67 Sebuah Bedeng di Antara 67 Bedeng : Jejak Kolonisasi di Lampung
Oleh : Adi Setiawan
Guru Sejarah SMAN 1 Sekampung Lampung Timur
email: adiabuuwais@gmail.com
Bukti-bukti
adanya kolonialisme Belanda di Indonesia hingga kini masih tersisa di sebagian
penjuru Nusantara. Keberadaannya ada yang berupa peninggalan fisik berupa
arsitektur seperti gedung, jembatan, jalan dan lain-lain. Juga ada pula
peninggalan berupa budaya-sosial di masyarakat. Hal ini memang tak
mengherankan, jika Belanda yang telah bertahan di Indoneia lebih dari 300 tahun
itu, banyak memberikan pengaruh bagi masyarakat Indonesia.
Dalam
beberapa kebijakan, pemerintah kolonial Belanda menaruh perhatian pada aspek
kependudukan. Tercatat dalam sejarah, pada tahun 1900-an di Hindia Belanda
(nama Indonesia pada saat itu) pernah digulirkan sebuah kebijakan yang disebut
dengan Politik Etis. Politik Etis sendiri muncul dari ide seorang Belanda yang
bernama C.Th van Deventer. Ide yang kemudian disetujui oleh Ratu Belanda
tersebut muncul sebagai wujud keinginan van Deventer kepada bangsa Belanda agar
memberikan balas budi bagi bangsa Indonesia yang telah memberikan kesejahteraan
bagi negeri Belanda.
Politik
Etis yang dicetuskan van Deventer memiliki tiga unsur atau yang sering disebut
Trilogi van Deventer. Trilogi tersebut adalah edukasi (pendidikan), irigasi
(pengairan), dan transmigrasi (pemindahan penduduk). Yang disebut terakhir ini
muncul atas pertimbangan jumlah penduduk di Hindia Belanda yang kurang merata.
Jawa sebagai pulau yang luasnya kurang dari setengah luas pulau Kalimantan
harus menampung penduduk yang luar biasa jumlahnya. Akan tetapi pulau-pulau
lain di Hindia Belanda, jumlah penduduk masih relatif sedikit. Untuk mengatasi
masalah tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda setuju untuk mengadakan pemindahan
penduduk keluar Jawa. Apalagi disertai dengan kepentingan Pemerintah Kolonial
untuk membuka hutan-hutan di luar Jawa, yang diorientasikan sebagai onderneming,
maka pemindahan penduduk ke luar Jawa adalah hal yang cukup diperlukan.
Transmigrasi
yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada tahap awal memilih Lampung
sebagai daerah tujuan. Pemindahan penduduk untuk pertama kali dilakukan dari
Jawa ke Lampung terjadi pada tahun 1905. Penduduk yang dipindahkan ditahap awal
ini berasal dari Karesidenan Kedu Jawa Tengah. Kolonisasi pertama di Lampung
ini ditempatkan di daerah Gedong Tataan.
Wilayah
Lampung yang luas dan masih berupa hutan belukar tentu menyimpan nilai ekonomis
perlu dikembangkan menjadi daerah pertanian dan perkebunan. Atas hal ini pemerintah
kolonial Belanda lebih mengintensifkan pemindahan penduduk dari Jawa ke
Lampung. Keberhasilan kolonisasi tahap
awal di Lampung tersebut juga menjadi patokan pemerintah kolonial Belanda untuk
melakukan transmigrasi lebih lanjut.
Di
antara sekian kolonisasi yang ada di Lampung terjadi di wilayah antara sungai
Way Sekampung dan Way Raman. Proyek kolonisasi tersebut diebut dengan Proyek Kolonisasi
Gedong Dalem. Di wilayah ini pemerintah kolonial Belanda menempatkan penduduk
dari Jawa untuk mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan. Dalam
pelaksanaan kolonisasi di wilayah ini, pemerintah kolonial Belanda membagi
daerah-daerah kolonisasi menjadi 70 bedding (bedeng). Ke-70 bedeng
tersebut dikelompokan ke dalam beberapa asisten kawedanan seperti asisten kawedanan
Trimurjo, asisten kawedanan Pekalongan, asisten kawedanan Batanghari dan
asisten kawedanan Sekampung. Untuk
asisten kewedanan Sekampung sendiri terdiri dari bedeng 53 sampai bedeng 70,
walaupun dalam perjalanannya diantara bedeng-bedeng tersebut ada yang tidak
mampu bertahan seperti bedeng 68, 69 dan 70.
Tulisan
ini mencoba untuk menelisik tentang pelaksanaan kolonisasi di wilayah Lampung
dengan ruang lingkup kolonisasi di bedeng 67. Daerah kolonisasi yang kini telah
menjelma menjadi sebuah desa, dengan penduduk yang telah mengikuti perkembangan
zaman dengan segala bentuk perubahannya. Walaupun demikian perubahan itu
sepatutnya tidak melupakan sejarahnya.
Melalui tulisan inilah, penulis ingin mendokumentasikan ingatan kolektif
masyarakat bedeng 67 tentang kolonisasi para pendahulunya.
Bedeng
67 yang memiliki nama lain desa Girikarto, kini masuk ke dalam kecamatan
Sekampung Kabupaten Lampung Timur itu mayoritas berpenduduk suku Jawa. Saat
pembentukannya, di bedeng 67 suku Jawa yang datang berasal dari berbagai daerah
yang ada di Pulau Jawa seperti Wonogiri dan Yogyakarta. Nama Girikarto diambil
dari dua kata yakni kata Giri yang berarti Gunung dan kata Karto
yang berarti sejahtera atau makmur. Kata Giri disinyalir diambil dari
kata Wonogiri, daerah asal kolonis. Hal ini seperti ini barangkali juga
dijumpai pada penamaan bedeng yang lain, sebagai contoh adalah bedeng 61 yang
bernama Wonokarto. Wonokarto, yang berasal dari kata Wono dan Karto.
Sepertinya penamaan bedeng tersebut juga masih berkaitan erat dengan tempat
asal kolonis.
Salah
satu mantan warga kolonis di bedeng 67 adalah Mbah Redo. Ia datang ke Lampung
bersama keluarganya. Menurut penuturannya, Ia berasal dari Janggan, Bantul
Yogyakarta (menurut cerita yang ia sampaikan kepada penulis tempat tinggalnya
di Bantul berdekatan dengan Pabrik Gula Gesikan).
Kedatangan
para kolonis ke Lampung tidak terlepas dari kondisi kehidupan ekonomi di Pulau Jawa, yakni ada sebagian kolonis
yang tidak memiliki lahan, sehingga saat ditawari untuk pindah ke Lampung mereka
setuju. Begitupun dengan Ardjodinomo (ayah dari Mbah Redo), ia juga tidak
memiliki lahan bercocok tanam. Di tempat asal ia hanya bekerja sebagai buruh
tani. Saat ditawari untuk pindah ke Lampung ia menyetujui. Hingga akhirnya ia
memboyong istri dan ketiga anaknya untuk berhijrah ke Lampung.
Masih
berdasarkan penuturan Mbah Redo, saat para calon kolonis akan diberangkatkan ke
Lampung. Mereka dikumpulkan di kelurahan, kemudian setelah siap mereka naik pra
oto (sejenis mobil truk) lalu naik kereta api, kemudian naik kapal
menyeberangi Selat Sunda. Kapal yang membawa calon kolonis saat itu berlabuh di
Pelabuhan Panjang, kemudian para calon kolonis ini diberi peralatan bertani seperti pacul dan gancu/dandan hingga
kemudian para calon kolonis kembali naik pra oto untuk diantar ke daerah
kolonisasi.
Kembali
dari penuturan Mbah Redo, bahwa para calon kolonis yang dibawa pra oto
tadi tidak diantar sampai ke bedeng 67. Tetapi mereka diturunkan di Sekampung
(bedeng 56). Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju
bedeng 67 dengan rute melewati bedeng 58 dan bedeng 61. Sesampainya di bedeng
67 mereka dikumpulkan di kelurahan dengan luruhnya saat itu bernama Joyo Wiryo
(perlu penulis beritahukan bahwa saat kedatangan Mbah Redo di bedeng 67, sudah
terdapat kolonis yang datang lebih awal, jadi kolonis seperti Mbah Redo bukan
kolonis angkatan pertama di bedeng 67).
Saat
Mbah Redo datang, di bedeng 67 telah terdapat keluarga-keluarga kolonis yang
datang lebih awal. Sehingga para kolonis seperti Mbah Redo karena belum
memiliki tempat tinggal mereka ditampung dirumah keluarga-keluarga kolonis yang
datang lebih awal tersebut. Mbah Redo saat itu ditampung atau istilahnya mondok
dirumah Pak Marto, rumah itu beratap welit dan dindingnya terbuat dari
klitok/kulit kayu.
