi nenek moyang, dapat terlihat terutama dalam mengarungi lautan menuju kepulauan Indonesia.

Hubungan manusia Indonesia dengan perahu jika dilihat dari sisi sejarah telah berlangsung selama ribuan tahun. Hal ini dapat diperjelas dengan adanya data arkeologis yang menggambarkan tentang kegiatan manusia dengan perahu. Awalnya perahu yang ditemukan dan tergambar di gua-gua adalah jenis perahu jukung atau sekarang dengan istilah sampan (Mundardjito dkk 2009:38). 

Di gua-gua hunian di Pulau Muna, Sulawesi Tenggara terdapat lukisan mengenai aktivitas beberapa manusia yang sedang mendayung perahu. Bahkan dalam lukisan tersebut ada beberapa perahu yang tampak digambar menggunakan layar (Endjat Djaenuderadjat 2013:31).

Lukisan perahu dengan aktivitas manusia di dalamnya tersebut dianggap memiliki pola yang spektakuler. Hal tersebut diperkuat dengan adanya layar berbentuk persegi panjang dan pola garis vertikal. Melihat bentuknya, diduga perahu tersebut berfungsi sebagai perahu niaga atau untuk mencari ikan (Marwati Djoned dan Nugroho Notosusanto 2008:192). Lukisan perahu di dinding gua juga ditemukan  di Pulau Kei Kecil dan Teluk Seleman (Pulau Seram Utara). Bersamaan dengan lukisan perahu, pada umumnya di dinding gua-gua tersebut juga dijumpai beberapa lukisan lain seperti lukisan hewan buruan dan cap tangan.

Dari data arkeologis pula menerangkan bahwa penggunaan perahu telah berlangsung sejak masa neolitikum (masa batu muda). Temuan di beberapa tempat onggokan-onggokan sampah kulit kerang atau kyokkenmodinger di pantai timur Sumatera Utara/Aceh menunjukan adanya pemanfaatan hasil laut untuk menambah mata pencaharian bagi manusia, dan menurut analisa pemanfaatan hasil laut menunjukan adanya penggunaan adanya alat transportasi dengan perahu (Endjat Djaenuderadjat 2013:31).

Kehidupan manusia masa pra-aksara jika dilihat dari data arkeologi sepertinya mereka telah akrab dengan alat transportasi ini. Keperluan mereka dalam mencari makanan dan mobilitas tentu akan lebih mudah jika mereka menggunakan perahu, terlebih pada masa itu keadaan memang lebih mendukung jika mobilitas dilakukan di perairan dengan menggunakan perahu dibanding harus melalui hutan yang cukup menyulitkan. Jika kita bandingkan mungkin keadaan manusia masa itu sama dengan keadaan masyarakat di pedalaman pulau Kalimantan yang dalam kesehariannya sangat akrab dengan perahu dibanding moda transportasi darat.

Bambang Budi Utomo menjelaskan pada masa pra-aksara bentuk perahu masih sangat sederhana. Cara mereka membuat perahu adalah dengan memotong sebatang pohon lalu bagian tengahnya dikeruk dengan menggunakan alat sederhana, seperti beliung dari batu. Nampaknya mudah, tapi dalam kenyataannya cukup sulit. Dinding perahu harus dapat diperkirakan tebalnya. Tidak boleh terlalu tebal atau terlampau tipis. Jangan sampai badan perahu mudah pecah atau bocor apabila terantuk karang atau kandas di pantai yang keras. Apabila badannya sudah selesai, barulah diberi cadik di sisi kiri dan kanan badan perahu.

Perahu bercadik adalah perahu yang di bagian sampingnya memakai sayap dari kayu atau bambu sehingga tidak mudah terbalik. Perahu bercadik inilah yang menurut ahli sejarah dijadikan sebagai sarana migrasi nenek moyang dari daerah asalnya, Yunan di Cina Selatan ke wilayah Indonesia, mereka menggunakan perahu bercadik mengarungi lautan yang luas (M. Junaedi Al Anshori 2010:15).

Bangsa Proto Melayu (Melayu Tua) dan Deutro Melayu (Melayu Muda) adalah contoh bangsa yang menggunakan perahu bercadik saat perpindahannya ke kepulauan Indonesia. Gelombang kedatangan nenek moyang bangsa Indonesia ke kepulauan nusantara itu secara bergelombang. Gelombang pertama diperkirakan datang sekitar 2000-1500 SM, sedangkan gelombang kedua sekitar 1500-500 SM (Herimanto 2012:76).

       Perpindahan gelombang pertama yang dilakukan bangsa Melayu Tua menggunakan jenis perahu beradik satu sedangkan gelombang kedua yang dilakukan bangsa Melayu Muda telah menggunakan jenis perahu bercadik dua (ganda). Keberadaan perahu bercadik jika dilihat dari arus migrasi bangsa Proto Melayu maupun Deutro Melayu tentu telah berlangsung berabad-abad sebelum tarik Masehi. Hal ini tentu  sangat mengindikasikan bahwa kegiatan pelayaran di kepulauan Indonesia telah ada sejak ribuan tahun pula.


Referensi:

Al Anshori, M. Junaedi. 2010. Sejarah Nasional Indonesia: Masa Prasejarah Sampai Masa Proklamasi Kemerdekaan. Jakarta: Mitra Aksara Panaitan

Djaenuderadjat, Endjat. 2013. Atlas Pelabuhan-Pelabuhan Bersejarah Di Indonesia. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemdikbud

Forestier, Hubert. 2007. Ribuan Gunung, Ribuan Alat Batu Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu, Jawa Timur. Terj. Gustaf Sirait dkk. Jakarta : KPG

Herimanto. 2012. Sejarah Indonesia Masa Praaksara. Yogyakarta: Ombak

Poesponegoro, Marwati Djoened,  dan Nugroho Notosusanto (Ed). 2008. Sejarah Nasional Indonesia I: Zaman Prasejarah Indonesia.Edisi Revisi. Jakarta: Balai Pustaka




Minggu, 29 Januari 2023

Pengaruh Hindu-Budha di Lampung

 Penulis: Adi Setiawan
 

Pengaruh Hindu-Budha menyebar luas di Nusantara, tak terkecuali di Lampung.



