Sunat atau khitan menjadi bagian dalam proses perkembangan kehidupan manusia, umumnya kaum Adam. Kebiasaan sunat atau khitan di Indonesia sering disematkan kepada penganut Islam, sebagai bagian dari ketaatan terhadap ajaran agama dalam sisi menjaga kesehatan sehingga bersih dari najis. Dalam Islam sunat dihukumi sebagai sunnah yang dianjurkan. Oleh karena itu setiap bayi atau anak laki-laki akan menemukan prosesi pengkhitanan dalam hidup mereka.
Oleh: Adi Setiawan
Menurut Asrorun Ni’mah Sholeh dan Lia Zahiroh (2021:1) di
Indonesia khitan atau sunat telah menjadi bagian dari tradisi yang menyatu
dalam siklus kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim.
Khitan bahkan telah menjadi budaya. Dalam hal ini budaya yang berbasis pada
ajaran agama. Khitan menjadi salah satu fase penanda dalam kehidupan sosial, di
samping kelahiran, perkawinan, dan kematian. Oleh karena itu, tradisi skhitan
atau sunat di sebagian masyarakat Indonesia dinilai sebagai sesuatu yang
istimewa. Momentum khitan ini kemudian dirayakan dengan mengumpulkan sanak
saudara, diisi dengan kegiatan perjamuan makanan.
Menilik dari sisi sejarah Islam, praktik khitan setidaknya telah dijalankan oleh Nabi Ibrahim Alaihissalam. Praktek khitan bukan hanya ditemukan pada bangsa Arab atau wilayah di Timur Tengah saja. Masyarakat Mesir Kuno, bangsa-bangsa di Afrika, suku Aborigin di Australia, suku Maya, Inca serta Aztec di Benua Amerika juga memandang praktek khitan sebagai bagian dari hidup mereka (Risa Herdahita Putri, 2019).
Praktek khitan atau sunat umumnya dilakukan oleh
seseorang yang ahli dalam ilmu bedah, seperti dokter ataupun perawat medis.
Saat ini sunat modern menjadi pilihan masyarakat karena dinilai memiliki beberapa
kelebihan. Namun di Indonesia pada masa lampau, praktek sunat biasa dilakukan secara
tradisional oleh seorang yang disebut mantri sunat atau juru supit.
Sebagai contoh sunat tradisonal ini adalah sunat juru supit bogem yang ada di daerah Sleman, Yogyakarta. Praktek sunat ini setidaknya telah ada sejak era kolonial yang dikenalkan oleh RN Notopandoyo dan masih bertahan hingga kini. RN Notopandoyo mengawali kiprahnya sebagai mantri sunat dengan berguru pada Raden Penewu Sutadi Hadiwiyoto, juru supit di Kraton. Metode sunat yang memadukan teknik gunting dan lipat ini diyakini tidak menyakitkan dan cepat sembuh (Nugroho Meidinata, 2022).
Praktek
sunat seperti yang ada di Sleman, Yogyakarta nyatanya juga ditemui di
tengah-tengah masyarakat Jawa di Lampung. Di Desa Girikarto, Sekampung, Lampung
Timur yang semula menjadi bagian dari program Kolonisasi Sukadana mengenal
sunat supit dengan sebutan sunat bong. Dalam sunat bong ini, biasa
dilakukan oleh seorang juru sunat yang terlatih menggunakan peralatan sunat
tradisional. Di Girikarto hingga awal tahun 2000an praktek sunat bong masih
sering dilakukan. Seorang juru sunat, yang oleh masyarakat sebut Mbah Bong
membuka praktek sunat di kediamannya. Sering kali Mbah Bong juga
mendatangi pasien sunatnya di rumah masing-masing pasien dengan berjalan kaki
atau mengendarai sepeda.
Setidaknya
anak-anak yang lahir di bawah tahun 1980an di Desa Girikarto dan sekitarnya masih
mengalami khitan tradisional ini. Usia khitan biasanya adalah anak-anak usia
sekolah dasar. Masyarakat Girikarto biasa menyunatkan anaknya di liburan
kenaikan kelas. Anak-anak yang akan melakukan sunat biasanya memakai kemeja
putih, bersarung dan berpeci hitam, satu ciri khas yang menandai jika anak-anak
akan disunat. Prosesi sunat didampingi oleh orangtua dan pengkhitanan dilakukan
dalam waktu yang tidak lama. Setelah dikhitan biasanya mereka akan mengenakan
kain sarung dan pasang alat yang terbuat dari bambu dan serabut kelapa atau
disebut cengkal. Cengkal berfungsi untuk menahan kain sarung tidak
menempel pada bagian yang disunat. Lama luka sunat hingga sembuh sangat
bervariasi, namun biasanya luka akan sembuh kurang lebih satu pekan setelah
disunat. Setelah proses pengkhitanan selesai, keluarga anak yang dikhitan
biasanya melakukan tradisi syukuran atau genduren. Tradisi ini
mengundang sanak kerabat dan tetangga untuk memberikan doa kebaikan pada anak
yang dikhitan.
Tradisi khitan atau sunat bong di Desa Girikarto saat ini dapat dikatakan sudah tidak ada lagi. Selain karena masyarakat yang lebih memilih khitan modern, estapet untuk melanjutkan ilmu sunat bong di Girikarto telah terputus. Tidak ada penerus yang melanjutkan ilmu sunat bong ini. Diakui bahwa sunat bong menjadi bagian dari tradisi menjaga kesehatan bagi masyarakat Girikarto di masa lalu. Keberadaan sunat bong di tengah-tengah masyarakat Girikarto juga menandai bahwa keberlanjutan budaya yang dibawa dari Pulau Jawa ke Lampung terjadi adanya. Mereka bukan hanya melestarikan budaya yang berkaitan dengan kesenian, pertanian dan sosial namun juga melanjutkan tradisi sunat bong.
Referensi:
Asrorun
Ni’mah Sholeh dan Lia Zahiroh. 2021. Hukum dan Hikmah Khitan bagi Laki-laki
dan Perempuan. Jakarta: Emir
Nugroho Meidinata. Metode Sunat Juru Supit Bogem: Digunting Terus
Dilipat, Gak Dipotong?. Solopos tanggal 5 Januari 2022
Risa Herdahita Putri. Asal-Usul Sunat
dalam Historia.id tanggal 18 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar