Pendidikan menjadi suatu hal yang penting dalam kehidupan seorang manusia. Pendidikan menjadi jembatan bagi kemajuan peradaban bangsa. Dengan pendidikan seseorang dilatih, dididik dan diajarkan berbagai penegtahuan, keterampilan dan norma-norma. Maka pendidikan menjadi suatu kebutuhan yang perlu dienyam sedari dini oleh manusia. Lantas bagaimanakah kondisi pendidikan di Lampung era Kolonial?
Oleh: Adi Setiawan
Sekolah Muhammadiyah di Metro
(Sumber: Kian Amboro)
Kemajuan peradaban suatu bangsa pasti tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan yang dimiliki manusianya. Berbagai tinggalan sejarah yang membuat takjub adalah saksi bisu dari majunya pengetahuan dan keterampilan manusia di zaman dulu. Karena tanpa pengetahuan dan keterampilan mustahil mereka dapat membuat karya-karya yang monumental itu. Bagi bangsa Indonesia, sejak zaman kuno telah memiliki peradaban yang maju. Tinggalan berupa candi dan lain sebagainya menjadi contoh dari hal itu. Sistem pendidikan selalu berkembang seiring dengan perubahan zaman. Pendidikan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta berupaya untuk mempersiapkan generasi yang cakap dalam menjawab setiap perubahan zaman.
Sejarah pendidikan di Indonesia telah dimulai sejak zaman Hindu-Budha, zaman Islam, zaman Kolonial, zaman Jepang dan zaman Kemerdekaan. Di setiap zaman, pendidikan yang diselenggarakan memiliki ciri-ciri yang berbeda. Adakalanya pendidikan diselenggarakan guna melahirkan golongan agamawan seperti zaman Hindu-Budha dan Islam. Kemudian pada zaman kolonial pendidikan di Indonesia diarahkan pada lulusan yang dipersiapkan menjadi pegawai. Pada zaman Jepang pendidikan di Indonesia mengalami penurunan akibat dampak perang. Sedangkan pada era Kemerdekaan pendidikan dikembangkan untuk melahirkan bangsa yang berpengetahuan, terampil dan berakhlak mulia.
Sebagai daerah yang bersentuhan dengan era Kolonial
perkembangan pendidikan di Lampung menarik untuk diketahui. Daerah yang disebut
sebagai pintu gerbang pulau Sumatra ini tentunya memiliki sejarah pendidikan yang
panjang pula. Dengan berbekal dari laporan jurnalistik era kolonial, pada
tulisan singkat ini berusaha untuk mengabarkan pendidikan Lampung pada era
Kolonial.
Sekolah
Muhammadiyah di Metro
Pada pemberitaan De Indische Courant, 23 Februari 1940 dijelaskan bahwa telah diresmikan Sekolah Muhammadiyah di daerah Kolonisasi Sukadana. Sekolah ini terletak di Metro, sebuah daerah yang menjadi pusat dari kolonisasi ini. Dalam acara peresmian ini dilaksanakan di kediaman Penghulu Metro. Berdirinya Sekolah Muhammadiyah di Metro ini tidak terlepas dari kerjasama antara pengurus perkumpulan Muhammadiyah Metro dengan perkumpulan Muhammadiyah Telukbetung. Sekolah Muhammadiyah di Metro ini memiliki kapasitas 50 murid. Kehadiran sekolah Muhammadiyah merupakan harapan masyarakat kolonis di Metro.
Berita
Peresmian Sekolah Muhammadiyah Metro
(Sumber:
De Indische Courant, 23 Februari 1940)
Pada
pemberitaan De Indische Courant Sekolah Muhammadiyah lainnya akan
segera dibuka di Gedongdalem, yang juga merupakan daerah kolonisasi Sukadana. Tercatat
sekitar tahun 1930 pertama kali sebuah sekolah dasar Muhammadiyah didirikan di
Telukbetung. Pada tahun 1937, sekolah Muhammadiyah juga telah berdiri di Talang
Padang. Salah seorang yang patut dicatat sebagai tokoh pendidikan dari Muhammadiyah
di Talangpadang ialah Taib Jailahi yang menjabat sebagai kepala sekolah sampai
saat Jepang menguasai daerah Lampung (Depdikbud, 1982:65).
Sekolah Muhammadiyah di Metro
(Sumber: Kian Amboro)
Perlu
diketahui pula bahwa perkumpulan Muhammadiyah di Lampung selain menaruh
perhatian dalam urusan pendidikan juga memiliki peran dalam membantu rakyat di
Lampung melalui kegiatan bakti sosial. Dalam Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Mei
1939 perkumpulan Muhammadiyah yang bekerjasama dengan masyarakat adat Lampung membentuk
sebuah komite yang bertujuan untuk mengumpulkan pakaian-pakaian bekas,
peralatan dapur, kaleng dan botol kosong, perabotan dan barang-barang rumah
tangga lainnya. Barang-barang itu nantinya akan dibagikan kepada kolonis di
Lampung. Memang saat itu kondisi kolonis dalam kondisi hidup yang sulit di
tengah hutan, tidak terlindung dari angin dan cuaca, mudah terserang berbagai
macam penyakit seperti malaria, disentri, dan lain-lain.
Sekolah Taman Siswa di Lampung
Perguruan Tinggi
Taman Siswa merupakan perguruan nasional yang menjiwai pergerakan kebangsaan
kita pada zaman pergerakan nasional. Tak lama setelah didirikan di Lampung
berdiri Perguruan Taman Siswa untuk tingkat sekolah dasar di Tanjungkarang,
Telukbetung dan di Gedong Tataan di sekitar tahun 1925. Sebagaimana kita lihat
perkembangan selanjutnya dengan adanya Undang-undang Sekolah Liar maka
perguruan Taman Siswa mengalami pasang surut (Depdikbud, 1982:64).
Pada
tahun 1938 Ki Hadjar Dewantara, pimpinan lembaga pendidikan nasional Taman Siswa,
melakukan kunjungan di Telukbetung untuk meninjau lembaga
pendidikan Taman Siswa yang terletak di Lampung. Sebagai
penyambutan, diadakan pertemuan di gedung sekolah Taman Siswa Telukbetung yang
dihadiri kurang lebih 300 orang. Kunjungan Ki Hajar ini juga diramaikan dengan
pertunjukan teater siswa sekolah Taman Siswa di gedung Teater
Pusat di Telukbetung. Dalam kunjungannya di Lampung, Ki Hajar Dewantara
memberikan ceramah di gedung tersebut tentang pendidikan nasional bagi generasi
muda (Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938).
Berita Taman Siswa di Lampung
(Sumber:
Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938)
Sampai
masa pendudukan Jepang Perguruan Taman Siswa sudah terdapat di kota-kota kecil
di Lampung, yaitu di Kotabumi, Talangpadang, Kotaagung, Gedong Tataan, Sukadana
dan Kalianda. Jumlah murid tidak menunjukkan angka yang menggembirakan, namun
sebagai suatu sekolah nasional dapat menunjukkan prestasi yang baik dalam
menunjang perjuangan di daerah Lampung. Salah seorang yang terkenal ialah
Pangeran Emir Mochammad Noor merupakan pejuang yang gigih dari daerah Lampung.
Beliau adalah guru Taman Siswa di Telukbetung yang dalam tahun 1943 memperoleh
pendidikan Gyugun di Pagaralam, Sumatera Selatan. (Depdikbud, 1982:64).
Sekolah
di Kolonisasi I.E.V Giesting
Salah satu hal yang menarik dari
sejarah di Lampung adalah keberadaan kolonisasi yang dilakukan oleh kaum
Indo-Eropa di Giesting, Tanggamus. Keberadaan kolonisasi ini tidak terlepas
dari berdirinya Indo-Europeesch Verbond (I.E.V), yang berdiri pada tahun
1919 atas prakarsa Karel Zaalberg. Indo-Europeesch Verbond melaksanakan
kolonisasi di Giesting pada tahun 1926 adalah karena adanya motif sosial dan
ekonomi yang mendorong kaum Indo-Eropa untuk melaksanakan kolonisasi. Tujuan Indo-Europeesch
Verbond melaksanakan kolonisasi di Giesting adalah untuk menghidupkan
kesejahteraan kaum Indo-Eropa di Indonesia (Aulia Mutiara Putri, 2022).
Masalah kesejahteraan kaum Indo-Eropa
yang telah berpindah di Lampung ini kemudian bukan hanya menyangkut pemenuhan
ekonomi semata. Kaum Indo-Eropa di Giesting kemudian meminta pemerintah
memperhatikan masalah pendidikan bagi anaka-anak mereka. Pasalnya di Kolonisasi
Giesting belum ada sekolah yang dapat memberikan layanan pendidikan. Ketiadaan
sekolah ini menjadi kekhawatiran yang dirasakan, oleh karena pemerinta diminta
mendirikan sekolah dasar di Giesting.
Mendengar harapan dari para kolonis
ini, pemerintah kemudian melakukan perencanaan mengenai pendirian sekolah di
Giesting. Mengenai rencana sekolah di koloni tersebut, dapat dilaporkan bahwa
jumlah minimum murid yang ditentukan untuk pendirian sekolah dasar belum
tercapai. Hasilnya, agar pendidikan tetap dapat diberikan kepada anak-anak
kolonis maka Departemen Pendidikan mengirim Ibu Dulon Barre ke Giesting, yang suaminya
memang tinggal di Lampung. Pemberitaan dari De Sumatra post, 3 Mei 1927
bahwa Ibu Dulon Barre sebelumnya mengajar di Madiun.
Laporan
De Indische Courant, 24 Februari 1928 kolonisasi I.E.V diperluas sekitar
sepertiga dari jumlah pemukim. Antusiasme untuk menetap di kolonisasi semakin
terlihat. Perkembangan kolonisasi ini kemudian berdampak pada perhatian
pemerintah pada ketersedian sekolah di Giesting. Pemerintah menilai dengan perluasan
kolonisasi ini juga akan mencapai jumlah minimum sejumlah 25 murid yang
ditentukan untuk pendirian sekolah (sekolah I.E.V bersubsidi). Departemen Pendidikan kemudian
berhasil mendirikan de Lagere School van de Landbouwkolonie Giesting van het
I.E.V atau Sekolah Dasar Koloni Pertanian Giesting I.E.V. Dengan dibukanya
sekolah ini maka kebutuhan akan sekolah dasar bagi anak-anak kolonis dapat
terpenuhi.
Pada suatu kesempatan Inspektur Pendidikan Dasar,
Tuan Kok, berkunjung di Sekolah Giesting yang saat itu memiliki 20
siswa (8 laki-laki dan 12 perempuan). Sekolah Giesting dikelola oleh Ny.
Walker, dibantu oleh Miss. E.I. Leckie. Kedua guru tersebut diperbantukan di Giesting oleh
Pemerintah dan Departemen Pendidikan. Inspektur Kok mengirimkan laporan
kunjungannya ke sekolah Giesting ke Departemen Pendidikan, di
mana dalam laporan tersebut ia berbicara dengan sangat menghargai sekolah
tersebut dan pendidikan yang diberikan di sana (De Locomotif, 14
Desember 1928).
Berita tentang Sekolah di Giesting
(Sumber De Locomotif, 14 Desember
1928)
Kebijakan pemerintah terhadap
pendidikan di Giesting kemudian disinkronkan dengan kebijakan kolonisasi.
Dimana untuk mencukupi kebutuhan guru, pemerintah mengutamakan mengirim calon
kolonis yang istrinya memiliki kemampuan mengajar. Kemudian pada tahun 1938
pemerintah juga berencana mendirikan sebuah panti asuhan di Giesting. Dimana
panti asuhan diharapkan dapat berdampak pada peningkatan jumlah murid di
Giesting. Panti asuhan ini juga akan memberikan pengajaran bagi anak-anak yang
tinggal di panti.
Soerabaijasch Handelsblad, 5 Mei 1938 menuliskan bahwa tujuan
panti asuhan adalah untuk mengadakan kursus pendidikan pertanian
praktis untuk anak laki-laki, sedangkan pelajaran pendidikan rumah
tangga sederhana akan diberikan untuk anak perempuan. Kedua mata kuliah
tersebut akan berjalan paralel dengan 3 kelas tertinggi sekolah. Desain ini
dipilih untuk memberikan pelatihan kepada anak laki-laki dan perempuan dalam
kerangka pertanian, sehingga mereka akan merasa betah sejak usia dini dan bahwa
anak laki-laki akan menjadi kekuatan yang mapan untuk koloni pertanian dan anak
perempuan untuk pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan pertanian tambahan.
Realisasi rencana ini tentunya akan bermanfaat bagi masa depan Giesting.
Diharapkan panti asuhan tersebut dapat dibuka pada bulan Agustus 1938.
HCS
Xaverius Tanjungkarang
Pada
pemberitaan Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937 diceritakan tentang
pembukaan Tahun Ajaran 1937/1938 di Sekolah Xavierius Telukbetung yang
merupakan HCS (Hollandsch Chineesche School). Sekolah yang berada di bawah Misi
Tanjungkarang ini saat pada Tahun Ajaran 1937/1938 memiliki murid sekitar 350 dari
berbagai etnis, kebanyakan orang Tionghoa. Berdirinya sekolah Xaverius di
Telukbetung ini tidak terlepas dari usaha Pendeta van Oort dan Ny. Voorsmitde
Leau pada tahun 1929. Di awal berdirinya Sekolah Xaverius membuka kelas Frobel
(Taman Kanak-kanak) dengan jumlah murid 7 anak.
Berita
tentang HCS Telukbetung
(Sumber:
Soerabaijasch Handelsblad, 9 Agustus 1937)
Sekolah
Xaverius yang berkembang menjadi HCS Telukbetung ini, kemudian menjadi sekolah
kebanggaan masyarakat Eropa di Lampung kala itu. Kebanggaan itu sebagaimana
tertulis dalam surat kabar Soerabaijasch Handelsblad:
De
resultaten van de Missie van Tandjongkarang wat betreft het onderwijs zijn
dus prachtig. Als men op Telokbetong komt dan ziet men aan den
Schoolweg een complex gebouwen en een modern, schoolgebouw, de Xaveriusschool,
de eerste particuliere H. C. S. in de Lampongs.
Terjemahan:
Oleh
karena itu, hasil dari Misi Tanjungkarang dalam hal pendidikan sungguh
luar biasa. Sesampainya di Telukbetung, anda akan melihat komplek bangunan
dan gedung sekolah modern Sekolah Xaverius, HCS swasta pertama di Lampung.
Selain
karena fasilitas gedung yang modern, Sekolah Xaverius ini memang diperhatikan
betul dalam hal tenaga pendidik. Untuk itu, Misi Tanjungkarang merekrut guru-guru
yang berkompeten. Umumnya guru-guru itu bersal dari Belanda. Sehingga tidak
heran dalam tahun ke tahun jumlah murid terus bertambah. Dalam waktu kurang
lebih 8 tahun dari didirikan sekolah ini memiliki sebanyak 350 murid. Alumni
HCS Telukbetung ini banyak yang kemudian melanjutkan studi di Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Hogere Burger School (HBS).
Pada perkembangannya sekolah-sekolah Xaverius, terutama
yang setingkat Sekolah Dasar, selain berkembang di Telukbetung juga berkembang Tanjungkarang,
Gedongtataan, Pringsewu, Talangpadang. Bahkan selepas Indonesia merdeka juga
didirikan sekolah menengah dan atas. Dengan demikian hadirnya sekolah Xaverius
ini juga memberikan warna dalam perkembangan pendidikan di daerah Lampung
hingga kini.
Referensi
Bataviaasch Nieuwsblad, 11 April 1938
Bataviaasch Nieuwsblad, 25 Mei 1939
De Indische Courant,
24
Februari 1928
De Indische Courant, 23 Februari 1940
De Locomotif, 14 Desember 1928
De Sumatra post, 3 Mei 1927
Het nieuws van den
dag voor Nederlandsch-Indië, 20 Oktober 1932
Soerabaijasch
Handelsblad,
9 Agustus 1937
Soerabaijasch
Handelsblad,
5 Mei 1938
Putri, Aulia
Mutiara. 2022. Perkembangan Kolonisasi Giesting Pada Masa Pemerintahan
Hindia Belanda Pada Tahun 1926-1942. Metro: Universitas Muhammadiyah Metro.
Depdikbud. 1982. Sejarah
Pendidikan Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud
Tidak ada komentar:
Posting Komentar