Penulis: Adi Setiawan
Keberadaan bioskop saat ini lazim dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Keberadaannya terletak pada pusat berkumpulnya massa. Maka tak heran jika gedung bioskop menjadi pilihan untuk melepas penat dengan menikmati sajian gambar bergeraknya. Sejak era penjajahan menikmati film telah menjadi bagian dari kebiasaan masyarakat, utamanya mereka yang berada. Akhir pekan atau hari libur menjadi momen yang pas dilakukan untuk berkunjung ke bioskop.
Keberadaan bioskop hari ini memang tak sepopuler masa lalu. Munculnya teknologi elektronik dan digital seperti televisi dan handphone mengubah cara masyarakat menikmati hiburan film. Masyarakat saat ini dengan mudah mengakses sinetron atau film di televisi dengan mudah dan murah. Hal lain masyarakat juga semakin dimudahkan menonton film pada perangkat handphone mereka. Keberadaan medis sosial berbagi video seperti youtube atau aplikasi lain sangat memudahkan masyarakat dalam menikmati film kapan pun dan dimana pun.
Jika kita kembali pada tahun sebelum 2000-an sejati bioskop masih menjadi primadona masyarakat untuk menikmati sajian film, termasuk menikmati film lewat layar tancap di tanah lapang.
Bukti kejayaan bioskop masa lampau masih dapat dijumpai di Sekampung, suatu kecamatan di Lampung Timur saat ini. Pada akhirnya tahun 1980-an hingga 1990-an di Sekampung terdapat sebuah bioskop atau masyarakat menyebutnya gedung film yang sangat populer saat itu.
Mingan, warga Sekampung yang penulis temui mengisahkan bahwa masa mudanya dulu ia kerap menikmati film di bioskop Sekampung. Pria yang berprofesi sebagai tukang bangunan ini menambahkan bahwa pada masa jayanya bioskop Sekampung saben malem memutar 2 film secara bergantian.
Kondisi bioskop saat ini sudah kosong, terakhir digunakan sebagai toko bangunan. Area depan bioskop memiliki halaman yang luas, yang diperuntukkan sebagai tempat parkir kendaraan penonton. Pintu masuk dengan ukuran lebar. Pada lantai satu terdapat sebuah ruangan yang besar, nampak pula beberapa ruangan yang sepertinya diperuntukkan sebagai loket karcis.
Untuk naik ke lantai dua dihubungkan dengan beberapa anak tangga. Di lantai dua inilah penonton menikmati pemutaran film. Terdapat lantai yang berundak-undak yang menghadap ke dinding yang lebar.
Sri Khoniyah, warga setempat sekaligus pelaku sejarah bioskop Sekampung mengungkapkan, bioskop Sekampung adalah milik Tionghoa yang bernama Musalim. Lahan bioskop dibeli dari Zaidun Winarso pada tahun 1988.
Perempuan berusia 60 tahun tersebut menambahkan bahwa selepas tanah itu dibeli, lantas dibangunlah gedung bioskop. Tak lama kemudian bioskop dibuka. Ia pun kemudian dipercaya menjadi petugas penjualan karcis. Harga karcis adalah 2000 rupiah untuk sekali menonton.
Ia mengingat jelas bahwa dulu bioskop sangat ramai dengan penonton, terlebih pada bulan September. Sampai-sampai halaman rumahnya yang tepat di sisi kiri bioskop juga digunakan sebagai parkir kendaraan karena lahan parkir bioskop penuh.
Dari Ibu Sri Khoniyah didapatkan bahwa waktu operasional bioskop dilakukan setiap malam antara pukul 20.00 hingga 24.00. Khusus hari minggu bioskop dibuka mulai pukul 10.000 pagi.
Antusiasme masyarakat datang ke bioskop utamanya apabila akan diputar film laga seperti yang diperlukan Beri Prima. Film lain yang kerap diputar adalah film India atau Bollywood serta film-film lokal Indonesia.
Pupusnya kejayaan bioskop Sekampung terjadi setelah kemudahan masyarakat memiliki televisi. Awalnya film yang hanya dapat dinikmati di bioskop kemudian terjadi di televisi. Inilah sebab dari tutupnya bioskop Sekampung.
Sebuah tulisan "malam ini" dan kata "menyusul" masih terpampang pada muka bangunan bioskop. Tulisan itu menjadi pelengkap bukti hingar bingar bioskop Sekampung tempo dulu.
Narasumber:
Sri Khoniyah
Mingan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar