Sabtu, 05 Oktober 2024

Malaria: Musuh Bebuyutan Era Kolonial di Lampung

 Dari sekian banyak penyakit, malaria menjadi penyakit yang ditakuti pada era kolonial. Bahkan hingga saat ini penyakit yang ditularkan oleh nyamuk ini masih menjadi perhatian serius dari Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Lantas bagaimanakah wabah malaria yang terjadi di Lampung era kolonial?

Oleh: Adi Setiawan

Nyamuk (Sumber: Suara.com)

 

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia melalui laman ayosehat.kemkes.go.id menjelaskan bahwa malaria adalah salah satu penyakit yang mematikan di dunia. Itulah sebabnya, pemerintah terus berupaya mengatasi penyakit ini demi mewujudkan Indonesia bebas malaria pada tahun 2024. Penyakit malaria disebabkan oleh infeksi parasit plasmodium, yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina, yang beredar pada petang sampai pagi hari. Parasit ini akan menetap di organ hati, berkembang biak, kemudian menyerang sel-sel darah merah. 

Bagi orang yang terjangkit penyakit malaria ditandai dengan gejala seperti demam, lesu, sakit kepala, mual, diare, nyeri otot dan hilangnya nafsu makan. Penyakit yang menular akibat gigitan nyamuk ini sangat rentan terjadi di daerah tropis seperti Indonesia. Penyakit malaria, saat ini sudah dapat diminimalisir, seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam hidup bersih dan sehat. Walaupun demikian, pemerintah tetap menaruh perhatian terhadap penyakit ini.

Era kolonial, penyakit malaria juga menjadi perhatian serius. Bahkan bagi warga Batavia malaria merupakan momok yang ditakuti kala itu. Penyakit malaria ini bukan hanya menjadi penyakit yang menjangkiti pribumi Indonesia saja. Bagi orang Eropa di Batavia, malaria juga menjadi ancaman yang serius. Sebagai contoh adalah saat rombongan pelaut dari Inggris yang dipimpin oleh Kapten James Cook tahun 1770 tiba di Batavia, tidak berselang lama dari waktu kedatangan mereka, tujuh awak kapal meninggal akibat penyakit malaria.

Selain di Batavia, merebaknya penyakit malaria juga pernah terjadi di Cirebon. Imas Emalia dalam Malaria Diseases In Java In The Colonial Era: A Study Of Humanitarian Disasters In Cirebon City In The 20 Th Century, menjelaskan bahwa wabah malaria di tahun 1805 menjadi sebuah bencana besar karena mengakibtakan ¼ dari jumlah penduduk di kota Cirebon meninggal. Wabah malaria kemudian menyebar ke daerah pedalaman seperti Kuningan, Majalengka dan Indramayu.

Sedangkan di Lampung pada era kolonial, diaman kondisi kesehatan masyarakat masih kurang baik. Penyakit seperti kolera dan malaria merupakan dua penyakit yang menyebabkan korban jiwa saat itu. Dalam pemberitaan Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië pada 10 Maret 1918, di Telukbetung banyak warga yang menderita penyakit malaria. Penyakit malaria juga merebak di wilayah lain seperti di daerah onderneming atau perusahaan perkebunan Kedondong, Way Lima, Rejosari, Negara Ratu, Kedaton, Rotterdam dan Way Halim. Sementara itu, perkampungan yang menjadi perhatian tentang malaria ini diantaranya Kampung Pesawahan, Kampung Kangkung, Kampung, Garuntang, Kampung Kupang, Kampung Kuripan, Kampung Talang, Kampung Sumurr Batu, Kampung Enggal, Kampung Tanjung Karang, Kampung Jayabaya, Kampung Lebak Budi, Kampung Kedaton, KampungRaja Basa, Kampung Haji Mena, Kampung Labuhan Ratu, Kampung Natar dan Kampung Negara Ratu (Van Der Heyden, 1918:18).


                                                          Peta Onderneming di Lampung (Sumber: Van Der Heyden, 1918:17)

 Dalam pemberitaan De Sumatra Post pada 18 Januari 1938, penyakit malaria serta penyakit lainnya merebak di daerah Sukadana. Dimana wabah malaria di daerah kolonisasi ini lebih parah daripada di Gedongtataan. Rupanya penyakit malaria bukan hanya ada di daerah pedalaman semacam Sukadana dan Gedongtaan saja. Soerabaijasch Handelsblad pada 8 Oktober 1938 memberitakan bahwa di Oosthaven, sebuah pelabuhan di Teluk Lampung juga tidak luput dari penyakit ini. Bahkan redaksi koran ini menyebut Oosthaven sebagai wilayah dengan reputasi buruk karena penyakit malaria. Hal itu membuat Oosthaven hanya sebagai daerah tempat berdirinya gudang bea cukai dan dermaga semata. Sedangkan untuk pemukiman penduduk lebih memilih tinggal di Tanjungkarang dan Telukbetung. Tidak ada seorang pun yang tinggal di sana, begitu kapal feri ke Merak berangkat pada malam hari, semua orang bergegas kembali ke Tanjungkarang dan Telukbetung dengan kereta api atau mobil karena Oosthaven menderita malaria, demikianlah tulis Soerabaijasch Handelsblad.

Wabah penyakit malaria di Lampung juga banyak ditemui di daerah-daerah kolonisasi. Perluasan pemukiman dan pertanian dengan cara membuka hutan belantara itu menjadi tempat berkembangbiaknya nyamuk yang menularkan malaria. Menurut Anggota Dewan Rakyat Boestan Soekadiradja, telah terjadi wabah penyakit malaria di kalangan 1.500 perantau Jawa yang datang ke Lampung, lebih tepatnya di sekitar wilayah kolonisasi Gedong Tataan, Untuk mencegah meluasnya dampak penyakit malaria, dibagikan pil kina (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19 Juli 1935).

Pemberitaan Malaria di Lampung

(Sumber: Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië)

Kemudian penjelasan Dokter Soesilo, seorang Inspektur Dinas Kesehatan Sumatera Selatan menceritakan perjalananya di kolonisasi Gedong Tataan dalam surat kabar Het Vaderland tentang malaria. Dari perjalanan yang ia lakukan pada bulan Maret 1936 itu diketahui bahwa Gedong Tataan mempunyai kurang lebih 35.000 jiwa penduduk. Malaria merupakan penyakit endemik kronis di Gedong Tataan. Para pemukim baru yang berasal dari Pulau Jawa hampir selalu terserang penyakit ini.

 Kondisi ini membuat pemerintah melalui Dienst der volksgezondheid (Dinas Kesehatan Rakyat) menaruh perhatian untuk memberantas malaria. Dienst der volksgezondheid membuat kebijakan yang tepat dalam mencegah kematian penduduk akibat malaria. Tenaga medis mempunyai tugas untuk mendeteksi dan melaporkan orang yang sakit. Sehingga bantuan medis dapat diberikan jika diperlukan (Het Vaderland, 17 April 1936).

Bantuan medis terhadap penduduk, selain diberikan oleh pemerintah melalui dinas kesehatan ternyata juga menarik perhatian dari lembaga-lembaga sosial. Pada 18 Januari1938 De Sumatra Post memberitakan pelayanan kesehatan kepada penduduk di daerah kolonisasi Gedong Tataan dan kolonisasi Sukadana oleh Misi Katolik. Layanan kesehatan yang dilakukan oleh mereka itu bukan hanya kepada penduduk yang berkeyakinan Katolik saja, namun juga kepada masyarakat umum.

Selain upaya pengobatan, pemerintah kala itu juga melakukan tindakan pencegahan. Adapun tindakan pencegahan dilakukan dengan cara meneliti kondisi lingkungan yang memicu berkembangnya nyamuk. Lantas dari hal itu pemerintah kemudian membuat kebijakan pemberantasan nyamuk. Pemerintah berharap dengan pemberantasan itu meminimalisir larva-larva nyamuk yang menetas. Penelitian yang dilakukan terhadap penyebaran penyakit malaria serta jumlah penduduk yang terjangkit dilakukan dibeberapa daerah di Lampung. Selain daerah kolonisasi, daerah perkebunan menjadi wilayah yang juga menjadi target penelitian.

 

Referensi:

ayosehat.kemkes.go.id

De Sumatra Post, 18 Januari1938

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 10 Maret 1918

Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 19 Juli 1935

Het Vaderland, 17 April 1936

Soerabaijasch Handelsblad, 8 Oktober 1938

Van Der Heyden, 1918. Arbeidersverzorging In De Lampongs. Javasche Boekhandel & Drukkerij: Batavia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Menyaksikan Tanah Sabrang: Film Propaganda di Era Kolonial

Sebuah gedung pertunjukan film modern diresmikan di Kota Metro, sebuah daerah yang lahir dari proses kolonisasi di masa lampau. Hadirnya bio...

Populer