Senin, 22 Februari 2021

Kerajaan Islam di Jawa (Kerajaan Banten dan Cirebon)

 


Hasil gambar untuk Kerajaan Banten

 

A. Kerajaan Banten

a. Kehidupan Politik

Daerah Banten berhasil dikuasai dan diislamkan oleh Fatahilah (Panglima Perang Demak). Di samping menguasai Banten, Fatahilah juga berhasil merebut Cirebon dan Sunda Kelapa yang kemudian namanya diubah menjadi Jayakarta (1527). Setelah Fatahilah menetap di Cirebon, Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Maulana Hasanuddin. Banten masih tetap menjadi daerah kekuasaan Demak, namun setelah di Demak terjadi kegoncangan politik akibat perebutan kekuasaan, Banten akhirnya melepaskan diri. Maulana Hasanudin sebagai peletak dasar dan menjadi Raja Banten yang pertama (1552–1570).

Daerah kekuasannya meluas sampai dengan Lampung dan berhasil mengusai perdagangan lada. Pada tahun 1570 Sultan Hasanuddin meninggal dan digantikan oleh putranya, yakni Panembahan Yusuf (1570–1580). Ia berhasil menundukkan Kerajaan Pajajaran. Raja yang terbesar Banten ialah Sultan Ageng Tirtayasa (1651–1682). Sultan Ageng Tirtayasa berhasil memajukan perdagangan Banten. Politik Sultan Ageng terhadap VOC sangat keras, namun tidak disetujui oleh putranya Sultan Haji (Abdulnasar Abdulkahar) sehingga terjadi perselisihan. Sultan Haji minta bantuan VOC sehingga Kerajaan Banten yang jaya dan besar di bawah pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa kemudian menjadi boneka Kompeni dengan rajanya, Sultan Haji.

b. Kehidupan Ekonomi

Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa dapat berkembang menjadi bandar perdagangan dan pusat penyebaran agama Islam. Adapun faktor-faktornya, antara lain sebagai berikut.

1.      Letaknya strategis dalam lalu lintas perdagangan.

2.      Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis sehingga para pedagang Islam tidak lagi singgah di Malaka, namun langsung menuju Banten.

3.      Banten mempunyai bahan ekspor penting, yakni lada. Banten yang maju banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Arab, Gujarat, Persia, Turki, Cina, dan sebagainya. Di kota dagang Banten segera terbentuk perkampungan-perkampungan menurut asal bangsa itu, seperti orang-orang Arab mendirikan Kampung Pekojan, orang Cina mendirikan Kampung Pecinan, orang-orang Indonesia dari suku-suku lainnya mendirikan Kampung Banda, Kampung Jawa, dan sebagainya.

c. Kehidupan Sosial Budaya

Sejak Banten diislamkan oleh Fatahilah (Faletehan) pada tahun 1527 maka kehidupan sosial masyarakat Banten secara berangsur-angsur mulai berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Setelah Banten berhasil mengalahkan Pajajaran, pengaruh Islam makin kuat di daerah pedalaman. Pendukung setia Kerajaan Pajajaran kemudian menyingkir ke pedalaman, yakni ke daerah Banten Selatan. Mereka kemudian di kenal sebagai suku Badui. Kepercayaan mereka disebut Pasundan Kawitan yang artinya Pasundan yang pertama . Mereka mempertahankan tradisi-tradisi lama dan menolak pengaruh Islam.

Kehidupan sosial masyarakat Banten semasa Sultan Ageng Tirtayasa meningkat pesat sebab sultan mempehatikan kehidupan dan kesejahteran rakyatnya. Namun, setelah Sultan Ageng Tirtayasa meninggal, kehidupan sosialnya merosot tajam sebab adanya campur tangan Belanda dalam berbagai kehidupan. Kehidupan seni budaya Islam dapat ditemukan pada bangunan Masjid Agung Banten (tumpang lima) dan bangunan gapura-gapura di Kaibon Banten. Di samping itu, bangunan istana yang dibangun oleh Jan Lukas Cardeel, orang Belanda pelarian dari Batavia yang telah menganut agama Islam. Susunan istananya menyerupai istana raja di Eropa. 

B. Kerajaan Cirebon

Menurut berita Tome Pires sekitar 1513 diberitakan Cirebon sudah termasuk ke daerah Jawa di bawah kekuasaan Kerajaan Demak. Penguasa di Cirebon ialah Lebe Usa sebagai bawahan Pate Rodim. Cirebon terutama mengekspor beras dan banyak bahan makanan lainnya. Kota ini berpenduduk sekitar 1.000 orang. Menurut Tome Pires Islam sudah hadir di kota Cirebon 40 tahun sebelum kehadiran Tome Pires sendiri. Perkiraan kehadiran Islam di kota Cirebon menurut sumber lokal Tjarita Purwaka Tjaruban Nagari karya Pangeran Arya Cerbon pada 1720 M, dikatakan bahwa Syarif Hidayatullah datang ke Cirebon pada 1470 M, dan mengajarkan Islam di Gunung Sembung, bersama-sama Haji Abdullah Iman atau Pangeran Cakrabumi.

Syarif Hidayatullah kawin dengan Pakungwati dan pada 1479 ia menggantikan mertuanya sebagai Penguasa Cirebon, lalu mendirikan keraton yang diberi nama Pakungwati di sebelah timur Keraton Sultan Kasepuhan kini. Syarif Hidayatullah terkenal juga dengan gelaran Susuhunan Jati atau Sunan Gunung Jati, seorang dari walisongo dan juga ia mendapat julukan Pandita-Ratu sejak berfungsi sebagai wali penyebar Islam di Tatar Sunda dan sebagai kepala pemerintahan. Sejak itu Cirebon menghentikan upeti ke pusat Kerajaan Sunda Pajajaran di Pakuan. Sebenarnya Islam sudah mulai disebarkan meski mungkin masih terbatas daerahnya. Pangeran Cakrabumi alias Haji Abdullah Iman dan juga Syaikh Datuk Kahfi yang telah mempelopori pendirian pesantren sebagai tempat mengajar dan penyebaran agama Islam untuk daerah sekitarnya. 

 

Hasil gambar untuk kerajaan cirebon

Pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati Islam makin diintensifkan dengan pendirian Masjid Agung Cipta Rasa di sisi barat alun-alun Keraton Pakungwati. Islam diluaskan ke berbagai daerah, antara lain, ke Kuningan, Talaga, dan Galuh sekitar 1528-1530, dan ke Banten sekitar 1525-1526 bersama putranya Maulana Hasanuddin. Sekitar 1527 ia mendorong menantunya, panglima yang dikirimkan Pangeran Trenggana dari Demak untuk menyerang Kalapa yang masih dikuasai Kerajaan Sunda. Ketika itu Kerajaan Sunda sudah mengadakan hubungan dengan Portugis dari Malaka sejak 1522. Sunan Gunung Jati wafat pada 1568, ia dimakamkan di Bukit Sembung atau yang dikenal dengan makam Gunung Jati.

Penggantinya di Cirebon ialah buyutnya yang kelak dikenal sebagai Panembahan Ratu putra Pangeran Suwarga yang telah meninggal dunia pada 1565. Pada masa pemerintahannya hubungan dengan Mataram masih diteruskan melalui jalur kekeluargaan antara lain dengan pernikahan kakak perempuan Panembahan Ratu yaitu Ratu Ayu Sakluh dengan Sultan Agung Mataram (1613-1645), yang melahirkan Amangkurat I (1614-1677). Keberadaan Kesultanan Cirebon menjelang akhir abad ke-17 diwarnai dengan perjanjian-perjanjian VOC antara lain perjanjian pada tanggal 7 Januari 1681.

Lewat perjanjian tersebut Kesultanan Cirebon mulai dicampuri politik kolonial VOC. Selain itu di bidang ekonomi-perdagangan, VOC mendapatkan hak monopoli seperti pakaian dan opium. Demikian pula ekspor komoditi lada, beras, kayu, gula, dan sebagainya berada di tangan VOC. Sejak 1697, kekuasaan Keraton Kasepuhan dan Kanoman terbagi lagi atas Kacirebonan dan Kaprabonan. Karena itu menurut pendapat Sharon Sidiqque, Kesultanan Cirebon sejak 1681 sampai 1940 mengalami kemerosotan karena kolonialisme.

Meskipun pendapat beberapa ahli agak berbeda namun dapat dikatakan Kesultanan Cirebon merupakan pusat syiar keagamaan dengan penyebarannya berlangsung sebelum 168I. Tasawuf dan tarekat-tarekat keagamaan Islam seperti Kubrawiyah, Qadariyah, Syattariyah, dan kemudian Tijaniyah berkembang di Cirebon. Cirebon sebagai pusat keagamaan banyak menghasilkan naskah-naskah kuno seperti Babad Cerbon, Tarita Puwaka Tjaruban Nagari, Pepakem Cerbon, dan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer