Rabu, 11 April 2018

67 Sebuah Bedeng di Antara 67 Bedeng : Jejak Kolonisasi di Lampung



67 Sebuah Bedeng di Antara 67 Bedeng : Jejak Kolonisasi di Lampung

Oleh : Adi Setiawan
Guru Sejarah SMAN 1 Sekampung Lampung Timur 
email: adiabuuwais@gmail.com

Bukti-bukti adanya kolonialisme Belanda di Indonesia hingga kini masih tersisa di sebagian penjuru Nusantara. Keberadaannya ada yang berupa peninggalan fisik berupa arsitektur seperti gedung, jembatan, jalan dan lain-lain. Juga ada pula peninggalan berupa budaya-sosial di masyarakat. Hal ini memang tak mengherankan, jika Belanda yang telah bertahan di Indoneia lebih dari 300 tahun itu, banyak memberikan pengaruh bagi masyarakat Indonesia. 

Dalam beberapa kebijakan, pemerintah kolonial Belanda menaruh perhatian pada aspek kependudukan. Tercatat dalam sejarah, pada tahun 1900-an di Hindia Belanda (nama Indonesia pada saat itu) pernah digulirkan sebuah kebijakan yang disebut dengan Politik Etis. Politik Etis sendiri muncul dari ide seorang Belanda yang bernama C.Th van Deventer. Ide yang kemudian disetujui oleh Ratu Belanda tersebut muncul sebagai wujud keinginan van Deventer kepada bangsa Belanda agar memberikan balas budi bagi bangsa Indonesia yang telah memberikan kesejahteraan bagi negeri Belanda.

Politik Etis yang dicetuskan van Deventer memiliki tiga unsur atau yang sering disebut Trilogi van Deventer. Trilogi tersebut adalah edukasi (pendidikan), irigasi (pengairan), dan transmigrasi (pemindahan penduduk). Yang disebut terakhir ini muncul atas pertimbangan jumlah penduduk di Hindia Belanda yang kurang merata. Jawa sebagai pulau yang luasnya kurang dari setengah luas pulau Kalimantan harus menampung penduduk yang luar biasa jumlahnya. Akan tetapi pulau-pulau lain di Hindia Belanda, jumlah penduduk masih relatif sedikit. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka pemerintah kolonial Belanda setuju untuk mengadakan pemindahan penduduk keluar Jawa. Apalagi disertai dengan kepentingan Pemerintah Kolonial untuk membuka hutan-hutan di luar Jawa, yang diorientasikan sebagai onderneming, maka pemindahan penduduk ke luar Jawa adalah hal yang cukup diperlukan.

Transmigrasi yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda pada tahap awal memilih Lampung sebagai daerah tujuan. Pemindahan penduduk untuk pertama kali dilakukan dari Jawa ke Lampung terjadi pada tahun 1905. Penduduk yang dipindahkan ditahap awal ini berasal dari Karesidenan Kedu Jawa Tengah. Kolonisasi pertama di Lampung ini ditempatkan di daerah Gedong Tataan.

Wilayah Lampung yang luas dan masih berupa hutan belukar tentu menyimpan nilai ekonomis perlu dikembangkan menjadi daerah pertanian dan perkebunan. Atas hal ini pemerintah kolonial Belanda lebih mengintensifkan pemindahan penduduk dari Jawa ke Lampung.  Keberhasilan kolonisasi tahap awal di Lampung tersebut juga menjadi patokan pemerintah kolonial Belanda untuk melakukan transmigrasi lebih lanjut.

Di antara sekian kolonisasi yang ada di Lampung terjadi di wilayah antara sungai Way Sekampung dan Way Raman. Proyek kolonisasi tersebut diebut dengan Proyek Kolonisasi Gedong Dalem. Di wilayah ini pemerintah kolonial Belanda menempatkan penduduk dari Jawa untuk mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan. Dalam pelaksanaan kolonisasi di wilayah ini, pemerintah kolonial Belanda membagi daerah-daerah kolonisasi menjadi 70 bedding (bedeng). Ke-70 bedeng tersebut dikelompokan ke dalam beberapa asisten kawedanan seperti asisten kawedanan Trimurjo, asisten kawedanan Pekalongan, asisten kawedanan Batanghari dan asisten kawedanan  Sekampung. Untuk asisten kewedanan Sekampung sendiri terdiri dari bedeng 53 sampai bedeng 70, walaupun dalam perjalanannya diantara bedeng-bedeng tersebut ada yang tidak mampu bertahan seperti bedeng 68, 69 dan 70.

Tulisan ini mencoba untuk menelisik tentang pelaksanaan kolonisasi di wilayah Lampung dengan ruang lingkup kolonisasi di bedeng 67. Daerah kolonisasi yang kini telah menjelma menjadi sebuah desa, dengan penduduk yang telah mengikuti perkembangan zaman dengan segala bentuk perubahannya. Walaupun demikian perubahan itu sepatutnya tidak melupakan  sejarahnya. Melalui tulisan inilah, penulis ingin mendokumentasikan ingatan kolektif masyarakat bedeng 67 tentang kolonisasi para pendahulunya.  

Bedeng 67 yang memiliki nama lain desa Girikarto, kini masuk ke dalam kecamatan Sekampung Kabupaten Lampung Timur itu mayoritas berpenduduk suku Jawa. Saat pembentukannya, di bedeng 67 suku Jawa yang datang berasal dari berbagai daerah yang ada di Pulau Jawa seperti Wonogiri dan Yogyakarta. Nama Girikarto diambil dari dua kata yakni kata Giri yang berarti Gunung dan kata Karto yang berarti sejahtera atau makmur. Kata Giri disinyalir diambil dari kata Wonogiri, daerah asal kolonis. Hal ini seperti ini barangkali juga dijumpai pada penamaan bedeng yang lain, sebagai contoh adalah bedeng 61 yang bernama Wonokarto. Wonokarto, yang berasal dari kata Wono dan Karto. Sepertinya penamaan bedeng tersebut juga masih berkaitan erat dengan tempat asal kolonis. 
Salah satu mantan warga kolonis di bedeng 67 adalah Mbah Redo. Ia datang ke Lampung bersama keluarganya. Menurut penuturannya, Ia berasal dari Janggan, Bantul Yogyakarta (menurut cerita yang ia sampaikan kepada penulis tempat tinggalnya di Bantul berdekatan dengan Pabrik Gula Gesikan).
Kedatangan para kolonis ke Lampung tidak terlepas dari kondisi kehidupan ekonomi  di Pulau Jawa, yakni ada sebagian kolonis yang tidak memiliki lahan, sehingga saat ditawari untuk pindah ke Lampung mereka setuju. Begitupun dengan Ardjodinomo (ayah dari Mbah Redo), ia juga tidak memiliki lahan bercocok tanam. Di tempat asal ia hanya bekerja sebagai buruh tani. Saat ditawari untuk pindah ke Lampung ia menyetujui. Hingga akhirnya ia memboyong istri dan ketiga anaknya untuk berhijrah ke Lampung.

Masih berdasarkan penuturan Mbah Redo, saat para calon kolonis akan diberangkatkan ke Lampung. Mereka dikumpulkan di kelurahan, kemudian setelah siap mereka naik pra oto (sejenis mobil truk) lalu naik kereta api, kemudian naik kapal menyeberangi Selat Sunda. Kapal yang membawa calon kolonis saat itu berlabuh di Pelabuhan Panjang, kemudian para calon kolonis ini diberi peralatan bertani  seperti pacul dan gancu/dandan hingga kemudian para calon kolonis kembali naik pra oto untuk diantar ke daerah kolonisasi.

Kembali dari penuturan Mbah Redo, bahwa para calon kolonis yang dibawa pra oto tadi tidak diantar sampai ke bedeng 67. Tetapi mereka diturunkan di Sekampung (bedeng 56). Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki menuju bedeng 67 dengan rute melewati bedeng 58 dan bedeng 61. Sesampainya di bedeng 67 mereka dikumpulkan di kelurahan dengan luruhnya saat itu bernama Joyo Wiryo (perlu penulis beritahukan bahwa saat kedatangan Mbah Redo di bedeng 67, sudah terdapat kolonis yang datang lebih awal, jadi kolonis seperti Mbah Redo bukan kolonis angkatan pertama di bedeng 67). 

Saat Mbah Redo datang, di bedeng 67 telah terdapat keluarga-keluarga kolonis yang datang lebih awal. Sehingga para kolonis seperti Mbah Redo karena belum memiliki tempat tinggal mereka ditampung dirumah keluarga-keluarga kolonis yang datang lebih awal tersebut. Mbah Redo saat itu ditampung atau istilahnya mondok dirumah Pak Marto, rumah itu beratap welit dan dindingnya terbuat dari klitok/kulit kayu.

Mbah Redo menuturkan saat kedatangannya di bedeng 67, para kolonis yang datang lebih awal telah bercocok tanam. Salah satunya adalah menanam jenis padi gogo. Lahan yang diusahakan sebagai lahan bercocok tanam saat itu masih belum luas. Pada umumnya bedeng 67 masih berupa hutan lebat. Sehingga belum sepenuhnya lahan yang sekarang terbagi menjadi 4 dusun tersebut, dijadikan pemukiman. Di bedeng 67 saat pertama kali dibentuk kolonisasi terbagi menjadi dua kolompok kolonis, kelompok pertama berada di sebelah barat (jika sekarang berada di dusun 67A, sekitar perbatasan antara bedeng 67A dan bedeng 61B), dan kelompok kedua berada di sebelah timur (jika sekarang berada di dusun 67 polos perbatasan dengan Kota Tengah). Sedangkan untuk dusun 67 Badran dan 67 B masa itu masih berupa hutan (kedua dusun ini terbentuk setelah adanya proyek transmigrasi dari Pemerintah Republik Indonesia/setelah kemerdekaan).

Setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dan dimulainya perang mempertahankan kemerdekaan dari ancaman pasukan Belanda. Di bedeng 67 walaupun tidak terjadi peperangan namun ada sebagian warganya yang turut berjuang dan menjadi sukarelawan perang. Konon certitanya dalam salah satu kesempatan, pernah terjadi patroli dari tentara Belanda di bagian barat bedeng 67 tepatnya di perbatasan bedeng 67A dengan bedeng 61B. Patroli tersebut adalah untuk mencari para pejuang. Dari penuturan Mbah Redo, jika ada patroli tentara Belanda maka kaum laki-laki segera meninggalkan kampung untuk bersembunyi.
Pada masa peperangan dengan Belanda, terjadi penembakan terhadap sukarelwan perang dari bedeng 67. Sukarelwan tersebut bernama Gino, kronologi kejadian tersebut adalah saat Gino yang hendak mengantar makanan kepada para pejuang kemerdekaan bertemu dengan tentara Belanda di Tanjung Kari (sekarang masuk kecamatan Marga Tiga). Belanda yang curiga, kemudian menembak Gino yang membawa makanan tersebut. Gino pun gugur sebagai sukarelawan perang. Jenazahnya di makamkan di pemakaman umum bedeng 67. Kini untuk menghormati jasanya setiap tanggal 11 September (tanggal 11 September diyakini sebagai hari jadi Desa Girikarto) dilakukan tabur bunga di makamnya dan makam para pendiri desa. 

Dalam perkembanganya bedeng 67 yang hampir 100% penduduknya beretnis Jawa tersebut, mengembangkan ekonomi dari pertanian. Pada awalnya masyarakat bercocok tanam palawija juga jenis padi gogo. Maklum pada awal terbentuknya bedeng 67 belum memiliki sistem irigasi. Namun untuk saat ini pertanian didominasi dengan pertanian padi sawah saat musim tanam rendeng dan gadu dan bertanam palawija selepas panen padi sawah (saat musim kemarau). Pada masa lalu, selain bercocok tanam, masyarakat di bedeng 67 khususnya di dusun 67 Badran juga mengusahakan kerajinan genteng. Genteng dari 67, dulu cukup dikenal  dan diminati di kecamatan Sekampung dan sekitarnya, namun kini eksistensinya meredup dan banyak perajin genteng beralih cetak bata.

Dari pemerintahan desa, dari mulai awal terbentuknya hingga kini di bedeng 67 setidaknya sudah beberapa kali berganti kepala desa, diantaranya :
1.      Joyo Wiryo
2.      Suro Wiyono
3.      Dulah
4.      Parno
5.      Sarno
6.      Purwanto
7.      Sudiyanto
8.      Sugiyatmi

Demikianlah tulisan singkat tentang kolonisasi di bedeng 67 semoga dapat memberikan informasi kepada pembaca. Penulis menyadari pada tulisan ini masih banyak kekurangan baik dari sistematika penulisan maupun literatur. Penulis sangat berharap pada masyarakat, khususnya yang mengetahui sejarah bedeng 67 untuk dapat berkontribusi dalam penulisan sejarah perkembangan bedeng 67 (desa Girikarto).

Disusun Oleh : Adi Setiawan (Guru Sejarah SMA N 1 Sekampung Lampung Timur)
Sabtu, 25 Maret 2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Serbuan Pasukan Jepang di Lampung Tahun 1942

Era pendudukan Jepang di Indonesia merupakan satu zaman yang penuh dengan penderitaan. Eksploitasi sumberdaya alam serta sumberdaya manusia ...

Populer