Mbah
Redo menuturkan saat kedatangannya di bedeng 67, para kolonis yang datang lebih
awal telah bercocok tanam. Salah satunya adalah menanam jenis padi gogo. Lahan
yang diusahakan sebagai lahan bercocok tanam saat itu masih belum luas. Pada
umumnya bedeng 67 masih berupa hutan lebat. Sehingga belum sepenuhnya lahan
yang sekarang terbagi menjadi 4 dusun tersebut, dijadikan pemukiman. Di bedeng
67 saat pertama kali dibentuk kolonisasi terbagi menjadi dua kolompok kolonis,
kelompok pertama berada di sebelah barat (jika sekarang berada di dusun 67A,
sekitar perbatasan antara bedeng 67A dan bedeng 61B), dan kelompok kedua berada
di sebelah timur (jika sekarang berada di dusun 67 polos perbatasan dengan Kota
Tengah). Sedangkan untuk dusun 67 Badran dan 67 B masa itu masih berupa hutan
(kedua dusun ini terbentuk setelah adanya proyek transmigrasi dari Pemerintah
Republik Indonesia/setelah kemerdekaan).
Setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan dimulainya
perang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman pasukan Belanda. Di bedeng 67
walaupun tidak terjadi peperangan namun ada sebagian warganya yang turut
berjuang dan menjadi sukarelawan perang. Konon certitanya dalam salah satu
kesempatan, pernah terjadi patroli dari tentara Belanda di bagian barat bedeng
67 tepatnya di perbatasan bedeng 67A dengan bedeng 61B. Patroli tersebut adalah
untuk mencari para pejuang. Dari penuturan Mbah Redo, jika ada patroli tentara
Belanda maka kaum laki-laki segera meninggalkan kampung untuk bersembunyi.
Pada
masa peperangan dengan Belanda, terjadi penembakan terhadap sukarelwan perang
dari bedeng 67. Sukarelwan tersebut bernama Gino, kronologi kejadian tersebut
adalah saat Gino yang hendak mengantar makanan kepada para pejuang kemerdekaan
bertemu dengan tentara Belanda di Tanjung Kari (sekarang masuk kecamatan Marga
Tiga). Belanda yang curiga, kemudian menembak Gino yang membawa makanan
tersebut. Gino pun gugur sebagai sukarelawan perang. Jenazahnya di makamkan di
pemakaman umum bedeng 67. Kini untuk menghormati jasanya setiap tanggal 11
September (tanggal 11 September diyakini sebagai hari jadi Desa Girikarto) dilakukan
tabur bunga di makamnya dan makam para pendiri desa.
Dalam
perkembanganya bedeng 67 yang hampir 100% penduduknya beretnis Jawa tersebut, mengembangkan
ekonomi dari pertanian. Pada awalnya masyarakat bercocok tanam palawija juga
jenis padi gogo. Maklum pada awal terbentuknya bedeng 67 belum memiliki sistem
irigasi. Namun untuk saat ini pertanian didominasi dengan pertanian padi sawah
saat musim tanam rendeng dan gadu dan bertanam palawija selepas
panen padi sawah (saat musim kemarau). Pada masa lalu, selain bercocok tanam,
masyarakat di bedeng 67 khususnya di dusun 67 Badran juga mengusahakan
kerajinan genteng. Genteng dari 67, dulu cukup dikenal dan diminati di kecamatan Sekampung dan
sekitarnya, namun kini eksistensinya meredup dan banyak perajin genteng beralih
cetak bata.
Dari
pemerintahan desa, dari mulai awal terbentuknya hingga kini di bedeng 67
setidaknya sudah beberapa kali berganti kepala desa, diantaranya :
1.
Joyo Wiryo
2.
Suro Wiyono
3.
Dulah
4.
Parno
5.
Sarno
6.
Purwanto
7.
Sudiyanto
8.
Sugiyatmi
Demikianlah
tulisan singkat tentang kolonisasi di bedeng 67 semoga dapat memberikan
informasi kepada pembaca. Penulis menyadari pada tulisan ini masih banyak
kekurangan baik dari sistematika penulisan maupun literatur. Penulis sangat
berharap pada masyarakat, khususnya yang mengetahui sejarah bedeng 67 untuk
dapat berkontribusi dalam penulisan sejarah perkembangan bedeng 67 (desa
Girikarto).
Disusun Oleh : Adi Setiawan (Guru Sejarah SMA N 1 Sekampung Lampung Timur)
Sabtu, 25 Maret 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar