Jumat, 16 Mei 2025

Sunat Bong: Khitan Tradisional di Girikarto

Sunat atau khitan menjadi bagian dalam proses perkembangan kehidupan manusia, umumnya kaum Adam. Kebiasaan sunat atau khitan di Indonesia sering disematkan kepada penganut Islam, sebagai bagian dari ketaatan terhadap ajaran agama dalam sisi menjaga kesehatan sehingga bersih dari najis. Dalam Islam sunat dihukumi sebagai sunnah yang dianjurkan. Oleh karena itu setiap bayi atau anak laki-laki akan menemukan prosesi pengkhitanan dalam hidup mereka.

Oleh: Adi Setiawan

   Cengkal

            Menurut Asrorun Ni’mah Sholeh dan Lia Zahiroh (2021:1) di Indonesia khitan atau sunat telah menjadi bagian dari tradisi yang menyatu dalam siklus kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Khitan bahkan telah menjadi budaya. Dalam hal ini budaya yang berbasis pada ajaran agama. Khitan menjadi salah satu fase penanda dalam kehidupan sosial, di samping kelahiran, perkawinan, dan kematian. Oleh karena itu, tradisi skhitan atau sunat di sebagian masyarakat Indonesia dinilai sebagai sesuatu yang istimewa. Momentum khitan ini kemudian dirayakan dengan mengumpulkan sanak saudara, diisi dengan kegiatan perjamuan makanan.

            Menilik dari sisi sejarah Islam, praktik khitan setidaknya telah dijalankan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam. Praktek khitan bukan hanya ditemukan pada bangsa Arab atau wilayah di Timur Tengah saja. Masyarakat Mesir Kuno, bangsa-bangsa di Afrika, suku Aborigin di Australia, suku Maya, Inca serta Aztec di Benua Amerika juga memandang praktek khitan sebagai bagian dari hidup mereka (Risa Herdahita Putri, 2019).

            Praktek khitan atau sunat umumnya dilakukan oleh seseorang yang ahli dalam ilmu bedah, seperti dokter ataupun perawat medis. Saat ini sunat modern menjadi pilihan masyarakat karena dinilai memiliki beberapa kelebihan. Namun di Indonesia pada masa lampau, praktek sunat biasa dilakukan secara tradisional oleh seorang yang disebut mantri sunat atau juru supit.

Sebagai contoh sunat tradisonal ini adalah sunat juru supit bogem yang ada di daerah Sleman, Yogyakarta. Praktek sunat ini setidaknya telah ada sejak era kolonial yang dikenalkan oleh RN Notopandoyo dan masih bertahan hingga kini. RN Notopandoyo mengawali kiprahnya sebagai mantri sunat dengan berguru pada Raden Penewu Sutadi Hadiwiyoto, juru supit di Kraton. Metode sunat yang memadukan teknik gunting dan lipat ini diyakini tidak menyakitkan dan cepat sembuh (Nugroho Meidinata, 2022).

Praktek sunat seperti yang ada di Sleman, Yogyakarta nyatanya juga ditemui di tengah-tengah masyarakat Jawa di Lampung. Di Desa Girikarto, Sekampung, Lampung Timur yang semula menjadi bagian dari program Kolonisasi Sukadana mengenal sunat supit dengan sebutan sunat bong. Dalam sunat bong ini, biasa dilakukan oleh seorang juru sunat yang terlatih menggunakan peralatan sunat tradisional. Di Girikarto hingga awal tahun 2000an praktek sunat bong masih sering dilakukan. Seorang juru sunat, yang oleh masyarakat sebut Mbah Bong membuka praktek sunat di kediamannya. Sering kali Mbah Bong juga mendatangi pasien sunatnya di rumah masing-masing pasien dengan berjalan kaki atau mengendarai sepeda.

Setidaknya anak-anak yang lahir di bawah tahun 1980an di Desa Girikarto dan sekitarnya masih mengalami khitan tradisional ini. Usia khitan biasanya adalah anak-anak usia sekolah dasar. Masyarakat Girikarto biasa menyunatkan anaknya di liburan kenaikan kelas. Anak-anak yang akan melakukan sunat biasanya memakai kemeja putih, bersarung dan berpeci hitam, satu ciri khas yang menandai jika anak-anak akan disunat. Prosesi sunat didampingi oleh orangtua dan pengkhitanan dilakukan dalam waktu yang tidak lama. Setelah dikhitan biasanya mereka akan mengenakan kain sarung dan pasang alat yang terbuat dari bambu dan serabut kelapa atau disebut cengkal. Cengkal berfungsi untuk menahan kain sarung tidak menempel pada bagian yang disunat. Lama luka sunat hingga sembuh sangat bervariasi, namun biasanya luka akan sembuh kurang lebih satu pekan setelah disunat. Setelah proses pengkhitanan selesai, keluarga anak yang dikhitan biasanya melakukan tradisi syukuran atau genduren. Tradisi ini mengundang sanak kerabat dan tetangga untuk memberikan doa kebaikan pada anak yang dikhitan.

Tradisi khitan atau sunat bong di Desa Girikarto saat ini dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Selain karena masyarakat yang lebih memilih khitan modern, estapet untuk melanjutkan ilmu sunat bong di Girikarto telah terputus. Tidak ada penerus yang melanjutkan ilmu sunat bong ini. Diakui bahwa sunat bong menjadi bagian dari tradisi menjaga kesehatan bagi masyarakat Girikarto di masa lalu. Keberadaan sunat bong di tengah-tengah masyarakat Girikarto juga menandai bahwa keberlanjutan budaya yang dibawa dari Pulau Jawa ke Lampung terjadi adanya. Mereka bukan hanya melestarikan budaya yang berkaitan dengan kesenian, pertanian dan sosial namun juga melanjutkan tradisi sunat bong.

Referensi:

Asrorun Ni’mah Sholeh dan Lia Zahiroh. 2021. Hukum dan Hikmah Khitan bagi Laki-laki dan Perempuan. Jakarta: Emir

Nugroho Meidinata. Metode Sunat Juru Supit Bogem: Digunting Terus Dilipat, Gak Dipotong?. Solopos tanggal 5 Januari 2022

Risa Herdahita Putri. Asal-Usul Sunat dalam Historia.id tanggal 18 Juni 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Idris Reksoatmodjo: Dari Pegawai Karesidenan Hingga Bupati Perang

Nama Idris Reksoatmodjo tersemat pada nama jalan di antara lapangan merdeka dengan Kantor Kecamatan Sekampung, Lampung Timur. Di kecamatan i...

Populer