Pengaruh agama dan budaya Hindu-Budha di Nusantara pertama kali nampak di Kutai. Bukti-bukti prasasti memperkuat bahwa pertama kali agama Hindu-Budha memberikan pengaruh di wilayah ini. Setelah Kutai mulai berkembang pulai kerajaan-kerajaan bercorak Hindu Budha lain seperti Sriwijaya di Sumatra, adapun di pulau Jawa nama Tarumanegara dapat dikatakan sebagi kerajaan bercorak Hindu-Budha yang awal berkembang di pulau ini. Di Indonesia kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu-Budha banyak meninggalkan prasasti. Melalui keberdaan prasasti tersebut kemudian dapat diungkap mengenai kehidupan sosial, politik serta budaya dari kerajaan-kerajaan tersebut.

Masa atau zaman Hindu-Budha di Indonesia dapat dikatakan sebagai zaman yang penting, hal itu karena pada masa itu mulai terjadi beberapa perubahan yang menyangkut berbagai sisi kehidupan masyarakat Indonesia. Bukan hanya sekedar dalam bidang kepercayaan, adanya pengaruh dari Hindu-Budha memberikan warna bagi munculnya berbagai budaya, termasuk budaya tulis menulis. Hal itu sekaligus menandai bangsa Indonesia memasuki masa mengenal tulisan. 


Pengaruh Hindu-Budha di Lampung 

          Lampung sebagai wilayah yang ada di bagian barat Indonesia juga mendapatkan pengaruh dari agama dan budaya Hindu-Budha. Temuan benda-benda arkeologis semacam arca dan prasasti mengindikasikan bahwa pengaruh dari agama dan budaya Hindu-Budha pernah ada di Lampung walaupun jumlahnya masih kalah dengan benda-benda yang ditemukan di Jawa.

Pada beberapa tulisan juga disebutkan bahwa pada masa lampau di Lampung pernah ada pengaruh dari Hindu, dalam hal ini adalah adanya kepercayaan yang disebut dengan Hindu Bairawa. Kepercayaan ini berkembang di daerah Lampung Barat sebelum masuknya agama Islam di Lampung. Adanya pengaruh Hindu Bairawa di Lampung itu sering muncul apabila menceritakan tentang asal-usul penduduk Lampung.

          Adapun penduduk Lampung saat itu yang menganut kepercayan Hindu Bairawa adalah Orang Tumi atau Buay Tumi, yang dipimpin oleh Ratu Sekarmong. Mereka memiliki kepercayaan menyembah sebatang pohon, yaitu pohon Lemasa kepampang sebukau. Pohon ini dari cabangnya gatal dan beracun, tetapi racun itu dapat dipunahkan oleh getah dari pokok pohon tersebut. Setidaknya kepercayaan Hindu Bairawa yang berkembang di lingkungan Buay Tumi tersebut terjadi sekitar abad ke-14, sebelum akhirnya masyarakat ini meninginggalkan kepercayaannya setelah masuknya agama Islam yang dibawa oleh empat orang penyiar Islam dari Pagaruyung, Sumatra Barat (Depdikbud, 1977:11-12).


Bukti Arkeologi Hindu-Budha di Lampung

Wilayah Lampung yang membentang dari Danau Ranau di barat dan tepian Laut Jawa di timur ternyata pernah menjadi berkembangnya pengaruh dari Hindu-Budha. Temuan benda-benda arkeologi memiliki sebaran yang sangat berjauhan, termasuk penemuan arca zaman Hindu-Budha. Dalam buku terbitan Depdikbud (1977:26) dituliskan macam-macam arca yang ditemukan di Lampung. Arca yang bermacam-macam itu ditemukan bukan hanya di satu tempat namun menyebar di beberapa kawasan. Adapun arca yang ditemukan tersebut:

§  Arca Lembu Nandi dan Arca Ular yang di temukan di Pesisir Utara.

§  Arca Orang yang ditemukan di Pugungraharjo.

§  Arca Gajah ditemukan di Pulau Panggung

§  Arca Gajah ditemukan di Cukuh Balak

§  Arca Ganesha ditemukan di Rantau Jaya, Sukadana 

Selain arca-arca tersebut adapula arca dari zaman Hindu-Budha yang sekarang tersimpan di Museum Daerah Lampung. Arca-arca tersebut umumnya ditemukan di daerah aliran sungai (DAS) Way Sekampung, yakni (Nanang Saptono 2013:130-133):

§  Arca Dewi Sri (1),  ditemukan di Desa Banjar Agung, Kecamatan Talang Padang, Kabupaten Tanggamus. Arca berukuran tinggi keseluruhan 23,5 cm terbuat dari bahan perunggu, pada beberapa bagian berlapis emas. Arca digambarkan dengan sikap badan berdiri tegak (samabangga) di atas lapik teratai (padmāsana). Tangan kanan ditekuk hingga siku kemudian diarahkan ke depan. Telapak tangan mengarah ke atas dengan beberapa jari dilipat. Sikap seperti ini merupakan penggambaran sedang memberi petuah atau disebut sikap vitarkamūdra. Tangan kiri di samping memegang setangkai padi (sikap kastarimūdra).

§  Arca Dewi Sri (2),   ditemukan di Pekon Rantau Tijang, Kecamatan Pugung, Kabupaten Tanggamus. Ukuran arca, tinggi keseluruhan 19 cm berbahan perunggu, pada beberapa bagian berlapis emas. Arca digambarkan dengan sikap badan berdiri tegak (samabangga) di atas lapik teratai (padmāsana). Tangan kanan menjulur ke bawah dengan telapak tangan terbuka mengarah ke atas. Sikap seperti ini disebut varahasta atau varadahasta. Tangan kiri menjulur ke bawah telapak mendatar menjepit tangkai padi.

§  Arca Durgāmahisāsuramardinȋ, ditemukan di Desa Wana, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur. Arca berukuran tinggi 20,5 cm, terbuat dari bahan perunggu. Durgāmahisāsuramardinȋ diwujudkan dalam sikap berdiri di atas kerbau dengan kaki terbuka, badan agak miring (sikap alidha). Mahkota yang dikenakan berbentuk bertingkat semakin ke atas semakin kecil (jaṭamakuta). Pakaian digambarkan lengkap dengan kain panjang, ikat pinggang, kalung, hiasan dada, dan kelat bahu. Perlengkapan tersebut digambarkan penuh dengan hiasan ukiran.

§  Arca Buddha, ditemukan di Desa Ketapang, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan. Arca yang terbuat dari bahan perunggu berukuran tinggi 16 cm ini digambarkan dalam posisi duduk sedang bersemedi di atas lapik berbentuk kubus. Kedua kaki bertumpu pada bantalan padma. Posisi tangan ditekuk di depan dada dalam sikap memutar roda dunia (dharmacakramūdra).

§  Arca Avalokiteśwara, ditemukan di Desa Ketapang, Kecamatan Penengahan, Kabupaten Lampung Selatan. Arca setinggi 34,5 cm terbuat dari bahan perunggu. 

         Untuk bangunan berupa candi di Lampung dapat dikatakan masih belum dapat ditemukan secara utuh. Walupun ada reruntuhan bebatuan yang disinyalir sebagai bekas bangunan namun untuk menyimpulkan sebagai sebuah candi tentunya harus memerlukan langkah-langkah penelitian lebih mendalam.


Referensi:

Humaniora. Vol. 03, No. 01, Juni 2019

Coedes, George dkk. 2014. Kedatuan Sriwijaya. Depok: Komunitas Bambu

Depdikbud. 1977. Sejarah Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud

Dwi, Amurwani, dkk. 2014. Sejarah Indonesia. Jakarta: Kemdikbud

Ismawati, Nur Siwi. 2008. Prasasti. Klaten: Cempaka Putih

Muljana, Slamet. 2006. Sriwijaya. Yogyakarta: Lkis

Poesponegoro M.D, Notosusanto N. 1990. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka

Pujosantoso, Sudarwanto. 2018. Kebudayaan dan Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia. Pontianak: Derwati Press 

Utomo, Bambang Budi.  Belajar Dari Dātu Śrīwijaya: Bangkitlah Kembali Bangsa Bahari”. Makalah dalam Seminar Satu Abad Kebangkitan Nasional. Jakarta, 27—29 Mei 2008 

Saptono, Nanang. Permukiman Kuna Di Kawasan Way Sekampung, Lampung, Pada Masa Śriwijaya. Amerta. Vol. 31 No. 2, Desember 2013: 81-150

Akhir Pendudukan Jepang

 Penyusun: Adi Setiawan


Sidang BPUPKI

     Janji Koiso

Sebenarnya kalau kita lihat secara urutan waktunya, perjuangan melawan Belanda sekitar tahun 1942 hampir dapat diselesaikan yaitu dengan menyerahnya Belanda terhadap Jepang pada 8 Maret 1942 tanpa syarat. Sehingga secara langsung kebijakan politik di Indonesia dikendalikan oleh Jepang atau bangsa Indonesia beralih jajahan dari Belanda menjadi oleh Jepang, dalam waktu 1942–1945. Namun, sekitar tahun 1944 terjadi Perang Pasifik antara Jepang dengan Sekutu. Bahkan salah satu pulaunya yaitu Pulau Saipan telah diduduki oleh Amerika, Jepang pun mengalami kekalahan dalam perang tersebut. 

Perdana Menteri Koiso

Akibatnya, sekitar 7 September 1944 Perdana Menteri Kaiso memberikan janji tentang kemerdekaan Indonesia, dengan maksud untuk menarik simpati bangsa Indonesia. Janji itu diutarakan dalam sidang Teikoku Ginkai (Parlemen Jepang). Maka bendera Indonesia pun mulai banyak dikibarkan tetapi harus berdampingan dengan bendera Jepang. Lagu Indonesia Raya pun boleh dinyanyikan, dengan catatan setelah lagu kebangsaan Jepang, Hinomaru. Selanjutnya Jepang juga menambah perwakilan pada lembaga Chou Sangi In yang berasal dari tokoh-tokoh Indonesia.


Pembentukan BPUPKI 

Pada 1 Maret 1945, Jenderal Kamakici Herada mengumumkan dibentuknya badan khusus untukmempersiapkan kemerdeka an Indonesia dan terlahirlah organi sasi yang bernama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Cosakai), dengan tujuan untuk mempersiapkan hal-hal penting mengenai masalah tata pemerintahan negara Indonesia setelah merdeka. Adapun anggota yang terlibat dalam BPUPKI ini terdiri atas 60 orang Indonesia yang memiliki hak suara, serta 7 orang bangsa Jepang tetapi tidak memiliki hak suara, dengan ketuanya yang ditunjuk adalah Radjiman Widyodiningrat.

Radjiman Widyodiningrat

    BPUPKI ini diresmikan pada 29 Mei 1945 oleh seluruh anggota dan dua orang tokoh dari Jepang yang bukan anggota. Setelah diresmikan, badan ini langsung mengadakan sidang sejak 29 Mei–1 Juni 1945 dengan maksud membicarakan filsafat negara yang akan dijadikan landasan. Tokoh-tokoh yang mengusulkan dasar negara itu adalah Muhamad Yamin, Supomo, dan Soekarno

Pada sidang 29 Mei 1945, Muhamad Yamin mengajukan rancangan untuk dasar negara, yaitu peri ke bangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan dan kesejahteraan rakyat. Sementara, pada 31 Mei 1945 kembali diadakan sidang, dan ada usulan dari Supomo mengenai racangan dasar negara yang terdiri atas persatuan, kekeluargaan, mufakat dan demokrasi, musyawarah dan keadilan sosial. Pada sidang berikutnya pada 1 Juni 1945 giliran Ir. Soekarno yang mengajukan lima rancangan dasar negara, dan memberi nama Pancasila yang berisi kebangsaan Indonesia, internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang maha esa.

Kemudian persidangan itu ditunda dan akan dimulai kembali rencananya pada Juli 1945. Tetapi pada 22 Juni 1945 sembilan orang anggota yaitu Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Muhamad Yamin, Ahmad Subardjo, A. A. Maramis, Abdulkahar Muzakar, K.H. Wachid Hasyim, K.H. Agus Salim dan Abikusno Tjokrosujoso membentuk Panitia Kecil yang menghasilkan dokumen yang berisi asa dan tujuan negara Indonesia Merdeka. Dokumen tersebut kemudian di kenal dengan nama Piagam Djakarta, yang isinya adalah sebagai berikut.

1. Ketuhanan dengan berkewajiban menjalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya.

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3. Persatuan Indonesia.

4. Kerakyatan yang dipimpih oleh hikmat kebijaksanaan dalam per musyawaratan atau perwakilan.

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Piagam Djakarta tersebut kemudian dijadikan se bagai Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Dalam merumuskan Piagam Djakarta yang akan dijadikan sebagai dasar negara terdapat perubahan pada bagian pertama, yaitu “Ketuhanan dengan berkewajiban men jalankan syariat-syariat Islam bagi para pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, hal ini dilakukan karena mempertimbangkan penduduk Indonesia yang saat itu pun sudah menunjukkan keragaman dari segi agamanya. Adapun isi Piagam Djakarta selengkapnya adalah seperti yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Seperti yang telah direncanakan, persidangan BPUPKI digelar kembali pada 10–16 Juli 1945. Di dalam persidangan kali ini yang dibicarakan ialah rencana pembuatan Undang-Undang Dasar dan rencana lainnya yang berkaitan dengan persiapan kemerdekaan Indonesia. Pada 11 Juli 1945 diadakan salah satu rapat, dan dibentuklah panitia perancang Undang-Undang Dasar yang terdiri atas 20 orang anggota BPUPKI. Kedua puluh orang tersebut yaitu:

1. Ir. Soekarno                                     11. Mr. Susanto Tirtoprojo

2. R. Otto Iskandardinata                     12. Mr. Sartono

3. B.P.H. Purbaya                                13. K.P.R.T. Wongso Negoro

4. K.H. Agus Salim                              14. K.R.T.H. Wuryaningrat

5. Mr. Akhmad Sobardjo                     15. Mr. R.P. Singgih

6. Mr. Soepomo                                   16. Tan Eng Hoa

7. Mr. Maria Ulfah Santoso                 17. dr. P.A. Husein Djajadiningrat

8. K.H. Wahid Hasjim                         18. dr. Sukirman Wirjosandjojo

9. Parada Harahap                               19. A.A. Maramis

10. Mr. J. Latuharhary                         20. Miyano

Selama sidang kedua BPUPKI ini, mereka berhasil membuat Rancangan Undang-Undang Dasar untuk Indonesia merdeka. Posisi Jepang dalam Perang Pasifik semakin terpojok, dan siap mengalami kekalahan. 


Pembentukan PPKI

Pada saat itu Jepang memberikan izin kepada Indonesia untuk membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sebagai pengganti BPUPKI, pada 7 Agustus 1945, dan pada 9 Agustus tiga orang tokoh bangsa Indonesai dipanggil oleh Panglima Mandala Asia Tenggara Marsekal Terauci ke Saigon sekarang namanya menjadi Ho Chi Min City (Vietnam) untuk menerima informasi tentang kemerdekaan Indonesia. Untuk pelaksanaannya dibentuklah PPKI, serta sebagai wilayah kekuasaan Indonesia ialah semua wilayah bekas Jajahan Belanda. Adapun ketiga tokoh yang dipanggil tersebut ialah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman Widyodiningrat.

Kekalahan Jepang

Jumlah anggota PPKI itu lebih kecil dibandingkan dengan anggota BPUPKI yaitu hanya 21 orang dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya, serta Drs. Moh. Hatta sebagai wakilnya. Tetapi tanpa seizin Jepang keanggotaan PPKI ditambah 6 orang menjadi 27 orang. PPKI ini tidak pernah diresmikan dan pengurusnya tidak dilantik sampai saat Jepang menyerah pada tentara sekutu pada 14 Agustus 1945, tetapi kegiatannya telah mampu untuk menjalankan fungsinya sampai badan ini pun sempat merumuskan Proklamasi. Sesuai dengan rencana PPKI akan bersidang pada 18 Agustus 1945.


Referensi: 

Diolah dari berbagai sumber.



Jumat, 27 Januari 2023

Perang Kemerdekaan di Labuhan Maringgai dan Jabung

Penulis: Adi Setiawan

Salah satu narasi sejarah yang hadir dari Labuhan Maringgai dan Jabung adalah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Ilustrasi Perang Kemerdekaan (sumber: kompas.com)


Agresi Militer Belanda II yang terjadi pada 19 Desember 1945 menyasar kota-kota di Jawa dan Sumatra. Pemimpin Republik berhasil ditawan oleh tentara Belanda. Saat itu Soekarno dan Hatta diasingkan oleh Belanda di luar Pulau Jawa. Belanda merasa di atas angin, menghembuskan informasi ke dunia luar bahwa Republik Indonesia telah pupus. Namun anggapan Belanda bahwa Republik Indonesia telah runtuh itu hanya isu belaka. Nyatanya pimpinan militer dan aparat pemerintahan masih tetap melakukan perjuangan di frontnya masing-masing. Jendral Soedirman tetap melanjutkan perjuangan gerilya, sedangkan pemerintahan tetap bertahan di bawah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi pimpinan Mr. Syafruddin Prawiranegara.

Agresi Militer II kemudian menyasar wilayah Lampung. Pada tanggal 1 Januari 1949 kapal-kapal perang Belanda menembaki Pelabuhan Panjang. Ibukota Karesidenan Lampung, Teluk Betung kemudian jatuh ke tangan pasukan Belanda. Pimpinan pemerintahan di Lampung kemudian mendirikan pemerintahan darurat di luar kota. Tak berhenti di situ, pasukan Belanda kemudian melakukan serangan di berbagai wilayah di Lampung.

Perjuangan mempertahankan kemerdekaan dilakukan oleh segenap komponen, baik pemerintah, tentara, laskar rakyat maupun penduduk. Selain yang disebutkan itu, ternyata perjuangan mempertahankan kemerdekaan di Lampung juga dilakukan oleh unsur kepolisian. Unsur kepolisian ini mungkin salah satu komponen  yang jarang disebut dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Mengenai kepolisian di Indonesia, salah satu cikal bakalnya adalah dari organisasi Keibodan yang dibentuk pada zaman Jepang dan beberapa organisasi lain. Selepas kemerdekaan kepolisian turut ambil bagian dalam perjuangan melawan serangan yang dilakukan oleh tentara Belanda.

Hal itu sebagaimana diungkapkan Moehammad Jasin (2010:25) di dalam memoarnya bahwa anggota Polisi Republik Indonesia melakukan mobilisasi rakyat dengan memberikan latihan kemiliteran  secara terorganisir  dalam wadah perjuangan. Hal itu dimaksudkan untuk membangun kekuatan dalam perjuangan dan menghadapi Sekutu. Jaminan kekuatan Kesatuan Republik Indonesia  telah membangkitkan semangat militansi para pemuda Indonesia.

Perjuangan kepolisian di Lampung dalam menghadapi pasukan Belanda salah satunya terjadi di daerah Lampung Tengah. Keberhasilan Belanda mengambil alih Metro membuat pemerintahan dan pasukan pertahanan mundur keluar kota. Belanda kemudian melakukan pengejaran. Pemerintahan darurat yang awalnya didirikan di dekat Metro kemudian harus berpindah-pindah menghindari kejaran Belanda.

Berdasarkan buku Revolusi Fisik di Provinsi Lampung dijelaskan bahwa pengejaran yang dilakukan pasukan Belanda terhadap pasukan pertahanan Republik juga terjadi di daerah Labuhan Maringgai. Belanda saat itu berusaha mematahkan perjuangan bangsa Indonesia di sana. Namun serangan Belanda disambut dengan perlawanan pasukan pertahanan Republik, salah satunya adalah kepolisian Labuhan Maringgai. Maun Ali sorang pimpinan kepolisian di Labuhan Maringgai bersama dengan anggota polisi lainnya melakukan kontak senjata dengan pasukan Belanda. Peristiwa yang terjadi pada 9 Desember 1949 itu, Belanda melakukan pengepungan terhadap asrama kepolisian Labuhan Maringgai. Karena tidak dapat dipertahankan maka polisi Maun Ali dan anak buahnya memutuskan mundur keluar Labuhan Maringgai. Mereka kemudian bertahan diantara Jabung dengan Kalianda bersama pasukan pimpinan A.Bursyah.

Selanjutnya Belanda terus melakukan operasi ke daerah-daerah yang dirasa menjadi kantong pertahanan pasukan Republik. Belanda kemudian melakukan pencarian terhadap Maun Ali dan anak buahnya di Jabung pada tanggal 13 dan 14 Desember 1949. Karena tak menemukan, maka pasukan Belanda kemudian menangkap orang tua dari Maun Ali yakni Mohammad Ali. Seorang Pembantu Polisi Republik Indonesia di Jabung tersebut kemudian gugur setelah ditembak Belanda di Simpang Empat Jabung.

Selasa, 24 Januari 2023

Kala Pelajar Turun ke Medan Juang

 Penulis: Adi Setiawan

Saat pena berganti senapan, kala itulah pelajar turun ke medan juang.

Tentara Pelajar

Aroma asap revolusi kemerdekaan Indonesia tercium hampir di seluruh pelosok negeri. Kegembiraan karena datangnya kebebasan disambut oleh rakyat Indonesia kala itu. Cita-cita untuk mendirikan negara Indonesia akhirnya terwujud setelah berkumandangnya proklamasi kemerdekaan. Ini adalah fase dimana bangsa Indonesia benar-benar diuji, apakah negara yang baru lahir ini akan dapat tumbuh atau hancur kembali dienyahkan oleh agresi militer Belanda.

Datangnya Belanda ke Indonesia pasca proklamasi, sebenarnya adalah hal yang patut disangsikan. Karena Indonesia telah merdeka, apa hak Belanda ke Indonesia kembali. Indonesia bukan lagi bagian dari wilayahnya. Namun Belanda bergeming, mereka terus menyatakan jika tanah air Indonesia adalah bagian integral dari wilayahnya. Satu hal yang sungguh dipaksakan.

Hiruk pikuk kemerdekaan, kemudian berubah menjadi dentuman senapan yang menghiasi hari-hari di awal kemerdekaan Indonesia. Negara yang baru membuat fondasi ini, berusaha digempur habis-habisan oleh militer Belanda. Sungguh pemandangan yang membuat hati bangsa Indonesia tergerak untuk melawan tindakan tersebut.

Sebagai negara baru tentu Indonesia belum memiliki angkatan perang yang mantap, namun ini bukan menjadi persoalan yang membuat bangsa ini lemah dalam mempertahankan kemerdekaannya. Rakyat terpanggil bersama angkatan perang untuk menghalau langkah Belanda kembali menguasai Indonesia.

Menarik, mereka yang terpanggil untuk membela negara bukan hanya sekedar pemuda berusia dewasa. Namun di era revolusi kemerdekaan pelajar yang berusia antara 16-20 tahun juga bersedia angkat senjata mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sungguh loyalitas yang luar biasa dari pelajar kala itu.

Kini pena dan buku silih berganti dengan senapan dan amunisi, mereka rela menanggalkan sementara kegiatan belajarnya demi terjun ke medan perang. Dalam buku Peranan Pelajar dan Mahasiswa Dalam Perang Kemerdekaan yang terbit tahun 1978 dijelaskan bahwa pelajar yang memiliki pandangan dan tekad suci melakukan perjuangan dengan membentuk organisasi satuan pelajar bersenjata. Di Pulau Jawa dimana sebagai wilayah yang terus mendapatkan gempuran dari militer Belanda, pelajar membentuk organisasi bersenjata. Hal ini nampak di Jawa Timur, di sana mereka membentuk Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) dan Tentara Genie Pelajar (TGP). Begitupun di Jawa Tengah dan Jawa Barat, organisasi bersenjata yang didirikan oleh pelajar tumbuh berkembang. Melalui koordinasi, tentara pelajar kemudian menjadi bagian dari tentara reguler.

Sebagi pelajar yang ikut berjuang ternyata TRIP memiliki tekad yang luhur, mereka selalu berpegang teguh pada semboyan “berjuang sambil belajar dan belajar sambil berjuang”. Ini lah tekad yang selalu dipegang oleh TRIP, belajar dan berjuang mereka tempat dalam prioritas yang sama.

Beberapa contoh organisasi bersenjata yang didirikan oleh pelajar kala revolusi kemerdekaan diantaranya adalah Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) Jawa Timur yang anggotanya para pelajar SMP, SMT (Sekolah Menengah Tinggi) dan STM (Sekolah Teknik Mengengah). Mereka turut andil dalam peristiwa heroik perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Begitupun dalam aksi Agresi Militer Belanda II, TRIP juga turut ambil bagian dalam perang gerilya bersama tentara reguler. Dalam kesempatan ini, TRIP ternyata telah dikenal di masyarakat. Hingga mereka lebih dikenal dengan panggilan ‘Mas TRIP’ di tengah masyarakat Jawa Timur.

Di Solo muncul pula Tentara Pelajar (TP), para pelajar di Solo membentuk laskar-laskar seperti Laskar Kere, Laskar Alap-alap, Laskar Garuda, Laskar Pandawa, dan Laskar Satria. Umumnya laskar-laskar tersebut telah dipersenjatai dari hasil merebut senjata tentara Jepang. Beberapa aksi yang dilakukan oeh TP Solo dalam membela Republik saat terjadi Agresi Militer Belanda I, bahkan dalam Agresi Militer Belanda II TP Solo ikut bergerilya, begitupun dalam perebutan kembali Kota Solo pada 10-14 Agustus 1949.

Sementara itu, di Yogjakarta selayaknya di Solo, setelah Jepang resmi kalah para pelajar kemudian merebut senjata milik tentara Jepang. Laskar bersenjata kemudian lahir di Yogja. Munculnya Tentara Pelajar di Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari organisasi Ikatan Pelajar Indonesia (IPI). Pada bulan Oktober 1946, dalam IPI dibentuk komite khusus bagian pertahanan yang dipimpin oleh Martono. Di bagian pertahanan inilah para pelajar yang memiliki niat ikut berjuang di medan perang dilatih dan diseleksi kemampuannya.

Maka dibentuklah dua kompi yaitu Kompi I yang terdiri atas pelajar yang berstatus sebagai pasukan tetap dan dibekali dengan senjata, dan Kompi II terdiri atas pasukan cadangan dengan tidak bersenjata atau senjata yang terbatas. Kapasitas Tentara Pelajar Yogyakarta dalam pertempuran tidak dapat diragukan. Tercatat TP ini beberapa kali menunjukan kebaraniannya dalam front pertempuran di sekitar Yogyakarta, bahkan TP Yogyakarta juga turut berperan dalam Serangan Umum 1 Maret 1949.

Selain Tentara Pelajar ada pula Tentara Genie Pelajar (TGP). TGP muncul dibeberapa kota di Jawa seperti Yogya, Malang, Madiun, Pati, dan Solo. Peranan mereka di masa revolusi juga tak dapat diabaikan. Kegiatan sabotase kerap mereka lakukan guna memukul pergerakan pasukan musuh. Pada tahun 1948, TGP direformasi menjadi Batalyon TGP Brigade 17 TNI yang berpusat di Madiun di bawah pimpinan Kapten Hartawan yang membawahi empat kompi yaitu Kompi I di Malang, Kompi II di Madiun, Kompi III di Solo, dan Kompi IV di Yogya.

Di beberapa daerah peranan pelajar dalam mempertahankan kemerdekaan sungguh besar. Mereka terus berjuang, meninggalkan bangku sekolah demi tercapainya cita-cita luhur Indonesia merdeka seutuhnya. Karena bagi mereka sekolah dan berjuang adalah dua hal yang sama-sama penting, hingga bukan menjadi alasan untuk tidak mau berjuang karena sedang bersekolah. Ini lah semangat yang laur biasa, penuh pengorbanan demi tercapainya kemerdekaan yang sebenarnya.

Referensi :

Sigit Sugito dan Suharsana, 1978. Peranan Pelajar dan Mahasiswa dalam Perang Kemerdekaan. Jakarta : Pusat Sejarah ABRI

Senin, 23 Januari 2023

Perlawanan Terhadap Pendudukan Jepang

Penyusun: Adi Setiawan

Empat Serangkai (Sumber: Ruang Guru)


1. Perjuangan Kooperatif (Kerjasama)

Sejumlah tokoh nasionalis Indonesia banyak yang menggunakan kesempatan pendudukan Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Banyak di antara mereka yang menduduki jabatan-jabatan penting dalam lembaga-lembaga yang dibentuk Jepang. Misalnya, Ir. Sukarno, Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur menduduki pimpinan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Mereka dikenal dengan sebutan “Empat Serangkai”. Putera merupakan sebuah organisasi yang dibentuk Jepang pada Maret 1943, bertujuan menggerakan rakyat Indonesia untuk mendukung peperangan Jepang menghadapi Sekutu.

Ir. Soekarno selalu menyisipkan penanaman jiwa dan semangat nasionalisme, pentingnya persatuan dan kesatuan serta keberanian berjuang dengan risiko apa pun untuk menuju Indonesia merdeka. Dengan demikian, kebijakan pemerintah Jepang dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh nasional untuk perjuangan. Para pemimpin Indonesia memanfaatkan organisasi ini untuk memupuk rasa persatuan dan kesatuan. Jelas sekali, para pemimpin Indonesia tidak bodoh untuk dibohongi oleh Jepang.

 

2. Perjuangan Bawah Tanah

Perjuangan bawah tanah adalah perjuangan yang dilakukan secara tertutup dan rahasia. Perjuang bawah tanah ini dilakukan oleh para tokoh nasionalis yang bekerja pasa instansi-instansi pemerintahan buatan Jepang. Jadi, di balik kepatuhannya terhadap Jepang, tersembunyi kegiatan-kegiatan yang bertujuan menghimpun dan mempersatukan rakyat untuk meneruskan perjuang untuk mecapai Indonesia merdeka. Kelompok-kelompok perjuang tersebut, antara lain:

a. Kelompok Sukarni

Sukarni adalah tokoh pergerakan pada zaman Hindia Belanda. Pada masa pendudukan Jepang, ia bekerja di Sendenbu (Barisan Propaganda Jepang) bersama-sama dengan Muhammad Yamin. Sukarni menghimpun tokoh-tokoh pergerakan yang lain, antara lain: Adam Malik, Kusnaeni, Pandu Wiguna, dan Maruto Nitimiharjo. Gerakan yang dilakukan kelompok Sukarni adalah menyebarluaskan cita-cita kemerdekaan, menghimpun orangorang yang berjiwa revolusioner, dan mengungkapkan kebohongan-kebohongan yang dilakukan oleh Jepang.

b. Kelompok Ahmad Subarjo

Ahmad Subarjo pada masa pendudukan Jepang menjabat sebagai Kepala Biro Riset Kaigun Bukanfu (Kantor Penghubung Angkatan Laut) di Jakarta. Ahmad Subarjo berusaha menghimpun tokoh-tokoh bangsa Indonesia yang bekerja dalam Angkatan Laut Jepang. Atas dorongan dari kelompok Ahmad Subarjo, Angkatan Laut berhasil mendirikan asrama pemuda yang bernama “Asrama Indonesia Merdeka”. Di asrama Indonesia Merdeka inilah para pemimpin bangsa Indonesia memberikan pelajaran-pelajaran guna menanamkan semangat nasionalisme kepada para pemuda Indonesia.

c. Kelompok Sutan Syahrir

Sutan Syahrir merupakan tokoh besar pergerakan nasional, yang pada zaman Hindia Belanda tahun 1935 dibuang ke Boven Digul di Irian Jaya, kemudian dipindahkan ke Banda Neira dan terakhir ke Sukabumi. Pada masa pendudukan Jepang, Syahrir berjuang diam-diam dengan cara menghimpun teman-teman sekolahnya dulu dan rekan-rekan seorganisasi pada zaman Hindia Belanda.


d. Kelompok Pemuda

Pada masa itu, di Jakarta terdapat 2 kelompok pemuda yang aktif berjuang, yakni yang terhimpun dalam asrama Ika Daikagu (Sekolah Tinggi Kedokteran) dan kelompok pemuda yang terhimpun dalam Badan Permusyawaratan/Perwakilan Pelajar Indonesia (Baperpri). Kelompok terpelajar tersebut mempunyai ikatan organisasi yang bernama Persatuan Mahasiswa. Organisasi ini merupakan wadah untuk menyusun aksi-aksi terhadap penguasa Jepang dan menyusun pertemuan-pertemuan dengan para pemimpin bangsa. Dalam perjuangannya, kelompok pemuda juga selalu berhubungan dengan kelompok-kelompok yang lain, yaitu kelompok Sukarni, kelompok Ahmad Subarjo, dan Kelompok Syahrir. Tokoh-tokoh Kelompok Pemuda yang terkenal antara lain: Chaerul Saleh, Darwis. Johar Nur, Eri Sadewo, E.A. Ratulangi, dan Syarif Thayeb.


3. Perlawanan Angkat Senjata

a. Perlawanan di Cot Plieng, Aceh

Perlawanan di Aceh ini dipimpin oleh Tengku Abdul Djalil, seorang ulama pemuda. Pada 10 November 1942, tentara Jepang menyerang Cot Plieng pada saat rakyat sedang melaksanakan shalat Subuh. Penyerangan pagi buta ini akhirnya dapat digagalkan oleh rakyat dengan menggunakan senjata kelewang, pedang, dan rencong. Begitupun dengan dengan serangan kedua, tentara Jepang berhasil dipukul mundur. Namun pada serangan yang ketiga, pasukan Teungku Abdul Jalil dapat dikalahkan Jepang. Peperangan ini telah merenggut 90 tentara Jepang dan sekitar 3.000 masyarakat Cot Plieng.

b. Perlawanan di Tasikmalaya, Jawa Barat

Perlawanan di Singaparna, Tasikmalaya, ini dipimpin oleh Kyai Haji Zaenal Mustofa. Perlawanan ini terkait dengan tidak bersedianya K.H. Zaenal Mustofa untuk melakukan Seikeirei, memberikan penghormatan kepada Kaisar Jepang. Dalam pandangan Zaenal Mustofa, membungkuk seperti itu sama saja dengan memberikan penghormatan lebih kepada matahari, sementara dalam hukum Islam hal tersebut terkarang karena dianggap menyekutukan Tuhan. Pemerintahan Jepang kemudian mengutus seseorang untuk menangkapnya. Namun utusan tersebut tidak berhasil karena dihadang rakyat. Dalam keadaan luka, perwakilan Jepang tersebut memberitahukan peristiwa tersebut kepada pimpinannya di Tasiklamalaya. Karena tersinggung, Jepang pada 25 Februari 1944 menyerang Singaparna pada siang hari setelah shalat Jumat. Dalam pertempuran tersebut Zaenal Mustofa berhasil ditangkap dan kemudian diasingkan ke Jakarta hingga wafatnya. Jenazahnya dikuburkan di daerah Ancol, dan kemudian dipindahkan ke Tasikmalaya.

c. Perlawanan di Indramayu

Daerah Jawa Barat lainnya adalah di Indramayu dan Loh Bener serta Sindang di daerah Pantai Utara Jawa Barat dekat Cirebon. Perlawanan itu dipimpin oleh H. Madriyas. Perlawanan ini dilatar belakangi oleh kewajiban menyetor hasil padi dan pelaksanaan romusha Perlawanan ini pun berhasil dipatahkan oleh tentara Jepang.


d. Perlawanan PETA di Blitar

Di Blitar, perlawanan meletus pada tanggal 14 Februari 1945 yang dipimpin oleh Shodanco Supriyadi, Muradi, Suparyono, Sunanto, Sudarmo, dan Halir. Supriyadi adalah Komandan Pleton I, Kompi III dari Batalyon II pasukan Peta di Blitar. Sejak pukul 03.00 WIB pasukannya sudah melancarkan serangan hebat dan tentara Jepang terdesak. Namun, pasukan Supriyadi mampu dikalahkan setelah bala bantuan Jepang yang sangat besar datang. Kurang lebih 70 tentara Peta diajukan pada pengadilan militer Jepang untuk diadili. Supriyadi sendiri dalam proses pengadilan tidak disebut-sebut. Ia dinyatakan hilang.

e. Perlawanan Tengku Abdul Hamid

Di Aceh perlawanan meletus di daerah Pandreh Kabupaten Berena. Pemimpinnya adalah seorang perwira Giyugun yang bernama Tengku Abdul Hamid. Ia bersama 20 pleton pasukan melarikan diri dari asrama Giyugun, kemudian bergerilya di daerah pegunungan. Untuk menangkapnya, Jepang menyandera keluarganya. Dengan cara itu, Tengku Abdul Hamid tertangkap dan pasukannya pun bubar.

Sementara itu Di Gumilir, Cilacap perlawanan dipimpin oleh seorang komandan regu bernama Khusaeri. Serangan pertama tentara Jepang terdesak, namun setelah bala bantuan datang Khusaeri mampu dikalahkan. Di Pangalengan, Jawa Barat, pun meletus perlawanan dari para personil Peta yang juga dapat dilumpuhkan.


e. Perlawanan Rakyat Papua

Pada 1943, rakyat Papua melakukan perlawanan terhadap Jepang. Perlawanan rakyat Papua tersebut diawali dengan kemunculan gerakan Koreri di Biak. Pasalnya, selama berkuasa di Biak, Jepang melakukan hal-hal kejam. Rakyat Biak dijadikan budak, dipukuli, dan dianiaya secara keji. Rakyat Papua yang merasa Jepang sudah berperilaku seenaknya pun melakukan perlawanan di bawah pimpinan L Rumkorem. Gerakan Koreri adalah gerakan yang menjadi wujud kekecewaan rakyat Papua atas tindakan Jepang dengan basis perlawanan di Biak. Dalam perlawanan ini, rakyat Papua yang melawan secara gerilya sebenarnya banyak yang menjadi korban. Namun, mereka tidak menyerah. Rakyat Papua tetap gigih melakukan perlawanan sampai akhirnya Jepang kewalahan dan hengkang dari Biak. Biak pun menjadi daerah bebas dan merdeka pertama di Indonesia dari penjajahan Jepang.

Selain itu juga terjadi perlawanan di daerah Sarmi. Jepang masuk ke daerah Sarmi pada sekitar 1942. Awalnya, kedatangan mereka disambut dengan baik oleh masyarakat setempat. Namun, pada akhirnya, sambutan baik rakyat dibalas dengan kekecewaan dan penderitaan. Pasalnya, Jepang kerap melakukan penindasan yang kejam terhadap penduduk Sarmi. Warga Sarmi dikerahkah untuk mengerjakan proyek pembangunan jalan raya dan lapangan udara oleh Jepang. Agar pembangunannya cepat selesai, Jepang memerlukan banyak tenaga kerja dan menjerumuskan rakyat Sarmi ke dalam kerja paksa (romusha). Semua tindakan yang dilakukan Jepang saat itu membuat penduduk Sarmi geram dan akhirnya mulai melakukan perlawanan. Perlawanan rakyat Papua di Sarmi diperkirakan terjadi pada 1944. Perlawanan dilakukan di lima pos milik Jepang, yaitu Hollandia, Sarmi, Biak, Numfor, dan Sausafor.

Dari kelima pos tersebut, diketahui ada sekitar 2.119 tentara Jepang yang dibunuh oleh penduduk Papua. Di tengah masa perlawanan, Sekutu kembali ke Indonesia dan berusaha menendang keberadaan Jepang di Tanah Air. Rakyat Papua yang masih menyimpan dendam terhadap Jepang pun ikut membantu Sekutu melawan pasukan dari negeri Sakura tersebut. Pada akhirnya, Jepang berhasil ditaklukkan dan perlahan-lahan mulai meninggalkan daerah Sarmi. Bahkan, sebagian besar barang-barang milik tentara Jepang juga ditinggalkan. 

 Perlawanan rakyat Papua terhadap Jepang juga meluas hingga ke Pulau Yapen Selatan. Dengan dipimpin oleh Nimrod, rakyat Papua terus berusaha memukul mundur pasukan Jepang dari Pulau Yapen. Ketika itu, Jepang juga terlibat dalam perang Asia Pasifik. Sekutu, yang mengetahui perlawanan rakyat Papua saat itu, turut membantu dengan menyuplai senjata. Sayangnya, meski rakyat Papua juga mendapat bantuan dari Sekutu, Nimrod ditangkap oleh Jepang.

Menurut catatan sejarah, Nimrod dihukum pancung oleh Jepang agar rakyat Papua merasa takut. Namun, kejadian itu tidak melemahkan kekuatan rakyat Papua. Setelah Nimrod gugur, muncul pemimpin baru, yaitu Silas Papare. Bersama dengan Silas Papare, rakyat Papua terus melawan Jepang.  Masih di sekitar tahun yang sama, yaitu antara 1944-1945, perlawanan rakyat Papua terhadap Jepang juga terjadi di Tanah Besar, daratan Papua. Perlawanan ini dipimpin oleh Simson. Sekutu juga masih ikut membantu rakyat Papua dengan memberikan pasokan senjata. Melalui kerja sama antara rakyat Papua dengan Sekutu, pasukan Jepang berhasil diusir, terutama setelah rakyat Papua melakukan taktik perang gerilya.

f. Perlawanan rakyat Kalimantan 

Tidak tahan dengan kekejaman Jepang, pada akhir 1944, orang-orang Dayak mulai melancarkan serangan. Meski berhasil membunuh beberapa orang Jepang, perlawanan mereka belum memberikan hasil yang berarti. Bahkan perlawanan rakyat dibalas oleh Jepang dengan akibat-akibat yang sangat buruk. Pada awal 1945, orang-orang Dayak di daerah hulu Kapuas di pedalaman Kalimantan Barat bangkit melawan Jepang. Pasukan Jepang yang sibuk menghadapi pendaratan pasukan Sekutu pun menjadi kelabakan. Bahkan kegarangan orang Dayak dalam bertempur membuat banyak prajurit Jepang melarikan diri ke hilir. Hal itu membuat orang-orang Dayak semakin berani memasuki Pontianak dengan membawa senjata tajam, termasuk senapan, tombak, parang, dan sumpit. 

Salah satu tokoh perlawanan rakyat Kalimantan terhadap Jepang adalah Pang Suma, yang mulai melancarkan aksinya pada pertengahan Februari 1945. Hingga 13 Mei 1945, kondisi di Kalimantan Barat kian memburuk, terutama setelah kedatangan mandor perusahaan kayu Jepang, Osaki. Selain kejam, Osaki memaksa ingin menikahi gadis Dayak. Apabila niatnya itu ditolak, ia mengancam akan membunuh ayah gadis itu. Pada akhirnya, Pang Suma memenggal Osaki dan membakar satu perusahaan ekspedisi yang dikelola komandan Kempeitai Kaisu Nagatani di Meliau. 

Selain itu, pimpinan perusahaan kayu lainnya di Niciran, Soetsoegi, juga dipenggal. Peristiwa ini semakin membakar semangat orang-orang Dayak untuk melakukan perlawanan. Gerakan perlawanan pun berkembang luas ke segenap rumpun Dayak di hulu, pesisir, dan pedalaman Kapuas hingga Melawai, Barito, dan Mahakam. Sementara itu, Jepang yang semakin panik segera mengerahkan pasukannya dan terjadilah pertempuran hebat antara laskar Pang Suma dan militer Jepang di Meliau. Sayangnya, Pang Suma gugur di medan perang bersama sebagian pasukannya dan perlawanan berhasil dipadamkan Jepang. Kendati demikian, harapan rakyat Kalimantan untuk mengusir Jepang terkabul. Pasalnya, tiga bulan setelah kematian Pang Suma, kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

 

Referensi: Diolah dari berbagai sumber.


Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer